SERI MENGUBUR MITOS (2)
ORANG TOBA
Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito
Oleh: Edward Simanungkalit *
Peta
Y-DNA Haplogroup O
Melalui DNA-nya nyata bahwa Orang Toba merupakan
campuran dari: Austronesia 55%,
Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Demikian menurut Mark Lipson (2014:87) dari Massachusetts
Institute of Technology, Cambridge pada Juni 2014 lalu. DNA Orang Toba ini Haplogroup O. Penelitian arkeologi di pesisir timur Sumatera bagian Utara dari
Deli Serdang hingga Lhok Seumawe menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh
telah datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun lalu. Penelitian
paleoekologi juga telah dilakukan Bernard K. Maloney di Humbang, yaitu: Pea
Simsim di sebelah barat Nagasaribu, Tao
Sipinggan di dekat Silaban Rura, Pea Sijajap di Simamora Nabolak, dan Pea
Bullock di dekat Silangit. Penelitian tersebut menemukan adanya aktivitas
manusia di Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Ini jelas aktivitas Orang Negrito, pendukung budaya Hoabinh, dari
ras Australomelanesoid. Penelitian Balai Arkeologi Medan di Samosir menemukan
bahwa para pendukung budaya Dongson masuk ke Sianjur Mula-mula sekitar 800
tahun lalu (+/- 200 tahun). Budaya Toba didominasi oleh kebudayaan Dongson. Pendukung
budaya Dongson merupakan ras Mongoloid dari kelompok kebudayaan Austronesia. Khusus yang datang ke Sianjurmulamula sudah merupakan
campuran Austronesia dengan Austroasiatik sejak dari Asia daratan (Lihat: ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya, dalam http://edwardsimanungkalit.blogspot.com).
Mark Lipson, PhD. dari MASSACHUSETTS INSTITUTE OF TECHNOLOGY melakukan penelitian atas DNA Toba dan hasilnya dilaporkan dengan judul: “New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations” pada Juni 2014. Mark Lipson meneliti penutur Austronesia dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP) berdasarkan data penelitian dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Indonesia.
Austronesia
Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman perunggu
yang berkembang di lembah Song Hong, Vietnam dan secara keseluruhan dapat dinyatakan
sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam. Kebudayaan ini sendiri
mengambil nama situs Dongson di Tanh
Hoa dan berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Masyarakat Dongson
adalah masyarakat petani dan peternak yang handal serta terampil memancing.
Mereka menetap dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung
lebar dan menjulur menaungi emperannya. Masyarakat Dongson juga dikenal sebagai
masyarakat pelaut, yang melayari seluruh Laut
China hingga ke selatan dengan
perahu panjang bercadik dua.
China juga ikut
mempengaruhi Kebudayaan Dongson sehubungan dengan adanya ekspansi China sampai
ke perbatasan Tonkin. Pengaruhnya dapat dilihat pada motif-motif hiasan Dongson
yang mengambil model benda-benda perunggu China. Kesenian Dongson berkembang
sampai penjajahan Dinasti Han
yang merebut Tonkin pada tahun 111
SM. Meski demikian, kebudayaan Dongson kemudian mempengaruhi kebudayaan
Indochina selatan. Benda-benda
arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam yang nampak dari artefak-artefak
kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual. Perunggu adalah bahan
pilihan dalam benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga
dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga,
mata timbangan dan kepala pemintal benang untuk bertenun, perhiasan-perhiasan
termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain yang
diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini di
antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi
garis-garis yang bersinggungan. Karya mereka yang terkenal adalah nekara besar serta patung-patung perunggu
yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson
(wikipedia).
Kebudayaan Dongson, sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, merupakan hasil karya dari orang-orang Austronesia. Kebudayaan masa prasejarah tersebut
tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara daratan, kepulauan Indonesia,
Filipina, Taiwan, pulau-pulau Pasifik hingga kepulauan Fiji. Ke barat,
bukti-bukti tersebut dapat ditemukan hingga pulau Madagaskar, Afrika. Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa
migrasi orang-orang Austronesia terjadi dimulai dengan
berlayar dari China Selatan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan
Filipina. Migrasi Austronesia berlangsung terus hingga mulai memasuki Sulawesi,
Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya, serta mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa itu pula
orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki semenanjung
Malaka dan pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di
Pasifik berlanjut terus hingga awal Masehi. Mereka juga bermigrasi ke Sianjur
Mula-mula, di Negeri Toba.
Austroasiatik
Arkeolog Harry
Truman Simanjuntak mengemukakan pendapatnya, bahwa rumpun bahasa Austronesia
merupakan bagian dari bahasa Austrik. Bahasa Austrik ini berawal dari daratan
Asia, kemudian terbagi dua menjadi Austroasiatik dan Austronesia. Bahasa Austroasiatik
menyebar ke daratan Asia, misalnya Indo-China, Thailand, dan Munda di India
Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan tenggara seperti
Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.
Hasil
penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi
cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austroasiatik
yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang
datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, para penutur
Austroasiatik mulai bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja melewati Malaysia hingga
ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar
berhias tali di kawasan itu yang bentuknya sama dengan tembikar serupa di
selatan China hingga Taiwan.
Kemudian,
pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi
timur Indonesia, mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan,
seperti Nusa Tenggara, menuju Jawa dan Sumatera. Arus migrasi itu ditandai
dengan penemuan tembikar berslip merah di Indonesia Timur, juga di Taiwan,
Filipina, dan Kepulauan Pasifik. Usia tembikar itu relatif lebih muda
dibandingkan dengan tembikar berhias tali. Arus migrasi terjadi setelah
pertanian di sekitar China Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat
hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua
ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar
Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah
menjadi penutur bahasa Austronesia. Meski demikian, sebelum keduanya tiba, di
Indonesia sudah tinggal suku bangsa lain, yaitu Australomelanesoid, yang hingga
sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014).
Adapun yang termasuk ke dalam rumpun Austroasitik, yaitu: Munda-ri,
Khasi-Khmuic, dan Mon-Khmer.
Austroasiatik
Negrito
Negrito ini terdiri dari beberapa
kelompok etnis yang mendiami
tempat-tempat terasing di Asia Tenggara. Populasinya sampai saat ini meliputi
orang Andaman di Kepulauan Andaman, Semang di Malaysia, Mani di Thailand, serta
Aeta, Ati, dan 30 suku lain di Filipina. Genetik Negrito berasal dari Afrika dengan
hubungan genetik langsung. Orang Negrito merupakan penduduk yang paling awal di
Semenanjung Malaka dan merupakan Orang Asli di Malaysia. Orang Negrito ini
lebih dahulu memasuki Sumatera yang merupakan pendukung budaya Hoabinh termasuk ke Humbang di Negeri Toba.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
Negritos dari Asia Tenggara ke New Guinea memiliki hubungan kelanjutan yang
dekat dengan tengkorak Australo-Melanesia. Studi genetik Negrito Filipina
menunjukkan bahwa mereka sama dengan populasi di sekitar Asia dan semuanya
memiliki mtDNA Haplogroup M, kecuali dua kelompok dari Andaman. MtDNA
Haplogroup M ini ditemukan di Afrika Timur, Asia Timur, dan Asia Selatan, yang
menunjukkan migrasi asalnya dari Afrika Timur mengikuti rute pesisir melalui
India dan Asia Tenggara. Negrito ini pernah juga menghuni Taiwan, tetapi
populasinya menyusut hingga sekarang dan hanya tinggal satu kelompok kecil.
Negrito
Penutup
Orang Toba adalah percampuran 2 (dua)
ras, yaitu ras Mongoloid dengan ras Australomelanesoid, sedang DNA-nya terdiri
dari: Austronesia (55%), Austroasitik (25%), dan Negrito (20%). Orang
Austronesia dan orang Austroasiatik sama-sama berasal dari ras Mongoloid,
sehingga ras Mongoloid mencapai 80% di dalam diri Orang Toba dan ras
Australomelanesoid (Negrito) mencapai sekitar 20%. Biasanya ras Mongoloid ini
memiki DNA dengan Haplogroup O, sedang ras Australomelanesoid memiliki DNA
dengan Haplogroup M.
Berdasarkan hasil analisa yang
dilakukannya, maka Mark Lipson (2014:85-86) kemukakan secara spesifik hubungan
genetik Orang Toba sekaligus asal-usulnya sebagai berikut:
We
selected a scaffold tree consisting of 18 populations that are approximately
unadmixed relative to each other: Ami and
Atayal (aboriginal Taiwanese); Miao, She, Jiamao, Lahu, Wa, Yi, and Naxi
(Chinese); Hmong, Plang, H'tin, and Palaung (from Thailand); Karitiana and
Suru(South Americans); Papuan (from New Guinea); and Mandenka and Yoruba
(Africans). This set was designed to include a diverse geographical and
linguistic sampling of Southeast Asia (in particular Thailand and southern
China) along with outgroups from several other continents (Lipson et al., 2013)
(see Methods). We have previously shown that MixMapper results are robust to
the choice of scaffold populations (Lipson et al., 2013), and indeed our findings
here were essentially unchanged when we repeated our analyses with an alternative,
15-population scaffold and with 17 perturbed
versions of the original scaffold.
Lipson
menyimpulkan bahwa Orang Toba merupakan keturunan suku Ami dan suku Atayal dari
suku asli Taiwan (Austronesia), keturunan
suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik),
dan Negrito yang berkerabat dengan Papua. Percampuran antara Austroasiatik
dengan Austronesia tersebut tidak terjadi di Negeri Toba, melainkan terjadi di Asia
daratan di mana Ami & Atayal
merupakan keturunan H’Tin (Lipson, 2015:85-90). Dengan demikian, yang
bercampur di Negeri Toba hanyalah ras Mongoloid (campuran Austronesia &
Austroasiatik) yang datang ke Sianjur Mula-mula dengan ras Australomelanesoid
(Negrito) yang sudah lebih dulu datang ke Humbang dari Teluk Tonkin, Vietnam.
Melalui
penelitian DNA, maka jelas bahwa Orang Toba berasal dari ras Mongoloid yang
merupakan penutur bahasa Austronesia bercampur dengan orang Negrito dari ras Australomelanesoid. DNAnya termasuk
dalam Haplogroup O yang terdiri dari: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito.
Orang Toba bukan dari Hindia Belakang seperti diajarkan selama ini, karena
DNA-nya berbeda. Orang Toba itu juga bukan Israel yang hilang, karena DNA Orang
Toba tidak sama dengan DNA Orang Israel. Akhirnya, asal-usul Orang Toba tadi
berbeda sekali dengan turiturian (folklore) yang diuraikan W.M. Hutagalung dalam
bukunya yang laris-manis: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso
Batak”. *** (01062015).
*Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
TAROMBO ASAL-USUL ORANG
TOBA
Keterangan: Orang Toba berasal dari Mongoloid (Haplogroup O) dengan Negrito (Haplogroup M).
Catatan:
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul:
ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya
Klik di sini
Tulisan ini juga masih berlanjut ke tulisan berikut berjudul:
ORANG TOBA: Bangsa Yang Berjalan Berdasarkan ...
Klik di sini (belum dipublisir)
Tulisan ini telah dimuat di:
LINTAS GAYO Bangkit & Bersatu, Edisi, 17 Juni 2015:
http://www.lintasgayo.com/54933/orang-toba-austronesia-austroasiatik-dan-negrito.html
APA KABAR SIDIMPUAN, Edisi, 17 Juni 2015:
http://apakabarsidimpuan.com/2015/06/orang-toba-austronesia-austroasiatik-dan-negrito/
No comments:
Post a Comment