Melayu Dan Batak Dalam Strategi Kolonial
Dr. Perret dari Paris mencatat; orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya (civilized), sedang semua non Melayu dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar bahkan kanibal, diberi label Batak.
“Memang tidak ada yang lebih tabah dari hujan di bulan Juni, ”… dihapusnya jejak keraguan …” di hati nan lara. Ini adalah penggalan puisi penyair Sapto Joko Darmono. Dalam cacatan harian saya Kamis dibulan Juni 1993, di tengah hujan rintik itu, seorang kandidat Doktor dari Sarbon University Paris, Daniel Perret datang membincangkan penelitian desertasinya di ruang kantor saya.
Karena perut telah keroncongan, kami keluar untuk makan siang dan meneruskan diskusi. Karena masalah pokok desertasinya sangat krusial dan sensitif mengenai Melayu dan Batak dalam strategi Kolonial Belanda, dia tampak ragu untuk meneruskan pembuktian hipotesa-hepotesa teoritis yang telah dibangunnya. Ternyata dua tahun kemudian keraguan itu telah sirna, dia berhasil mempertahankan desertasinya dengan gemilang.
Daniel Perret datang kembali ke Unimed 6 Juli lalu, tidak hanya dengan menyandang gelar Doktor di bidang sejarah antropologi, tetapi membawa sebuah buku desertasi Doktornya yang telah diterbitkan Pustaka Kompas (KPG) dengan judul: Kolonialisme dan Etnisitas : Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Buku itulah yang kami bedah dalam Forum Pussis (Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial) Unimed, yang dipimpin Dr Phil. Ichwan Azhari.
Label Melayu dan Batak
Melayu bukan label etnis, dia adalah label budaya. Siapa saja dapat menjadi Melayu, asal dia beragama Islam, beradat istiadat Melayu berbahasa Melayu dan mengaku Melayu. Label Melayu dan Batak menurut Dr.Perret muncul bersamaan pada abad 16. Label Batak ini muncul sebagai pelengkap label Melayu. Orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya (civilized), sedang semua orang yang non Melayu yang berada di pedalaman dan di lembah pegunungan Bukit Barisan dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar dan bahkan kanibal, diberi label Batak.
Istilah Batak ini disebutkan dengan konotasi merendahkan (seakan memiliki stigma/cacat sosial). Khusus mengenai istilah Batak, Daniel Perret menjelaskan bahwa istilah itu bukan berasal orang-orang Toba, Simalungun, Fak-Fak Bharat, Karo atau Mandailing/Sipirok. Label itu datang dari luar khasanah budaya mereka.
Daniel mencatat dari beberapa dokumen bahwa sebutan Batak tidak terdapat dalam sastra pra-kolonial. Bahkan dalam Hikayat Deli (1825) istilah Batak hanya sekali digunakan, sedang dalam Syair Putri Hijau (1924) sama sekali tidak menyinggung Batak atau Melayu. Baik dalam Pustaka Kembaren (1927) maupun Pustaka Ginting (1930) tidak dijumpai kata-kata Batak. Selain itu BS. Simanjuntak mencacat bahwa kata-kata Batak tidak dijumpai dalam Pustaha Toba. Memang dalam stempel Singamangaraja, yang tertera hanya kalimat ”Ahu Raja Toba”, bukan ”Ahu Raja Batak.”
Akan tetapi, kehidupan orang Melayu banyak tergantung pada orang-orang di kawasan dataran dan pegunungan itu, seperti tenaga pekerja untuk mengelola perkebunan, hasil hutan dan istri-istri. Karena label Batak dibawa dari luar, maka dia menjadi sebuah label yang kabur dan menyesatkan (evasive identity). Ketika seorang menganggap orang lain Batak, maka dia merasa lebih tinggi dari orang lain itu.
Perobahan-perobahan sosial ekonomi yang kurang kondusif di Aceh pada permulaan abad XX, menyebabkan kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur mengembangkan ruang budi daya pertanian lada, kopi, gambir dan kapas kedaerah dataran tinggi/pegunungan, maka ruang antara Melayu dan Batak berobah menjadi produksi pertanian yang produktif. Kohesi antara pesisir (sultan-sultan) dan pedalaman (panglima-panglima) ditumbuhkan dalam kelembagaan-kelembagaan ”Datuk Empat Suku.” Proses Melayunisasi dari kelembagaan ini sejalan dengan Islamisasi, sehingga ruang kehidupan orang-orang Batak (uncivilized/tidak berbudaya) menjadi semakin sempit. Akhirnya kelompok-kelompok baru (yang disebut Melayu Dusun) ini, menjadi otonom. Waktu pihak asing datang mereka telah dapat menjalin hubungan langsung tanpa meminta persetujuan Sultan-Sultan Melayu.
Dalam kesempatan berhubungan langsung dengan elit pedalaman ini para kontrolir Belanda yang ditempatkan di dusun-dusun (Simalungun, Karo dan Toba) memperkuat keterpisahan mereka dengan Sultan-Sultan Melayu Pesisir, dan mendorong tumbuhnya perasaan komunitas dan kesadaran etnis sendiri, sebagai orang Batak. Mulai tahun 1888 kontrolir-kontrolir yang ditempatkan di dusun-dusun ditugaskan untuk menangani urusan Batak yaitu membela kepentingan orang Batak berhadapan dengan orang Melayu.
Di samping itu, pemerintah kolonial menciptakan ruang hukum untuk Dusun dan Dataran sebagai ”ruang hukum” Batak, sedang untuk daerah pesisir dimasukkan dalam ruang hukum Melayu. Dengan keterpisahan ini Belanda dapat lebih mudah memancing konflik antara Melayu dan Batak seperti pecahnya perang Sunggal (1872). Di satu sisi perkebunan asing/Belanda menerima konsesi tanah dari Sultan Melayu dengan sukacita, di sisi lain pemerintah kolonial merangang timbulnya protes dari pemilik tanah penduduk asli setempat.
Demikianlah pemerintah Belanda menggunakan label Batak untuk mempersatukan seluruh suku-suku non-Melayu sebagai sebuah identitas etnik. Pemerintah Belanda terus menerus memompakan label Batak dengan penguatan sosio-geografis tertentu, nilai-nilai adat budaya dan kemudian agama Kristen. Sehingga keterpisahan kawasan Batak dengan Melayu menjadi lebih nyata dan kontras, tidak dalam pengertian budaya (civilized and uncivilized). Tetapi dalam pengertian kelompok etnik Melayu versus Batak.
Untuk mengukuhkan gerakan ini secara akademis, pemerintah Belanda di Universitas Leiden mendirikan Bataksch Institut. Beberapa cabangnya Bataksch Vereeniging didirikan pada lokasi-lokasi tertentu seperti di Tapanuli dengan berbagai kegiatan termasuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, mendirikan museum, opera Batak (Tilhang) yang adopsi dari teater Bangsawan Melayu, menulis adat Batak (yang disusun oleh seorang kontrolir, 1909).
Sementara itu, dibagian Selatan Tapanuli telah berdiri kelompok (Bangsa) Mandailing yang berseberangan dengan kelompok Batak di Utara. Sebagai migran di kota Medan, mereka saling berhadapan pula dalam berbagai polemik wacana mengenai Batak bahkan konflik terbuka (peristiwa Sungai Mati 1920). Orang Mandailing tidak mau disebut Batak karena mereka merasa sudah berbudaya tinggi (civilized), jadi bukan melulu karena masalah geneologis.
Desertasi Daniel Perret ini menyimpulkan bahwa baik istilah Batak maupun Melayu bukanlah label etnik, tetapi label budaya(civilized and uncivilized). Tetapi untuk kepentingan strategi kolonial, pemerintah Belanda telah mampu ”memaksakan” orang-orang Simalungun, Karo, Fak-Fak Bharat dan Toba menerima Label Batak sebagai label kesatuan etnik dan mematahkan jalinan sosial-tradisional antara kawasan pesisir dan pegunungan (Melayu dan non-Melayu). Bahkan menyediakan fasilitas unsur-unsur pembentukan dan penegasan identitas etnis baru itu sebagai orang Batak. Semua itu untuk kepentingan strategi (divide et empera) Kolonial Belanda. Kesimpulan ini disampaikan Daniel Perret dalam bedah buku itu, tanpa keraguan lagi.
( Prof Usman Pelly, PhD : Penulis adalah Antropolog Unimed )
|
Sumber:
http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4322:bau-busuk-mulai-menyengat&catid=38:nasional
Negara (Kolonial) Dan Etnisitas (Tanggapan Untuk Prof Dr Usman Pelly) |
Articles | Opini |
Etnisitas lahir karena didefinisikan dan diredifinisikan, dikonstruksi dan direkonstruksi untuk kepentingan politik dan ekonomi
Harian Waspada (22 Juli/2010) menurunkan tulisan Prof Dr Usman Pelly (UP), Melayu dan Batak Dalam Strategi Kolonial. Tulisan Guru Besar Antropologi ini sebenarnya merupakan ulasan buku Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut yang belum lama ini diterjemahkan dari bahasa aslinya Prancis ke dalam bahasa Indonesia.
Meskipun telah banyak studi tentang kelompok-kelompok etnik di Sumatera Utara, tetapi kajian tentang politik identitas atau formasi identitas etnik seperti yang dikerjakan antropolog Perancis ini belum banyak mendapat perhatian. Belum banyak mendapat perhatian bukan berarti tidak ada. Kajian formasi identitas orang Batak Toba telah dikerjakan Bungaran Antonius Simanjuntak dan Johan Hasselgren, formasi identitas etnik Karo telah ditulis oleh Rita Smith Kipp, etnik Mandailing oleh Usman Pelly dan Abdul Razak Lubis, Budi Agustono menulis disertasinya tentang rekonstruksi identitas etnik Pakpak, sedangkan pembentukan identitas Melayu dalamEast Sumatran perpective telah pula dikaji oleh Lian Kwen Fee. Tulisan ini bukan dimaksudkanmelanjutkan ulasan tentang karya Daniel Perret, tetapi ingin melanjutkan perbincangan dan tanggapan tentang relasi negara (kolonial) dengan etnisitas sebagaimana yang dibentangkan UP dengan menyebutnya sebagai strategi kolonial dalam tulisannya itu.
Jika membaca buku Daniel Perret tampak jelas bahwa batasan etnik orang Batak Toba dan Melayu di Sumatera Utara merupakan konstruksi kuasa kolonial. Tetapi pengkonstruksian etnik oleh kekuasaan kolonial ini tidak saja untuk orang Batak Toba dan Melayu, melainkan juga terjadi bagi kelompok-kelompok etnik lainnya di wilayah koloninya. Sebutan Batak misalnya, merupakan an invented concept, konsep yang ditemukan atau diciptakan, bukan genuine dari masyarakat yang bersangkutan.
Dalam teks kolonial orang Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak dimasukkan dalam sebutan Batak. Di pihak lain kelompok-kelompok etnik ini sudah lama mendekonstruksi dirinya dengan menyatakan diri bukan Batak. Ketika Sisingangaraja XII melakukan pembangkangan atas kekuasaan kolonial, perlawanannya disebut sebagai perang Batak. Demikian pula sewaktu orang Karo yang memprotes dan membakar kongsi-kongsi perkebunan yang pecah menjelang akhir abad ke sembilan belas itu dalam narasi besar kolonial disebut Batak oorlog, perang Batak, padahal orang Karo menolak dikatakan sebagai Batak.
Sampai sekarang menurut kepustakaan Batak (Toba) orang Mandailing, Angkola, Simalungun, dan Pakpak asal usulnya berasal dari keturunan si Raja Batak. Dalam batas-batas tertentu sebutan Batak memunculkan problematik dalam menjelaskan Batak (Toba) dengan kelompok etnik lainnya.
Etnisitas bukan sesuatu yang given, tetapi ia merupakan hasil rekaan dan temuan. Etnisitaslahir karena didefinisikan dan diredifinisikan, dikonstruksi dan direkonstruksi untuk kepentingan politik dan ekonomi. Dengan lain kata, etnisitas adalah hasil dari konstruksi sosial dan sebagai konsekuensinya ia sangat cair dan dinamis. Pada masa kolonial, negaralah yang mendefinisikan dan mengkonstruksi batasan-batasan etnik di wilayah koloninya.
Pengkonstruksian batasan kelompok etnik dilakukan oleh aparatus kultural negara kolonial melalui pejabat-pejabatnya mulai dari kontrolir, asisten residen, residen sampai kalangan etnograper dan misionaris yang sering kali memegang jabatan dalam birokrasi kolonial. Para aparatus kultural kolonial ini secara teratur membuat laporan atau tulisan tentang keadaan sosial, budaya, ekonomi, adat istiadat, termasuk stereotipe-stereotipe atau pelabelan masyarakat.
Dalam teks kolonial kelompok etnik yang ada di wilayah tertentu sering dideskripsikan mempunyai perilaku negatif. Pelabalen atau stereotipe yang dilekatkan demikian ini membuat kelompok-kelompok etnik terpecah, rendah diri, dan memandang penguasa (kolonial) lebih tinggi di mata masyarakat setempat. Pelabelan etnik yang dilukiskan dalam teks-teks kolonial lama kelamaan dianggap sebagai kebenaran. Tetapi terlepas dari itu, tulisan dan laporan dari aparatus kultural kolonial yang sekaligus menjadi pejabat pemerintahan inilah yang dipakai sebagai pijakan dalam membuat kebijakan-kebijakan politiknya di wilayah koloninya.
Seturut dengan pengkonstruksian etnisitas, untuk memudahkan kontrol politik, para aparatus kultural kolonial ini menentukan atau membuat batasan-batasan teritorial sebuah kelompok etnik. Pada awal abad ke dua puluh, etnik Pakpak yang terdiri dari suak Pegagan, Keppas, Simsim, Kelasen, dan Boang yang sebelumnya berada dalam kesatuan teritorial tanoh Pakpak, oleh pemerintah kolonial ke lima sub etnik Pakpak ini dipecah dan dimasukkan dalam wilayah administratif yang berbeda-beda.
Suak Pegagan, Keppas, dan Simsim disatukan ke wilayah tanoh Pakpak, suak Kelasen digabung ke Bataklanden, sedangkan suak Boang dimasukkan ke Keresidenan Aceh. Partisi wilayah yang demikian ini oleh negara kolonial tidak saja semakin memperpendek tangan kekuasaan kolonial menjangkau tanoh Pakpak, tetapi juga melemahkan batasan etnik dan batasan teritorial orang Pakpak sebagai kelompok etnik.
Selain itu dalam konteks yang lebih luas untuk pelanggengan kekuasaan yang ditopang olehkebijakan-kebijakan politik dan ekonominya yang diskriminatif dan rasialis, negara kolonial menempatkan antara satu ras atau kelompok etnik dengan lainnya tidak dalam posisi setara. Orang Belanda/Eropa berada di puncak struktur masyarakat, Timur asing/Tionghoa ditempatkan di tengah, sedangkan pribumi berada di strata paling bawah.
Sebagai turunan dari kebijakan yang diskriminatif dan rasialis seperti ini, di sektor ekstraktif colonial para buruh yang menjadi mesin penggerak perekonomian dikelola berdasarkan ethnic division of labor yang pekerjaannya disesuaikan dengan garis etnik. Sebelum kemerdekaan di sektor ekstraktif kolonial di Sumatera Utara, orang China bekerja sebagai pembuka hutan, orang Tamil membuat jalan, sedangkan orang Jawa dipekerjakan sebagai penanam tanaman ekspor.
Di Malaysia orang China terserap dalam sektor pertambangan, Tamil bekerja di perkebunan, sedangkan Melayu sebagian besar mengerjakan sektor pertanian. Sementara itu penduduk asli Sumatera Timur dan Malaysia yang menolak bekerja di sektor ekstraktif kolonial dalam teks-teks kolonial dikatakan sebagai pemalas. Penerapan ethnic division of labor yang ketat dan kaku ini dikemudian hari menyebabkan masyarakat mengalami pembelahan sosial dan kultural.
Masih terkait dengan kebijakan politik yang diskriminatif antara Jawa dan luar Jawa sebagai dampak dari derajat eksploitasi yang berbeda-beda, antara ke dua wilayah ini mengalami pembelahan regional. Setelah Indonesia merdeka, pembelahan sosial, kultural, dan regional yang merupakan warisan kolonial, mengundang ketegangan sosial dan politik yang mewujud dalam pergolakan politik pada tahun 1950-an.
Menguasai
Negara kolonial telah runtuh pada akhir tahun 1940-an, tetapi kekuasaan berikutnya, terutama setelah Orde Baru berkuasa di atas reruntuhan pembantaian manusia tahun 1965, negara memainkan peran kunci dalam mendefinisikan dan merekonstruksi etnisitas. Sepanjang lebih dari tiga dekade lamanya, kelompok etnik mana yang diasingkan dan tidak diasingkan atau siapa yang dimarginalkan dan siapa yang tidak dimarginalkan dalam sistim politik sangat bergantung kekuasaan. Pada masa ini negara juga terlibat dalam membentuk identitas etnik.
Keterlibatan negara dalam konstruksi identitas etnik ini dapat dilihat dari dari apa yang dialami salah satu sub-etnik Dayak di Kalimantan Timur. Cara negara melemahkan identitas Dayak dilakukan lewat pengabaian hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya orang Dayak sebagai penduduk asli sehingga mereka tidak mempunyai tawar menawar dalam mengelola kekuasaan lokal. Bahkan orang Dayak yang tadinya hidup turun temurun di sekitar hutan semakin tersingkir akibat hutan dikapling- kapling dan hasilnya diekstraksi ke luar dari tanah leluhur mereka.
Ekstraksi ekonomi ini menyebabkan orang Dayak menjadi miskin dan mengalami dislokasi sosial. Tetapi, di tengah eksploitasi sumber daya ekonomi dan politik yang melahirkan ketidakberdayaan, negara amat gencar mempromosikan pariwisata dengan cara mempertahankan eksotisme dan orisinilitas kultural orang Dayak. Di satu sisi kehadirankehidupan sosial dan politik orang Dayak dilemahkan, di sisi lain negara berkeinginanmenghidupkan kembali dan mempromosikan kebudayaan Dayak melalui pariwisata.
Relasi antara negara (kolonial) dengan etnistitas merupakan relasi yang tidak netral. Negara baik secara samar maupun terang-terangan senantiasa ingin tetap mengawasi, memecah, dan menguasai kelompok-kelompok etnik. Di banyak negara etnisitas masih dianggap sebagai ancaman, malah kehadirannya seolah-olah dianggap tidak ada. Oleh karena di mata negara menjadi ancaman, negara acap melakukan tindakan represif untuk menekan keberadaan kelompok etnik.
Namun ada pula negara yang membela dan melindungi kelompok etnik tertentu, tetapi melalui kelompok etnik yang dilindunginya negara memanfaatkan atau membiarkan kelompok etnik tersebut melakukan pembersihan kelompok etnik lainnya yang berada di wilayah kekuasaannya. Di republik ini sesudah kejatuhan rezim Orde Baru, para wiraswatawan politik di berbagai daerah secara kasat mata mengorganisasi, memanipulasi, dan memobilisasi sentimen etnisitas untuk tujuan ekonomi dan politik, termasuk memperebutkan kekuasaan lokal.( Budi Agustono : Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU )
Sumber:
http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&%3Bview=article&%3Bid=4704%3Anegara-kolonial-dan-etnisitas-tanggapan-untuk-prof-dr-usman-pelly&%3Bcatid=59%3Aopini&%3BItemid=215
|
No comments:
Post a Comment