Tidak Memenuhi Syarat Juridis (5)
JARKOMSU - JARKOMSU
KAJIAN JURIDIS
Peraturan perundangan, termasuk konstitusi (amandemen UUD 1945) memberi jaminan pengakuan keberadaan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat.
Amandemen UUD 1945 berhasil memasukkan masalah “masyarakat hukum adat” ke dalam konstitusi Pasal 18B ayat (2) sebagai pasal baru, berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Namun penetapan satu kelompok komunitas hukum adat harus sesuai peraturan perundangan dan fakta lapangan (kajian ilmiah).
Sesuai Pasal 67 UU No 41 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kehutanan, masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain:
1) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
2)Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat;
3)Ada wilayah hukum adat yang jelas;
4)Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati,
5)Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilaayh hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Sejalan dengan itu, sesuai Peraturan Menteri Negara Araria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat pada pasal 2 Bab II poin 2 dikatakan, hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:
a. Terdapat kelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum adat tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari;
c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum adat.
Merujuk pada Pasal tersebut, di Desa Bongkaras dan Tungtung Batu tidak terdapat masyarakat hukum adat karena tidak memenuhi syarat esensial dari pemenuhan sebagai masyarakat adat, misalnya tidak terdapat hukum adat pedoman pengendalian tindakan warganya, tidak terdapat tanah ulayat, tidak ada lembaga adat, tidak ada aktivitas adat seperti sidang adat, tidak ada aktivitas adat dalam pengembilan keputusan semua aspek kehidupan, masyarakatnya cenderung ke kosmopolitan tidak paguyuban, dan tidak ada pengakuan dari komunitas tetangganya maupun dari pemerintah dll.
Sesuai Pasal 67 UU No 41/2009, poin 2 disebut “Pengakuan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Masyarakat hukum adat yang telah hilang/degradasi atau memang tidak ada, tidak boleh dihidupkan kembali.
Tidak boleh menghidupkan kembali atau membentuk kembali masyarakat hukum adat (Dr Abdurrahman, Hakim Agung, dalam Seminar Nasional Pengakuan Keberadaan dan Hak Masyarakat Hukum Adat oleh KLH di Jakarta, tgl 3 Desember 2010).
Secara lokal di berbagai daerah di mana terdapat komunitas yang memenuhi kriteria di atas, telah ditetapkan berbagai Peraturan Daerah tentang masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya. Peraturan daerah Kabupaten Kampar No. 12 tahun 1999 tentang Hak Ulayat; Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 31 tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan No. 3 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dan Perda No 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayah Kabupaten Nunukan.
Jika terdapat komunitas adat Pakpak yang memenuhi kriteria (self and state identification), Pemerintah Kabupaten Dairi dapat memberi pengakuan melalui Peraturan Daerah, tentu sesuai pertimbangan ilmiah dan aktual. Sesuai Pasal 63 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH, Pemerintah kabupaten bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemberian pengakuan ini tentu berdasarkan pertimbangan sesuai peraturan perundangan yang berlaku, memenuhi kriteria sesuai pandangan masyarakat dan kajian akademis.
Sesuai uraian di atas, “sulang silima” bukan masyarakat hukum adat. Namun di dalam masyarakat adat Pakpak pasti ada hubungan kekerabatan “sulang silima” sebagai bentukan dari proses pertalian darah dan perkawinan. Karena itu, tidak dimungkinkan untuk mengukuhkan “sulang silima” sebagai kelompok masyarakat hukum adat.
Kalau masyarakat Desa Tungtung Batu dikukuhkan sebagai masyarakat hukum adat itu lebih dimungkinkan, namun tentu saja harus melalui kajian. Sesuai kajian antropologis, hal itu tidak mungkin dikukuhkan karena tidak memenuhi kriteria dasar, misalnya masyarakat tidak mengenal tanah ulayat, tidak dikenal perangkat adat dan sidang-sidang adat, tidak ada hutan adat, tidak ada hukum adat yang benar-benar dijadikan acuan pengendalian tindakan warganya. Masyarakat Tungtungbatu dan Bongkaras hanya mengenal sitem kepemilikan tanah individu bukan komunal (ada satu dua warga yang akhir-akhir ini mencoba berwacana membangun isu hak ulayat). Hukum acuan adalah peraturan perundangan (hukum positif).
Fakta hukum lain bahwa sertifikasi pemilikan tanah dan pengelolaan tanah yang sudah berlangsung hampir satu abad (3-5 generasi) di Desa Bongkaras menjadi pedoman dalam kajian juridis atas kasus ini. Fakta sosial lain adalah kehidupan antar warga masyarakat Desa Bongkaras dan Desa Tungtung Batu selaam ini berlangsung rukun dan harmonis tanpa ada konflik atau friksi apalagi terkait tanah, kondisi ini sudah terbangun puluhan tahun. (bersambung ke-6)
JARKOMSU -
http://suarakomunitas.net/baca/17349/tidak-memenuhi-syarat-juridis-5.html
No comments:
Post a Comment