ULOS BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
Oleh: Edward Simanungkalit
Gambaran Umum
Bertenun sudah sejak
lama dilakukan oleh orang Batak. Hasil tenunan itu berupa ulos Batak. Ciri
Dongson tampak di dalam corak dan pembuatan ulos Batak tersebut dan pendukung budaya
Dongson ini dapat menenun kain. Sebagaimana diketahui bahwa para pendukung
budaya Dongson berasal dari masa prasejarah, yaitu Neolitik. Mereka ini sudah
menggunakan alat-alat perunggu, sehingga disebut juga zaman perunggu (Hutabarat,
2011:1). Kebudayaan Dongson berkembang di Vietnam, Indochina sebagai
hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam dan Tonkin, yang berkembang antara abad ke-5
hingga abad ke-2 Sebelum Masehi.
Pada zaman dulu ulos adalah pakaian sehari-hari bagi orang
Batak (Toba). Untuk laki-laki, bagian atas disebut “hande-hande” dan bagian
bawah disebut “singkot”, sedang penutup kepala disebut “tali-tali” atau
“detar”. Untuk perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen” dan
untuk penutup punggung disebut “hoba-hoba”. Bila dipakai berupa selendang
disebut “ampe-ampe”, sedang yang dipakai sebagai penutup kepala disebut
“saong”. Bila perempuan menggendong anak, penutup punggung disebut
“hohop-hohop”, sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa” (Pardede, 2005:1).
Jenis-jenis ulos terdiri dari: Ulos Jugia, Ragi Hidup, Ragi Hotang, Sadum, Runjat, Sibolang, Suri-suri Ganjang,
Mangiring, Bintang Maratur, Sitoluntuho-Bolean, Jungkit, Lobu-lobu. Masih
banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos seperti: Ragi Panai, Ragi
Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi
Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos
Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan seterusnya hingga mencapai 57
jenis. (Pardede, 2005:1).
Menurut adat
Batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir
hayatnya, yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan dalihan na tolu. Pertama diterima
sewaktu seseorang baru lahir disebut ulos “parompa” atau dahulu dikenal dengan
ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu kawin yang disebut ulos
“marjabu” bagi kedua pengantin (saat sekarang ini disebut ulos “hela”). Sedang yang ketiga adalah ulos yang diterima sewaktu
dia meninggal dunia disebut ulos “saput” (Pardede, 2005:1).
Ulos Batak dan Kristen
Ulos Batak
merupakan produk budaya Batak. Ketika Allah menempatkan manusia di bumi ini,
maka manusia secara evolusi mengembangkan perlindungan dirinya terhadap alam,
baik itu dengan rumah, pakaian dan lain-lain. Nenek-moyang Batak Toba ada juga
berasal dari Dongson yang memiliki kemampuan bertenun, membuat rumah dan
lain-lain (bnd. Simanungkalit, dalam BATAK POS, 28/07-2012). Ulos adalah
karya-cipta manusia Batak sebagai mahluk budaya, karena kebudayaan itu
merupakan respon manusia terhadap Wahyu Umum Allah (Simanungkalit, dalam BATAK
POS, 30/09-2012). Di masa lalu sebelum ada kain tekstil modern, ulos dipakai
sebagai pakaian oleh orang Batak seperti kain yang dipakai manusia di zaman
modern ini. Sehingga, secara prinsip, bahwa ulos itu tidak berbeda dengan kain
yang dihasilkan pabrik tekstil zaman sekarang yang dibuat menjadi pakaian.
Ketika
disebut bahwa ulos Batak itu sebagai ‘ulos tondi’ ada sebagian orang Kristen
memandang ulos menjadi berhubungan dengan soal-soal okultisme. Padahal, itu
hanyalah cara pandang secara tradisional, sedang orang Kristen bisa saja
mangulosi dengan mengubah cara pandang dan sikap hatinya. Untuk itu harus
memandang ulos sebagai sebuah hasil karya-cipta manusia dan mangulosi dilakukan
dengan cara pandang di mana ulos sebagai pemberian atau kado. Sedang pemberian
kado itu disampaikan dengan sikap hati yang berdoa memohon kepada Tuhan agar
memberkati orang yang diulosi. Ini sama saja seperti seorang Kristen yang
menghormat bendera dengan sikap hati yang menyembah Allah di dalam Kristus
Yesus.
Keadaan di
atas diperparah dengan pandangan sebagian orang bahwa di dalam ulos itu melekat
kuasa-kuasa gelap, sehingga untuk menyelesaikannya dilakukanlah pembakaran ulos
Batak. Akibatnya, sempat ada suatu masa di mana ulos Batak banyak dibakar orang-orang
Kristen, bahkan sepertinya dibuat gerakan membakar ulos Batak. Menurut mereka,
bahwa keberadaan ulos itu menjadi kutuk bagi orang Batak kalau masih ada
disimpan. Sungguh, hal ini merupakan penghancuran budaya apalagi ditambah dengan
sikap memusuhi kebudayaan dan adat Batak.
Orang Kristen tidak perlu melenyapkan ulos Batak, karena ulos itu sama dengan kain lainnya yang dibuat menjadi pakaian. Kalau ingin konsisten memakai cara bakar-membakar, maka kain dan pakaian buatan Jepang mestinya dibakar jugalah semuanya, karena produk-produk Jepang mirip seperti itu. Produk-produk Jepang setelah selesai diproduksi dari pabrik dan mau dikirim untuk dijual tidaklah mustahil mereka doakan. Sesuai dengan agamanya, maka tentulah mereka berdoa memohon kepada Dewa Matahari untuk memberkatinya. Apakah juga semua produk-produk Jepang ini dibakar oleh mereka? Bagaimana dengan rumah yang dibangun dengan menggunakan batu dan kayu? Barangkali batu dan kayu itu dulunya merupakan tempat penyembahan berhala. Apakah rumah itu turut juga dibakar? Pertanyaan ini perlu dikemukakan kalau mau konsisten sesuai dengan sikap terhadap ulos Batak tadi, sehingga jangan hanya ulos Batak yang dibakar.
Di dalam Kristus,
bahwa orang percaya adalah orang merdeka dan tidak berada di bawah penindasan
roh-roh dunia. Nama Yesus, darah Yesus, firman Allah, dan Roh Kudus memampukan
orang percaya untuk menghadapinya dan menyelesaikannya. Di atas dasar firman
Allah, orang percaya memohon pengudusan ulos Batak dengan darah Yesus di dalam
nama Yesus, maka Allah melalui Roh Kudus melakukan pengudusan itu. Dosa, maut, dan
kuasa-kuasa gelap ini telah dikalahkan Yesus di kayu salib pada dua ribu tahun
lalu. Darah Yesus berkuasa menyucikan segala dosa (1 Yoh. 1:7, 9) dan
menguduskan segalanya dari kuasa-kuasa gelap, sehingga tidak perlu lagi harus membakar
ulos Batak beserta semua yang disebutkan
tadi. Oleh kuasa darah Yesus, maka semua benda itu dapat dikuduskan dan dapat dipakai
oleh orang percaya tanpa perlu takut akan ada sesuatu yang mengganggunya.
Akhirnya, kerangka dasar theologi
harus dapat menjadi dasar yang kuat dan luas dalam memandang dunia ini serta
segala sesuatu yang ada di dalamnya, sehingga dapat melihat kebudayaan dalam
cara pandang Allah. Penulis telah membicarakan hal ini melalui tulisan
berjudul: “KEBUDAYAAN DAN ADAT BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN” (BATAK
POS, 30/09-2012). Budaya Batak dan Adat Batak bukanlah untuk dihancurkan,
karena menghancurkannya dapat menimbulkan keguncangan di dalam masyarakat
Batak. Pembakaran kitab-kitab sihir di dalam Kisah Para Rasul 19:19 bukanlah
perintah atau ajaran/doktrin, tetapi bersifat insidentil agar isinya tidak
dapat dipelajari lagi untuk melakukan sihir. Oleh karena bukan perintah atau
ajaran/doktrin, maka tidak dapat dijadikan untuk melegitimasi pembakaran ulos
Batak. Ulos bukan untuk dibakar habis atau dimusnahkan, tetapi patut
dipertahankan bahkan dikembangkan sebagai kekayaan budaya Batak dan
dipergunakan bagi kemuliaan Allah. ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 06 Oktober 2012