Friday, August 1, 2025

KONSTRUKSI IDENTITAS "BATAK": Proyek Kolonial-Misionaris dan Kritik H.N. van der Tuuk (1851–1870)

 

KONSTRUKSI IDENTITAS "BATAK"

Proyek Kolonial-Misionaris dan Kritik H.N. van der Tuuk (1851–1870)

 

Abstrak: Artikel ini menganalisis pembentukan identitas "Batak" sebagai konstruksi kolonial-misionaris, menyoroti kritik H.N. van der Tuuk melalui surat-suratnya kepada Nederlands Bijbelgenootschap (1851) dan Gubernur Hindia Belanda (1856). Kritik tersebut menegaskan keragaman bahasa, budaya, dan agama yang diabaikan dalam proyek penyatuan etnis di bawah istilah "Batak". Kajian ini memperlihatkan bahwa identitas "Batak" bukan warisan leluhur tunggal, tetapi hasil kebijakan kolonial dan strategi misi Kristen pada abad ke-19.

---

1. Pendahuluan

Istilah “Batak” kini diterima luas sebagai identitas etnis di Sumatra Utara. Namun, secara historis, penyatuan kelompok seperti Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, dan Simalungun di bawah nama “Batak” adalah hasil konstruksi kolonial dan proyek zending RMG sejak pertengahan abad ke-19. Artikel ini menelusuri bagaimana konstruksi ini terjadi dan bagaimana H.N. van der Tuuk sebagai linguis Belanda mengkritiknya.

---

2. Perubahan Administratif: Dari Tano Toba ke Bataklanden (1853)

Tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan istilah “Bataklanden” menggantikan nama-nama lokal seperti Tano Toba, Mandailinglanden, dan lainnya. Langkah ini memulai proses penyeragaman identitas administratif yang kemudian diperkuat oleh kegiatan misionaris.

---

3. Surat H.N. van der Tuuk kepada NBG (15 Juni 1851)

Dalam surat kepada Nederlands Bijbelgenootschap, van der Tuuk menolak penggunaan istilah “Batak” untuk terjemahan Alkitab karena:

Istilah ini adalah sebutan eksternal (Melayu/Belanda) yang tidak dikenal penduduk lokal. Bahasa Toba, Karo, dan Mandailing berbeda signifikan, sehingga penerjemahan tunggal tidak efektif. Memaksakan “Batak” memperkuat stereotip kolonial tentang keprimitifan dan homogenitas penduduk pedalaman. Van der Tuuk menyarankan penerjemahan terpisah untuk tiap bahasa. Kritik ini diabaikan oleh NBG, yang tetap memilih efisiensi misi dengan satu versi Alkitab.

---

4. Surat H.N. van der Tuuk kepada Gubernur Hindia Belanda (12 Maret 1856)

Dalam suratnya kepada pemerintah kolonial, van der Tuuk kembali mengkritik penggunaan istilah “Bataklanden” dengan alasan:

Tidak ada kesatuan politik dan budaya antar kelompok.

Perbedaan identitas yang tajam: Toba menyebut diri Bangso Toba, Karo sebagai Kalak Karo, dan Mandailing menolak keras disebut Batak.

Bahasa tidak saling dimengerti, seperti Belanda dan Hungaria. Ia memperingatkan dampak kebijakan ini: konflik sosial, kegagalan hukum adat terpadu, dan resistensi lokal. Namun pemerintah tetap mempertahankan istilah ini demi kemudahan administrasi.

---

5. Kritik kepada RMG dan Surat kepada Nommensen (1860-an)

Van der Tuuk juga menulis kepada misionaris RMG seperti L.I. Nommensen, mengecam penggunaan Injil Toba di wilayah Karo dan penyebutan “Batak” untuk semua. Ia menegaskan perlunya menghormati keragaman bahasa dan budaya, serta menolak penciptaan legenda “Si Raja Batak” yang tidak dikenal di tradisi lokal.

“Mengapa Anda memaksakan istilah 'Batak'? Bahkan orang Toba sendiri tidak mengenal 'Si Raja Batak' sebelum misionaris menciptakannya.”

---

6. Ambivalensi dalam Karya van der Tuuk

Meski menolak “Batak” sebagai identitas homogen, van der Tuuk tetap menggunakannya di judul karya ilmiah (misalnya Bataksch Leesboek, Kamus Batak-Belanda). Ini adalah kompromi editorial agar karyanya diterima penerbit kolonial dan tetap memiliki pengaruh akademik.

---

7. Dampak dan Kesimpulan

Protes van der Tuuk diabaikan, dan pemerintah kolonial bersama RMG melanjutkan proyek konstruksi identitas “Batak” melalui sekolah, gereja, dan kebijakan hukum adat. Akibatnya, muncul identitas tunggal “Bangso Batak” yang diterima sebagian besar penduduk Toba, tetapi ditolak kelompok lain seperti Karo dan Mandailing. Surat-surat van der Tuuk menjadi bukti bahwa homogenisasi ini bukanlah warisan leluhur, melainkan konstruksi kolonial abad ke-19.

---

Daftar Pustaka (ringkas)

Van der Tuuk, H.N. (1851, 1856). Surat kepada NBG dan Gubernur Hindia Belanda. Nationaal Archief, Leiden.

Kozok, U. (2009). Surat Batak.

Laporan RMG dan arsip KITLV.

Sibeth, A. (1991). The Batak.

---


HALAK TOBA DAN RAJA TOBA DI TANO TOBA

HALAK TOBA DAN RAJA TOBA

DI TANO TOBA

 

Sebuah narasi sejarah leluhur, bahasa, budaya, dan peradaban Toba sebelum dan sesudah proses "pembatakan" oleh kolonialisme dan zending.

---

PENGANTAR

Tulisan ini bertujuan untuk memulihkan kembali jati diri masyarakat Toba, bukan dalam kerangka ciptaan kolonial bernama "Batak", melainkan sebagai entitas historis dan kebudayaan yang hidup dan berkembang secara mandiri di wilayah Danau Toba sejak ribuan tahun lalu. Identitas Toba mengalami kerusakan mendalam selama sekitar175 tahun terakhir, akibat rekayasa kolonial dan misi Kristen yang meleburkan banyak etnik dan budaya ke dalam satu label buatan: "Batak".

---

1. MIGRASI DAN PERJUMPAAN LELUHUR DI TANO TOBA (PRASEJARAH)

๐Ÿ”ฅ Gelombang Awal: K-M526* (8.500 tahun BP)

Leluhur ras Australomelanesoid datang dari Sundaland pasca banjir besar zaman es.

Mereka masuk melalui muara Sungai Asahan, menetap di Toba Holbung.

๐Ÿ”ฅ Gelombang Kedua: O-M95* (6.500 tahun BP)

Penutur Austroasiatik (budaya Hoabinhian) datang dari Indochina.

Kehadirannya terdeteksi di situs Pea Simsim, Pea Bullok, Pea Sijajap, dan Tao Sipinggan di Toba Humbang. Membawa budaya kapak Sumatralith, berladang berpindah, dan hidup di gua.

๐ŸŒพ Gelombang Ketiga: O-M110, O-P203 (5.000 thn BP), dan O-P201 (4.000-3.000 tahun BP)

Penutur Proto-Austronesia dari Taiwan (O-M110, O-P203) masuk dari Teluk Sibolga ke Toba Silindung. Penutur Austronesia Dongson (O-P201) dari Vietnam Utara masuk dari pantai timur dan menyusuri Sungai Asahan ke Toba Holbung, terus sebagian lagi ke Samosir. Selanjutnya, mereka masuk juga ke Toba Humbang dan Toba Silindung. Mereka menjadi kelompok mayoritas dan membawa bahasa, teknik sawah, dan rumah panggung.

๐ŸŒพ Gelombang Keempat: R-M124 (1.200 – 800 tahun BP)

Penutur Dravida yang datang dari India Barat. Dari India Barat, mereka datang ke Barus  dan selanjutnya terus ke Samosir ke sekitar kaki bukit Pusuk Buhit.

---

2. BAHASA TOBA: EVOLUSI LOKAL DARI AKAR AUSTRONESIA

๐Ÿ—ฃ️  Bahasa Toba sebagai Hasil Perjumpaan Multibudaya

Bahasa Toba terbentuk dalam ruang interaksi panjang antara para leluhur Toba sejak ribuan tahun lalu. Bahasa ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari percampuran tiga warisan utama:

๐Ÿ”ธ Struktur dasar Austronesia Dongson (O-P201)

Menyediakan kerangka tata bahasa, struktur kalimat, dan kosakata pokok. Warisan pertanian, kehidupan rumah tangga, perahu, dan hubungan sosial.

๐Ÿ”น Lapisan Austroasiatik Hoabinhian (O-M95)

Memberi pengaruh pada kosakata ekologi: nama tumbuhan liar, teknik ladang berpindah, dan istilah lanskap.Menambah warna fonologis melalui nasalitas dan pengulangan kata.

๐Ÿ”ธ Substratum Australomelanesoid (K-M526)

Mewariskan ritme bunyi dan intonasi lokal yang tidak selalu ditemukan dalam bahasa Austronesia lainnya. Menambah unsur bunyi unik dan nama-nama tempat yang bersifat lokal.

๐Ÿ“Œ Perkembangan Bahasa Toba Terjadi Sebelum Kedatangan India (R-M124).

Bahasa Toba sudah terbentuk secara utuh sebelum kedatangan kelompok India Selatan sekitar 1.200 - 800 tahun lalu, yang baru menambahkan sedikit kosakata religius dan administratif seperti: raja, parujar, pusuk, debata, boru, dll.

 ๐Ÿ“š Ciri-Ciri Unik Bahasa Toba

Berakar kuat dalam struktur Austronesia barat. Mewakili kedalaman sejarah, dengan pelestarian kata-kata kuno dan konsep asli. Tidak pernah menjadi cabang dari bahasa "Proto Batak", karena "Proto Batak" sendiri adalah konstruksi kolonial linguistik yang tidak berdasar bukti genetika atau arkeologi.

---

3. KEBUDAYAAN TOBA: PERTANIAN, SENI, DAN KOSMOLOGI

๐ŸŽจ Kebudayaan Toba yang Tumbuh dari Alam dan Tradisi Leluhur

Budaya Toba tidak lahir dalam ruang kosong. Ia berkembang dari interaksi intensif antara manusia dan alam Danau Toba, diperkuat oleh warisan budaya Dongson, Austronesia, serta adaptasi lokal yang unik.

๐ŸŒพ Pertanian Berbasis Irigasi dan Kolektif

Halak Toba mengembangkan sistem pertanian sawah berteras yang didukung dengan pengairan kolektif antar huta. Budaya bertani bukan hanya ekonomi, tapi juga ritual dan identitas sosial.

๐Ÿ  Rumah Adat dan Tata Ruang Sakral

Rumah Bolon dan rumah panggung melambangkan kosmologi Toba (atas-tengah-bawah). Tata letak rumah, balai adat, dan lumbung mencerminkan struktur sosial dan simbolisme spiritual.

๐Ÿงต Ulos, Gorga, dan Simbol Dongsonik

Ulos bukan sekadar kain, tapi media simbolik untuk relasi sosial dan spiritual. Motif-motif spiral, matahari, dan binatang diwarisi dari estetika Dongson.

๐ŸŒŒ Kosmologi: Langit Bertingkat dan Dunia Roh

Halak Toba mengenal dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga), dan dunia bawah (banua toru). Ritual kepada leluhur dan alam diwujudkan dalam Bius dan Horja, yang menata hubungan antara manusia, alam, dan roh.

๐Ÿ“Œ Kesimpulan

Kebudayaan Toba adalah hasil peradaban tinggi yang lahir dari simbiosis ekologis dan spiritual. Ia bukan produk belaka dari pengaruh luar, tetapi hasil dari pengetahuan lokal yang terus-menerus diperbarui.

---

4. STRUKTUR SOSIAL TOBA: HUTA, HORJA, BIUS & DALIHAN NA TOLU

๐Ÿ˜ Struktur Sosial sebagai Pilar Kehidupan Halak Toba

Struktur masyarakat Toba berkembang seiring dengan kematangan budaya pertanian dan spiritualitas kolektif. Komunitas tidak hidup terpisah, tetapi terorganisir dalam sistem sosial yang kompleks dan kohesif.

๐Ÿก Huta: Dasar Kehidupan Sosial

Huta adalah satuan permukiman kecil yang dihuni oleh satu atau beberapa  marga. Setiap huta memiliki batas wilayah, rumah adat, dan tempat upacara. Kepala huta berperan sebagai pengatur tanah, adat, dan hubungan antarkeluarga.

๐Ÿฏ Horja: Jaringan Huta dalam Ritual dan Solidaritas

Horja adalah federasi dari beberapa huta yang memiliki ikatan budaya dan upacara bersama. Dalam horja, diselenggarakan acara horja bius, pesta panen, dan upacara kematian besar.

๐ŸŒพ Bius: Sistem Pemerintahan Adat dan Pengelolaan Sumber Daya

Bius adalah kesatuan sosial, ekonomi, dan kepercayaan. Bius mengelola irigasi, pembagian hasil sawah, hukum adat, serta hubungan spiritual dengan alam dan roh leluhur.

๐Ÿ“Š Data Ilmiah: Bukti Paleoekologi Pertanian Toba Penelitian oleh Bernard K. Maloney (1979–1996) di situs prasejarah Toba menunjukkan:

Di Pea Simsim (6.500 tahun BP), ditemukan charcoal dan fitolit panicoid, indikasi pembakaran ladang.

Di Pea Bullok (4.600 tahun BP), peningkatan jumlah spora paku-pakuan regeneratif (seperti Pteridium) menunjukkan pembukaan hutan.

Di Pea Sijajap dan Tao Sipinggan (3.400 tahun BP), ditemukan bukti regenerasi vegetasi pasca-perladangan dan kemungkinan budidaya tanaman.

Hasil ini membuktikan bahwa masyarakat Toba sudah mengenal sistem pertanian ladang sebelum mengenal sistem sawah irigasi.

๐Ÿ”บ Dalihan Na Tolu: Sistem Sosial Tiga Tungku

Sebagai kerangka interaksi sosial dan hukum adat, Dalihan Na Tolu terdiri dari:

1. Somba Marhula-hula – Hormat kepada keluarga pemberi istri

2. Manat Mardongan Tubu – Jaga harmoni sesama saudara semarga

3. Elek Marboru – Kasihi dan layani penerima istri (boru)

⚖️ Dalihan Na Tolu bukan hanya etika, tapi juga sistem distribusi peran, pengambilan keputusan, dan keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.

๐Ÿ“Œ Kesimpulan Struktur sosial Toba adalah sistem adat yang matang dan rasional. Ia lahir dari kebutuhan hidup bersama, pengelolaan sumber daya, dan penghormatan terhadap siklus hidup dan kosmos. Bukti-bukti arkeologis memperkuat bahwa struktur ini tumbuh alami, bukan hasil bentukan luar.

---

5. RAJA TOBA: PARBARINGIN, PEMERSATU, DAN SIMBOL PERADABAN

๐Ÿ—‚ Silsilah Raja Toba (Singamangaraja I–XII)

1. Singamangaraja I – Manghuntal Sinambela (sekitar1540 M)

2. Singamangaraja II

3. Singamangaraja III

4. Singamangaraja IV

5. Singamangaraja V

6. Singamangaraja VI

7. Singamangaraja VII

8. Singamangaraja VIII

9. Singamangaraja IX

10. Singamangaraja X

11. Singamangaraja XI

12. Singamangaraja XII – Pahlawan anti-kolonial, gugur pada 17 Juni 1907 di Dairi

๐Ÿ‘‘ Raja Toba sebagai Puncak Peradaban Adat dan Spiritualitas

Sistem sosial dan spiritual Toba mencapai puncaknya dalam figur pemersatu yang disebut Raja Toba, yaitu Singamangaraja I–XII. Mereka bukan raja dalam pengertian kerajaan feodal, melainkan Parbaringin (pemimpin spiritual dan adat) yang disepakati dan diangkat oleh para pemangku Bius.

๐Ÿ“œ Asal-usul Raja Toba

Sekitar abad ke-15, lahir seorang tokoh bernama Manghuntal Sinambela, yang kemudian dikenal sebagai Singamangaraja I. Ia tidak mendirikan kerajaan baru, tetapi dipanggil dan diangkat oleh masyarakat Bius di Bakkara, berdasarkan pengakuan spiritual dan hukum adat.

๐Ÿ“… Singamangaraja I–XII (sekitar1540–1907 M)

Para Raja Toba ini bukan pewaris darah, tapi pemangku amanah spiritual dan penjaga adat. Mereka menjadi pemersatu antar Bius, pengatur irigasi, pemimpin ritual, hingga penjaga perdamaian. Raja Toba menjadi lambang tertinggi keadilan dan kebenaran dalam sistem Dalihan Na Tolu.

๐Ÿ•Š Simbol Keseimbangan Alam, Adat, dan Leluhur

Tugas utama Raja Toba adalah menyeimbangkan dunia manusia, roh leluhur, dan alam. Ia mengeluarkan keputusan melalui simbol, mimpi, atau pesan dari para parbaringin lainnya.

Konflik dengan Kolonialisme dan Kristen Zending

Mulai abad ke-19, Raja Toba menghadapi tekanan dari dua pihak: kolonial Belanda dan misionaris Kristen. Mereka menolak kristenisasi, mempertahankan Bius, dan mempertahankan wilayah adat. Puncaknya adalah wafatnya Singamangaraja XII tahun 1907, sebagai martir terakhir pertahanan adat Toba.

๐Ÿ“Œ Kesimpulan

Raja Toba bukan hasil sistem feodal atau warisan India, tetapi pemimpin spiritual hasil musyawarah masyarakat Bius. Ia adalah puncak dari struktur adat Toba, bukan titik awal mitos atau kerajaan palsu. Dengan mengenal Raja Toba sebagai Parbaringin, kita mengenal peradaban Toba yang hidup, spiritual, dan menyatu dengan alam.

---

6. PEMBATAKAN: KERUSAKAN PERADABAN TOBA (1853–SEKARANG)

๐Ÿ›‘ Dari Tanah Toba ke Tanah Batak: Awal Proses Rekayasa Identitas

๐Ÿ“… 1853: Tobalanden (Tanah Toba) Diubah Menjadi Bataklanden (Tanah Batak)

Tahun ini menandai dimulainya proyek politik-kultural kolonial: menyatukan berbagai etnik (Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak) dalam satu kategori baru: Batak. Belanda bersama misionaris Jerman dari RMG (Rheinische Missions-Gesellschaft) menghapus nama-nama lokal dan menggantinya dengan istilah Batak.

๐Ÿง  Mitos Si Raja Batak dan Pembentukan Leluhur Fiktif

Tahun 1893, PALE van Dijk mengganti nama tokoh adat lokal Ompu Jolma menjadi Si Raja Batak, menciptakan narasi leluhur tunggal. Diperkuat oleh: WM Hutagalung dalam Pustaha Batak (1926). Lukisan silsilah "Tarombo Si Raja Batak" oleh WKH Ypes (1932)

 ๐Ÿ› Pembubaran Bius dan Struktur Sosial Adat (1915)

Pemerintah kolonial membubarkan Horja-Bius, sistem pengelolaan air, hukum adat, dan spiritualitas kolektif Toba. Digantikan dengan sistem distrik administratif dan gereja sebagai pusat baru pengaruh.

  Zending Jerman dan Penghilangan Identitas Lokal

RMG menyebarkan ajaran Kristen Protestan sambil memperkenalkan narasi leluhur baru. Sekolah-sekolah zending mengajarkan bahwa Halak Toba berasal dari satu tokoh: “Si Raja Batak”. Penolakan terhadap Bius dianggap “paganisme”, dan ritual lokal dipadamkan.

๐Ÿ“‰ Akibat Langsung: Kerusakan Identitas dan Peradaban

Runtuhnya sistem Bius menyebabkan hilangnya pengelolaan kolektif irigasi dan ritual musim tanam. Terputusnya hubungan spiritual dengan tanah, sungai, dan roh leluhur. Terjadinya homogenisasi budaya dan pelabelan paksa terhadap keragaman Toba.

๐Ÿ“Œ Kesimpulan proyek “pembatakan” adalah bentuk kolonialisme identitas. Ia bukan hanya menjajah tanah, tapi juga sejarah, sistem sosial, dan spiritualitas masyarakat Toba. Proyek ini telah menyebabkan kerusakan mendalam terhadap peradaban Toba selama sekitar 175 tahun terakhir.

---

PENUTUP: Toba Harus Dipulihkan

๐Ÿ“ฃ Memulihkan Toba Bukan Sekadar Sejarah, Tapi Tindakan Kultural

Toba bukan Batak. Toba memiliki akar leluhur yang beragam, bahasa yang berkembang mandiri, struktur sosial Dalihan Na Tolu yang unik, dan peradaban agraris religius yang tinggi. Selama lebih dari satu abad, semua itu telah dikaburkan oleh proyek kolonial dan zending Jerman yang menyatukan segalanya ke dalam label “Batak”. Kini, kita tahu dari hasil genetika, arkeologi, linguistik, dan sejarah bahwa:

Toba tidak berasal dari satu leluhur tunggal,

Bahasa Toba tidak diturunkan dari “Proto Batak”,

Peradaban Toba telah ada sebelum “Si Raja Batak” ditemukan oleh kolonial,

Raja Toba (Singamangaraja I–XII) bukan ciptaan mitologis, tapi pemimpin spiritual sah.

๐Ÿ›  Tugas Kita Sekarang:

1. Menyusun kembali sejarah Toba berdasarkan sains dan arsip otentik,

2. Mengembalikan identitas Halak Toba yang asli,

3. Melawan pelabelan yang menyamarkan pluralitas dan kemandirian budaya lokal.

๐ŸŒ„ Toba harus berdiri kembali. Bukan di bawah bayang-bayang mitos kolonial, tapi sebagai bangsa yang punya sejarah, bahasa, dan martabatnya sendiri.

---

GLOSARIUM ISTILAH ADAT DAN ILMIAH

Bius — Lembaga sosial dan keagamaan kolektif masyarakat Toba yang mengatur irigasi, hukum adat, dan upacara ritual bersama antar huta.

Dalihan Na Tolu — Prinsip sosial Toba yang membagi relasi masyarakat ke dalam tiga pilar: somba marhula-hula (hormat kepada pemberi istri), manat mardongan tubu (hati-hati kepada sesama marga), dan elek marboru (kasihi pihak boru/penerima istri).

Debata — Sebutan untuk dewa atau roh dalam kepercayaan asli Toba, seperti Debata Mulajadi Na Bolon.

Gorga — Ukiran atau ornamen khas Toba yang penuh simbol dan makna kosmologis.

Haplogroup — Kategori genetika berdasarkan DNA Y-kromosom yang digunakan untuk melacak asal-usul leluhur laki-laki.

Horja — Federasi huta yang menyelenggarakan upacara adat bersama dalam lingkup budaya dan spiritual tertentu.

Huta — Unit permukiman tradisional masyarakat Toba, biasanya dihuni oleh satu atau beberapa keluarga besar marga.

Kapak Sumatralith — Alat batu besar dari zaman Hoabinhian yang ditemukan di Sumatra dan digunakan oleh penutur Austroasiatik.

Marga — Kelompok kekerabatan patrilineal (berdasarkan garis ayah) dalam masyarakat Toba.

Parbaringin — Imam adat dan tokoh spiritual dalam sistem kepercayaan asli Toba.

Pea Simsim, Pea Bullok, Pea Sijajap, Tao Sipinggan — Situs-situs prasejarah di kawasan Danau Toba yang memberikan bukti keberadaan budaya pertanian dan kehidupan awal leluhur Toba.

Proto-Austronesia — Bahasa leluhur dari rumpun bahasa Austronesia yang dibawa migran dari Taiwan ke wilayah Nusantara sekitar 5.000 tahun lalu.

R-M124, O-M95, O-P201, K-M526 — Kode genetika dari haplogroup Y-DNA yang digunakan untuk menunjukkan asal usul leluhur laki-laki dalam populasi Toba.

Singamangaraja — Gelar untuk Raja Toba (I–XII) yang berfungsi sebagai pemimpin spiritual, adat, dan pelindung Bius.

Tarombo — Silsilah atau pohon keluarga yang menjadi sumber identitas dan legitimasi dalam masyarakat adat Toba.

---

DAFTAR PUSTAKA

Hutagalung, W.M. Pustaha Batak: Tarombo Dohot Turiturian ni Bangso Batak. 1926.

Ypes, W.K.H. Tarombo Si Raja Batak (lukisan silsilah). 1932.

van Dijk, P.A.L.E. (1893). Arsip kolonial Hindia Belanda.

Simanjuntak, Truman. (2002). Arkeologi Prasejarah Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Maloney, Bernard K. (1983–1996). Paleoenvironmental Investigations in the Toba Highlands. Unpublished Research Reports.

Karafet, T.M., et al. (2010). “Major East–West Division Underlies Y Chromosome Stratification Across Indonesia.” Molecular Biology and Evolution, 27(8), 1833–1844.

Sudoyo, Herawati. (2016). Wawancara dan laporan Eijkman Institute. Detik.com dan Historia.id.

Warneck, Johannes. Die Religion der Batak. 1909.

Perret, Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Yayasan Obor Indonesia, 2010.

SBNPro.com. (2019). “Sianjur Mula-mula Berusia 600 Tahun: Penelitian Balai Arkeologi Sumut.”

Taufiqurrahman, S. (2018). Laporan Balai Arkeologi Sumatera Utara, https://balarsumut.kemdikbud.go.id/

---

EPILOG: MENGINGAT UNTUK BERTINDAK

๐ŸŒ€ Sejarah bukan sekadar kumpulan nama dan tanggal, tetapi medan ingatan dan pertarungan makna. Identitas Toba selama hampir dua abad terakhir telah direduksi, diseragamkan, bahkan dikaburkan di bawah satu label kolonial: "Batak". Namun ingatan leluhur tak pernah benar-benar padam. Ia hidup dalam tanah yang dibajak, dalam doa yang dibisikkan, dan dalam rumah-rumah yang masih menata ulos dan gorga sebagai tanda.

๐Ÿชถ Tulisan ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari kesadaran. Bahwa Halak Toba bukan hasil dongeng kolonial, tapi bangsa dengan sejarah, sistem sosial, dan spiritualitas yang tumbuh dari Tanah Toba itu sendiri.

๐Ÿ“š Kini, dengan data genetik, hasil ekskavasi, arsip kolonial, dan warisan lisan, kita memiliki cukup bekal untuk menulis ulang sejarah Toba—dengan keberanian, kejujuran, dan cinta tanah asal.

๐ŸŒฟ Mari terus menelusuri akar, menyambung kembali rantai yang pernah diputus, dan mengembalikan suara-suara yang pernah dibungkam. Karena yang lupa pada asalnya, akan hilang arah masa depannya.

TOBA bukan BATU yang diam. TOBA adalah tubuh yang hidup. Mari hidupkan kembali TOBA.

Tano Toba — 2025

---------