Batak Menurut William Marsden (3)
(diterjemahkan oleh Maridup Hutauruk)
PEMERINTAHAN BATAK
Pemerintahan Tanah Batak, walaupun dalam hal jumlah berada dibawah kekuasaan tiga atau lebih raja-raja yang berkuasa penuh, secara efektif (sejauh yang kami dapat pastikan setelah berhubungan dengan orang-orang) dibagi dalam sejumlah tak tentu raja-raja kecil, yang pimpinannya, juga berperan sebagai raja, juga kelihatannya tidak tunduk kepada kekuasaan yang lebih tinggi, tetapi masih masuk kedalam suatu komunitas bersama raja-raja lainnya, khususnya dengan orang-orang yang berasal dari satu suku (marga, red.), untuk pertahanan dan keamanan bersama terhadap setiap musuh dari luar. Pada saat yang bersamaan mereka sangat iri bila ada kenaikan pamor dari kekuasaan saudara-saudara mereka, dan untuk hal-hal yang sangat kecil saja sebuah peperangan dapat pecah diantara mereka.
Kekuatan pertahanan diantara kampung-kampung tidak selalu persis sama, dan sejumlah raja-raja memiliki pengaruh besar terhadap lainnya; dan memang demikian adanya, dimana setiap orang bisa memiliki selusin pengikut dan dua atau tiga senjata untuk berdiri sebagai kekuatan yang bebas (independence).
Tanah dari sebuah tempat bernama Sokum memberikan upeti sebagai tanda hormat kepada seorang pemimpin perempuan atau uti (kata uti menurut pemahaman saya mempunyai arti putri, seorang putri raja), yang kekuasaan hukumnya meliputi banyak suku (marga, red.). Cucunya yang menjadi pangeran yang berkuasa, barusaja dibunuh oleh seorang penyusup, dan dia (uti, red.) telah mengumpulkan pasukan berjumlah dua atau tiga ribu laki-laki untuk balas dendam. Seorang agen Perusahaan (Perusahaan Inggris, red.) berangkat melalui sungai kira-kira 15 mil (23 km) dan berharap mampu mengatasi untuk mengakomodir masalah yang mengancam kedamaian di negri itu; tetapi dia diingatkan oleh uti, kalau tidak mendaratkan tentaranya, dan mengambil sikap berpihak padanya, maka dia (agen perusahaan, red.) tidak punya urusan disana, dia (agen perusahaan, red.) diwajibkan menaikkan kembali orang-orangnya tanpa urusan apapun. Aggressor itu mengikutinya pada malam itu dan kemudian melarikan diri. Sepertinya tidak ada terlihat, dari sikap dan sifat orang-orang itu, bahwa seluruh negri pernah bersatu dibawah sebuah penguasa tertinggi.
KEKUASAAN RAJA-RAJA
Raja-raja yang lebih berkuasa memanfaatkan kekuasaannya terhadap kehidupan rakyatnya. Pengikutnya diwajibkan untuk mendampingi perjalanan pimpinannya dan juga dalam hal terjadinya perang, dan apabila ada seseorang yang menolaknya maka dia dikeluarkan dari lingkungan masyarakatnya tanpa diperbolehkan untuk membawa hartanya.
Para pengikut raja yang ikut dalam hal perang dipersiapkan makanan untuk ekspedidi-ekspedisinya, dan memberikan suatu penghargaan untuk setiap orang yang mereka bunuh. Penghasilan dari seorang pemimpin utamanya diperoleh dari denda-denda dalam bentuk kerbau yang diputuskan dalam kasus-kasus kriminal, yang disisihkan untuk dirinya sendiri; dan dari hasil produksi pohon kamfer (kapur barus, red.) dan kemenyan dari seluruh daerah kekuasaannya, tetapi ini tidak secara paksaan diminta dari rakyatnya. Apabila seseorang membayar hutang judi, dia mengambil pajak semaunya yang dia rasa cocok yaitu berupa kuda-kuda atau kerbau-kerbau (belum ada bentuk koin yang berlaku di negri itu), yang dia berlakukan, dan putusannya mengharuskan untuk menerima apa maunya. Mereka dipaksa bekerja pada gilirannya, untuk sejumlah hari di sawahnya.
Ada, -mungkin memang adatnya demikian-, suatu jenis pelayanan untuk kepemilikan tanah orang lain, penyewa tanah terikat kewajiban untuk memberi hormat kepada tuan-tanah dimanapun dia bertemu tuannya, dan menyediakan pelayanan bilamana tuannya datang berkunjung kerumahnya. Orang-orang kelihatannya secara permanen memiliki kepemilikannya, berhak melakukan jual-beli diantara mereka bila mereka sudah saling sepakat. Jika seseorang menanam pohon dan meninggalkannya, tak seorangpun penghuni dikemudian harinya dapat menjualnya, walaupun dia boleh memakan buahnya.
Perdebatan-perdebatan dan pendakwaan-pendakwaan dari segala sesuatu yang terjadi antara orang-orang sekampung dapat diselesaikan oleh seorang pejabat yang ditunjuk untuk itu, dan dari dia disebutkan tidak ada pembiayaan kepada raja. Apabila sekelompok orang diutus ke Teluk untuk membeli garam atau untuk bisnis lain mereka didampingi oleh pengawal yang apabila mencuri secara sadar atas kepentingannya, dan kadangkala menghukumnya langsung ditempat sebagai seorang kriminal atau seorang begajul. Aturan ini terlihat berhasil untuk banyak kasus aturan dan tatasusila.
HAK WARIS
Dinyatakan bahwa Hak-waris untuk menjadi pimpinan tidaklah semata-mata langsung turun kepada anak yang ditinggal mati, tetapi kepada keponakan dari seorang saudara perempuan; dan bahwa peraturan yang diluar kebiasaan itu, yang berkaitan dengan harta secara umum, hal yang demikian juga berlaku diantara orang melayu yang ada dibagian lain dari pulau itu, dan bahkan di Padang negri tetangganya. Yang berwenang untuk ini adalah dari berbagai orang dan tidak berhubungan satu sama lain, tetapi tidak cukup jelas untuk meyakinkan saya untuk mengakui bahwa hal itu berlaku umum dalam prakteknya.
MENGHORMATI SULTAN MINANGKABAU
Walaupun ada suasana kebebasan di Bangsa Batak, dan mereka memandang rendah atas seluruh kekuatan yang mempengaruhi kekuasaannya terhadap masyarakat yang kecil (dalam jumlah, red.), mereka memiliki rasa hormat yang mendalam kepada Sultan Minangkabau, dan menunjukkan kepura-puraan mengakui atas hubungan persahabatannya dan mengirim sejumlah utusan, sungguhsungguh atau berpura-pura, ketika sesuatu muncul diantara mereka untuk maksud pemberian upeti; bahkan sewaktu mengucapkan perkataan yang menyinggung perasaan dan mengancam jiwa mereka, mereka tidak berusaha untuk menolak: mereka beranggapan bahwa hubungan mereka tidak akan pernah lebih baik; bahwa padi mereka akan mendapat hama, kerbau mereka akan mati; bahwa mereka akan tetap dibawah tekanan sejenis mantra untuk merasa bersalah kepada utusan-utusan suci itu.
PERAWAKAN MANUSIANYA
Manusia Batak penampilannya agak lebih rendah dari perawakan orang melayu, dan sifat umum, air muka, rupa dan warna kulit terlihat lebih lumayan (fairer), yang mungkin telah diturunkan dari nenek moyangnya, untuk sebagian besar wilayah, dari laut, tidak secara mendasar semuanya sama.
PAKAIAN
Pakaian mereka biasanya terbuat dari kain katun sederhana yang dibuat sendiri, tebal, kasar, tetapi kuat, kira-kita empat hasta panjangnya, dan dua dipakai di bagian dada, dililitkan dibagian tengah, dengan memakai sejenis selendang di bagian pundak. Pakaian ini terdiri dari berbagai campuran warna, yang menonjol adalah kecoklatan agak merah dan warna biru yang mendekati hitam. Mereka gemar menghiasinya, terutama selendangnya, dengan rambu-rambu dan jalinan benang. Tutup kepala biasanya terbuat dari kulit kayu, tetapi untuk kalangan kelas tinggi memakai pakaian bergaris warna biru dari luar negeri mirip tiruan destar Melayu, dan sejumlah baju yang bercorak bunga-bunga. Wanita muda, disamping lilitan kain di bagian tengah, ada juga kain melilit di bagian dada, dan (sebagaimana tercatat di jurnal Mr. Miller) memakai sejumlah anting-anting dari timah di telinganya, dan juga sejumlah ring tebal yang terbuat dari kuningan dipakai di leher. Pada hari-hari perayaan mereka menghiasi diri mereka dengan anting terbuat dari mas, jepit rambut, oleh karena itu kepala mereka mirip burung atau ular naga, memakai sejenis plat dada yang berbentuk tiga kerucut, dan memakai gelang berlobang di lengan bagian atas, semuanya terlihat seperti terbuat dari mas. Kulit kerang kima, yang banyak terdapat di teluk, dibentuk dan dipakai sebagai gelang tangan, dan terlihat lebih mengkilat daripada gading.
SENJATA
Senjata mereka adalah senjata lantak, oleh karena itu mereka adalah ahli tempa, tombak bambu atau tombak dengan ujung-tombak yang panjang terbuat dari besi, dan senjata samping yang disebut ‘jono’, yang mirip dan digunakan sebagai pedang dibanding sebagai keris. Kotak selongsong peluru diperlengkapi dengan sejumlah rak kecil terbuat dari bambu, masing-masing berisi peluru pengganti. Alat-alat ini dibawa bersama potongan kayu, dan ranjau kecil, yang lebih panjang disambungkan dengan bambu, selempang seperti tempat anak panah di bahu.
Mereka memiliki mesin yang diukir secara cermat dan dibentuk seperti paruh burung besar untuk mengikat peluru, dan lainnya adalah bentuk-bentuk yang aneh untuk tempat cadangan bubuk peluru (mesiu = gunpowder, red.) tergantung di depan. Disebelah kanan tergantung batu-api dan besi, dan juga cangklong (pipa tembakau). Senjata mereka, pelatuknya (untuk menggantungkan potongan kayu) terbuat dari tembaga, peralatan ini diperoleh dari pedagang yang datang dari Minangkabau; Pedang adalah yang mereka buat sendiri, mereka juga membuat sendiri serbuk senjatanya yang diekstrak dari belerang, sebagaimana disebutkan, diambil dari permukaan tanah di bawah rumah yang telah lama dihuni (sehingga secara praktis kurang bersih dan sangat tercemar dengan garam kotoran binatang), dimana kambing dipelihara disitu. Walaupun air tanah disaring, dan selanjutnya menguapkan belerang dan ada ditemukan pada tabung senjatanya.
Standar umum mereka dalam berperang adalah sebuah kepala kuda, darimana melambai-lambai rambut panjangnya atau ekornya, disamping itu mereka memakai baju berwarna merah dan putih. Untuk genderng mereka menggunakan gong, dan dalam aksinya melakukan teriakan-teriakan perang.
PERANGKAT PERANG
Semangat berperang sangat menggebu pada bangsa ini dengan membuat semacam provokasi, dan taktik yang sudah dirancang memang langsung dilaksanakan. Kehidupan mereka kenyataannya berada dalam permusuhan, peperangan, pertempuran yang terus-menerus, dan mereka selalu siap untuk menyerang dan bertahan. Apabila mereka menetapkan untuk merancang melakukan perang tindakan pertama terhadap tantangannya adalah menyerang dengan tembakan, tanpa peluru, kedalam kampung musuhnya. Tiga hari kemudian dikerahkan pasukan gempur untuk mengajukan syarat-syarat penguasaan, dan jika ini masih belum tuntas, atau syarat-syarat itu tak dapat disetujui, pernyataan perang secara syah di deklarasikan.
Unjuk penembakan dengan serbuk senjata adalah aksi menunjukkan asap kepada musuh. Semasa terjadinya peperangan, yang kadangkala berlangsung selama dua atau tiga tahun, mereka jarang bertemu di luaran atau mencoba menyelesaikan perseteruan dengan sebuah perjanjian umum, karena kedua pihak masing-masing mungkin sudah kehilangan selusinan serdadunya yang mungkin sudah menuju kehancuran bersama, merekapun tidak akan pernah mau berjabatan tangan, tetapi menjaga jarak aman, sangat jarang mendekat atau hanya kurang dari jarak tembak saja, kecuali dalam suatu serangan mendadak.
Mereka berbaris dalam satu barisan, dan biasanya menembak dengan gaya berlutut.
Sangat jarang bahwa mereka mengambil resiko untuk menyerang langsung berhadap-hadapan, tetapi mencari kesempatan untuk menciduk musuh yang ketinggalan barisan dan yang sedang lewat di dalam hutan. Satu kelompok dengan tiga atau empat orang akan bersembunyi dekat dengan jalur lintasan, dan bila mereka melihat musuhnya mereka menembak dan segera melarikan diri, menanam ranjau dibelakang mereka untuk mencegah pengejaran. Dalam keadaan seperti ini seorang serdadu akan mampu bertahan dengan sebuah kentang (ubi jalar, red.) per hari, sehingga mereka mendapat keuntungan dibanding Melayu (terhadap siapa mereka selalu berhubungan dalam hal peralatan perang), yang menginginkan disupply dengan lebih baik.
PERTAHANAN
Mereka mempertahankan kampungnya dengan gundukan tanah yang besar sebagai kubu pertahanan, diatasnya mereka tanami dengan semak belukar. Ada dibangun sebuah parit tanpa kubu gundukan tanah, dan pada setiap sisi terdapat tancapan kayu runcing yang cukup tinggi biasanya dari kayu kemenyan. Diseberangnya ditanami pagar yang tak dapat ditembus terbuat dari bambu berduri yang bila sudah tumbuh membesar memiliki kerapatan yang luarbiasa rapat, dan secara sempurnah tampilan sebuah kota menjadi tersamar secara rahasia.
Ranjau-ranjau seukuran panjang untuk badan dan kaki disusun untuk mencegah datangnya bahaya dari penyerangan yang biasanya hampir terang-terangan. Pada setiap pojok dari benteng, sebagai ganti menara atau rumah pengintaian, mereka mencari akal untuk menanam pohon yang tinggi, dimana mereka dapat memanjatnya untuk mematamatai atau sebagai tempat menembak. Tetapi mereka tidak suka tetap dalam posisi bertahan di benteng kampung, karena itu, mereka meninggalkan beberapa orang untuk mengawal mereka, biasanya maju sampai ke tempat yang datar, dan sementara tiarap dan masuk dalam parit-parit.
PERDAGANGAN
Penduduk yang bermukim di pesisir pantai memperdagangkan kemenyan, kapur barus, kayu manis (serbuk emas sepertinya seolah tidak bernilai) untuk dipertukarkan dengan besi, baja, tembaga, dan garam, barang dagangan terakhir adalah seratus ribu bambu setiap tahunnya diambil di teluk Tapanuli. Semuanya ini mereka barter kepada penduduk pedalaman, dalam bentuk seperti yang diuraikan di atas, kemudian dipertukarkan dengan barang-barang mentah dan barang-barang jadi buatan negeri itu, seperti kain tenunan sendiri; sejumlah kecil kain katun yang didatangkan dari daerah pesisir pantai untuk kemudian diperdagangkan kepada penduduk setempat. Yang mereka minati adalah kain berwarna biru untuk tudung kepada dan kain bahan kursi yang bercorak bunga-bunga.
PASAR RAMAI MINGGUAN (Onan, red.)
Waktu yang paling ramai melakukan perdagangan lokal berada di belakang Tapanuli yaitu mengadakan pasar besar, dengan empat tahapan, mereka mengundang keramaian masyarakat membentuk pasar setiap hari ke-4 setiap minggunya sepanjang tahunnya dimana setiap pasar tersebut hanya berlangsung dalam satu hari itu saja. Orang-orang dari masyarakat tahapan keempat memperdagangkan barang dagangannya di satu wilayah tertentu, kemudian dari wilayah tahapan ketiga berfungsi sebagai pembeli. Orang-orang dari tahapan ketiga kemudian memperdagangkan barang-barang tahapan kedua, dan dari tahapan kedua ke tahapan kesatu untuk kemudian selanjutnya memperdagangkannya langsung kepada orang-orang Eropah dan Melayu.
Dalam suasana keramaian pelaksanaan pasar ini, semua bentuk permusuhan diantara kelompok masyarakat secara otomatis tidak berlaku, dan yang terjadi hanyalah bentuk perdagangan semata. Setiap orang yang membawa senjata (jenis senjata kuno) biasanya menyertakannya dengan menggigit dahan hijau dimulutnya sebagai tanda perdamaian. Bila dia masuk ke tempat berlangsungnya pasar, harus mengikuti aturan-aturan dari pimpinan pasar, kemudian mengeluarkan peluru senjata itu di gundukan tanan, untuk kemudian bila nantinya akan pulang, dia akan mengambil kembali pelurunya.
Ada sebuah rumah di pasar itu yang dikususkan untuk tempat bermain judi. Tempat berjualan dibuat berbilik-bilik dikhususkan untuk wanita dibawah naungan barisan pohon berbuah yang biasanya adalah pohon durian, dan satu barisan itu dikhususnya untu wanita. Setiap transaksi dilaksanakan dengan penuh keteraturan dan secara adil; pimpinan pasar biasanya mengamati dari kejauhan untuk memantau bila terjadi kesalah pahaman, dan seorang pengamanan berjaga-jaga dengan senjata tombak untuk menjaga keamanan, sebagai mana layaknya orang yang berperadaban. Saya telah diyakinkan oleh orang-orang yang pernah menghadiri pertemuan mereka bahwa dalam setiap penampilan dan tingkah laku mereka adalah lebih bengis disbanding yang diamati di Rejang dan penduduk Lampung.
Para pedangan dari pedalaman Tanah Batak yang terletak di utara dan selatan, melaksanakan perdagangan ini secara periodik dimana kegiatan yang dilaksanakan dilakukan dengan barter. Mereka tidak asing lagi dengan kawasan ini dan melaksanakan perdagangan ini diberbagai daerah seperti di Batang-kapas dan Ipu. Oleh orang Melayu mereka kegiatan ini mereka sebut onan.
MENAKSIR BERDASARKAN KOMODITI DIBANDING KOIN
Karena tidak memiliki mata uang (koin), semua nilai ditaksir berdasarkan komoditi tertentu. Dalam perdagangannya mereka menghitung dengan tampangs (bentuk bongkahan) untuk kemenyan; dalam transaksi diantara mereka lebih umum dibandingkan dengan nilai seekor kerbau; bahan dari kawat kuningan atau kadang-kadang digunakan manik-manik sebagai medium. Satu galang (gelang, atau ring) yang terbuat dari kawat kuningan diberi nilai setara dengan 1 dollar. Tetapi untuk pembayaran bernilai kecil, garam adalah ukuran yang paling banyak digunakan. Sebuah ukuran yang disebut salup; beratnya kira-kira 1 kg, setara dengan satu fanam atau 2,5 penny (mata uang Inggris, red.); Satu balli, jenis ukuran kecil lainnya, kira-kira senilai 4 keppeng, atau setara sekitar 3/5 penny.
MAKANAN
Makanan yang umum untuk orang-orang kelas bawah adalah jagung dan ubi jalar, sementara para raja dan tokoh-tokoh adalah nasi. Kadang-kadang mereka juga mencampur makanan itu seperti jagung dan beras. Hanya dalam kesempatan tertentu saja mereka menyembelih ternak untuk makanan; tetapi bukan tidak menikmati selera mereka yang tidak segan memakan bagian-bagian dari seekor kerbau mati, babi, tikus, buaya, atau binatang buas lainnya yang mereka jumpai. Sungai-sungai mereka tidak banyak ikannya.
Daging kuda merupakan makanan istimewa, karena itu mereka memeliharanya dan memberikan makanan yang baik untuk peliharaan itu. Ada banyak kuda-kuda di wilayah itu, dan orang-orang Eropah di Bengkulu mendapatkan kuda-kuda dari daerah ini, tetapi bukan yang terbaik diberikan, karena kuda-kuda terbaik digunakan untuk perayaan-perayaan. Menurut Mr. Miller, mereka juga memiliki jenis anjing hitam yang agak kecil dengan telinganya tegak keatas, dimana mereka memeliharanya digemukkan untuk dimakan. Mereka sangat gemar meminum tuak sebagai minuman pada pesta-pesta.
Bersambung —4
Sumber:
http://batakone.wordpress.com/category/batak-menurut-william-marsden/
No comments:
Post a Comment