KONSTRUKSI
IDENTITAS "BATAK"
Proyek
Kolonial-Misionaris dan Kritik H.N. van der Tuuk (1851–1870)
Abstrak:
Artikel ini menganalisis pembentukan identitas "Batak" sebagai
konstruksi kolonial-misionaris, menyoroti kritik H.N. van der Tuuk melalui
surat-suratnya kepada Nederlands Bijbelgenootschap (1851) dan Gubernur Hindia
Belanda (1856). Kritik tersebut menegaskan keragaman bahasa, budaya, dan agama
yang diabaikan dalam proyek penyatuan etnis di bawah istilah "Batak".
Kajian ini memperlihatkan bahwa identitas "Batak" bukan warisan
leluhur tunggal, tetapi hasil kebijakan kolonial dan strategi misi Kristen pada
abad ke-19.
---
1.
Pendahuluan
Istilah
“Batak” kini diterima luas sebagai identitas etnis di Sumatra Utara. Namun,
secara historis, penyatuan kelompok seperti Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, dan
Simalungun di bawah nama “Batak” adalah hasil konstruksi kolonial dan proyek
zending RMG sejak pertengahan abad ke-19. Artikel ini menelusuri bagaimana
konstruksi ini terjadi dan bagaimana H.N. van der Tuuk sebagai linguis Belanda
mengkritiknya.
---
2. Perubahan Administratif: Dari Tano
Toba ke Bataklanden (1853)
Tahun
1853, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan istilah “Bataklanden”
menggantikan nama-nama lokal seperti Tano Toba, Mandailinglanden, dan lainnya.
Langkah ini memulai proses penyeragaman identitas administratif yang kemudian
diperkuat oleh kegiatan misionaris.
---
3. Surat H.N. van der Tuuk kepada NBG
(15 Juni 1851)
Dalam
surat kepada Nederlands Bijbelgenootschap, van der Tuuk menolak penggunaan
istilah “Batak” untuk terjemahan Alkitab karena:
Istilah
ini adalah sebutan eksternal (Melayu/Belanda) yang tidak dikenal penduduk
lokal. Bahasa Toba, Karo, dan Mandailing berbeda signifikan, sehingga penerjemahan
tunggal tidak efektif. Memaksakan “Batak” memperkuat stereotip kolonial tentang
keprimitifan dan homogenitas penduduk pedalaman. Van der Tuuk menyarankan
penerjemahan terpisah untuk tiap bahasa. Kritik ini diabaikan oleh NBG, yang
tetap memilih efisiensi misi dengan satu versi Alkitab.
---
4. Surat H.N. van der Tuuk kepada
Gubernur Hindia Belanda (12 Maret 1856)
Dalam
suratnya kepada pemerintah kolonial, van der Tuuk kembali mengkritik penggunaan
istilah “Bataklanden” dengan alasan:
Tidak
ada kesatuan politik dan budaya antar kelompok.
Perbedaan
identitas yang tajam: Toba menyebut diri Bangso Toba, Karo sebagai Kalak Karo,
dan Mandailing menolak keras disebut Batak.
Bahasa
tidak saling dimengerti, seperti Belanda dan Hungaria. Ia memperingatkan dampak
kebijakan ini: konflik sosial, kegagalan hukum adat terpadu, dan resistensi
lokal. Namun pemerintah tetap mempertahankan istilah ini demi kemudahan
administrasi.
---
5. Kritik kepada RMG dan Surat kepada
Nommensen (1860-an)
Van
der Tuuk juga menulis kepada misionaris RMG seperti L.I. Nommensen, mengecam
penggunaan Injil Toba di wilayah Karo dan penyebutan “Batak” untuk semua. Ia
menegaskan perlunya menghormati keragaman bahasa dan budaya, serta menolak
penciptaan legenda “Si Raja Batak” yang tidak dikenal di tradisi lokal.
“Mengapa
Anda memaksakan istilah 'Batak'? Bahkan orang Toba sendiri tidak mengenal 'Si
Raja Batak' sebelum misionaris menciptakannya.”
---
6. Ambivalensi dalam Karya van der Tuuk
Meski
menolak “Batak” sebagai identitas homogen, van der Tuuk tetap menggunakannya di
judul karya ilmiah (misalnya Bataksch Leesboek, Kamus Batak-Belanda). Ini
adalah kompromi editorial agar karyanya diterima penerbit kolonial dan tetap
memiliki pengaruh akademik.
---
7. Dampak dan Kesimpulan
Protes
van der Tuuk diabaikan, dan pemerintah kolonial bersama RMG melanjutkan proyek
konstruksi identitas “Batak” melalui sekolah, gereja, dan kebijakan hukum adat.
Akibatnya, muncul identitas tunggal “Bangso Batak” yang diterima sebagian besar
penduduk Toba, tetapi ditolak kelompok lain seperti Karo dan Mandailing.
Surat-surat van der Tuuk menjadi bukti bahwa homogenisasi ini bukanlah warisan
leluhur, melainkan konstruksi kolonial abad ke-19.
---
Daftar Pustaka (ringkas)
Van
der Tuuk, H.N. (1851, 1856). Surat kepada NBG dan Gubernur Hindia Belanda.
Nationaal Archief, Leiden.
Kozok,
U. (2009). Surat Batak.
Laporan
RMG dan arsip KITLV.
Sibeth,
A. (1991). The Batak.
---
No comments:
Post a Comment