KAMI
BUKAN BATAK
Pemulihan Identitas Bangso Toba
KATA
PENGANTAR
Tulisan
ini lahir dari kegelisahan panjang yang saya rasakan sebagai seorang Halak Toba
yang setiap hari menyaksikan betapa dalamnya jejak rekayasa kolonial masih
membekas di benak kita. Sejak masa sekolah, kita diajarkan bahwa kita adalah
“Bangso Batak”, seolah-olah demikianlah sejarah kita yang asli. Padahal, di
balik label “Batak” yang hari ini terdengar biasa dan bahkan dianggap
membanggakan, tersimpan sejarah panjang kolonialisme dan zending yang pernah
secara sistematis membangun sebuah konstruksi identitas baru – seraya menghapus
atau meminggirkan identitas kita sebagai Bangso Toba.
Tulisan
ini bukan sekadar upaya menelusuri sejarah, tetapi juga sebuah panggilan untuk
memulihkan kesadaran: bahwa kita bukan Batak, melainkan Halak Toba – pewaris
sejarah ribuan tahun yang lebih tua daripada proyek identitas kolonial abad
ke-19. Kita punya bahasa sendiri, sistem sosial sendiri, hukum adat sendiri,
bahkan narasi mitologi yang sesungguhnya lebih kompleks daripada silsilah “Si
Raja Batak” yang diciptakan sebagai alat katekisasi.
Penulisan
ini bertumpu pada penelitian lintas disiplin: genetika populasi, arkeologi,
paleoekologi, sejarah kolonial, dan refleksi teologi Reformed yang menegaskan bahwa
tindakan para misionaris dan kolonial yang merusak budaya tak dapat dibenarkan
dari sudut iman Kristen itu sendiri. Dengan pendekatan ini, kita menelusuri
kembali akar sejarah kita di Tano Toba: bagaimana Huta–Horja–Bius terbentuk,
bagaimana Dalihan Na Tolu menata relasi sosial, dan bagaimana bahasa Toba
mengikat kesadaran kolektif kita sebagai satu bangsa.
Saya
menulis naskah ini sebagai sebuah ikhtiar pemulihan: bukan untuk membangkitkan
kebencian, melainkan untuk mengingatkan siapa diri kita sebenarnya. Pemulihan
identitas ini adalah hak kita sebagai Halak Toba, sekaligus bentuk penghormatan
kepada leluhur yang telah membangun peradaban Toba jauh sebelum munculnya
istilah “Batak”.
Harapan
saya, tulisan ini bukan hanya dibaca sebagai catatan sejarah, tetapi juga
menjadi ruang refleksi bagi generasi Toba ke depan: agar kita berani mengenali
sejarah kita sendiri, dan berdiri teguh sebagai Bangso Toba yang punya sejarah,
budaya, dan iman yang hidup.
Penulis,
Tano Toba 2025
HALAMAN
DEDIKASI
Kepada
para leluhur Halak Toba
Yang
membuka hutan pertama di lembah Toba ribuan tahun lalu,
Yang
mendirikan Huta, menjaga Bius, menenun Ulos, dan merajut Dalihan Na Tolu,
Yang
namanya tak pernah tercatat dalam “tarombo” kolonial,
Tetapi
hidup dalam darah, bahasa, dan ingatan kami.
Kepada
semua generasi muda Bangso Toba
Yang
berani bertanya: “Siapakah kita, sebelum kita disebut Batak?”
MOTTO
“Bangsa yang melupakan sejarahnya akan
kehilangan masa depannya;
Bangsa
yang berani memulihkan sejarahnya akan menemukan kembali dirinya.”
BAGIAN
PERTAMA
Peradaban Toba Sejak Perjumpaan Leluhur
di Tano Toba: Sebuah Sintesis Genetika, Arkeologi, Bahasa, dan Struktur Sosial.
1. Pendahuluan
Tano
Toba bukan hanya sebuah wilayah geografis di pegunungan Sumatra Utara, tetapi
juga sebuah ruang sejarah tempat berbagai perjumpaan leluhur terjadi selama
ribuan tahun. Peradaban Toba terbentuk bukan dari satu leluhur tunggal,
melainkan dari rangkaian migrasi, akulturasi budaya, dan adaptasi ekologis yang
panjang. Dalam catatan arkeologi, paleoekologi, dan genetika, terlihat
bagaimana leluhur Toba hadir dari gelombang-gelombang migrasi berbeda,
masing-masing membawa unsur budaya, teknologi, dan kosakata yang akhirnya
membentuk Bangso Toba seperti yang kita kenal hari ini.
Bagian
ini memaparkan narasi ilmiah tentang bagaimana leluhur Toba datang, berbaur,
dan mewariskan peradaban: dari pembukaan hutan pertama, pembentukan
Huta–Horja–Bius, hingga lahirnya Dalihan Na Tolu sebagai pilar struktur sosial.
Pendekatan multidisipliner ini memperlihatkan bahwa identitas Toba bukan
“pemberian” dari luar, tetapi hasil kreativitas kolektif leluhur kita yang
tumbuh dan berkembang di lembah Toba.
2. Gelombang Migrasi Leluhur
2.1
Kedatangan K-M526* (ras Australomelanesoid) – ±8.500 BP
Sekitar
8.500 tahun sebelum sekarang, kelompok manusia purba berhaplogrup K-M526* yang
berasal dari Sundaland bergerak ke utara ketika kawasan Sundaland tenggelam
akibat kenaikan muka air laut. Mereka masuk dari muara Sungai Asahan ke Toba
Holbung di tepi Danau Toba.
Mereka
menjadi pemburu-pengumpul awal di lembah Toba Holbung, memanfaatkan sungai
danau dan kaki bukit sebagai sumber pangan. Kontribusi genetika K-M526* pada
orang Toba modern tercatat sekitar 13,51%. Kelompok ini mewariskan kosakata
terkait flora, fauna, dan lanskap yang masih hidup dalam bahasa Toba hari ini.
2.2
Kedatangan O-M95* (Austroasiatik / Hoabinhian) – ±8.000 BP
Gelombang
berikutnya adalah penutur Austroasiatik yang membawa budaya Hoabinhian, tiba di
kawasan Toba Humbang melalui pantai timur Sumatra. Berdasarkan ekskavasi dan
uji karbon oleh Bernard K. Maloney (1996), Pea Simsim menunjukkan aktivitas
manusia tertua sekitar 8.000 B, sedangkan sampel dari lapisan atas terdeteksi
sekitar 6.500 BP. Pea Bullok juga menunjukkan aktivitas awal sekitar 8.000 BP,
dengan beberapa sampel lapisan lebih muda sekitar 4.600 BP. Temuan ini
menegaskan kawasan Tano Toba telah dihuni manusia sejak ribuan tahun sebelum
era konstruksi identitas Batak.
Penelitian
paleoekologi oleh Bernard K. Maloney (1996) melalui analisis polen dari Pea
Simsim dan Pea Bullok menunjukkan adanya pembukaan hutan sekitar 8.000 BP serta
kemungkinan awal budi-daya padi.Sementara itu, temuan kapak Sumatralith sebagai
ciri budaya Hoabinhian didokumentasikan dalam laporan Balai Arkeologi Sumatera
Utara (1990-an) yang melakukan ekskavasi arkeologi di beberapa situs di kawasan
Danau Toba.” Secara genetika, kontribusi O-M95* juga sekitar 13,51%, memperkaya
budaya dan struktur sosial awal.
2.3
Kedatangan O-M110 dan O-P203 (Proto-Austronesia) – ±5.000 BP
Sekitar
5.000 tahun BP, migrasi besar penutur Proto-Austronesia bergerak dari Taiwan,
melintas Filipina hingga sepanjang pesisir barat Sumatra, termasuk ke Teluk
Sibolga dan terus masuk ke Silindung. Kelompok ini datang menyusuri pantai dan
sebagian menetap di daratan Sumatra, membawa budaya laut, teknologi perahu, dan
pola permukiman pesisir.
Meski
secara genetika di Toba modern hanya memberi kontribusi minor (O-M110 ~10,8%
dan O-P203 ~2,7%), pengaruh budaya mereka nyata: sistem warisan
matrilineal/ambilineal di beberapa kawasan pesisir dan kosakata kelautan yang
terserap ke bahasa Toba.
2.4
Kedatangan O-P201* (Austronesia Dong Son) – ±4.000 - 3.000 BP
Gelombang
terbesar datang sekitar 4.000 - 3.000 BP dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara
(budaya Dong Son), melalui Semenanjung Malaka dan muara Sungai Asahan menuju
Toba Holbung di tepi Danau Toba. Mereka menjadi mayoritas demografi (57%
genetika Toba modern).
Kelompok ini membawa:
Bahasa Austronesia yang menjadi cikal
bakal bahasa Toba.
Budaya logam Dong Son (alat pertanian
besi, bejana perunggu).
Sistem irigasi sawah, yang berkembang
menjadi struktur sosial Huta–Horja–Bius.
Seni tekstil (cikal bakal ulos),
arsitektur rumah panggung, dan organisasi adat Dalihan Na Tolu.
2.5
Kedatangan R-M124 (Penutur Dravida, India Barat) – ± 1.200 - 800 BP
Terakhir,
kelompok kecil pedagang Tamil dari India Barat datang ke pesisir Barus sekitar
abad ke-11. Prasasti Tamil di Lobu Tua (1088 M) menandai kehadiran mereka yang
membawa teknik sawah irigasi, konsep “raja” (raja, datu, baginda), serta unsur
bahasa Sanskerta.
Meskipun
secara genetika hanya 2,7%, pengaruh budaya mereka signifikan: munculnya
legenda Dewa-dewi yang turun ke bumi lewat puncak Pusuk Buhit, Ompu Jolma,
serta mitologi langit tujuh lapis yang sebagian besar memakai kosakata
Sanskerta. Menurut Balai Arkeologi Sumatera Utara, kampung Sianjur Mula-mula
berdiri sekitar 600 tahun lalu, terkait kedatangan unsur India melalui Barus.
3. Struktur Sosial: Huta–Horja–Bius
dan Dalihan Na Tolu
Peradaban Toba membentuk struktur sosial
yang unik:
Huta: Desa berbenteng kayu, sebagai
kesatuan kekerabatan.
Horja: Gabungan beberapa huta yang
bekerjasama dalam ritual.
Bius:
Aliansi lebih besar yang mengelola irigasi, sawah, dan penyembahan bersama.
Pada
abad-abad berikutnya, struktur ini diperkuat oleh Dalihan Na Tolu: tiga pilar
relasi sosial (Hula-hula, Boru, Dongan Tubu) yang mengatur perkawinan, ritual,
dan keputusan adat. Sistem ini menciptakan keseimbangan sosial dan menjadi
“konstitusi adat” yang hidup hingga masa kolonial.
4. Bahasa Toba: Perekat Identitas
Bahasa
Toba lahir dari dominasi penutur Austronesia Dong Son, memperkaya kosakata dari
Australomelanesoid, Austroasiatik, dan India (Sanskrta). Struktur morfologi dan
sintaksisnya menegaskan kesinambungan dengan leluhur Austronesia, sementara
kosakata alam dan ritual memperlihatkan akulturasi ribuan tahun.
5. Raja Toba dan Singamangaraja
Pemimpin
spiritual dan politik di lembah Toba dikenal sebagai Raja Toba, yang kemudian
bergelar Raja Singamangaraja. Penting dicatat, cap resmi dan surat-surat mereka
selalu memakai istilah “Raja Toba”, tidak pernah “Batak”. Ini menegaskan bahwa
sebelum kolonial dan zending, kesadaran identitas Toba lebih tua dan berdaulat.
6. Sintesis Historis
Peradaban
Toba tidak tercipta dalam sehari. Ia lahir dari:
Perjumpaan
lima gelombang migrasi.
Struktur
sosial Huta–Horja–Bius dan Dalihan Na Tolu.
Bahasa
Austronesia yang diperkuat unsur kosakata Austroasiatik, Australomelanesoid,
dan Dravida.
Pemimpin
lokal bergelar Raja Toba yang memimpin masyarakat, bukan “Si Raja Batak”.
Dengan
pemahaman ini, kita melihat bahwa identitas Bangso Toba adalah hasil sejarah
panjang yang berakar di Tano Toba, bukan ciptaan mitologi tunggal.
BAGIAN
KEDUA
Konstruksi
Identitas “Batak”: Politik Kolonial, Misi Kristen, dan Mitologi Si Raja Batak
1. Pendahuluan
Istilah
“Batak” kini dikenal luas sebagai label etnis yang menaungi Toba, Karo,
Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Mandailing. Namun, secara historis, istilah
ini bukan berasal dari tradisi lokal, melainkan hasil konstruksi administratif
kolonial dan strategi misi Kristen (RMG) sejak pertengahan abad ke-19. Proses
konstruksi ini melibatkan pengubahan nama wilayah, penyeragaman bahasa Alkitab,
hingga penciptaan mitologi “Si Raja Batak” untuk membangun identitas tunggal.
Bagian
ini memaparkan bagaimana identitas “Bangso Batak” dibangun di luar kehendak
masyarakat lokal, mengutip arsip resmi, surat protes H.N. van der Tuuk, serta
rekonstruksi mitologi oleh PALE van Dijk, Johannes Warneck, W.M. Hutagalung,
dan WKH Ypes.
2. Perubahan Administratif dan
Penyatuan Identitas
2.1
Dari Tano Toba ke Bataklanden (1853)
Pada
1853, pemerintah Hindia Belanda mengganti nama wilayah Tano Toba,
Mandailinglanden, dan lain-lain menjadi “Bataklanden”. Kebijakan ini bertujuan
menyederhanakan administrasi, tetapi secara sosial menciptakan identitas baru
yang memaksa berbagai kelompok berbeda merasa sebagai satu bangsa: “Batak”.
2.2
Penyeragaman Bahasa dan Alkitab
Dalam
proyek penerjemahan Alkitab, Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) atas desakan
RMG memutuskan untuk memakai satu terjemahan “Bahasa Batak” (sebenarnya Bahasa
Toba) untuk semua wilayah “Bataklanden”. H.N. van der Tuuk, seorang ahli bahasa
Belanda yang lama tinggal di Tano Toba, keras menolak langkah ini.
3. Kritik H.N. van der Tuuk
3.1
Surat kepada NBG (15 Juni 1851)
Dalam
suratnya, van der Tuuk menyebut:
“Istilah
‘Batak’ hanyalah sebutan luar, tidak dikenal penduduk Toba, Karo, atau
Mandailing. Bahasa mereka pun berbeda signifikan, mustahil dijadikan satu
terjemahan.”
Beliau
khawatir penyeragaman ini akan mengabaikan perbedaan budaya dan bahasa, serta
memperkuat stereotip “primitif” dan “homogen” yang dipaksakan pemerintah
kolonial.
3.2
Surat kepada Gubernur Hindia Belanda (12 Maret 1856)
Van
der Tuuk kembali menegaskan:
“Tidak
ada satu ‘Bangso Batak’. Toba menyebut dirinya Bangso Toba, Karo sebagai Kalak
Karo, dan Mandailing menolak keras disebut Batak.” Beliau memperingatkan risiko
sosial: konflik, kegagalan hukum adat terpadu, dan resistensi lokal. Namun,
pemerintah kolonial tetap mempertahankan istilah “Bataklanden”.
3.3
Surat kepada L.I. Nommensen (1860-an)
Dalam
surat kepada LI Nommensen, van der Tuuk mengkritik langsung pemakaian Injil
Toba di wilayah Karo dan Simalungun, serta pembuatan mitologi “Si Raja Batak”
yang bahkan tidak dikenal di tradisi lisan Toba.
“Mengapa
Anda memaksakan istilah ‘Batak’? Bahkan orang Toba sendiri tidak mengenal ‘Si
Raja Batak’ sebelum misionaris menciptakannya.”
4. Penciptaan Mitologi “Si Raja Batak”
4.1
Tokoh asli: Ompu Jolma
Dalam
tradisi lokal Toba, sosok leluhur tertua yang dikenal adalah Ompu Jolma.
4.2
Peran PALE van Dijk (1893–1894)
Pada 1893, PALE van Dijk, pejabat
Belanda, dalam catatan pribadinya (dikemukakan lagi oleh Johannes Warneck, 1909)
menulis:
“De figuur ‘Si Raja Batak’ is door mij
geformuleerd ter vereenvoudiging van het stamboom.”
(“Tokoh ‘Si Raja Batak’ saya ciptakan
untuk mempermudah penyusunan silsilah.”)
Pada
1894, van Dijk menulis lebih lengkap semacam skema silsilah “Si Raja Batak”
yang mengaitkan berbagai marga Toba, Karo. Manuskrip ini menjadi dasar narasi
zending.
4.3
Peran Johannes Warneck (1909)
Warneck
dalam Die Toba-Batak (1909) menjelaskan:
“Het gebruik van de stamboom van Si Raja
Batak in catechisatie is noodzakelijk om het volk een gemeenschappelijk
verleden te geven.”
(“Penggunaan silsilah Si Raja Batak
dalam katekisasi sangat diperlukan agar rakyat memiliki masa lalu yang sama.”)
Narasi
ini diajarkan di sekolah-sekolah zending sebagai sejarah resmi.
4.4
Buku “Pustaha Batak” (W.M. Hutagalung, 1926)
W.M.
Hutagalung menuliskan kembali silsilah ini dalam bukunya Pustaha Batak: Tarombo
dohot Turi-turian ni Bangso Batak (1926), memperluas detail mitologi langit
tujuh lapis, Debata Natolu, hingga keturunan Si Raja Batak yang diklaim sebagai
leluhur semua marga Batak.
4.5
Lukisan Tarombo Si Raja Batak (Ypes, 1932)
Pada
1932, WKH Ypes melukis “Tarombo Si Raja Batak” yang mencantumkan lebih luas
lagi marga-marga Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, dan Angkola ke dalam
satu garis keturunan. Gambar ini menjadi alat visual pendidikan Kristen dan
kolonial.
5. Dampak Sosial dan Kultural
Penyatuan
identitas “Batak” memutus sejarah lokal, misalnya Toba yang semula menyebut
diri Bangso Toba.
Mitologi
“Si Raja Batak” menggantikan Ompu Jolma, melemahkan memori kolektif leluhur
lokal.
Pembubaran
horja-bius (1915) memutus struktur sosial lokal demi kepentingan kontrol
kolonial dan gereja.
6. Arsip Kolonial: Pembubaran Bius (1915)
Arsip
resmi pemerintah Hindia Belanda (Besluit G.G. van Nederlandsch-Indië, No. 55,
1915) menetapkan pembubaran lembaga bius di Bataklanden, disertai pelarangan
pungutan dan ritual kolektif yang dinilai “melawan modernitas”.
7. Refleksi Teologi Reformed
Menurut
Teologi Reformed (misalnya Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism), setiap
kebudayaan mengandung anugerah umum (common grace) yang perlu dihormati. Gereja
tidak boleh memaksakan identitas tunggal atau menghancurkan struktur sosial
lokal. Penciptaan “Si Raja Batak” dan pembubaran bius bertentangan dengan prinsip
penghormatan terhadap ordo creationis (tatanan ciptaan Tuhan).
Dengan
demikian, identitas “Batak” bukan warisan leluhur tunggal, tetapi konstruksi
abad ke-19 yang lahir dari kepentingan kolonial dan proyek misi Kristen. Kritik
van der Tuuk, data arkeologi, dan tradisi lokal membuktikan adanya sejarah yang
lebih tua: sejarah Bangso Toba.
BAGIAN
KETIGA
Pemulihan
Identitas Bangso Toba: Landasan Ilmiah, Historis, Budaya, dan Teologis
1. Landasan Ilmiah: Genetika,
Arkeologi, dan Linguistik
Pemulihan
identitas Bangso Toba bukan hanya nostalgia romantik masa lalu, tetapi dapat
dibangun atas fondasi ilmiah. Data genetika, hasil ekskavasi arkeologi, serta
kajian linguistik memberi dasar obyektif untuk menegaskan bahwa Toba memiliki
sejarah sendiri yang lebih tua dan berdiri sendiri.
Genetika
Penelitian genetika molekuler (termasuk
yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman) menunjukkan leluhur orang
Toba memiliki keragaman:
Gelombang awal: ras Australomelanesoid
(K-M526) yang datang sekitar 8.500 tahun BP yang masuk dari muara Sungai Asahan
hingga ke Toba Holbung.
Gelombang kedua: penutur Austroasiatik
(O-M95) yang datang sekitar 8.000 – 6.500 tahun BP datang ke Toba Humbang.
Gelombang ketiga: penutur
Proto-Austronesia (O-M110 & O-P203)
yang datang sekitar 5.000 tahun BP dan penutur
Austronesia (O-P201) yang datang sekitar 4.000–3.000 tahun BP. Penting dicatat,
O-M110 dan O-P203 yang membawa warisan Proto Austronesia datang ke pantai barat
Sumatra yang masuk dari Teluk Sibolga ke Silindung. Sedang penutur Austronesia
O-P201 yang datang dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara ke muara Sungai Asahan
masuk ke Toba Holbung terus ke Toba Samosir serta berikutnya terus ke Toba
Humbang dan Toba Silindung.
Gelombang
terakhir: penutur Dravida (R-M124) yang datang dari India Barat lewat Barus
masuk ke Toba Samosir.
Arkeologi
Ekskavasi Balai Arkeologi Sumatera Utara
menemukan jejak hunian di Sianjur Mula-mula berusia ±600 tahun, sementara situs
Pea Simsim dan Pea Bullok di kawasan barat Danau Toba mencatat aktivitas
manusia sejak 8.000 - 6.500 tahun BP di Pea Simsim dan sejak 8.000 - 4.600
tahun BP di Pea Bullok (Bernard K. Maloney). Ini menunjukkan jejak panjang
peradaban lokal, sebelum munculnya “Si Raja Batak”.
Linguistik
Bahasa
Toba sebagai bahasa mayoritas di wilayah Toba memiliki keunikan morfologi dan
leksikon yang berbeda dari Karo, Pakpak, Mandailing, dan Simalungun. Perbedaan
ini mencerminkan sejarah sosial yang berdiri sendiri, bukan “satu bahasa
Batak”.
2. Landasan Historis: Kritik terhadap
Konstruksi “Batak”
Landasan kedua adalah kritik historis
yang dapat diverifikasi melalui arsip kolonial dan surat-surat H.N. van der
Tuuk.
Penggantian nama administratif
“Tobalanden” menjadi “Bataklanden” (1853) menciptakan identitas baru yang bukan
warisan leluhur.
Surat van der Tuuk (1851 & 1856)
menolak penyatuan bahasa dan identitas, dengan menyebut ketidakmungkinan budaya
dan politik “Batak” dijadikan satu.
Penciptaan mitologi “Si Raja Batak” oleh
PALE van Dijk (1893–1894) adalah konstruksi administratif, bukan tradisi asli. Narasi
ini disebarluaskan oleh Warneck (1909), W.M. Hutagalung (1926), dan Ypes (1932)
untuk mendukung proyek misionaris dan kontrol kolonial.
Historis ini penting karena
memperlihatkan bahwa kesadaran “Bangso Batak” bukanlah kesadaran lokal yang
lahir dari bawah, melainkan hasil desain kolonial dan strategi misi Kristen.
3. Landasan Budaya: Bahasa, Dalihan
Na Tolu, dan Struktur Sosial
Bahasa
Bangso
Toba memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Toba, yang berbeda jelas dari Karo,
Pakpak, Simalungun, dan Mandailing. Kosakata, gramatika, hingga ungkapan
adatnya menegaskan identitas budaya yang berdiri sendiri.
Dalihan Na Tolu
Sebagai
filsafat sosial, Dalihan Na Tolu memuat prinsip kesetaraan dan keseimbangan:
Manat mardongan tubu (bijak kepada
saudara sekandung)
Somba marhula-hula (hormat kepada
pemberi istri)
Elek marboru (sayang kepada pihak
penerima istri)
Dalihan
Na Tolu adalah roh dari struktur sosial Toba, menjaga harmoni antarkelompok
marga (parhundul, pariban).
Struktur sosial:
Huta, Horja, Bius
Huta: permukiman marga
Horja: kelompok beberapa huta yang
bekerja sama
Bius: federasi ritual-ekonomi yang
mengatur irigasi, panen, hukum adat, dan upacara bersama.
Struktur ini mengakar ratusan tahun
sebelum masuknya kolonial dan zending.
4. Landasan
Teologis: Teologi Reformed dan Kritik terhadap “Pembatakan”
4.1.
Prinsip Dasar Teologi Reformed tentang Kebudayaan
Teologi
Reformed sejak Reformasi abad ke-16 memiliki fondasi yang sangat kuat mengenai
kebudayaan sebagai anugerah ilahi. Ajaran ini berpijak pada doktrin creatio
continua (penciptaan yang terus berlangsung) dan common grace (anugerah umum)
yang dinyatakan Allah kepada seluruh bangsa dan kebudayaan.
Dalam kerangka ini:
Kebudayaan
bukanlah musuh iman, melainkan mandat Allah kepada manusia seperti tercantum
dalam Kejadian 1:28: “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu.”
Bahasa,
hukum adat, seni, sistem sosial – termasuk Dalihan Na Tolu, Huta–Horja–Bius –
adalah cultural gifts (karunia budaya) yang menjadi bagian dari panggilan
manusia memuliakan Allah dalam konteks sejarah dan tanah kelahirannya.
Gereja
tidak dipanggil untuk menghapus budaya lokal, tetapi untuk menyaring dan
membarui nilai-nilai budaya sehingga memancarkan keadilan, belas kasih, dan
kebenaran Allah.
John
Calvin sendiri membuka jalan bagi penghargaan terhadap budaya lokal, bahkan
mengakui nilai-nilai kebenaran umum (semina verbi) yang tertanam dalam budaya
Yunani-Romawi kafir.
Herman
Bavinck (1854–1921), seorang teolog Reformed penting, menegaskan: “Grace
restores nature, not annihilates it.” (Anugerah memulihkan natur, bukan
memusnahkannya.)
Dengan
demikian, proyek zending atau kolonial apa pun yang menghapus, menggantikan,
atau menindas kebudayaan lokal sejatinya bertentangan dengan prinsip Reformed
yang memuliakan keragaman ciptaan Allah.
4.2.
Kritik terhadap “Pembatakan” dalam Kerangka Reformed
Ketika
kita menelaah proyek kolonial dan zending abad ke-19 – seperti:
Penggantian
identitas “Bangso Toba” menjadi “Batak” secara administratif dan misi.
Penciptaan
mitos “Si Raja Batak” (PALE van Dijk, 1893–1894; disebarkan Warneck, 1909).
Pembubaran
Bius (struktur sosial dan keagamaan Toba) secara resmi oleh pemerintah kolonial
tahun 1915.
Penerapan
struktur gereja model Eropa tanpa kontekstualisasi Dalihan Na Tolu.
Tindakan-tindakan
tersebut bukan hanya merupakan kebijakan politik kolonial, tetapi juga bentuk
kolonialisasi spiritual.
Mengapa?
Bertentangan
dengan doktrin common grace yang memandang budaya lokal sebagai karya Allah
yang harus dihargai.
Mengabaikan
transformational theology, yang justru memanggil Gereja untuk membarui budaya,
bukan menghancurkannya.
Mengabaikan
prinsip contextualization (kontekstualisasi Injil), di mana Gereja Reformed
sebenarnya menekankan pentingnya Injil diwartakan dalam bahasa, simbol, dan
struktur lokal, agar sungguh menjadi kabar baik bagi bangsa tersebut.
Padahal,
tugas Gereja adalah menjadi garam dan terang di tengah budaya setempat, bukan
menjadi alat dominasi kekuasaan.
4.3.
Dosa Struktural dan Tanggung Jawab Gereja Masa Kini
Dalam
tradisi teologi Reformed, dikenal konsep dosa struktural: bukan hanya kesalahan
pribadi, tetapi juga kesalahan sistem dan institusi yang diwariskan lintas
generasi.
“Pembatakan”
sebagai proyek kolonial-zending dapat dipahami sebagai dosa struktural karena:
Mewariskan
identitas palsu yang mencabut Bangso Toba dari sejarah leluhurnya.
Mengikis
solidaritas sosial dan keadilan kolektif dengan membubarkan Bius.
Menyebabkan
konflik horizontal antarsuku (Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing)
akibat narasi sejarah rekayasa.
Tanggung
jawab Gereja masa kini yang lahir dari warisan misi RMG bukanlah menyangkal
masa lalu, melainkan:
Mengakui
dan meminta maaf atas kesalahan sejarah.
Menghormati
kembali sistem sosial asli (Dalihan Na Tolu, Bius).
Mendorong
pemulihan identitas Bangso Toba sebagai bangsa yang memiliki budaya, hukum
adat, dan struktur sosial sendiri.
Mengajarkan
iman Kristen yang kontekstual dan peka budaya, bukan hanya meniru struktur
gereja Eropa.
4.4.
Perspektif Pemulihan: “Grace restores culture”
Teologi
Reformed percaya bahwa anugerah Allah bukan memusnahkan budaya, tetapi
memulihkannya agar mencerminkan kasih, keadilan, dan kebenaran.
Dalam
konteks Bangso Toba:
Huta–Horja–Bius
tidak perlu dihapus, melainkan dapat direformasi agar sesuai dengan nilai
Injil.
Dalihan
Na Tolu yang mengajarkan hormat, kasih, dan keseimbangan sangat sesuai dengan
ajaran kasih Kristus.
Bahasa
Toba adalah karunia Allah: harus dirawat dan dijunjung, bukan digantikan dengan
“Bahasa Batak” generik.
Dengan
demikian, pemulihan identitas Bangso Toba bukan gerakan anti-Kristen, melainkan
tindakan iman: kembali kepada mandat budaya dari Allah pencipta langit dan
bumi.
4.5.
Refleksi Teologis
Akhirnya,
pemaksaan narasi tunggal “Si Raja Batak” dan struktur gereja kolonial yang
seragam adalah kesalahan teologi:
Gereja
dipakai sebagai instrumen dominasi, bukan sebagai saksi kasih dan kebenaran.
Generasi
Toba terpisah dari leluhurnya, sejarah lokalnya, dan filosofi Dalihan Na Tolu.
Pemulihan
identitas Bangso Toba hari ini adalah panggilan iman Kristen yang sejati:
“Kembalilah
ke sejarahmu, hormatilah budayamu, karena Allah yang menciptakanmu juga
menciptakan bangsamu.”
Kesimpulan
sub-bab:
Teologi
Reformed mengajarkan bahwa anugerah Allah memulihkan budaya, bukan
menghancurkannya. Oleh sebab itu, pemulihan identitas Bangso Toba adalah
panggilan teologis demi keadilan sejarah dan kemuliaan Allah.
KESIMPULAN
Penelusuran
kritis terhadap sejarah, budaya, linguistik, arkeologi, genetika, dan refleksi
teologis telah memperlihatkan bahwa identitas “Batak” yang hari ini diterima
sebagian besar masyarakat Toba bukanlah warisan otentik leluhur, melainkan
hasil konstruksi kolonial dan proyek misionaris pada abad ke-19.
Kajian
ini menemukan bahwa:
1.
Secara historis, sejak sebelum abad ke-19, tidak ada istilah tunggal “Batak” yang
digunakan oleh masyarakat Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing, dan
Angkola untuk menyebut dirinya sendiri. Orang Toba menyebut dirinya Halak Toba
atau Bangso Toba, begitu pula Karo menyebut diri Kalak Karo, dan Mandailing
menolak keras label “Batak”.
2.
Penciptaan mitologi Si Raja Batak dimulai dari inisiatif PALE van Dijk
(1893–1894) “ter vereenvoudiging van het stamboom” (untuk menyederhanakan
silsilah). Narasi ini kemudian diperkuat oleh Warneck (1909) yang menegaskan
pentingnya “het volk een gemeenschappelijk verleden te geven” (memberikan
rakyat masa lalu yang sama) sebagai bagian dari program katekisasi.
Selanjutnya, “Tarombo Si Raja Batak” yang dilukis Ypes (1932) dan buku Pustaha
Batak karya WM Hutagalung (1926) melengkapi konstruksi identitas tunggal ini
yang menjangkau semua sub-etnis.
3.
Secara budaya, pembubaran lembaga Bius oleh pemerintah kolonial tahun 1915 dan
penggantian identitas “Bangso Toba” menjadi “Batak” telah memutus keterikatan
masyarakat Toba dengan struktur sosial tradisionalnya, yaitu Huta–Horja–Bius
dan falsafah Dalihan Na Tolu. Hal ini merusak keseimbangan sosial, solidaritas,
dan identitas lokal yang terbangun selama berabad-abad.
4.
Dari perspektif teologi Reformed, tindakan kolonial dan misionaris ini
bertentangan dengan prinsip common grace, contextualization, dan
transformational theology yang mengajarkan bahwa anugerah Allah memulihkan,
bukan menghancurkan kebudayaan. Gereja seharusnya menjadi saksi kasih Allah
yang menghormati dan memperbarui budaya lokal, bukan menjadi alat penyeragaman
dan dominasi.
5.
Secara ilmiah, hasil kajian genetika, arkeologi, dan linguistik mendukung
adanya sejarah panjang Bangso Toba yang unik dan berbeda. Temuan Balai
Arkeologi Sumatera Utara di Sianjur Mula-mula yang berusia sekitar 600 tahun,
sebaran genetika K-M526, O-M95, O-M110, O-P203, O-P201, dan R-M124 serta data
kebahasaan memperkuat identitas Toba sebagai entitas historis dan kultural yang
khas, bukan sekadar “pecahan” dari konstruksi Batak tunggal.
Pemulihan
identitas Bangso Toba, oleh karena itu, bukan hanya soal kebanggaan etnis
sempit, melainkan panggilan untuk menyembuhkan luka sejarah, membangun kembali
solidaritas sosial, dan merawat warisan leluhur yang selama ini direduksi oleh
kebijakan kolonial dan agenda zending.
Lebih
jauh, pemulihan ini menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan iman, sesuai
ajaran teologi Reformed: “Grace restores culture, not annihilates it.” (Anugerah
memulihkan budaya, bukan memusnahkannya.)
Mengakui
sejarah yang terluka adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih adil,
beriman, dan bermartabat – di mana Bangso Toba berdiri sebagai bangsa dengan
sejarah, budaya, dan keyakinan yang berakar kuat, serta terbuka untuk
bertransformasi dalam terang kasih Allah.
EPILOG
Sejarah
bukan sekadar deret angka dan nama, melainkan denyut ingatan kolektif yang
memberi makna siapa kita hari ini. Kisah Bangso Toba adalah kisah tentang
perjalanan panjang sebuah masyarakat yang pernah berdiri tegak di tepian Danau
Toba, membangun huta, merawat bius, hidup di bawah falsafah Dalihan Na Tolu,
dan menyebut dirinya dengan bangga sebagai Halak Toba.
Tetapi
datanglah gelombang kolonial dan proyek misionaris, yang dengan kuasa dan pena,
menata ulang peta, menghapus nama, mencipta mitos, dan menanamkan label “Batak”
ke tubuh sejarah kami. Seolah-olah demi kemudahan administrasi dan penyebaran
agama, sejarah yang berlapis dan kaya itu disederhanakan menjadi sebuah
silsilah tunggal bernama “Si Raja Batak” – yang bahkan leluhur kami sendiri tak
pernah kenal.
Tulisan
ini bukan lahir dari rasa benci, tetapi dari kesadaran akan keadilan sejarah.
Kami menelusuri catatan arsip, mendengarkan bisik lembah dan puncak Pusuk
Buhit, membaca ulang surat H.N. van der Tuuk, hingga memeriksa narasi Johannes
Warneck, P.A.L.E. van Dijk, W.K.H. Ypes, dan karya-karya akademik terkini.
Semua ini demi menjawab pertanyaan sederhana namun mendalam: Siapakah kami
sebenarnya?
Jawabannya
tak hanya ditemukan di laboratorium genetika, di liang situs arkeologi, atau
dalam lembar pustaha tua, tetapi juga di hati orang Toba yang masih memanggil
leluhur mereka, menjaga bahasa, merajut kembali dalihan na tolu, dan merindukan
identitas sejati yang pernah hilang.
Pemulihan
identitas Bangso Toba bukan sekadar upaya sejarah, tetapi juga pengakuan iman:
Bahwa
Allah menciptakan kami sebagai bangsa dengan budaya, hukum adat, bahasa, dan
narasi sendiri; dan anugerah-Nya bukan untuk menghancurkan warisan itu,
melainkan untuk memurnikan, menumbuhkan, dan menghidupkan kembali.
Akhirnya,
naskah ini kami persembahkan bukan untuk menolak masa lalu, tetapi untuk
berdamai dengannya. Agar generasi mendatang dapat berdiri tegak, menatap masa
depan tanpa kehilangan akarnya, dan dengan penuh keyakinan berkata:
Kami
bukan Batak.
Kami
adalah Bangso Toba.
Dan
di sanalah, sejarah, iman, dan budaya saling bertemu – bukan untuk mengulang
luka, tetapi untuk merajut pemulihan.
DAFTAR
PUSTAKA
Balai
Arkeologi Sumatera Utara. Laporan Hasil Ekskavasi Sianjur Mula-mula dan Situs
Sekitar Danau Toba. Medan: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2010–2020.
Bavinck,
Herman. Reformed Dogmatics. Grand Rapids, MI: Baker Academic, 1895.
Calvin,
John. Institutes of the Christian Religion. Louisville, KY: Westminster John
Knox Press, 1536 (cetakan ulang).
Hutagalung,
W. M. Pustaha Batak: Tarombo dohot Turi-turian ni Bangso Batak. Medan:
Drukkerij Sumatra, 1926.
Karafet,
T. M., J. S. Lansing, A. J. Redd, et al. “Major East–West Division Underlies Y
Chromosome Stratification across Indonesia.” Molecular Biology and Evolution
27, no. 8 (2010): 1833–1844. https://doi.org/10.1093/molbev/msq063.
Maloney,
Bernard K. “Human Activity in the Lake Toba Region: A Paleoecological
Perspective.” Modern Quaternary Research in Southeast Asia 13 (1996): 67–78.
Nommensen,
Ludwig Ingwer. Utusan Damai di Kemelut Perang. Edited and translated by Uli
Kozok. Jakarta: EFEO & LIPI, 1878.
PALE
van Dijk. Catatan Pribadi tentang “Si Raja Batak” dan Silsilah. 1893–1894.
Arsip RMG, Wuppertal.
Trejaut,
J. A., T. Kivisild, J.-H. Loo, et al. “Traces of Austronesian Expansion into
Asia.” American Journal of Human Genetics 76, no. 3 (2005): 504–515.
https://doi.org/10.1086/429130.
Van
der Tuuk, H. N. Surat kepada Nederlands Bijbelgenootschap. 1851. Manuskrip.
Arsip RMG.
Van
der Tuuk, H. N. Surat kepada Gubernur Hindia Belanda. 1856. Manuskrip. Arsip
RMG.
Van
der Tuuk, H. N. Bataksch Leesboek. Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap,
1864.
Warneck,
Johannes. TobaBataksch-Deutsches Wörterbuch. Leiden: Brill, 1906.
Warneck,
Johannes. Die Toba-Batak: Ein Beitrag zur Kenntnis der Heidnischen Batak. Niesky:
Missionsbuchhandlung, 1909.
WKH
Ypes. Lukisan Tarombo Si Raja Batak. 1932. Koleksi Museum Nasional, Jakarta.
Arsip
Kolonial Hindia Belanda. Besluit G.G. van Nederlandsch-Indië No. 55/1915.
Batavia: Landsdrukkerij, 1915.
van
Dijk, P.A.L.E.
“EENIGE
AANTEEKENINGEN Omtrent De VERSCHILLENDE STAMMEN (MARGAS) EN DE STAMVERDEELING
BIJ DE BATTAKS.”
In
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, edited by Mr. J.H.
Abendanon and P.J.F. Louw, Vol. 37, pages 296–313. Batavia: Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1894.
🎈🎈🎈
No comments:
Post a Comment