TOBA
SEBELUM BATAK
Pengantar
Sebelum
kolonialisme Belanda dan misi RMG dari Jerman menancapkan pengaruhnya di Tanah
Toba, masyarakat di kawasan sekitar Danau Toba memiliki identitas yang jelas
dan otentik sebagai "Toba." Mereka menyebut dirinya sebagai Halak
Toba, tinggal di Tano Toba, dan tunduk kepada Raja Toba. Istilah
"Batak" belum dikenal secara luas dan bukanlah bagian dari kesadaran
kolektif masyarakat Toba kala itu. Tulisan
kecil ini menyajikan data dan argumen bahwa "Toba" adalah
identitas pra-kolonial yang otentik, sementara "Batak" merupakan
produk konstruksi kolonial.
1.
Identitas Lokal: Toba, Bukan Batak
Masyarakat menyebut diri mereka sebagai
Halak Toba. Wilayah disebut Tano Toba atau Negeri Toba. Raja yang dihormati
disebut Raja Toba, seperti dalam stempel resmi Singamangaraja XII: "Raja
di Negeri Toba". Bukan “Raja Batak”. Kutipan: "Singamangaradja...
Maharadja di Negeri Toba" (Cap resmi surat Singamangaraja XII kepada
Sultan Aceh, dikutip dalam Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas, 2010).
Wilayah-wilayahnya disebut Toba Holbung,
Toba Silindung, Toba Samosir, Toba Humbang.
2.
Bukti Dokumenter dan Arkeologis
Surat-surat diplomatik Raja Toba kepada
Sultan Aceh dan datu Barus menyebut diri sebagai "Raja Toba". Kutipan:
"Kami, Raja di Toba, mengirim utusan membawa sirih pinang kepada Paduka
Yang Dipertuan di Aceh..." (Surat abad ke-18, Corpus Diplomaticum).
Peta Eropa abad ke-17 dan ke-18
mencantumkan wilayah ini sebagai "Toba Country" atau "Tobasche
Landen". Bukan Tanah Batak. Peta:
Joan Blaeu (1662), Tobasche Landen. Situs Sianjur Mula-mula (600 tahun lalu)
mengungkap awal pemukiman Toba.
Batu-batu
kursi adat, sarkofagus, dan pustaha mencatat struktur politik Toba.
3.
Kritik Terhadap Istilah "Batak"
H.N. van der Tuuk (1851, 1856) menolak
istilah "Batak" sebagai kasar dan tidak dikenal oleh masyarakat Toba.
Batak adalah bahasa ejekan bagi masyarakat yang belum “unzivilized” barbar dan
pemakan orang.
Kutipan: "De naam Batak is een
uitwendige benaming, gebruikt door de Maleiers voor de binnenlanders, en is
door de inlanders zelf niet aangenomen" (HN van der Tuuk, Surat kepada
NZG, 1851). Istilah "Batak" berasal dari penyebutan luar (Melayu
pesisir) dan dilembagakan oleh kolonial Belanda dan misi RMG.
4.
Rekayasa Narasi: Mitos Si Raja Batak
Tokoh asli: Ompu Jolma, kemudian diubah
oleh PALE van Dijk menjadi "Si Raja Batak".
Kutipan: "De figuur 'Si Raja Batak'
is door mij geformuleerd ter vereenvoudiging van het stamboom" (PALE van
Dijk, catatan pribadi, 1893, dikutip oleh Warneck).
Warneck dan RMG menyusun silsilah
tunggal untuk mendukung penyebaran Kristen dan struktur gereja.
Kutipan: "Het gebruik van de
stamboom van Si Raja Batak in catechisatie is noodzakelijk om het volk een
gemeenschappelijk verleden te geven" (Johannes Warneck, Die Toba-Batak,
1909). Terjemahan dari kutipan tersebut adalah:
"Penggunaan silsilah Si Raja Batak
dalam katekisasi sangat diperlukan untuk memberikan rakyat sebuah masa lalu
yang sama."
Johannes Warneck menekankan pentingnya
menggunakan silsilah Si Raja Batak dalam proses katekisasi (pendidikan agama
Kristen) untuk membangun rasa kesatuan dan identitas bersama di kalangan
masyarakat Batak Toba. Dengan memahami silsilah dan sejarah bersama, masyarakat
dapat memiliki rasa kesatuan dan identitas yang lebih kuat. Narasi ini
diajarkan di sekolah-sekolah zending sebagai sejarah resmi.
5.
Penolakan dari Masyarakat Sekitar
Orang Karo, Simalungun, Mandailing, dan
Pakpak tidak mengenal tokoh "Si Raja Batak" dalam tarombo asli
mereka.
Ini menunjukkan bahwa konstruksi
"Batak" bukanlah identitas kolektif pra-kolonial.
Kutipan: "Silsilah Karo tidak
mengenal nama Si Raja Batak. Ini adalah silsilah Toba yang diadopsi kolonial
untuk menyatukan seluruh suku pedalaman Sumatra" (Dr. Ichwan Azhari,
wawancara, 2019).
6.
Bahasa Toba sebagai Penanda Identitas
Van der Tuuk menulis kamus
"Toba–Belanda", bukan "Batak–Belanda".
Kutipan: "Ik gebruik de naam Toba,
omdat deze het meest door de inlanders zelf wordt gebruikt" (Van der Tuuk,
Tobasche Spraakkunst, 1864). Terjemahan dari kutipan tersebut adalah: "Saya
menggunakan nama Toba, karena nama ini paling sering digunakan oleh penduduk
lokal sendiri."
Dalam
terjemahan ini, Van der Tuuk menjelaskan bahwa ia memilih menggunakan istilah
"Toba" karena istilah ini lebih umum digunakan oleh masyarakat
lokal Toba sendiri, menunjukkan bahwa
istilah ini memiliki relevansi dan pengakuan yang kuat di kalangan masyarakat
setempat.
Bahasa
Toba berbeda dari bahasa Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun dan lainnya.
7.
Perlawanan terhadap Kristenisasi Identitas di Tano Toba
Perlawanan terhadap misi zending tidak
hanya bersifat militer tetapi juga kultural dan identiter. Raja Singamangaraja
XI dan XII menolak baptisan dan tetap menjalankan kepercayaan asli ugamo
parmalim, yang menekankan kesakralan adat, tanah, dan leluhur. Kutipan:
"Singamangaraja na boi dibaptis, alai mardomu ma roha ni halak ni
Toba" – Tradisi lisan, Lumban Raja.
Sekolah-sekolah zending sering ditolak
oleh sebagian bius, karena dianggap menyebarkan sejarah versi baru, termasuk
silsilah "Si Raja Batak". Beberapa guru huria awal mengalami
penolakan sosial karena dianggap membawa perubahan pada tarombo dan tatanan
adat. Ritual adat seperti mangongkal holi, marsombaon, dan pesta bius tetap
dijalankan sebagai bentuk keteguhan identitas Toba asli.
8.
Lampiran Dokumen Asli dan Arsip Penting sebagai referensi:
Cap Raja Singamangaraja XII:
Arsip Museum Nasional Indonesia & Arsip Nasional Belanda. Isi cap:
"Singamangaradja XII – Maharadja di Negeri Toba". Surat kepada Sultan
Aceh (Abad ke-18): Corpus Diplomaticum, Leiden. Cuplikan: "Kami, Raja di
Toba..."
Surat HN van der Tuuk (1851): Nationaal
Archief, Den Haag. Penolakan istilah "Batak", penegasan penggunaan
"Toba". Peta Joan Blaeu (1662): "Tobasche Landen", tak ditemukan
istilah “Batak” (Universiteitsbibliotheek Amsterdam). Catatan PALE van Dijk
(1893): Arsip Missie Batak, RMG, Wuppertal. Pernyataan bahwa “Si Raja Batak”
adalah konstruksi. Warneck (1909), Die Toba-Batak: berisi silsilah hasil
zending, bukan pustaha asli.
9.
Daftar Pustaka Ilmiah
Azhari, Ichwan. Identitas Batak dan
Rekayasa Kolonial. Medan: Pustaka Pendidikan, 2019.
Blaeu, Joan. Atlas Maior. Amsterdam,
1662.
Hutagalung, W.M. Pustaha Batak: Tarombo
Dohot Turiturian ni Bangso Batak. Medan: 1926.
Perret, Daniel. Kolonialisme dan
Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010.
Tuuk, H.N. van der. Tobasche
Spraakkunst. Leiden: Brill, 1864.
Warneck, Johannes. Die Toba-Batak.
Leipzig: Hinrichs, 1909.
Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum.
Leiden University Special Collections.
10.
Glosarium Istilah Adat Toba
Halak Toba: Sebutan untuk orang Toba
secara umum.
Tano Toba: Wilayah geografis dan budaya
yang dihuni masyarakat Toba.
Huta: Permukiman adat atau kampung yang
menjadi unit sosial dasar.
Horja: Persekutuan beberapa huta dalam
satu wilayah adat.
Bius: Ikatan sosial keagamaan dan
politik antara horja, berfungsi dalam urusan upacara dan pertahanan.
Ulu ni Huta: Kepala kampung atau
pemimpin tertinggi dalam sebuah huta.
Parbaringin: Tokoh spiritual atau pemuka
adat yang memimpin ritual dan upacara.
Ugamo Parmalim: Kepercayaan asli
masyarakat Toba sebelum masuknya Kristen; berpusat pada pemujaan Debata
Mulajadi dan penghormatan leluhur.
Mangongkal Holi: Tradisi pembongkaran
dan pemindahan tulang leluhur untuk disatukan dalam makam baru sebagai bentuk
penghormatan.
Marsombaon: Tradisi memberi hormat
kepada yang lebih tua, bentuk nyata dari prinsip Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu: Filosofi sosial yang
menjadi dasar relasi kekerabatan Toba, terdiri dari somba marhula-hula (hormat
pada pihak istri), manat mardongan tubu (bijak pada sesama marga), dan elek
marboru (sayang pada pihak perempuan).
Si Raja Batak: Tokoh silsilah hasil
konstruksi kolonial untuk menyatukan berbagai kelompok etnis dalam satu narasi
identitas.
Ompu Jolma: Leluhur awal dalam narasi
asli pustaha Toba, sebelum diubah menjadi "Si Raja Batak" oleh
misionaris dan pejabat kolonial.
Pustaha: Kitab tradisional Toba yang
ditulis di kulit kayu, berisi sejarah, hukum adat, dan ilmu pengetahuan lokal.
Penutup
Identitas
"Toba" adalah warisan sejarah dan budaya yang otentik dan berakar
dari kesadaran lokal masyarakat di Tanah Toba. Sebaliknya, "Batak"
adalah nama payung yang disusun oleh kolonialisme untuk tujuan administratif
dan misi penyebaran agama Kristen. Menghidupkan kembali kesadaran akan
identitas Toba bukan berarti memecah belah, tetapi mengembalikan narasi kepada
jejak sejarah yang asli dan adil. ###
📍📍📍
No comments:
Post a Comment