Pakpak
A. Gambaran Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Pakpak
Masyarakat Pakpak merupakan suatu kelompok suku bangsa yang terdapat di Sumatera Utara. Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut Tanoh Pakpak. Tanoh Pakpak terbagi atas lima sub wilayah, yakni: Simsim, Keppas, Pegagan (semuanya terdapat di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat), Kelasen (Kecamatan Parlilitan - Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Manduamas dan Barus - Kabupaten Tapanuli Tengah) dan Boang (Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam). Dalam administrasi pemerintahan Indonesia saat ini, wilayah ini dibagi dalam dua provinsi (Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam) dan lima kabupaten/kota (Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam) yang mengakibatkan tidak ada daerah tingkat II yang penduduknya homogen orang Pakpak karena disegmentasi menjadi lima wilayah kabupaten/kota. Namum secara geografis wilayah atau hak ulayat secara tradisional yang disebut Tanoh Pakpak tersebut sebenarnya tidak terpisah satu sama lain karena semua daerah administrastifnya berbatasan langsung.
Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut lebuh dan kuta. Lebuh merupakan bagian dari kuta yang dihuni oleh klen kecil sementara kuta adalah gabungan dari lebuh-lebuh yang dihuni oleh suatu klen besar (marga) tertentu. Jadi setiap lebuh dan kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga lain dikategorikan sebagai pendatang.
Dalam sistem kekerabatan, orang Pakpak menganut prinsip patrilineal dalam memperhitungkan garis keturunan dan pembentukan klen (kelompok kerabatnya) yang disebut marga. Dengan demikian berimplikasi terhadap sistem pewarisan dominan diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Bentuk perkawinannya adalah exogami marga, artinya seseorang harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan orang semarga dianggap melanggar adat karena dikategorikan sumbang (incest).
Bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat Pakpak adalah bahasa Pakpak (di Kelasen disebut Bahasa Dairi). Adapun salam sapaan khas Pakpak yaitu “Njuah-Njuah” yang artinya semoga sehat selalu. Bahasa Pakpak banyak kemiripan kosakata dengan Bahasa Karo. Namun, saat ini bahasa Pakpak banyak menyerap kosakata baik dari Bahasa Batak Toba maupun dari bahasa Indonesia bahkan dari bahasa asing. Hal ini diakibatkan penggunaan bahasa Pakpak semakin berkurang terutama di daerah Sidikalang dan Kelasen karena komunitas Pakpak itu sendiri yang enggan memakainya dalam pergaulan sehari-hari, perkawinan dengan suku di luar Pakpak, pengaruh lingkungan terutama yang lahir di luar komunitas Pakpak, selain itu akibat bahasa Pakpak sedikit yang menguasai sehingga cenderung orang Pakpak memakai bahasa lain sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Adapula orang Pakpak yang tidak berniat mempelajari bahasa Pakpak itu sendiri dengan alasan lahir dan tinggal di daerah yang bukan komunitas Pakpak. Menurut Penulis sendiri, apapun alasan dan penyebabnya, kita terutama generasi muda harus berjuang membuat budaya Pakpak lebih maju sehingga tidak dilindas globalisasi.
Sebutan Suku Pakpak juga sering disebut Pakpak Dairi. Penulis sendiri lebih setuju dengan penggunaan kata Suku Pakpak karena Dairi itu sendiri merupakan nama yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda pada saat menjajah Tanoh Pakpak, yang dinamai dengan Dairi Landen. Tanoh Pakpak dibagi-bagi dalam berbagai wilayah oleh Hindia Belanda sehingga dapat melumpuhkan perjuangan Raja Sisingamangaraja XII yang pusat perjuangannya di Pearaja dan beberapa daerah lainnya di Tanoh Pakpak. Dengan demikian, daerah administrasi Dairi Landen dapat dipisahkan dari daerah-daerah wilayah masyarakat Pakpak lainnya misalnya di Parlilitan (Humbang Hasundutan), Tongging (Karo), Boang (Aceh Singkil dan Subulussalam) dan Barus – Manduamas (Tapanuli Tengah). Beberapa suak lebih memilih penggunaan kata Pakpak sedangkan beberapa suak lainnya lebih memilih menggunakan kata Dairi, sehingga kata Pakpak Dairi sepertinya sering disandingkan dalam berbagai kesempatan, misalnya saja penamaan Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), ataupun nama-nama organisasi/kumpulan orang Pakpak sering memakai kata Pakpak Dairi.
Dalam kajian-kajian yang ada, Pakpak sering dikelompokkan menjadi sub etnis Batak yang terdiri dari Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Angkola. Hanya saja, beberapa Penulis Pakpak atau orang Pakpak itu sendiri kurang setuju karena istilah Batak terlalu umum pedahal subtansi kebudayaan dan sejarahnya menurut orang Pakpak itu sendiri berbeda satu sama lain. Kalau Penulis sendiri berpendapat bahwa kedua-keduanya dapat diterima karena hingga saat ini belum ada penelitian yang dipublikasikan dan bernilai ilmiah serta dapat diterima sebagai suatu fakta umum (opinion doctorum) apakah Pakpak itu sub etnis Batak atau merupakan etnis yang berdiri sendiri. Oleh karena itu tidak ada gunanya mempertentangkan manakah yang harus dijadikan acuan.
Dari segi kebudayaan memang terdapat perbedaan konsep yang jauh, tapi dari perbedaan konsep itu dapat ditarik persamaan konsep. Misalnnya kepercayaan asli masyarakat Batak adalah percaya kepada Debata Mulajadi Na Bolon yang tidak dikenal dalam masyarakat Pakpak. Selain itu, konsep Dalihan Natolu juga tidak dikenal dalam masyarakat Pakpak. Sedangkan persamaannya juga banyak misalnya konsep exogami marga dalam perkawinan, konsep patrilineal dalam pewarisan, konsep marga-marga dan persaudaraan marga serta kearifan tradisional dalam pengelolaan lingkungan. Jadi Penulis tidak ambil pusing dengan manakah yang benar mengenai perdebatan diatas.
B. Sejarah Perkembangan dan Persebaran Kelompok Suku Bangsa Pakpak
Hingga saat artikel ini ditulis, belum ditemukan bukti yang autentik dan pasti tentang asal-usul dan sejarah persebaran orang Pakpak. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan beberapa variasi.
Pertama, dikatakan bahwa orang Pakpak berasal dari India yakni pedagang-pedagang India yang menetap di Barus dan daerah Pantai Singkil dan selanjutnya masuk ke pedalaman sepanjang daerah Pakkat sampai ke Singkil dan beranak pinak menjadi orang Pakpak. Alasannya adalah bahwa adanya kebiasaan tradisional orang Pakpak dalam pembakaran tulang-belulang nenek moyang dan Barus sebagai daerah pantai dan pusat perdagangan berbatasan langsung dengan Tanoh Pakpak.
Kedua, orang Pakpak berasal dari Batak Toba yang merantau ke Tanoh Pakpak. Alasannya karena adanya kesamaan struktur sosial dan kemiripan marga-marga seperti yang sudah dijelaskan diatas.
Ketiga, orang Pakpak memang dari sejak zaman dahulu kala sudah ada. Alasannya didasarkan pada folklore dimana diceritakan adanya tiga zaman manusia di Tanoh Pakpak, yakni Zaman Tuara (manusia raksasa), zaman si Aji (manusia primitif) dan zaman manusia (homo sapien). Satu hal yang pasti umur masyarakat Pakpak itu hingga saat ini belum dapat ditentukan karena penemuan-penemuan bekas bekas tulang belulang yang dibakar dan mejan-mejan (patung batu) menunjukkan bahwa orang Pakpak sudah ada sejak Zaman Batu.
Sebagian orang Pakpak diperkirakan masuk ke Tanah Karo dan menetap disana. Ini dibuktikan dengan kedekatan bahasa antar Suku Karo dan Pakpak demikian juga marga misalnya Cibro (Sibero di Karo), Maha, Lingga (Sinulingga di Karo), dan lain-lain. Hal tersebut juga dikemukan seorang suku Karo yaitu Darwan Perangin-angin bahwa Ginting Sini Suka menurut cerita lisan Karo berasal dari Kelasen (Pakpak) berasal dari Lingga Raja di Pakpak. Sementara itu ada juga marga-marga Pakpak yang berasal dari Toba menetap di Tanoh Pakpak dan menjadi Raja Kuta seperti marga Kabeaken dari Habeahan (Pasaribu), marga Lembeng (Limbong), Sagala, Kaloko (Haloho), dan lain-lain.
Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pakpak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian besar yang disebut Suak, yaitu:
Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Simsim meliputi wilayah Salak, Situje, Situju, Kerajaan, Pergetteng-getteng Sengkut, Tinada dan Jambu. Marga-marganya antara lain Berutu, Padang, Solin, Cibro, Sinamo, Boang Manalu, Manik, Banurea, Sitakar, Kabeaken, Lembeng, Tinendung dan lain-lain.
Pakpak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak ulayat di wilayah Sidikalang, Siteelu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-Pungga, Tanoh Pinem, Parbuluan, Lae Hulung. Adapun marga-marganya yaitu Angkat, Bintang, Capah, Ujung, Berampu, Pasi, Maha, dan lain-lain.
Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Pegagan meliputi Sumbul, Tiga Baru, Silalahi, dan Tiga Lingga. Adapun marga-marganya yaitu Lingga, Matanari, Maibang, Kaloko, Manik Sikettang, dan lain-lain.
Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Kelasen meliputi wilayah Parlilitan, Pakkat, Barus dan Manduamas. Adapun marga-marganya misalnya Tinambunan, Tumangger, Turuten, Maharaja, Pinayungen, Anak Ampun, Berasa, Gajah, Ceun, Meka, Mungkur, Kesogihen dan lain-lain.
Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Boang meliputi Aceh Singkil yakni Simpang Kiri, Simpang Kanan, Lipat Kajang dan Kota Subulussalam. Adapun marga-marganya misalnya Saraan, Sambo, Bancin, Kombih, Penarik, dan lain-lain.
Adapun marga-marga Pakpak yang hingga kini ada diketahui Penulis, yaitu:
Anak Ampun, Angkat, Bako, Bancin, Banurea, Berampu, Berasa, Berutu, Bintang, Boang Manalu, Capah Cehun, Cibro, Cibero Penarik, Gajah, Gajah Manik, Goci, Kaloko, Kabeaken, Kesogihen, Kombih, Kudadiri, Kulelo, Lembeng, Lingga, Maha, Maharaja, Manik, Manik Sikettaang, Manjerang, Matanari, Meka, Mucut, Mungkur, Munte, Padang, Padang Batanghari, Pasi, Pinayungen, Simbacang, Simbello, Simeratah, Sinamo, Sirimo Keling, Solin, Sitakar, Sagala, Sambo, Saraan, Sidabang, Sikettang, Simaibang, Tendang, Tinambunan, Tinendung, Tinjoan, Tumangger, Turuten, Ujung.
C. Adat Istiadat dan Budaya Pakpak
Masyarakat Pakpak mengenal hubungan Peradatan “Sulang Silima” yang agak mirip dengan “Dalihan Natolu” di masyarakat Toba dan “Sangkep Enggeloh/Rakut Sitellu” di masyarakat Karo. Adapun unsur sulang silima itu adalah:
Sukut;
Dengan sebeltek Si kaka-en (Saudara sekandung yang lebih tua)
Dengan sebeltek Si kedek-en (Saudara sekandung yang lebih muda)
Kula-kula/ puang (Kelompok pihak pengantin perempuan)
Berru (Kelompok pihak pengantin laki-laki).
Ada beberapa jenis Upacara Adat masyarakat Pakpak dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1. Kerja Njahat (Upacara Dukacita)
Misalnya Upacara Kematian (males bulung simbernaik, males bulung buluh, males bulung sampula), Upacara Mengankat Tulang Belulang (mengokal tulan) dan Upacara Membakar Tulang Belulang (menutung tulan).
2. Kerja Baik (Upacara Sukacita)
Misalnya Upacara Kehamilan (memerre nakan pagit), Upacara Kelahiran (mangan balbal dan mengakeni), Upacara Masa Anak-Anak (mengebat, mergosting), Upacara Masa Remaja (mertakil/sunat, pendidien/baptis, meluah/naik sidi), Upacara Masa Dewasa, Upacara Perkawinan (merbayo) dan Upacara Memberi Makan Orang Tua (menerbeb).
3. Upacara-Upacara Lain
Misalnya Upacara Mendegger Uruk, Upacara Merintis Lahan (menoto), Upacara Memepuh Babah/Merkottas, Upacara Pembakaran Lahan (menghabani), Upacara Menjelang Penanaman Padi (menanda tahun), Upacara Mengusir Hama (mengkuda-kudai), Upacara Syukuran Panen (memerre kembaen).
Masyarakat Pakpak mengenal beberapa bentuk perkawinan, yaitu:
Sitari-tari (Merbayo atau Sinima-nima), merupakan bentuk yang dianggap paling baik atau ideal karena hak dan kewajiban pengantin laki-laki dan perempuan telah terpenuhi.
Sohom-sohom, upacaranya sederhana dan dihadiri keluarga terdekat saja, semua unsur adat terpenuhi tetapi secara ekonomi lebih kecil.
Menama, disini pihak keluarga perempuan tidak setuju, sehingga dicari jalan lain dengan kawin lari, sehingga sebagai tanda rasa bersalah pengantin cukup membawa makanan (nakan sada mbari) sebagai tanda minta maaf dan pada suatu saat nanti mereka akan mengadati.
Mengrampas, artinya mengambil paksa isteri orang lain, sanksi untuk laki-laki adalah membayar mas kawin yang tidak mempunyai batasan.
Mencukung, hampir sama dengan mengrampas.
Mengeke, mengawini janda dari abang atau adik laki-laki.
Mengalih, seorang laki-laki mengawini janda baik bekas istri abang atau adiknya maupun istri orang lain.
Dalam merbayo (Upacara Perkawinan) dikenal beberapa tahapan, yaitu:
Mengirit/ Mengindangi (Meminang)
Mersiberen Tanda Burju (Tukar Cincin)
Mengkata Utang (Menentukan Mas Kawin)
Merbayo (Pesta Peresmian)
Balik Ulbas
D. Kesenian, Kuliner dan Kerajinan Tangan Suku Pakpak
Seni Tari
Moccak - Bela Diri Khas Pakpak
Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” yang dalam Bahasa Toba disebut “Tortor” dan “Bahasa Karo” disebut “ La ‘ndek”. Tarian tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua, Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain. Selain itu, dikenal juga seni bela diri misalnya moccak dan tabbus.
Seni Musik
Kalondang - Alat Musik Tradisional Pakpak
Seni musik yaitu seni alat musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk, Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, Delleng Sitinjo, Lae Une, Nan Tampuk Mas, dan lain-lain.
Sastra
Kesusastraan juga dikenal dalam adat Pakpak, terutama peribahasa dan pantun. Biasanya peribahasa berisi anjuran dan nasihat sedangkan pantun juga berisi anjuran dan nasihat meskipun ada pantun jenaka. Misalnya peribahsa yaitu "ipalkoh sangkalen mengena penggel" artinya dipukul talenan telinga terasa, maknanya yaitu untuk kita selalu menuruti, was-was dan tanggap terhadap nasihat yang berguna yang diberikan oleh orang yang lebih berpengalaman. Contoh pantun yaitu "sada lubang ni sige, sada ma ngo mahan gerrit-gerriten, tah soh mi ladang dike pe, ulang ma ngo mbernit-mberniten" artinya kemanapun kita merantau semoga tetap sehat selalu. Prosa juga lumayan berkembang ditandai dengan banyaknya cerita-cerita legenda yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi seterusnya. Contoh cerita rakyat Pakpak yaitu Cerita Simbuyak-buyak yang dikenal luas dalam masyarakat Kelasen, Cerita Nan Tampuk Mas yang dikenal masyarakat Keppas.
Kuliner
Pelleng - Makanan Khas Pakpak
Jenis-jenis makanan tradisional misalnya Pelleng (ada perbedaan dalam resep dan bentuk serta penyajian dari pelleng Pegagan dan Simsim) nasi yang dilumat dengan sendok dan berwarna kuning, Ginaru Ncor, Nditak (Tepung beras dicampur kelapa parut dan gula putih lalu dikepal dengan tangan), Pinahpah (padi muda yang dipipihkan), Ginustung, Sagun-Sagun (Tepung beras yang digongseng dengan gula pasir dan kelapa parut), Sambal Jeruk (durian yang diasamkan), Ikan Bingkis, dan lain-lain.
Kerajinan Tangan
Kerajinan tangan suku Pakpak sudah dikenal sejak jaman dahulu yaitu dengan adanya Mejan Batu (sejenis patung yang terbuat dari batu) yang terdapat hampir disetiap kuta. Selain itu ada juga “membayu” yaitu menganyam tikar, bakul, kirang (keranjang) dan lain sebagainya yang terbuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sawah. Selain itu kerajina rotan dan bambu juga banyak dikembangkan misalnya kursi, sangkar burung, bubu, tampi, juga keranjang. Kerajinan lainnya yaitu terutama di daerah Kelasen yaitu “meneppa” yaitu pandai besi terutama meneppa golok (pisau dan parang), pedang, kujur (tombak), cangkul, cuncun dan lain-lain.
Pakaian Adat Pakpak
Pakaian Adat
Pakaian adat masyarakat Pakpak cenderung berwarna hitam. Untuk laki-laki (daholi) adalah baju lengan panjang dengan kerah mirip kerah Mandarin kemudian ada garis warna merah pada ujung tangan, pada daerah kancing baju, dan pada daerah lain sebagai tambahan. Untuk penutup kepala dipakai oles (kain adat) yang mempunyai rambu (rumbai) berwarna merah atau kuning yang dibentuk seperti peci dengan rambu kearah samping depan. Celana warna hitam dengan ukuran ¾ dipakai dengan mandar (sarung) sebagai penutup celana. Biasanya laki-laki menempatkan golok (parang) di pinggang sebagai aksesoris tambahan.
Untuk perempuan (perempun) memakai saong (penutup kepala) dengan bentuk “cudur” atau mengerecut ke bagian belakang. Posisi rambu olesnya berada di depan, bajunya juga berwarna hitam lengan panjang dengan hiasan payet berwarna kuning di depan, dibelakang dan dibagian ujung lengan. Untuk rok dipakai oles yang berwarna hitam dan ikat pinggang. Sebagai aksesoris tambahan pada tangan disematkan ucang-ucang (tas kecil) dan pada dada disematkan hiasan berwrna kuning keemasan.
Rumah Adat Pakpak di TMII
Rumah Adat
Rumah Adat masyarakat Pakpak disebut Sapo Jojong, yaitu sebuah rumah panggung terdiri dari ijuk sebagai atap dengan atap yang bertingkat dua. Ornamen utamanya terdiri dari ukiran atau lukisan yang agak mirip dengan rumah adat Karo maupun Toba. Diatas pintu rumah biasanya ada gambar sepasang cicak dan payudara wanita yang melambangkan kesuburan. Bentuk rumah adat Pakpak cenderung mirip dengan rumah adat Karo.
E. Istilah Kekerabatan Pakpak
Istilah Kekerabatan Ego dengan Saudara Inti dan Keluarga Sekandung (Sinina)
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Bapa (Ayah), Inang (Ibu), Kaka/Abang (Kakak lk. Abang), Dedahen/Anggi (Adik laki-laki/adik pr.), Turang (Kakak/Adik pr. ), Mpung/Poli (Kakek), Mpung Daberru (Nenek), Patua (Sdr lk. tertua Ayah), Nantua (Istri Sdr lk. tertua Ayah), Tonga (Sdr lk. tengah Ayah), Nan Tonga (Istri Sdr lk. tengah Ayah), Papun (Sdr lk. termuda Ayah). Nangampun (Istri Sdr lk. termuda Ayah), Inanguda (Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Panguda (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Nan Tua (Sdr pr. Ibu yg lebih tua), Patua (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih tua).
Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Berrunya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Turang (Sdr Pr), Silih (Suami Sdr Pr), Beberre (Anak Sdr Pr), Berru (Anak Pr. Ego), Kela (Menantu Lk), Namberru (Sdri Ayah), Mamberru (Suami Sdri Ayah), Impal (Anak lk Sdri Ayah), Turang (Anak Pr .Sdri Ayah), Mamberru (Mertua lk. Sdri Ego), Namberru (Mertua Pr. Sdri Ego).
Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Puangnya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Puhun (Sdr Lk Ibu), Nampuhun (Istri Sdr Lk Ibu), Impal (Anak Lk/Pr Sdr Lk. Ibu), Sinisapo (Istri Ego), Silih (Sdr Lk Istri), Bayongku (Istri Sdr Lk Istri Ego), Puhun (Mertua Lk), Nampuhun (Mertua Pr), Kalak Purmaen (Menantu Pr), Purmaen (Anak Sdr Lk Istri Ego).
Disadur dari Buku: Aspek-Aspek Kultural Etnis Pakpak (Sebuah Eksplorasi Tentang Potensi Lokal), Penerbit Monora Medan : Lister Berutu, Pasder Berutu, Mariana Makmur. Cetakan Pertama 2002
Sumber:
http://gkppd.blogspot.com/p/hubungi-kami.html
No comments:
Post a Comment