Negeri Atas Angin dan Negeri Bawah
Angin
Selasa,
2 April 2013 | 14:38 WIB
JEJAK perdagangan ”Negeri Atas Angin” dengan ”Negeri Bawah
Angin” memang sudah sangat tua. ”Jalur perdagangan laut kuno ini telah diukir
dalam relief kapal di Candi Borobudur dan hikayat Seribu Satu Malam,” tulis JC van Leur
dalam Indonesia Trade and Society (1983).
Pencarian rempah-rempah, terutama lada, cengkeh, dan
pala, menjadi pemicu awal perdagangan itu. Seperti disebutkan Ian Burnet dalam
buku Spice Island (2011), pada periode 50 SM hingga 96
M, Pelabuhan Alexandria di Mesir menjadi pusat perdagangan rempah yang dibawa
pedagang India. Dari Alexandria, rempah menyebar ke Jazirah Arab dan Eropa,
terutama ke Romawi. Bagi bangsa Roma kala itu, lada, cengkeh, dan pala merupakan
barang berharga, setara emas dan sutra. Rempah itu tak hanya digunakan untuk
penyedap makanan, tetapi obat segala penyakit, termasuk untuk menambah gairah
seksual.
Tatkala Kaisar Augustus memegang kunci gudang harta
Romawi, dia tak tahu lagi bagaimana menghamburkan emas yang dirampas dari
seluruh daerah di Barat. Permintaannya terhadap rempah dan barang-barang
eksotik dari dunia Timur kian menggila. ”Romawi yang mewah dan bercita rasa
tinggi menginginkan produk-produk eksotik yang sudah langka di India sendiri,”
tulis Bernard Philippe Groslier dalam buku Indocina
Persilangan Kebudayaan (2002).
Karena itu, pelaut-pelaut India, terutama etnis Tamil,
berlayar jauh ke Negeri Bawah Angin untuk mencari produk-produk itu, terutama
emas, batu-batu permata, gaharu, kayu manis, merica, cengkeh, tanduk badak,
hingga gading gajah. Laju pelayaran ke Timur itu sangat tergantung angin
monsun. Angin berembus secara periodik, minimal tiga bulan. Pola antara periode
yang satu dan yang lain akan berlawanan yang berganti arah secara berlawanan
setiap setengah tahun.
Angin barat daya akan melajukan kapal-kapal dari India
ke Nusantara. Namun, begitu tiba di Nusantara, para pedagang ini harus
istirahat sampai berbulan-bulan jika ingin pulang dengan menumpang embusan
angin timur laut.
Awalnya, mereka mendarat di pantai-pantai tak dikenal
yang kosong di Nusantara, terutama di Sumatera yang berada di gerbang Negeri
Bawah Angin. Setelah bersusah payah menembus rawa-rawa, lebat hutan, dan jalan
mendaki, barulah mereka bisa berjumpa dengan penduduk yang kebanyakan tinggal
di dataran tinggi. Mereka harus merayu para penduduk untuk mengerti apa yang
mereka cari dan membayar dengan benda yang mereka sukai. Dan itu memerlukan
waktu bertahun-tahun.
Karena itu, para pendatang itu dipaksa keadaan untuk
mendirikan tempat perdagangan di mana tawar-menawar dapat dilaksanakan.
”Sebagai orang India, mereka melakukannya dengan gaya India. Pertama-tama
mereka harus bertahan hingga musim berikutnya. Namun, bahan makanan tidak
mungkin mereka angkut di dalam palka yang pengap dalam pelayaran yang
berlangsung berminggu-minggu. Karena itu, mereka membuka persawahan di
delta-delta sungai dan lama-lama terbentuklah semacam komunitas dagang,” kata
Groslier.
Jejak perkampungan India kuno di Nusantara itu terdapat
di Barus. Saat ini, Barus hanyalah kota kecamatan yang sepi di pantai barat
Sumatera Utara bersebelahan dengan Singkil di Aceh. Namun, Barus yang pernah
dikuasai Kesultanan Aceh adalah kota pelabuhan tertua di Nusantara. Dalam
karyanya, Geografi,
yang ditulis pada abad ke-2, Ptolomaeus mencatat ”lima pulau Baroussai” yang
menghasilkan kamper (kapur barus) di antara tanah-tanah dari Timur jauh. Claude
Guillot dalam buku Barus
Seribu Tahun yang Lalu (2008)
menyebutkan, nama Baroussai ini dianggap berkaitan dengan Barus.
Dalam buku Kemaharajaan
Maritim Sriwijaya dan Perdagangan Dunia (2011), OW Wolters menulis, karpura atau kapur barus telah disebut dalam
cerita Jataka, Ramayana, juga cerita Milinda-panha. Kapur barus juga disebut
dalam sejumlah kitab tentang penyembuhan karya Caraka, tabib Raja Kaniska dari
Kushan yang berkuasa antara abad ke-1 dan ke-2 Masehi. Hal ini menunjukkan
jejak India di Barus.
Pedagang-pedagang Tamil dari India selatan memang
memainkan peran utama dalam perdagangan kapur barus ke dunia luar. Bukti
keberadaan mereka terungkap dari prasasti batu yang ditemukan di Lobu Tua,
Barus, pada 1873. Prasasti berbahasa Tamil itu kemudian diurai oleh sejarawan
India, KA Nilakanta Sastri, pada 1932. Mengacu pada prasasti bertarikh 1010
Saka atau 1088 Masehi itu, Sastri menyimpulkan bahwa sekumpulan orang Tamil
telah tinggal di Barus, termasuk di antaranya tukang-tukang yang mahir mengukir
prasasti.
Penggalian oleh tim gabungan dari Lembaga Kajian
Perancis tentang Asia (Ecole Française d’Extrême-Orient/EFEO) dan peneliti
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada 1995-2000 menguatkan
jejak pedagang Tamil ini. Claude Guillot (2008) menyebutkan, berat pecahan
tembikar dan keramik yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, mencapai 600 kilogram.
Dia memperkirakan tembikar itu sebagian besar dibuat di India dekat Teluk
Persia sebelum abad pertengahan.
Selain artefak India, juga ditemukan artefak dari
China berkualitas tinggi, yang menurut arkeolog Perancis, Marie-France
Dupoizat, menandakan kemakmuran Lobu Tua. Luasnya jaringan perdagangan Barus
juga ditandai dengan ditemukannya sekitar 1.000 pecahan tembikar asal
Mesopotamia di Timur Tengah dari abad ke-9 hingga abad ke-10, selain juga
temuan lain berupa manik-manik, logam, batu bata, dan mata uang emas.
Namun, sejarah Lobu Tua tiba-tiba terhenti pada abad
ke-12. Tak ada lagi temuan baru di Lobu Tua yang berumur lebih muda. Itu
menandakan peradaban di Barus runtuh secara tiba-tiba. Claude Guillot menyebut,
kehancuran Barus karena serangan gergasi. Berdasarkan dongeng warga lokal,
gergasi adalah sosok raksasa yang datang dari lautan.
Sosok gergasi kerap ditafsirkan para peneliti sebagai
bajak laut. Namun, setelah tsunami menggulung pantai barat Aceh pada 26
Desember 2004, muncul kesadaran baru bahwa bencana alam memiliki kuasa besar
untuk mengubah jalannya sejarah pantai barat Sumatera. Belakangan, Widjo
Kongko, ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Katrin Monecke dari Kent State University,
serta lima peneliti lain menemukan jejak tsunami raksasa yang melanda pantai
barat Sumatera pada 1290-1400. Temuan ini dipublikasikan di jurnal Nature edisi
Oktober 2008.
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
Sony Wibisono, yang turut dalam penggalian di Lobu Tua bersama tim dari
Perancis pada 1995-1998 mengatakan, hampir semua peninggalan purbakala yang
ditemukan terkubur lapisan pasir laut sedalam satu meter, yang menguatkan
kemungkinan terjadinya tsunami besar di masa lalu. ”Tetapi, saat itu kami belum
berpikir soal tsunami,” ujarnya.
Kehancuran Lobu Tua tetap misteri walaupun bukti-bukti
terbaru menunjukkan kemungkinan besar karena tsunami. Namun, sebelum keruntuhan
Barus, beberapa pedagang, khususnya Tamil, agaknya berhasil mencapai dataran
tinggi Sumatera.
Orang-orang Tamil di Lobu Tua kemungkinan mencapai
pedalaman melalui Sungai Simpang Kiri dan Simpang Kanan. ”Yang melalui Sungai
Singkil, ada yang terus ke Alas dan Gayo, dan sebagian ke Karo melalui Sungai
Renun, sedangkan yang melalui Sungai Cinendang masuk ke daerah Pakpak,” tulis
Brahma Putro dalam buku Karo
dari Jaman ke Jaman (1981).
Orang-orang Tamil di Karo, lanjut Brahman Putro,
akhirnya masuk dalam marga Karo, Sembiring dan menurunkan kekerabatan Sembiring
Singombak. Sembiring SIngombak terdiri dari marga-marga Sembiring Berahmana,
Sembiring Oandia, Sembiring Colya, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Keling,
Sembiring Depari, Sembiring Pelawy, Sembiring Bunun Aji, Sembiring Busuk,
Sembiring Muham, Sembiring Meliala, Sembiring Pande Bayang, Sembiring Maha,
Sembiring Teykang, dan Sembiring Kapur.
Penelitian genetika yang dilakukan Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman juga menemukan jejak genetika orang-orang India selatan di
Gayo dan Karo. ”Ada jejak India di genetika orang Gayo dan Karo, selain juga
genetika orang-orang dari daratan Asia (Kamboja dan Vietnam),” kata Herawati
Sudoyo, Deputi Direktur Eijkman.
Herawati menyebutkan, di masa sebelum es mencair,
sekitar 12.000 tahun lalu, migrasi manusia dari Afrika melalui India belakang
telah mencapai Sumatera yang saat itu masih bergabung dengan dataran Asia.
Mereka kemudian menetap dan mencari gunung-gunung tinggi, termasuk ke Gayo dan
Karo. ”Saat itu, budaya mereka masih berburu dan meramu,” katanya.
Begitu es mencair, migrasi manusia dilakukan melalui
jalur neolitik dari utara (Asia Daratan) menuju selatan. Selain jalur dari
Filipina turun ke Sulawesi lalu ke kepulauan lain, juga ada jalur melalui
Semenanjung Malaya lalu ke Sumatera. Nenek moyang ini telah mengenal kemampuan
bercocok tanam. ”Masyarakat Gayo di pedalaman Aceh merupakan percampuran
manusia dari dua jalur ini,” katanya.
Dari segi linguistik, jejak Austronesia dalam bahasa
Gayo, misalnya, terdapat dalam penggunaan istilah mangan yang sama persis seperti bahasa di Jawa
untuk menyebutkan makan. Katamangan juga dipakai orang Kapampangan di
Filipina dengan arti yang sama.
Adapun jejak India bisa dilihat dari penggunaan bahasa
Sanskerta (India lama) dalam kuliner dan perangkat memasak. Misalnya, kata
Sanskerta kundika, yang berarti wadah air dari tanah liat, dalam bahasa Gayo
disebut keni,
dalam bahasa Jawa dinamakan kendi,
dan dalam bahasa Bali menjadi kundi,
sementara dalam bahasa Aceh terdapat variasi berbeda, yaitu geutuyoeng.
Para ahli telah bersepakat, penduduk di Pulau Sumatera
lebih dulu berkembang di pegunungan, baru kemudian bermigrasi ke pesisir. ”...
pertanian paling awal di Sumatera tidak lahir di delta sungai atau dataran
rendah di pesisir seperti yang kita perkirakan, tetapi di lembah-lembah tinggi
di pegunungan Bukit Barisan...,” tulis sejarawan Anthony Reid dalam buku Menuju Sejarah Sumatra ( 2011).
Analisis serbuk sari bebatuan di dasar Danau Toba
(Sumatera Utara) yang dilakukan Bernard Maloney (Possible Early Dry-Land and Wet-Land Rice
Cultivation in Highland North Sumatra, 1996) juga menunjukkan
bukti-bukti bahwa pertanian sawah sudah ada di sekitar Danau Toba sekitar 5.000
tahun lalu. Padahal, menurut Reid, pertanian di pesisir Sumatera baru ditemukan
sekitar abad ke-16 di pesisir sempit utara Aceh.
Walaupun orang Tamil dipercaya lebih dulu berinteraksi
dengan penduduk dataran tinggi Gayo dan Karo, pengaruh kuliner India ternyata
lebih banyak ditemukan di pesisir Aceh dan Medan. Berbeda dengan masakan Aceh
yang kaya rempah dan hampir semuanya bersantan, masakan Gayo dan Karo minim
rempah.
Kedua masakan etnis yang tinggal di dataran tinggi ini
didominasi rasa asam dan pedas dari andaliman—sejenis lada yang hanya ditemukan
di sekitar dataran tinggi Gayo, Karo, dan Batak. Baik orang Gayo maupun Karo
sama sekali tidak mengenal bumbu kari dan tidak menggunakan santan. ”Kayu
manis, cengkeh, dan daun kari tidak dipakai dalam masakan kami,” kata Siti
Fatimah Beru Sembiring (80), pemilik kedai masakan Karo di Medan.
Khazanah masakan Gayo dan Karo, menurut budayawan Gayo,
M Yusrin Saleh (65), lebih dipengaruhi gaya hidup sebagai peladang. Mereka
biasa tinggal di gubuk-gubuk di ladang hingga
berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Karena sibuk bekerja di ladang, orang-orang Gayo tidak punya banyak kesempatan untuk mencari dan mengolah bahan makanan. Akhirnya, mereka memanfaatkan bahan makanan dan bumbu yang ada di ladang, yakni cabai, andaliman, dan asam jering (sejenis jeruk sayur), serta ikan danau untuk memasak masam jing. ”Prinsipnya, makanan Gayo itu gampang diolah, bumbunya sederhana, dan bisa tahan lama,” kata Yusrin.
berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Karena sibuk bekerja di ladang, orang-orang Gayo tidak punya banyak kesempatan untuk mencari dan mengolah bahan makanan. Akhirnya, mereka memanfaatkan bahan makanan dan bumbu yang ada di ladang, yakni cabai, andaliman, dan asam jering (sejenis jeruk sayur), serta ikan danau untuk memasak masam jing. ”Prinsipnya, makanan Gayo itu gampang diolah, bumbunya sederhana, dan bisa tahan lama,” kata Yusrin.
Sejarawan dari Universitas Negeri Medan, Ichwan
Azhari, menduga migrasi Tamil ke Gayo dan Karo di masa lalu berlangsung
bertahap. Itu mengapa orang-orang Tamil yang berpindah ke dataran tinggi
Sumatera akhirnya melebur dalam dominasi kultur lokal. ”Kalau migrasi orang
Tamil terjadi berbondong-bondong dan seketika, pastilah mereka membentuk koloni
tersendiri dan pasti menyisakan jejak kuliner Tamil dalam khazanah kuliner
masyarakat Gayo dan Karo,” kata Ichwan.
Kemungkinan lain, khazanah kuliner Tamil atau India,
yang dibawa masuk di masa awal, belumlah sekaya periode belakangan. Sebaliknya,
khazanah kuliner mereka juga bisa jadi terpengaruh dari temuan bahan-bahan baru
dari Nusantara. Misalnya, penggunaan pala dan cengkeh yang jelas-jelas tanaman
khas Nusantara—cengkeh dari Ternate dan pala dari Kepulauan Banda. Jadi,
interaksi terbentuknya ”kari modern” bisa jadi dua arah.
Pengaruh India yang begitu terasa dalam kuliner
masyarakat di pesisir Aceh diduga terjadi pada periode migrasi lebih belakangan
yang dipicu oleh intensifnya perdagangan antara Kesultanan Aceh dan para
pedagang India. Pada periode ini, para pedagang dan budak yang didatangkan dari
India ke Aceh kemungkinan ada juga para juru masak, terutama perempuan. (Ahmad Arif, Budi
Suwarna, Aryo Wisanggeni Gentong)
Sumber:
http://travel.kompas.com/read/2013/04/02/14383553/negeri.atas.angin.dan.negeri.bawah.angin
No comments:
Post a Comment