Dua Arus Besar
Migrasi Leluhur ke Nusantara
Kamis, 7
Agustus 2014
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTAFosil manusia purba di pamerkan pada Pameran
Road Show Museum Manusia Purba Sangiran di Grand City, Surabaya, Jawa Timur,
Kamis (6/12/2012). Pameran di pusat perbelanjaan merupakan usaha proaktif dari
Museum Sangiran untuk lebih memperkenalkan fosil koleksinya kepada masyarakat
umum.
JAKARTA, KOMPAS.com — Para peneliti
semakin memantapkan dugaan adanya dua arus migrasi besar ke Nusantara yang
menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur
Austro-asiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur
Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu.
Arkeolog prasejarah dari Pusat Arkeologi Nasional,
Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, Austro-asiatik dan Austronesia awalnya
berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik. Bahasa itu
dimanfaatkan masyarakat Yunan, Tiongkok selatan. Bahasa Austrik akhirnya pecah
menjadi dua, yaitu Austro-asiatik dan Austronesia yang kemudian menjadi
penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa.
”Dulu, keduanya berasal dari satu bahasa Austrik,
tetapi kemudian pecah. Bahasa Austro-asiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara
Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di sekitar wilayah kepulauan, seperti
Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah,” tutur dia, Selasa
(5/8), di Jakarta.
Pada 4.300-4.100 tahun lalu, para penutur
Austro-asiatik mulai bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja melewati Malaysia hingga
ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar
berhias tali di kawasan itu yang bentuknya sama dengan tembikar serupa di
selatan Tiongkok hingga Taiwan.
Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus
migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia, mulai dari Sulawesi,
Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, menuju Jawa dan
Sumatera. Arus migrasi itu ditandai dengan penemuan tembikar-tembikar berslip
merah di Indonesia timur juga di Taiwan, Filipina, dan Kepulauan Pasifik. Usia
tembikar itu relatif lebih muda dibandingkan dengan tembikar berhias tali.
”Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar
Tiongkok selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi
ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Ketika penutur
Austronesia tiba ke Nusantara, rupanya mereka lebih bisa memengaruhi penutur
Austro-asiatik sehingga seluruh masyarakat akhirnya berbahasa Austronesia,”
papar Truman.
Leluhur langsung
Leluhur langsung
Di Indonesia, kedua ras mongoloid yang menggunakan
bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.
Truman menegaskan, penutur Austro-asiatik dan Austronesia merupakan leluhur
masyarakat Indonesia langsung tanpa ada keterputusan biologis.
Meski demikian, sebelum keduanya tiba, di Indonesia
sudah tinggal suku bangsa lain, yaitu Australomelanesoid, yang hingga sekarang
hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua.
”Manusia pertama yang masuk Indonesia sekitar 60.000
tahun lalu. Setelah zaman es, terbentuk kehidupan dengan budaya yang berkembang
dengan ciri-ciri khas masyarakat Nusantara, salah satunya ras
Australomelanesoid. Ras Australomelanesoid, sampai 4.000-an tahun lalu,
menghuni kepulauan hingga datang dua penutur Austro-asiatik dan Austronesia,”
ungkap dia.
Bulan lalu, para peneliti Balai Arkeologi (Balar)
Yogyakarta menemukan jejak penutur Austronesia di Desa Tanjungan, Kragan,
Rembang, Jawa Tengah. Mereka menemukan dua kerangka manusia serta perkakas
kebutuhan sehari-hari, seperti bandul jala, paku, dan tembikar.
”Pantura menjadi semacam tempat berlabuhnya migrasi
penutur Austronesia pada masa paleometalik sekitar 500 tahun sebelum Masehi,
sekitar 2.500 tahun lalu,” kata Ketua Tim Peneliti Situs Tanjungan dari Balar
Yogyakarta Gunadi Kasnowiharjo. (ABK)
Sumber:
No comments:
Post a Comment