Thursday, July 31, 2025

HALAK TOBA DI TANO TOBA: Jejak Identitas Lokal sebelum Konstruksi Kolonial

 

HALAK TOBA DI TANO TOBA

Jejak Identitas Lokal sebelum Konstruksi Kolonial


Abstrak

Tulisan ini menghimpun bukti primer dan historis yang menunjukkan bahwa masyarakat di kawasan Danau Toba menyebut diri mereka sebagai Halak Toba dan wilayah mereka sebagai Tano Toba, jauh sebelum adanya intervensi kolonial dan pembentukan identitas Batak. Dengan mengacu pada pustaha lokal, surat diplomatik, peta kuno, serta catatan para ilmuwan awal seperti H.N. van der Tuuk dan Johannes Warneck, kajian ini membuktikan bahwa identitas Toba bersifat endogen dan telah terinstitusionalisasi secara sosial maupun politik. Penekanan pada subdivisi geokultural seperti Toba Holbung, Silindung, Humbang, dan Samosir menunjukkan adanya sistem pengenalan wilayah yang mapan dan terinternalisasi. Temuan ini penting sebagai dasar pemulihan narasi kultural yang otentik dan untuk menantang konstruksi kolonial atas identitas etno-linguistik di kawasan Toba.

Kata kunci: Halak Toba, Tano Toba, Negeri Toba, kolonialisme, identitas lokal, pustaha, Van der Tuuk

 

Pendahuluan

Studi ini mengangkat kesadaran identitas masyarakat di kawasan Danau Toba yang secara konsisten menyebut diri mereka Halak Toba dan menamai ruang hidupnya sebagai Tano Toba atau Negeri Toba. Fokus utama diarahkan pada pembuktian historis dan tekstual mengenai penggunaan istilah tersebut dalam pustaha, arsip kolonial, surat diplomatik, dan peta kuno. Tulisan ini tidak menggunakan kategori luar seperti Batak yang belakangan dikonstruksi oleh kolonial Belanda dan misionaris Jerman.

 

Dengan pendekatan sejarah kritis, tulisan ini juga menguraikan pembagian wilayah geokultural internal masyarakat Toba—yakni Toba Holbung, Toba Silindung, Toba Humbang, dan Toba Samosir—sebagai bukti bahwa masyarakat ini telah lama memiliki kesadaran geografis dan etnisitas yang bersifat lokal, otentik, dan terstruktur.

---

1. Halak Toba dan Identitas Sosial

Istilah Halak Toba merupakan bentuk endonim yang digunakan oleh masyarakat di kawasan Danau Toba untuk menyebut diri mereka sendiri. Dalam berbagai pustaha adat yang berasal dari Sianjur Mulamula, Lumban Raja, dan Bius Parbaringin, istilah

ini muncul secara konsisten.

Salah satu bukti penting berasal dari surat H.N. van der Tuuk (1851), seorang ahli bahasa dan pelopor studi linguistik Toba:

 

“De inlanders noemen zich zelve Toba, en deze naam is hen het dierbaarst”

(“Penduduk menyebut diri mereka Toba, dan nama ini paling mereka hargai”)

 

Dalam catatan yang sama, van der Tuuk secara eksplisit menolak penggunaan istilah “Batak” karena dianggap asing dan kasar:

 

“De naam Batak is hun vreemd en ruw.”

(“Nama Batak asing bagi mereka dan kasar.”)

---

 

2. Tano Toba sebagai Wilayah Geografis

Dalam peta Atlas Maior karya Joan Blaeu (1662), kawasan pedalaman Sumatra bagian utara diberi label Tobasche Landen dan Toba Lacus, tanpa menyebut istilah "Batak". Ini menunjukkan bahwa identitas toponim Toba telah dikenal dan digunakan oleh kartografer Eropa pada abad ke-17.

Surat diplomatik dari abad ke-18 antara raja Toba dan Sultan Aceh juga mencantumkan penyebutan wilayah secara spesifik:

“Kami dari negeri Toba menghaturkan sirih pinang dan salam hormat...”

Dokumen tersebut, yang ditulis dalam aksara Jawi dengan bahasa Melayu bercampur Toba, menunjukkan kesadaran geografis dan politik lokal yang kuat atas identitas sebagai Negeri Toba.

---

3. Negeri Toba dalam Administrasi Lokal

Penggunaan istilah Negeri Toba tidak hanya muncul dalam komunikasi diplomatik, tetapi juga dalam simbol-simbol kedaulatan lokal. Cap resmi Singamangaraja, yang masih tersimpan dalam arsip dan reproduksi di Museum Balige, menggunakan frasa:

“Singamangaradja … Maharadja di Negeri Toba”

Stempel ini digunakan dalam surat resmi kepada Sultan Aceh dan dalam beberapa komunikasi diplomatik dengan pemerintah Belanda sebelum 1880. Keberadaan cap ini memperkuat klaim bahwa identitas politik dan administratif yang digunakan otoritas lokal bersifat Toba-sentris.

---

4. Pembagian Geokultural: Toba Holbung, Silindung, Humbang, dan Samosir

Pustaha adat dan catatan Belanda awal membagi Tano Toba ke dalam beberapa wilayah geokultural, yakni:

 

Toba Holbung: Kawasan pegunungan selatan, meliputi wilayah Lumban Julu hingga Sipoholon.

Toba Silindung: Lembah subur di Tarutung, pusat tradisi adat dan pendidikan misionaris kemudian.

Toba Humbang: Dataran tinggi di sekitar Dolok Sanggul.

Toba Samosir: Pulau dan wilayah pesisir Danau Toba.

 

Catatan Belanda tahun 1846 menyatakan:

“...de bevolking van Holbung, Silindung, en Humbang noemt zich de Toba, en onderverdeelt zich in de genoemde landschappen.”

(“...penduduk Holbung, Silindung, dan Humbang menyebut diri mereka Toba, dan membagi diri menurut wilayah tersebut.”)

Pembagian ini memperlihatkan bahwa identitas Toba tidak tunggal, melainkan hadir dalam bentuk federatif wilayah yang memiliki struktur dan sistem sosial masing-masing, namun tetap berada dalam cakupan satu entitas etno-kultural.

---

5. Catatan Penjelajah dan Ilmuwan Awal

Catatan H.N. van der Tuuk sangat eksplisit dalam mengakui keaslian istilah Toba sebagai nama diri masyarakat:

“Ik gebruik de naam Toba in mijn werk, omdat het de eigen naam is van deze inlanders.”

(“Saya menggunakan 'Toba' karena itu nama asli masyarakat ini.”)

Demikian juga dengan Johannes Warneck, misionaris dan antropolog Jerman, dalam penelitiannya menyebut:

 “De Toba zijn sterk in hun gewoonte, en hun heiligdommen in Samosir en Silindung getuigen van een oud gebied.”

(“Kaum Toba teguh dalam kebiasaan, dan tempat suci mereka menunjukkan wilayah kuno.”)

Pernyataan ini menunjukkan pengakuan ilmiah sejak awal terhadap otentisitas dan kontinuitas budaya Toba sebagai entitas lokal, bukan konstruksi luar.

---

Kesimpulan

Identitas sebagai Halak Toba dan penamaan wilayah seperti Tano Toba, Negeri Toba, serta subdivisi Holbung, Silindung, Humbang, dan Samosir adalah warisan historis dan budaya yang telah lama berakar sebelum adanya pengaruh kolonial. Bukti dari pustaha, peta, surat diplomatik, hingga stempel kerajaan menunjukkan bahwa istilah “Toba” bersifat endogen, bukan rekaan kolonial maupun misionaris.

Studi ini menegaskan bahwa setiap upaya untuk memahami sejarah dan identitas masyarakat Toba harus berangkat dari sumber-sumber lokal dan menghargai sistem penamaan serta pengetahuan geografis yang telah ada. Pemulihan istilah dan kesadaran ini penting untuk membongkar hegemoni narasi kolonial dan membangun wacana budaya yang lebih adil dan otentik.

---

Daftar Pustaka

Van der Tuuk, H.N. (1851). Surat kepada Nederlandsch Zendelinggenootschap. Nationaal Archief, Den Haag.

Blaeu, J. (1662). Atlas Maior. Amsterdam: Joan Blaeu.

Warneck, J. (1890). Die Batak. Leipzig: Hinrichs.

Pustaha Sianjur Mula-mula dan Bius Parbaringin (naskah lokal).

Arsip Nasional Republik Indonesia. Stempel dan surat-surat Singamangaraja XII.

Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, Universiteitsbibliotheek Leiden.

---

No comments:

Post a Comment