Oleh; Muda M. Banurea
Pesta, baik kerja njahat maupun kerja baik pasti mengundang keramaian dengan jumlah orang. Sukut, perkaing dan peroles serta undangan lainnya memenuhi akan memenuhi halaman ataupun gedung tempat pesta diadakan. Jumlah orang sebanyak itu, pasti menggiurkan bagi pedagang kecil sehingga tidak mengeherankan jika dalam pesta fenomena pedagang ini ikut meramaikan suasana pesta. Umumnya dagangan yang ditawarkan adalah makanan kecil untuk anak, rokok, amplop, cendol dan makanan kecil lainnya.
Diantara dagangan tersebut terlihat pula Pola (tuak, nira) dan kacang baik rebus maupun gongseng (sinaok). Kedua jenis dagangan ini termasuk jenis yang relatif paling laku. Kacang menjadi konsumsi ibu-ibu (partua ibages) yang ditawarkan hingga ke “blagen” atau meja tempat kedua sukut (peranak dan perberru). Sementara pola, ditawarkan dengan menyediakan meja kecil dengan beberapa unit kursi panjang, dan terlihat selalu ramai.
Ada hal yang mungkin seringkali terlihat secara kasat mata, tetapi kurang menjadi perhatian kita. Bahwa dalam pestanya orang Pakpak dagangan pola masih belum populer, dan lambat perkembangannya. Artinya pedagang pola masih jarang muncul. Dalam konteks minuman substitusinya adalah cendol. Yang paling dinikmati dan laku adalah kaccang. Sementara umumnya dalam pesta orang “tebba” yang terlihat laris adalah pola (tuak).
Setidak-tidaknya di Salak (Simsim) fenomena pola belum terlihat, tetapi penjual kaccang umumnya lebih dari satu orang atau pedagang. Ada yang duduk, ada pula yang berkeliling diberbagai kerumunan. Barangkali kita juga mengabaikan bahwa hal ini tentu memiliki korelasi dengan peserta pesta. Pola atau tuak laku karena tentu dipastikan banyak peminat dan sudah pasti mereka umumnya adalah kaum lelaki (partua ibale). Sedangkan “kaccang” menjadi konsumsi partua ibages, makanan penyerta “kombur” atau pembicaraan yang timbul pada suasana pesta. Kecenderungan ini memiliki koneksitas yang sarat makna. Jika hal itu disandingkan dengan fakta kehadiran para pihak dalam pesta, maka yang ada bahwa dalam pesta orang “tebba” bukanlah hal yang luarbiasa atau lazim adanya, jika “partua ibalenya” atau kaum lelakinya relatif besar atau banyak. Sedangkan dalam pesta orang Pakpak, yang hadir umumnya kaum partua ibages.
Kecenderungan demikian agaknya kini mulai memasuki fase mengkhawatirkan. Pestanya orang Pakpak kini krisis kaum lelaki. Apalagi jika dia adalah pihak puang/kula-kula yang tentu diharuskan membawa “haliu” yang setidak-tidaknya terdiri dari kembal, blagen, beras pihir dengan bakanya tersendiri dan manuk (ayam) ditambah lagi kemungkinan lemmang dan kupulen nditak. Seperangkat haliu ini dipandang agak memberatkan terutama bagi kaum lelaki. Oleh karenanya yang ditugaskan umumnya adalah kaum perempuan. Pada sisi kita menjadi berru yang dibawa ke pesta memang “oles” (mandar) dan riar (uang), tetapi pulangnya juga akan menerima haliu dengan perangkat yang disebut terdahulu yang diterima dari kula-kula. Bisa dibayangkan jika perangkat itu harus dibawa oleh kaum lelaki, seringkali dianggap kurang jantan (macho).
Keadaan ini mungkin menjadi salah satu penyebab minimnya kaum lelaki yang datang pada pesta Pakpak. Sekali lagi ini baru kemungkinan, sebab tentu akan ada beberapa faktor penyebab lainnya. Sukut yang duduk ditakal blagen, baik unsur perberru dan peranak dari kaum lelaki menjadi terbatas, demikian pula dari unsur puang (kula-kula), konon lagi berru sebab tenaganya dibutuhkan sebagai perkebbas. Sebagai perkebbas tentu tidak memungkinkan baginya untuk duduk ditakal blagen. Kecuali salah satu atau dua sebagai perwakilan, itupun bertugas sebagai pengantar haliu dikedua belah pihak yang “merulaen”. Dibarisan pertama hanya terlihat beberapa orang lelaki, konon lagi barisan kedua dan seterusnya bisa jadi “manihan” kaum perempuan. Jikapun dalam kondisi tertentu ada banyak kaum lelaki, tetapi dalam praktek sehari-hari mereka cenderung bergrombol diluar gedung, atau sedikit jauh dari halaman pesta. Bisa jadi di lapo atau dirumah tetangga.
Akibat lainnya kemudian, bahwa sodip atau pasu-pasu dari unsur perberru sebagai pihak kula-kula, atau unsur kula-kula lainnya kini lebih banyak disampaikan kaum perempuan. Meskipun sebetulnya jika diterawang lebih jauh, hal ini tidaklah memuaskan bagi pihak peranak sebagai berru ataupun unsur berru lainnya. Sebab harus disadari bahwa yang menjadi puangnya atau turangnya adalah sang lelaki, sementara peniaren dalam konteks pakpak adalah sinitokor. Artinya jika yang menyampaikan sodip atau pasu pasu adalah turangnya, akan dianggap “seppe” atau “soh pasu-pasui”.Tetapi apa boleh buat, secara masif hal ini harus diterima. Soal kepuasan adalah persoalan lain. Jika hal ini disadari, maka seyogianya kaum lelaki harus berpikir dua kali untuk tidak hadir. Tetapi kecenderungan menggampangkan kondisi itu barangkali lebih terlihat kini dalam benak kaum lelaki Pakpak.
Oleh sebeb itu, tidak mengherankan pula jika dalam “mengerana” atau “maing rana” atau memberikan sambutan, penyempaian pesan dan nasehat dari kula-kula kini partua obages jauh lebih mahir dibanding partua ibale. Karena lebih terbiasa dan terlatih disebabkan intensitas kehadiran dalam pesta. Proses belajar lebih dimilki kaum perempuan dibanding kaum lelaki. Dan jikapun partua ibalenya hadir, kini semakin sering yang menyampaiakn pesan atau petuah adalah kaum perempuan. Satu fenomena yang perlu dikaji lebih jauh, agar pesta Pakpak tidak menjadi pestanya kaum perempuan. Atau barangkali ini sudah menjadi kesepakatan kita, atau membiarkan kecenderungan ini menjadi satu hal yang biasa dan menjadi paten.
Penulis adalah Wkl Pimpinan Umum Bulletin Rintis Prana)
Sumber:
http://bulletinpakpak.wordpress.com/2012/05/05/fenomena-pesta-antara-pola-dan-kaccang/
Mengenal kerajinan Pada Masyarakat PakPak
yaitu:
Kerajinan dengan bahan baku bambu
1. Bubu (perangkap ikan)
2. Nderu (tampi)
3. Tarum (Atap)
4. Kettuk (Alat musik)
5. Sordam (Alat musik
6. Suling (Alat musik)
7. Sukul golok
8. Senduk
9. Sunun
10. Sanggak
Kerajinan Dari Bahan Baku Rotan
1. Kirang (wadah)
2. Durung (Penangkap ikan)
3. Curu-curu (Wadah kopi dan kemenyan)
4. Temburen (tempat penampung ikan)
5. Kendang (wadah memetik padi)
6. Appang (wadah kemenyan)
Kerajinan dengan Bahan Baku Kayu
1. Okir kayu (seni ornamen)
2. Butar atap dari kayu
3. Kalondang (alat musik)
4. kebben
5. Palung
6. Para (tempat pengasapan di dapur)
7. Sukul golok
8. Ngean
9. Sukul pangkur
Kerajinan dengan Bahan Baku Pandan dan Sejenisnya
1. Kembal (Sumpit adat)
2. Silampis (Sumpit adat)
3. Perdakanen (Sumpit Temapat Nasi)
4. Tempusen (sumpit tempat padi)
5. Peramaken
6. Dingding Ulu
Kerajinan dari Bahan Baku Besi
1. Gung
2. Pongpong
3. Gerantung
4. Golok beddung
5. Golok Candong
6. Rempu riar (golok adat laki-laki)
7. Kerambas
8. Raut
9. Rabi Munduk (Golok adat perempuan)
10. Cuncun
11. Potik (sejenis ani-ani)
12. Penigih
Kerajinan Dari Bahan Baku Emas dan Perak
1. Cimata orom
2. Borgot
3. Kudung-kudung
4. Sembung Rempu Riar
5. Kancing baju
6. Cincin
7. Papuren
8. Tali abak
9. Kujur
Kerajian Dari Bahan Baku Batu
1. Mejan
2. Pengulu Balang
3. Dalikan (Tungku)
Kerajinan Tenun
1. Oles Cuman-cuman
2. Oles Perdabitak
3. Oles Sori-sori
4. Oles Silima takal
5. Gobar
6. Pakken Laklak
7. Sulangat
8. Banto
Kerajinan lain-lain
1. Senduk Sarim
2. Baka Ndilo
Sumber:
http://maitingblogs.blogspot.com/2009/11/mengenal-kerajinan-pada-masyarakat.html
No comments:
Post a Comment