Ulame Padang Bolak, Not For Sale
Oleh: Asnelly Daulay
Hampir semua daerah di nusantara memiliki makanan khas, baik itu berupa lauk pauk ataupun jenis makanan ringan (kue-kuean). Sumatera Barat dan Jawa Barat tercatat sebagai daerah yang paling banyak mempopulerkan makanan khas daerahnya. Wilayah lain yang tidak terlalu menonjol dalam membuat makanan pengisi perut ini, juga memiliki makanan khas tersendiri yang tidak terlalu beragam jumlahnya.
Demikian juga dengan Padang Bolak, salah satu kecamatan kaya hasil alam di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Di daerah yang dulunya merupakan sabana luas serta dihuni ratusan ribu ternak sapi dan kerbau ini, kini telah beralih landskap menjadi hamparan kebun karet dan sawit. Sebagaimana daerah lain dengan tradisi penggembala yang kental, masyarakat di sini menyukai makanan yang mudah diolah dan dapat disimpan lama.
Dalam menyambut lebaran, hampir setiap rumahtangga di kawasan ini membuat dodol khas Padang Bolak yang lebih dikenal dengan nama ulame. Bahan pembuat ulame sangat sederhana dan mudah diperoleh; gula merah, tepung ketan dan santan pekat. Ketiga bahan tersebut diaduk dengan api kecil hingga kental dan lengket. Ulame tersebut lalu dimasukkan ke kantong terbuat dari anyaman daun ibus (sejenis daun palem hutan) yang sudah dikeringkan.
Yang membedakan ulame dengan dodol buatan Jawa, salah satunya adalah kemasannya yang tidak berobah-robah sejak zaman dahulu kala. Berbeda dengan dodol Garut atau gelamai Payakumbuh yang kini dikemas dengan wadah plastik mungil atau kertas minyak warna-warni, ulame Padang Bolak dibungkus dengan kantong anyaman sederhana. Ukuran kantong tersebut menyamai plastik es dengan ukuran setengah kilogram.
“Dulu ulame dibungkus dengan kantong anyaman berukuran lebih besar lagi, seukuran kantong plastik 2 kilogram. Sejak beberapa tahun terakhir, kami memakai kantong anyaman yang lebih kecil dengan pertimbangan agar mudah dibagi-bagi ke anak atau kerabat yang merantau ke kota,” kata Bou Asnah, 45 tahun, seorang ibu rumah tangga di Desa Gunung Manaon II Kecamatan Padang Bolak Tapanuli Selatan, sambil menunjukkan puluhan kantong ulame yang digantung di sebuah ruangan di rumahnya.
Setiap kali lebaran mendekat, Bou Asnah membuat 30 hingga 40 kantong ulame yang sebagian besar dikirim ke Jakarta, kota dimana ketiga anaknya bekerja dan menuntut ilmu. Teman-teman anaknya menjadi pelahap setia ulame tersebut. Rasanya yang manis dan tidak terlalu berminyak membuat ulame ini disukai.
Sayangnya, ulame Padang Bolak belum dapat menjadi komoditi perdagangan karena penampilannya yang kuno tersebut. Selain itu, ulame Padang Bolak masih bertahan dengan resep aslinya, tanpa modifikasi rasa atau packaging sedangkan dodol lain sudah ditambah ingredient seperti nenas, durian atau sirsak dan diberi bentuk atau kotak yang menarik.
Nampaknya orang Padang Bolak tidak terlalu peduli pada nasib ulame mereka. Bagi mereka, ulame adalah buah tangan, tanda kasih sayang dan persahabatan. Ulame not for sale. Sebagaimana orang Batak lainnya yang tidak terlalu ‘berbakat’ untuk mengolah makanan atau menjadi pengusaha restoran, orang Padang Bolak percaya bahwa rezki mereka ada pada sektor pertanian, peternakan dan perkebunan.
Biarlah ulame Padang Bolak seperti apa adanya saat ini. Yang penting, ulame masih tetap bertahan dan dirindukan terutama setiap kali habis lebaran. (Asnelly Ridha Daulay)
Sumber: http://wisata.kompasiana.com/kuliner/2010/09/26/ulame-padang-bolak-not-for-sale/
No comments:
Post a Comment