Sulang Silima Bukan Masyarakat Hukum Adat (3)
JARKOMSU - JARKOMSU
Sulang Silima bukan masyarakat hukum adat, bukan organisasi sosial, pun organisasi kemasyarakatan, akan tetapi hubungan kekerabatan dalam satu keluarga luas karena perkawinaan dan kelahiran. Sulang Silima bukan seperti organisasi kemasyarakatan seperti Forum Betawi Rempug di Jakarta.
Sulang Silima analogi dengan hubungan kekerabatan “tolu sahundulan dan lima saodoran” pada masyarakat Simalungun, atau “Dalihan Na Tolu” (tungku nan tiga) di masyarakat Toba. Sulang Silima bukan masyarakat hukum adat sebagaimana disebut UUD 1945 (konstitusi) Pasal 18b, UU No 41/2009 tentang Pengelolaan Kehutanan, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria.
Keberadaan masyarakat hukum adat dilindungi konstitusi dan berbagai peraturan perundangan. Pengakuan diberikan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang bersangkutan, diawali dari kajian ilmiah. Namun demikian pengakuan harus bersumber dari komunitas adat tersebut dengan pemenuhan berbagai kriteria (self identification) dan dari negara (state identification) yang dilegal-formalkan dengan Peraturan Daerah, serta pengakuan komunitas tetangganya. Identitas satu kelompok (Cibro misalnya) tidak boleh diberi sepihak tapi harus ada pengakuan pihak lain, paling tidak komunitas tetangganya selain oleh negara.
KAJIAN HISTORIS
Walaupun Desa Tuntung Batu, tetangganya Desa Bongkaras, diperkirakan sudah didiami marga Cibro abad 16, namun hingga awal abad 20 Desa Bongkaras belum dihuni atau belum berpenduduk. Awal abad 20, seluruh kawasan Desa Bongkaras adalah hutan primer,
tidak berpenduduk. Desa ini pertama didatangi/dihuni Keluarga Pa Mak’el Cibro sekitar tahun 1910-an, diikuti Keluarga Op Mangara Purba Pakpak (sekitar tahun 1920-an), Op Jamula Manik (sekitar tahun 1930-an), Op Lusi Girsang, Op. Nukar Purba, Op Sumarni Girsang, Op Nampe Manik, Op Rumondang Simarmata, Op Eva Simarmata, Op Liston Simarmata, Op Reni Sitepu, dan Op Jaga Sihaloho. Seluruhnya sudah almarhum.
Pembukaan lahan dimulai sejak tahun 1910-an dan lebih intensif sejak kehadiran warga dari berbagai daerah untuk membuka hutan dan dijadikan tempat tinggal sekitar tahun 1920-an. Khusus lokasi yang menjadi lokus kasus (baca : kawasan Perladangan Barisan Manik) telah dibuka tahun 1930-an, dan penyerahan resmi secara adat Pakpak dari keluarga yang lebih dulu mendiami Tungtungbatu (Cibro) tahun 1942 melalui upacara “Rading Berru”.
Sebagai informasi, Purba Tambak dan Cibro berasal dari satu rumpun marga Purba Sigulang batu (keturunan Op. Sotangguan). Hubungan marga inilah mempererat hubungan Cibro dengan Purba ketika itu.
Upacara “Rading Berru” pada masyarakat Pakpak adalah upacara adat pengalihan atau pemberian tanah kepada anak berru (keluarga beristri Cibro) dan/atau kepada marga lain (di luar marga tanoh). Upacara diikuti kedua belah pihak dan diikuti sulang silima-nya. Pihak marga tanoh diikuti kerabat “Sulang silima” demikian kelompok lain melibatkan kerabat sulang silima-nya.
Berdasarkan persfektif adat Pakpak, pemberian tanah dari Cibro (pendatang pertama) kepada pendatang berikut berlangsung melalui “Rading Berru” terjadi dua kali, yang pertama sekitar tahun 1934 di Bongkaras dipelopori Keluarga Sinaga-Manik dan Purba Tambak, dan yang kedua tahun 1942 di Tungtung Batu Lama dipelopori kerabat Manik. Marga Cibro di Bongkaras diwakili keluarga Op Amir Cibro (Pa Mak’el Cibro), sedangkan keluarga Cibro di Tungtung Batu (lama) diwakili Op Saludin Cibro/Op Saidup Cibro.
Pada tahun 1930, Desa Bongkaras mulai ditempati warga bermarga Manik dari Aceh Singkil, Simsim dan Boang. Sebanyak +20 KK keluarga bermarga Manik dan berru-nya menempati daerah sekitar Tungtung Batu (lama) di bantaran sungai Bongkaras berbatasan dengan Desa Bonian. Oleh Cibro, daerah itu dinamai Barisan Manik karena daerah itu dihuni oleh Manik dan berrunya. Kawasan tersebut ketika itu masih hutan primer dan sekunder. Hanya terdapat 4 (empat) keluarga Cibro menempati Tungtung Batu (lama), yakni kerabat Op. Saludin Cibro/ Op. Saidup Cibro, selain beliau sebagai sesepuh Cibro juga sebagai partaki (kepala kampung).
Sesuai adat Pakpak, untuk mendapatkan tanah, setiap pendatang baru harus minta izin dari marga tanoh dan partaki melalui upacara adat “rading berru”. Maka sebanyak 20 keluarga yang bermarga Manik didampingi kelompok sulang silima-nya melaksanakan kewajiban “rading berru” yang diterima oleh keluarga Op Saidup Cibro didampingi sulangsilimanya.
Sesuai adat Pakpak, penyerahan tanah melalui “radding berru” adalah syah dan tidak boleh dibatalkan/diganggu-gugat sepihak oleh generasi penerusnya atau pihak lain. Semua harus konsisten menerima dan menjalankan keputusan adat karena sudah melibatkan seluruh kerabat (sulang silima) dalam keputusan tersebut.
Upaya pembatalan sepihak keputusan “radding berru” oleh kelompok Cibro pada generasi 3, 4 bahkan 5 (kelima) sekarang adalah penghiatanan keputusan sulang silima leluhurnya, atau penghianatan terhadap adat Pakpak itu sendiri, dan melukai perasaan keturunannya.
Warga bermarga Manik yang mengikuti acara adat “rading berru” terdiri dari keluarga-keluarga bermarga Manik disertai berru-nya, yaitu: Pa Turut Manik, Pa Usen Padang, Kel Pa Emban Berrutu (3 keluarga), Keluarga Sitanggang, Manik (Sibolga), Pa Banjir Manik, Pa Lukkas Manik, Op Moko Manik, Orangtua Asam Manik, Op. Tomas Manik (Ruas Manik), Op. Rensus Manik, Op Lantas Manik, Op Pince Manik, Op Asam Manik, Op Ater Munthe, Op Mawar Manik, Op Lantas Boru Manik (seluruhnya sudah almarhum kecuali Op Lantas Boru Manik). (bersambung ke-4)
JARKOMSU -
http://suarakomunitas.net/baca/17347/sulang-silima-bukan-masyarakat-hukum-adat-3.html
No comments:
Post a Comment