Thursday, March 27, 2025
MUNGKINKAH BUDIDAYA PADI DARAT KERING DAN BASAH AWAL DI DATARAN TINGGI SUMATERA UATARA
Tuesday, March 25, 2025
H I T A T O B A: Leluhur Toba dan Orang Toba di Negeri Toba
Seri HITA TOBA-3
H I T A T O B A
Leluhur Toba dan
Orang Toba di Negeri Toba
Oleh: Edward Simanungkalit *
Gelombang
Migrasi Leluhur
Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry
Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang
melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia
ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat
Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an
tahun lalu, muncul arus migrasi penutur
Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari
Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga
menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang
menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan,
dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur
Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua
penutur tadi datang, sudah ada ras
Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur,
seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi
cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu:
Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur
Austronesia.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:
1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).
2. Gelombang migrasi kedua datang
dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur
Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia
hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
3. Gelombang migrasi ketiga datang
dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu . Mereka ini
penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
4. Gelombang migrasi keempat datang
dari India, Arab, dan Eropa pada masa millenium.
Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:
1. Negrito
(ras Australomelanosoid), K-M526* = 13,51%, yang bermigrasi ke
Negeri Toba setelah tenggelamnya Sundaland di sekitar 8.500 tahun
lalu.
2. Penutur
Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), O-M95* =
13,51%, yang datang sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu. Mereka ini pendukung
budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan
kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari
Deli Serdang hingga Lhok Seumawe.
3. Penutur
Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari
Taiwan (O-M110 = 10,81% dan O-P203 = 2,7%) dan masuk
lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu. Pendukung budaya Dongson
bermigrasi ke Negeri Toba dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara (O-P201 = 57%)
dan masuk dari pantai Timur. Mereka ini lebih dominan 57%.
4. Penutur
Dravida, R-M124 = 2,7%, dari India Barat bermigrasi ke Negeri
Toba melalui Barus di pantai Barat sekitar 600 tahun lalu.
Disimpulkan bahwa leluhur Toba
didominasi oleh penutur Austronesia dan bahasa Toba termasuk ke dalam rumpun
bahasa Austronesia. Sejak dari leluhurnya, orang Toba didominasi oleh ras
Mongoloid. Leluhur Toba terdiri dari 6
gen (5 gen dari masa pra-sejarah ditambah 1 gen dari 600 tahun lalu), sehingga jelas bahwa leluhur
Toba bukan leluhur tunggal melainkan leluhur
campuran!
Leluhur Toba Menjadi Etnis Toba dan Berdiam di Negeri Toba
Leluhur Toba yang
datang pada masa prasejarah terdiri dari Ras Australomelanesoid dan Ras
Mongoloid yang didominasi Ras Mongoloid dan bahasa Austronesia, yaitu: Bahasa
Toba. Mereka mendiami wilayah yang “sebelum penjajahan Belanda, bernama Negeri Toba, yang merdeka dan berdaulat
meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang beribukota di Bangkara.” (Batara
Sangti, 1978:27). Penjelasan Batara Sangti ini mirip seperti yang tertulis
dalam stempel Raja Singamangarja XII:
Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Di dalam Negarakertagama Pupuh 13 Tahun 1365 M: Disebutkan Mandailing, Toba,
Haru, dan Barus di kawasan Sumatera Utara sekarang. Tidak ada kata lain apalagi
kata ‘Batak’. ”. Di dalam buku: “Sejarah
Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus” (Drakard, 1988), pada naskah berupa
manuskrip kuno : “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri
Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai berikut: “Bermula dihikayatkan suatu
raja dalam negeri Toba sila-silahi
(Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige). Kampung Parsoluhan, suku Pohan.”
Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan tentang Alang Pardosi, yang
mendirikan Dinasti Pardosi di Barus dan yang datang dari Negeri Toba. Demikian
juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: Toba Na Sae (2009) menjelaskan soal
kata: "Toba Na Sae" itu dengan memaksudkan: Negeri Toba yang meliputi: Toba
Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung (Sitor Situmorang, TOBA NA SAE, Komunitas Bambu, Jakarta:
2009). Di masa lalu sebelum datangnya penjajahan Belanda, tidak ada sebutan Negeri
Batak atau Negeri Batak Toba, tapi yang ada sebutan Negeri Toba.
Menarik membaca pemaparan Dr.
Ulber Silalahi, MA. dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (Pemerintahan
(harajaon) dan birokrasi tradisional Masyarakat Toba (Laporan Penelitian,
2012), yang melakukan penelitian berikut ini, bahwa “semua etnik Toba pada
awalnya menyebar dan tinggal di daerah Toba. Tentang nama tempat “Toba”, Ulber
Silalahi mengutip keterangan dari misionaris Meerwaldt pada akhir abad ke-19
yang melaporkan pengamatannya sebagai berikut: Sungguh mengherankan bahwa
ketika berangkat dari selatan menuju utara Tanah-tanah Batak, semakin kita
merasa mendekati Toba yang sesungguhnya, semakin Toba mundur menjauh. Di
Angkola, istilah “Toba” menunjuk semua yang ada di sisi seberang Sungai Aek
Poli, berarti di sebelah utara lembah Sungai Batang Toru. Namun, begitu kita
sampai di Sungai Aek Poli, kita mendengar bahwa “Toba” bermula di lembah
Silindung. Penduduk Silindung sendiri menamakan “Toba” daerah yang ada di utara
rantai pegunungan yang menutup lembah tersebut. Jika kita berjalan lebih jauh
lagi dan tiba di dataran tinggi, kita disuruh melanjutkan sampai di wilayah
tepi danau. Baru di sanalah kita menemukan orang-orang yang menamakan tanah
mereka “Toba” dan menyebut dirinya “halak Toba”.” (Silalahi, 2012:42-43;
Laporan Penelitian).
Dr.
Ulber Silalahi, MA. melanjutkan, bahwa Toba
Samosir menempati daerah Samosir (pada masa kolonialisme Belanda disebut
Onderafdeeling Samosir), suatu daerah yang mencakup pulau Samosir dan daerah
pantai barat Danau Toba, meliputi daratan lembah subur seperti Sagala, Limbong,
Harianboho, Sihotang, Tamba, Sabulan, dan Janjiraja. Sementara Samosir
merupakan tanah tandus berbatu-batu. Toba Holbung menempati daerah Toba Holbung (pada masa kolonialisme
Belanda disebut Onderafdeeling Toba), yang meliputi Balige dan Porsea dan
sekitarnya dan merupakan daerah persawahan terluas yang berada di sepanjang
garis pantai selatan Danau Toba. Toba
Humbang menempati daerah Humbang (pada masa kolonialisme Belanda disebut
Onderafdeeling Hoogvlankte van Toba). Daerah Humbang memiliki wilayah yang
terdiri dari padang-padang luas dan pegunungan berhutan lebat. Hanya sedikit
lahan untuk persawahan. Toba Silindung
menempati daerah Silindung (pada masa kolonialisme Belanda disebut
Onderafdeeling Silindung). Daerah ini memiliki daerah persawahan kedua setelah
Toba Holbung, termasuk persawahan hingga lembah subur Pahae (2012:43-44).
Demikian penjelasan Dr. Ulber Silalahi, MA. dalam Laporan Penelitiannya
berjudul: “BIROKRASI
TRADISIONAL DARI SATU KERAJAAN DI SUMATERA: Harajaon Batak Toba”
(Univ. Parahyangan, Bandung: 2012).
Adapun
penulis, sejak kecil memahami diri sendiri sebagai Halak Toba atau Orang Toba
pada paruh kedua tahun 1960-an. Itu yang penulis ketahui dari para orangtua di
lingkungan penulis di saat berada di Kabupaten Dairi. Para orangtua ketika
berbincang-bincang sering berkata: “Anggo adat ni hita, halak Toba, asing do
adatna tu adat ni dongan Pakpak manang dongan Karo.” i.e. : “Kalau adat kita,
orang Toba, berbeda dengan adat dari saudara kita, Pakpak maupun Karo.”. Begitu
kira-kira disampaikan, sehingga terlihat kontras antara Orang Toba dengan Orang
Pakpak maupun Orang Karo, yang jelas memberikan identifikasi diri bahwa diri penulis
adalah Halak Toba atau Orang Toba. Demikian juga, ketika penulis berada di
daerah Karo, maka ketika menyebut marga penulis, Orang Karo menyebut penulis: “O’ kalak
Tebba.” Begitu juga Orang Pakpak menyebut penulis: “Kalak Tebba”. Kedua
perkataan ini artinya: “Halak Toba” atau “Orang Toba”. Kedua pernyataan ini
mengkonfirmasi bincang-bincang para orangtua di lingkungan penulis tadi. Jadi, penulis adalah Halak Toba atau Orang
Toba.
Ketika
ada orang dari Sidikalang mau ke bekas daerah Tapanuli Utara dulu sebelum
pemekaran (Taput Lama), maka ditanyakan mereka mau ke mana, maka jawabannya:
“Naeng tu Toba” i.e.: “Mau ke Toba” dan dilanjutkan penjelasannya di mana
Tobanya itu, yaitu: Pangururan, Dolok
Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong, Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti,
dll. Demikian juga, ketika mereka kembali dari daerah-daerah tersebut, maka
mereka berkata: “Dari Toba”. Bus-bus umum pun yang mau ke daerah-daerah tadi
akan berkeliling kota memanggil para penumpangnya dengan berkata: “Toba, Toba,
Tobaaaaa …”. Baru-baru ini pada bulan Juni 2015 lalu, ketika melintas di depan
stasiun bus Sitra, mereka memanggil: “Toba, Toba, Tobaaaa …”. Pada waktu itu
penulis sengaja bertanya kepada mereka apa yang mereka maksudkan dengan kata
“Toba” itu, mereka menjawab: “Samosir, Dolok Sanggul, Lintong ni Huta,
Siborong-borong, Tarutung, Balige,
Porsea, Laguboti, dll. Jadi, yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” atau
“Negeri Toba” itu ialah bekas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dulu sebelum
dimekarkan (Taput Lama).
Begitu
juga dengan bus-bus dari Simpang Dua, Pematang Siantar yang mau ke
Siborong-borong, Dolok Sanggul, dan Tarutung, pihak busnya akan memanggil:
“Toba, Toba, Toba …”. Orang-orang Pakkat, Parlilitan, dan Barus, ketika mereka hendak
ke Dolok Sanggul.akan menyebut: ke “Toba”. Begitu juga orang-orang dari Sipirok
dan Padang Sidimpuan ketika mereka hendak ke Pahae, Tarutung, Siborong-borong,
dll. menyebut ke “Toba”. Mereka menyebut mulai dari Pahae itulah sudah masuk
“Toba”. Jelaslah, bahwa Taput Lama itu disebut Toba atau Negeri Toba.
HN van
der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG),
dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus
NBG agar istilah “Batak dan Melayu” tidak digunakan secara resmi. Sebagai
gantinya HN van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti: Pakpak, Karo, Simalungu,
Toba, Mandailing, dan Angkola. Sejak misionaris Jerman dari RMG masuk ke Negeri
Toba pada tahun 1862, maka mulailah proses pembatakan berlangsung. Lothar
Schreiner‖ (1999:11) mengatakan: “Sebutan ‘Batak‘ maupun ‘daerah Batak‘ barulah
muncul setelah pengkristenan”. Setelah Perang Toba I dan II (1878 & 1883), Raja
Singamangaraja XII mengundurkan diri bergerilya di Tanah Pakpak. Barulah Negeri
Toba dikuasai kolonial dan proses pembatakan dapat berlangsung lebih luas
terutama lewat sekolah-sekolah zending. Inilah kerisauan HN van der Tuuk yang
ditulis melalui suratnya kepada misionaris Jerman dengan alasan bahwa
pengertian dari Batak itu negatif dan mereka
memang bukan Batak, sehingga lebih baik mereka tetap sebagai Toba, Pakpak,
Karo, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Bersama HN van der Tuuk berkata:
“Kita bukan Batak!”. HITA TOBA. ^$^
Sopo
Panisioan, 25 Maret 2025
(*) Pemerhati Sejarah
Alternatif Peradaban
Friday, March 21, 2025
LELUHUR TOBA CAMPURAN BUKAN TUNGGAL
Seri HITA TOBA-2
LELUHUR TOBA CAMPURAN
BUKAN TUNGGAL
Oleh: Edward Simanungkalit *
Gelombang Migrasi Leluhur
Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry
Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang
melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia
ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat
Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an
tahun lalu, muncul arus migrasi penutur
Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari
Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga
menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang
menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan,
dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur
Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua
penutur tadi datang, sudah ada ras
Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur,
seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi
cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu:
Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur
Austronesia.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:
1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).
2. Gelombang migrasi kedua datang
dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur
Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia
hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
3. Gelombang migrasi ketiga datang
dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu . Mereka ini
penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
4. Gelombang migrasi keempat datang
dari India, Arab, dan Eropa pada masa millenium.
Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:
1. Negrito
(ras Australomelanosoid), K-M526*, yang bermigrasi ke Negeri
Toba setelah tenggelamnya Sundaland di sekitar 8.500 tahun lalu.
2. Penutur
Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), O-M95*,
yang datang sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu. Mereka ini pendukung budaya
Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak
Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli
Serdang hingga Lhok Seumawe.
3. Penutur
Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari
Taiwan (O-M110 dan O-P203) dan masuk lewat pantai Barat
sekitar 4.000 tahun lalu. Pendukung budaya Dongson bermigrasi ke Negeri Toba
dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara (O-P201) dan masuk dari pantai
Timur. Mereka lebih dominan 57%.
4. Penutur
Dravida, R-M124, dari India Barat bermigrasi ke Negeri Toba
melalui Barus di pantai Barat sekitar 600 tahun lalu.
Disimpulkan bahwa leluhur Toba
didominasi oleh penutur Austronesia dan bahasa Toba termasuk ke dalam rumpun
bahasa Austronesia. Leluhur Toba terdiri dari 6 gen (5 gen dari masa
pra-sejarah ditambah 1 gen dari 600
tahun lalu), sehingga jelas bahwa leluhur Toba bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran!
Kebenaran itu Memerdekakan
Di sini bukan hendak memakai klaim kemutlakan kebenaran agama untuk masuk ke wilayah yang bukan wewenangnya seperti topik bahasan ini. Akan tetapi, pertanggung-jawaban iman Kristen tetap harus ada, sehingga untuk itu perlu dipahami premis dasar: “All truth is God’s truth”.
Kebenaran di dalam
iman Kristen dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu:
1. Revealed Truth atau kebenaran yang
disingkapkan Allah secara khusus untuk menyatakan rencana keselamatan-Nya di dalam
Kristus Yesus. Kebenaran ini bersifat ekskusif dan intoleran, karena hal ini
adalah masalah iman yang tidak mungkin didialogkan dengan pihak lain. Oleh
sebab itu, dalam kaitannya dengan tanggung jawab Kristen, harus disadari bahwa
bukanlah bagaimana membuat Revealed Truth yang kita yakini dapat diterima oleh
orang lain yang berbeda kepercayaan. Orang Kristen tidak terpanggil untuk itu!
2. Discovered Truth atau kebenaran yang
diijinkan bahkan disediakan Allah untuk ditemukan oleh umat manusia. Discovered
Truth meliputi semua kebenaran di luar Revealed Truth yang disediakan Allah
untuk ditemukan dan dimanfaatkan dalam kehidupan umat manusia. Kebenaran itu
termasuk kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dlsb. Berbeda dari
Revealed Truth, maka Discovered Truth sifatnya toleran, sehingga siapapun
dengan latar belakang kepercayaan apapun dapat bertemu dalam suatu pemahaman
tertentu tanpa diembeli label dari kepercayaan tertentu.
Discovered Truth harus diintegrasikan ke dalam Revealed Truth. Allah di dalam Kristus Yesus yang menjadi sumber dari Revaled Truth adalah Allah yang sama yang menjadi sumber dari Discovered Truth. Respon kita terhadap Discovered Truth tidak harus sama dengan respon kita terhadap Revealed Truth. Setiap kepercayaan boleh mengklaim kemutlakan Revealed Truth mereka masing-masing, tetapi ketika memasuki arena Discovered Truth tidak ada tempat bagi klaim apapun juga. Discovered Truth tidak lebih tinggi dari Revealed Truth. Klaim terhadap keabsolutan Revealed Truth hanya bisa dipahami oleh orang lain melalui pertanggung-jawaban moral dalam Discovered Truth. Moral itupun standarnya Revealed Truth, yaitu Alkitab (Yakub B. Susabda: 1993).
Dalam kerangka integrasi Discovered Truth dengan Revealed Truth di atas, dapatlah dipahami ketika Kristus berkata bahwa “kebenaran itu akan memerdekakan”. Itu sebabnya, tetaplah menyaksikan kebenaran dan menyaksikan Discovered Truth di tengah-tengah masyarakat plural akan memerdekakan semuanya. Kebenaran akan membongkar dan mengalahkan keterbelakangan, ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan. Kebenaran yang dimaksud termasuk kebenaran ilmiah di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mitos Si Raja Batak
Hasil penelitian yang
dikemukakan Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak setelah malang-melintang selama
karirnya dalam Arkeologi Prasejarah disertai hasil penelitian yang dilakukan Lembaga
Eijkman puluhan tahun di Indonesia telah dipaparkan di awal. Bahwa leluhur
datang bergelombang sejak Sumatera kosong setelah Sundaland tenggelam, sehingga
leluhur orang Indonesia itu campuran. Leluhur Toba bukan leluhur tunggal,
tetapi leluhur campuran. Leluhur Toba yang datang pada masa prasejarah dalam 3
(tiga) gelombang, dari 8.500 – 4.000
tahun lalu, jelas membuat Negeri Toba sudah ramai didominasi ras Mongoloid
berbahasa Austronesia. Dengan demikian, maka Si Raja Batak hanyalah tokoh mitos
yang tidak pernah hidup dalam sejarah. Dari namanya yang memakai kata “Raja”
berasal dari kata “Raj’” dalam bahasa Sanskerta, maka jelas itu mitos yang berhubungan
dengan orang India, bukan ras Mongoloid. Oleh karena leluhur Toba itu leluhur
campuran yang didominasi oleh ras Mongoloid berbahasa Austronesia, maka
tertolaklah mitos Si Raja Batak ini. &&&
Sopo Panisioan, 21
Maret 2025
*Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
Catatan tulisan terkait sebelumnya:
Edward Simanungkalit, “MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda Dalam Pembatakan Non-Melayu”: (2016).
Edward Simanungkalit, “MEMBONGKAR DISAIN KOLONIAL LEWAT MITOS SI RAJA BATAK: Sains vs Dongeng”: (2020).
Thursday, March 13, 2025
LELUHUR MANDAILING LELUHUR CAMPURAN
LELUHUR MANDAILING LELUHUR CAMPURAN
Oleh: Edward
Simanungkalit
Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:
1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).
2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa sejarah.
Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sbb.:
Negrito (ras Australomelanosoid) datang dari Sundaland ke Tanah Mandailing di sekitar 8.500 tahun lalu pada gelombang migrasi pertama. Kemudian penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), datang dari Vietnam Selatan dan Kamboja ke Tanah Mandailing pada gelombang migrasi kedua. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera mulai dari Deli Serdang, Langkat, hingga Lhok Seumawe di sekitar 5.000 - 8.430 tahun lalu. Berikutnya penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Vietnam Utara (dekat perbatasan China Selatan) ke Tanah Mandailing dan masuk lewat pantai Timur sekitar 4.000 tahun lalu. Dari Taiwan ada juga datang bermigrasi dan masuk dari pantai Barat pada gelombang migrasi ketiga. Selanjutnya, penutur Dravida, yaitu orang India dari India Selatan bermigrasi ke Tanah Mandailing pada gelombang migrasi keempat melalui pantai Timur dan pantai Barat pada masa sejarah. Nama Mandailing berasal dari Mandala Holing, yang terkait dengan kedatangan orang Holing dari India. Candi Syiwa ditemukan di Simangambat, yang telah diekskavasi, berasal dari abad ke-8.
Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Mandailing termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa leluhur Mandailing didominasi oleh penutur Austronesia. Leluhur Mandailing datang bermigrasi sebanyak 4 (empat) gelombang, sehingga leluhur Mandailing bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran! Terlihat jelas bahwa etnis Mandailing terbentuk sendiri dan merupakan etnis mandiri.
Namun kemudian, dalam buku HITA BATAK oleh Ch. Robin Simanullang (2020) ada dituliskan: “Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi. … Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Mandailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.” (Simanullang, 2022:452-453; Lihat juga: 483-485; bnd. WM. Hutagalung, PUSTAHA BATAK: 1926). Seperti ini kira-kira penggambaran asal-usul Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, dan Mandailing menurut penjelasan di dalam buku HITA BATAK tersebut di atas.
Sebelumnya,
di bagian awal telah dipaparkan secara ilmiah, baik Arkelogi maupun Genetika oleh Lembaga Eijkman, bahwa pada
masa prasejarah, Etnis Mandailing terbentuk oleh Ras Australomelanosoid
(Negrito), penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia melalui 3 (tiga)
gelombang migrasi secara berturut-turut. Sedang pada gelombang migrasi keempat,
datang lagi penutur Dravida dari India Selatan, sehingga dapat dipastikan bahwa
leluhur Mandailing bukanlah leluhur tunggal, melainkan leluhur campuran. Dengan
demikian, maka migrasi leluhur Mandailing yang disebut-sebut datang dari
Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit jelas tertolak, karena tidak terbukti
secara ilmiah. Akhirnya, sains telah menjawab mitologi tadi! &&&
Sopo Panisioan, 13 Maret 2025
Tuesday, March 11, 2025
LELUHUR KARO LELUHUR CAMPURAN
LELUHUR KARO LELUHUR CAMPURAN
Oleh: Edward
Simanungkalit
Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian mereka di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:
1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).
2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa sejarah.
Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sbb.:
Negrito (ras Australomelanosoid), C-RPS4Y* = 19,05%, datang dari Sundaland ke Tanah Karo di sekitar 8.500 tahun lalu pada gelombang migrasi pertama. Kemudian penutur Austroasiatik, O-M95* = 19,05%, (ras Mongoloid yang berkulit hitam), datang dari Vietnam Selatan dan Kamboja ke Tanah Karo pada gelombang migrasi kedua. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera mulai dari Deli Serdang, Langkat, hingga Lhok Seumawe di sekitar 5.000 - 8.430 tahun lalu. Situs budaya Hoabinh dari masa prasejarah di Namo Gajah, Gua Rampah dan Penen, Deli Serdang telah diekskavasi Balai Arkeologi Sumut (BAS VOL. 15/No. 2/2012, hal. 204-223). Berikutnya penutur Austronesia, O-M119 = 42,85%, (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Vietnam Utara (dekat perbatasan China Selatan) ke Tanah Karo dan masuk lewat pantai Timur sekitar 4.000 tahun lalu pada gelombang migrasi ketiga. Selanjutnya, penutur Dravida, R-M173 = 19,05%, yaitu orang India dari India Selatan bermigrasi ke Tanah Karo pada gelombang migrasi keempat melalui pantai Timur dan pantai Barat di sekitar Singkil pada masa sejarah.
Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa leluhur Karo didominasi oleh penutur Austronesia. Leluhur Karo datang bermigrasi sebanyak 4 (empat) gelombang, sehingga leluhur Karo bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran! Terlihat jelas bahwa etnis Karo terbentuk sendiri dan merupakan etnis mandiri.
Namun kemudian, dalam buku HITA BATAK oleh Ch. Robin Simanullang (2020) ada dituliskan: “Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi. … Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Mandailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.” (Simanullang, 2022:452-453; Lihat juga: 483-485; bnd. WM. Hutagalung, PUSTAHA BATAK: 1926). Seperti ini kira-kira penggambaran asal-usul Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, dan Mandailing menurut penjelasan di dalam buku HITA BATAK tersebut di atas.
Sebelumnya,
di bagian awal telah dipaparkan secara ilmiah, baik Arkelogi maupun Genetika oleh Lembaga Eijkman, bahwa pada
masa prasejarah, Etnis Karo terbentuk oleh Ras Australomelanosoid (Negrito),
penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia melalui 3 (tiga) gelombang
migrasi secara berturut-turut. Sedang pada gelombang migrasi keempat, datang
lagi penutur Dravida dari India Selatan, sehingga dapat dipastikan bahwa
leluhur Karo bukanlah leluhur tunggal, melainkan leluhur campuran. Dengan
demikian, maka Si Raja Asiasi yang disebut-sebut datang dari kaki Pusuk Buhit
jelas tertolak, karena tidak terbukti secara ilmiah. Akhirnya, sains telah menjawab
mitologi tadi.! &&&
Sopo Panisioan, 11 Maret 2025
Saturday, March 1, 2025
LELUHUR SIMALUNGUN LELUHUR CAMPURAN
LELUHUR SIMALUNGUN LELUHUR CAMPURAN
Oleh: Edward
Simanungkalit
Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian mereka di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:
1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).
2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa sejarah.
Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sbb.:
Negrito (ras Australomelanosoid), datang dari Sundaland ke Tanah Simalungun di sekitar 8.500 tahun lalu pada gelombang migrasi pertama. Kemudian penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), datang dari Vietnam Selatan dan Kamboja ke Tanah Simalungun pada gelombang migrasi kedua. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang, Langkat, Aceh Tamiang hingga Lhok Seumawe di sekitar 5.000 - 8.430 tahun lalu. Berikutnya penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), datang bermigrasi dari Vietnam Utara (dekat perbatasan China Selatan) ke Tanah Simalungun dan masuk lewat pantai Timur sekitar 4.000 tahun lalu pada gelombang migrasi ketiga. Selanjutnya, penutur Dravida, yaitu orang India datang bermigrasi ke Tanah Simalungun pada gelombang migrasi keempat melalui pantai Timur Sumatera pada masa sejarah. Catatan: Migran Toba dari Negeri Toba yang digerakkan oleh Kolonial dengan koordinasi dari Andreas Simangunsong bermigrasi besar-besaran ke Tanah Simalungun pada awal abad ke-20 seperti yang terjadi juga di Tanah Pakpak tidak termasuk sebagai leluhur.
Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Simalungun termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa leluhur Simalungun didominasi oleh penutur Austronesia. Para penutur Dravida yang mendirikan Kerajaan Nagur serta membawa budaya dan tradisi-tradisi lainnya dari India, yang banyak ditemukan sampai sekarang di Tanah Simalungun. Simalungun memiliki sejarah Kerajaan, dari mulai Kerajaan Nagur yang kira-kira mulai bangkit sekitar abad ke-6 dan berlanjut kepada Raja Maropat hingga Raja Marpitu memasuki kemerdekaan Repubik Indonesia. Leluhur Simalungun datang bermigrasi sebanyak 4 (empat) gelombang, sehingga leluhur Simalungun bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran! Terlihat jelas bahwa etnis Simalungun terbentuk sendiri dan merupakan etnis mandiri.
Namun kemudian, dalam buku “HITA BATAK: A Cultural Strategy” oleh Ch. Robin Simanullang (2020) ada dituliskan: “Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi. … Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Mandailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.” (Simanullang, 2022:452-453; lihat juga: 483-485; bnd. WM. Hutagalung, PUSTAHA BATAK: 1926). Seperti ini kira-kira penggambaran asal-usul Simalungun menurut penjelasan di dalam buku “HITA BATAK” tersebut di atas.
Sebelumnya, di bagian awal telah dipaparkan secara ilmiah, baik Arkelogi maupun Genetika oleh Lembaga Eijkman, bahwa pada masa prasejarah, Etnis Simalungun terbentuk oleh Ras Australomelanosoid (Negrito), penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia melalui 3 (tiga) gelombang migrasi secara berturut-turut. Sedang pada gelombang migrasi keempat, datang lagi penutur Dravida dari Tanah India. Jadi, etnis Simalungun yang terbentuk dari keempat gelombang migrasi tadi adalah masyarakat berbahasa Simalungun, yang berbeda dengan bahasa Toba walaupun sama-sama termasuk rumpun bahasa Austronesia. Masyarakat Simalungun ini memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan budaya Toba. Etnis Simalungun juga memiliki tanah ulayat tersendiri yang berada provinsi Sumatera Utara. Jelas, bahwa leluhur Simalungun yang disebut-sebut datang dari Sianjur Mulamula ke Tanah Simalungun telah tertolak oleh sains tadi. Akhirnya, sains telah menjawab mitologi Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit bahwa Simalungun tidak dari sana! &&&
\Sopo Panisioan, 01 Maret 2025
Thursday, February 27, 2025
LELUHUR PAKPAK LELUHUR CAMPURAN
LELUHUR PAKPAK LELUHUR CAMPURAN
Oleh: Edward
Simanungkalit
Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian mereka di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:
1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).
2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa sejarah.
Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:
Negrito (ras Australomelanosoid), datang dari Sundaland ke Tanah Pakpak di sekitar 8.500 tahun lalu pada gelombang migrasi pertama. Kemudian penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), datang dari Vietnam Selatan dan Kamboja ke Tanah Pakpak di sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu pada gelombang migrasi kedua. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe di sekitar 5.000 - 8.430 tahun lalu. Berikutnya penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Taiwan ke Tanah Pakpak dan masuk lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu pada gelombang migrasi ketiga. Selanjutnya, penutur Dravida (India Tamil) dari India Selatan bermigrasi ke Tanah Pakpak pada gelombang migrasi keempat melalui pantai Barat pada masa sejarah.
Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Pakpak termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa leluhur Pakpak didominasi oleh penutur Austronesia. Pakpak merupakan masyarakat Sulang Silima yang tidak ada duanya. Leluhur Pakpak datang bermigrasi sebanyak 4 (empat) gelombang, sehingga leluhur Pakpak bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran! Terlihat jelas bahwa etnis Pakpak terbentuk sendiri dan merupakan etnis mandiri.
Namun kemudian, dalam buku HITA BATAK ditulis: “Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi. … Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Mandailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.” (Simanullang, 2022:452-453; Lihat juga: 483-485; bnd. WM. Hutagalung, PUSTAHA BATAK: 1926). Seperti ini kira-kira penggambaran asal-usul Pakpak menurut penjelasan di dalam buku HITA BATAK tersebut di atas.
Sebelumnya, di bagian awal telah dipaparkan secara ilmiah, baik Arkelogi maupun Genetika oleh Lembaga Eijkman, bahwa pada masa prasejarah, Etnis Pakpak terbentuk oleh Ras Australomelanosoid (Negrito), penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia melalui 3 (tiga) gelombang migrasi secara berturut-turut. Sedang pada gelombang migrasi keempat, datang lagi migran penutur Dravida dari India Selatan. Jejak penutur Dravida ini jelas terlihat dari Mejan yang ditemukan di daerah Pakpak pada kelima Suak dan juga ada marga yang menggunakan bahasa Dravida seperti: Maha, Maharaja. Kedatangan penutur Dravida ini terlihat dengan adanya cerita tentang Kada dan Lona yang berasal dari India Selatan terdampar di Tanah Pakpak. Jadi, etnis Pakpak yang terbentuk dari keempat gelombang migrasi tadi adalah masyarakat berbahasa Pakpak, yang berbeda dengan bahasa Toba walaupun sama-sama termasuk rumpun bahasa Austronesia. Masyarakat Sulang Silima ini memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan budaya Toba. Etnis Pakpak juga memiliki tanah ulayat tersendiri yang berada di dua provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Jelas, bahwa Songkar Somalindang yang disebutkan datang dari kaki Pusuk Buhit ke Tanah Pakpak bukanlah leluhur Pakpak seperti yang diceritakan mitologi tadi. Akhirnya, sains telah menjawab mitologi! &&&
Sopo Panisioan, 27 Februari 2025
Monday, February 17, 2025
LELUHUR TOBA LELUHUR CAMPURAN
Seri HITA TOBA-1
LELUHUR TOBA LELUHUR CAMPURAN
Oleh: Edward
Simanungkalit *
Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian mereka di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:
1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).
2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu . Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa millenium.
Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:
1. Negrito (ras Australomelanosoid), K-M526*, yang bermigrasi ke Negeri Toba setelah tenggelamnya Sundaland di sekitar 8.500 tahun lalu.
2. Penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), O-M95*, yang datang sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe.
3. Penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Taiwan (O-M110 dan O-P203) dan masuk lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu. Pendukung budaya Dongson bermigrasi ke Negeri Toba dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara (O-P201) dan masuk dari pantai Timur. Mereka lebih dominan 57%.
4. Penutur Dravida, R-M124, dari India Barat bermigrasi ke Negeri Toba melalui Barus di pantai Barat sekitar 600 tahun lalu.
http://sopopanisioan.blogspot.com/

(*) Pemerhati
Sejarah Alternatif Peradaban