KEBUDAYAAN DAN ADAT BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
Oleh: Edward Simanungkalit
Pendahuluan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, hasil cipta, rasa, dan karsa manusia untuk memenuhi
kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat. Sedang adat merupakan bagian dari kebudayaan tersebut.
Jadi, adat merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri
atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lainnya
berkaitan menjadi satu sistem. Demikian juga sama halnya dengan kebudayaan dan
adat Batak seperti kebudayaan dan adat suku bangsa lainnya.
Setelah
Allah menciptakan manusia, maka “Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ‘Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi.’ … TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam
taman Eden untuk memelihara dan mengusahakan taman itu.” (Kejadian 1:28;
2:15). Istilah mengusahakan yang terdapat di dalam ayat ini ada hubungannya dengan
culture, sehingga manusia diciptakan menjadi mahluk yang bersifat kultur/budaya.
Inilah yang biasa disebut dengan Mandat
Budaya, yang berbeda dengan Mandat
Misi (Matius 28:19-20), tetapi keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan
sebagai dual-mandate.
Allah, yang adalah Roh, turun dari sorga dan menjadi manusia di dalam Yesus Kristus: “…
Firman itu adalah Allah. … Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara
kita, …” (Yohanes 1:1, 14). Yesus datang ke dunia dan hidup di tengah-tengah
masyarakat Israel. Dia tidak mengasingkan diri dan pergi bertapa, tetapi hidup
bersama keluarga-Nya di Nazareth hingga berusia 30 tahun. Kemudian berjalan
dari kampung ke kampung dan ada juga Dia menghadiri pesta perkawinan di Kana.
Jelas, Yesus hidup di dalam sebuah masyarakat yang berbudaya dan beradat pada
masa itu. Yesus tidak menolak semua budaya dan adat waktu itu, tetapi
mengkritisi hal-hal tertentu.
Wahyu Umum dan Anugerah Umum
Allah
berinisiatif memberikan diri-Nya agar
dapat dikenal oleh manusia melalui dua macam Wahyu Allah, yaitu: Wahyu
Umum dan Wahyu Khusus. Wahyu Umum merupakan penyataan diri Allah kepada semua manusia melalui
alam semesta (eksternal) dan hati nurani (internal), tetapi tidak
menyelamatkan dalam artian keselamatan kekal. Wahyu Khusus merujuk pada kebenaran yang lebih spesifik tentang
Allah yang dapat diketahui melalui cara supranatural, yaitu firman yang menjadi
manusia (Yesus Kristus) dan firman tertulis (Alkitab).
Adapun pernyataan
mengenai Wahyu Umum dapat ditemukan di dalam Mazmur 19; Roma 1:18-21, 32; Roma
2:14-16. Dalam Mazmur 19, sang pemazmur
mengemukakan bahwa kemuliaan Allah nampak melalui langit dan cakrawala serta
memperlihatkan kuasa Allah yang mencipta. Roma 1:32 dan Roma 2:14-16 menyebutkan
aspek lain dari wahyu Allah, yakni tentang tuntutan hukum Allah melalui hati
nurani manusia.
Di dalam Wahyu Umum, manusia
meresponinya dengan dua hasil, yaitu munculnya sains dan kebudayaan sebagai respon
terhadap Wahyu Umum di dalam bentuk alam semesta, dan munculnya agama sebagai respon
terhadap Wahyu Umum dalam bentuk hati nurani. Tetapi akibat dosa,
semua bentuk respon manusia
terhadap Wahyu Umum pun pasti terpolusi oleh dosa,
sehingga manusia tidak dapat mengenal apa yang Allah telah nyatakan dengan
benar. Oleh karena itu, tidak
heran manusia bukan menyembah Allah, tetapi ilah-ilah buatan mereka yang mereka
anggap sebagai “Allah”. (Sutandio, 2007:1). Hal ini dapat kita lihat
dengan adanya penyembahan dan pemberian sesajen kepada dewa-dewa di antara
suku-suku bangsa di dunia dan adanya agama-agama suku meskipun itu suku
terasing.
Respon
manusia terhadap Wahyu Umum tadi, sebagaimana telah dikemukakan, menghasilkan
munculnya sains dan kebudayaan, sehingga dari orang tak percaya dapat muncul
berbagai sains seperti Phytagoras, Archimedes, dll. Dan, orang tak percaya juga
menghasilkan kebudayaannya masing-masing di segenap penjuru bumi ini. Itulah
sebabnya Khong Fu Cu dapat menghasilkan pemikiran yang mampu menata masyarakat Tionghoa hingga ribuan
tahun. Pemikiran ini merupakan anugerah
bagi suku bangsa Tionghoa, yang di dalam theologi Kristen diakui sebagai Anugerah Umum (common grace) dan Wahyu Umum yang diberikan kepada semua
orang, baik orang percaya maupun tak percaya. Walaupun kebudayaan itu tidak
seratus persen setara dengan anugerah umum maupun wahyu umum, tetapi kebudayaan merupakan respon manusia terhadap Wahyu
Umum dari Allah (Sutandio, 2007:1).
Allah menyatakan Anugerah Umum-Nya (Common Grace) untuk menghentikan dosa dan akibatnya di dalam dunia.
Sehingga, tidak heran kita dapat melihat orang-orang tak percaya sekalipun di
dunia ini memiliki perbuatan dan pemikiran yang baik dan cerdas bahkan lebih
daripada orang-orang percaya. Ini membuktikan adanya Anugerah Umum Allah yang
tetap mengandung bibit dosa. Mereka bisa melakukan Taurat ini, karena Allah
telah menanamkan Taurat di dalam hati setiap manusia (Roma 2:15). Oleh karena
itu, kekristenan yang meyakini akan adanya anugerah umum (common grace)
menghargai kebenaran agama-agama lain dan kebudayaan di dalam mengemban mandat
budaya (cultural mandate) sebagai respon terhadap wahyu umum (general
revelation). Sehingga, usaha yang dilakukan agama dan kebudayaan dalam mencari
kebenaran haruslah dihargai sebagai respon terhadap wahyu umum dengan motto:
“Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah” (All Truth is God’s Truth). Karena,
Allah adalah Kebenaran itu sendiri, dan bahwa Dia adalah Sumber Kebenaran.
Maka, setiap kebenaran yang diinterpretasikan harus kembali kepada Dia yang
telah menyatakan diri-Nya dalam Kristus dan Firman-Nya (www.reformed-crs.og).
Kebudayaan dan Adat Batak
Sumbangan teologis Abraham Kuyper yang paling besar adalah doktrin anugerah bagi seluruh umat manusia (common
grace) yang mengajarkan bahwa Allah telah bermurah hati untuk mengendalikan
kuasa dosa dalam dunia kita yang sudah rusak ini, sehingga dunia kita tidak menjadi
dunia yang terburuk yang mungkin terjadi. Dengan kata lain, inilah anugerah
yang menyelamatkan dunia itu, satu-satunya yang menopang alam semesta dari
kejatuhannya. Kuasa dosa di dalam diri manusia itu bersifat merusak
(destruktif), sehingga Allah memelihara manusia untuk menyelamatkan dunia ini beserta seluruh
isinya.
Di dalam kerangka
pikir inilah kita memandang kebudayaan dan adat Batak, bahwa walaupun kebudayaan
dan adat Batak tidak setara dengan anugerah umum dan wahyu umum, tetapi kebudayaan dan adat Batak itu merupakan respon
nenek-moyang Batak terhadap Wahyu Umum Allah (general revelation) dengan hasil
yaitu munculnya kebudayaan dan adat (termasuk agama suku). Kita melihat bahwa
kebudayaan dan adat Batak ini telah memelihara masyarakat Batak ribuan tahun
termasuk huta-horja-bius di dalam masyarakat Toba. Sebagaimana Allah memelihara
seluruh suku-suku bangsa untuk menyelamatkan bumi ini dari kepunahan, maka
Allah juga memelihara bangsa Batak sejak sebelum masuknya agama Kristen hingga
sekarang. Meskipun semuanya ini, termasuk wahyu umum dan anugerah umum, tidak
membawa manusia kepada keselamatan kekal.
Seluruh keturunan
Adam telah berdosa, maka seluruh umat manusia telah dikuasai dosa. Oleh karena
itu, kebudayaan dan adat Batak sebagai respon nenek-moyang Batak terhadap Wahyu
Umum Allah telah tercemar oleh dosa juga. Sehingga, kecemaran oleh dosa ini
mengakibatkan ada hal-hal yang tidak sesuai dengan Wahyu Khusus (Alkitab, yaitu
firman Allah tertulis). Sebagaimana Yesus turun dari sorga dan hidup di dalam masyarakat
dengan kebudayaan dan adatnya sendiri, maka kita pun hidup di dalam masyarakat
dengan kebudayaan dan adat Batak. Sikap Yesus tidak menolak semuanya, tetapi
menolak yang tidak benar, maka kita pun tidak menolak semuanya mengingat ada
yang baik di sana, tetapi menolak yang tidak sesuai dengan firman Allah dalam
Alkitab. Sikap ini kita lakukan dalam pandangan ke depan, ke arah mana kita
melangkah, yaitu langit baru dan bumi baru, dan di sanalah kita nanti akan
mendengar Dia berkata: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Wahyu
21:5). ***
Tulisan ini telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 29 September 2012
No comments:
Post a Comment