Friday, August 1, 2025

KONSTRUKSI IDENTITAS "BATAK": Proyek Kolonial-Misionaris dan Kritik H.N. van der Tuuk (1851–1870)

 

KONSTRUKSI IDENTITAS "BATAK"

Proyek Kolonial-Misionaris dan Kritik H.N. van der Tuuk (1851–1870)

 

Abstrak: Artikel ini menganalisis pembentukan identitas "Batak" sebagai konstruksi kolonial-misionaris, menyoroti kritik H.N. van der Tuuk melalui surat-suratnya kepada Nederlands Bijbelgenootschap (1851) dan Gubernur Hindia Belanda (1856). Kritik tersebut menegaskan keragaman bahasa, budaya, dan agama yang diabaikan dalam proyek penyatuan etnis di bawah istilah "Batak". Kajian ini memperlihatkan bahwa identitas "Batak" bukan warisan leluhur tunggal, tetapi hasil kebijakan kolonial dan strategi misi Kristen pada abad ke-19.

---

1. Pendahuluan

Istilah “Batak” kini diterima luas sebagai identitas etnis di Sumatra Utara. Namun, secara historis, penyatuan kelompok seperti Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, dan Simalungun di bawah nama “Batak” adalah hasil konstruksi kolonial dan proyek zending RMG sejak pertengahan abad ke-19. Artikel ini menelusuri bagaimana konstruksi ini terjadi dan bagaimana H.N. van der Tuuk sebagai linguis Belanda mengkritiknya.

---

2. Perubahan Administratif: Dari Tano Toba ke Bataklanden (1853)

Tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan istilah “Bataklanden” menggantikan nama-nama lokal seperti Tano Toba, Mandailinglanden, dan lainnya. Langkah ini memulai proses penyeragaman identitas administratif yang kemudian diperkuat oleh kegiatan misionaris.

---

3. Surat H.N. van der Tuuk kepada NBG (15 Juni 1851)

Dalam surat kepada Nederlands Bijbelgenootschap, van der Tuuk menolak penggunaan istilah “Batak” untuk terjemahan Alkitab karena:

Istilah ini adalah sebutan eksternal (Melayu/Belanda) yang tidak dikenal penduduk lokal. Bahasa Toba, Karo, dan Mandailing berbeda signifikan, sehingga penerjemahan tunggal tidak efektif. Memaksakan “Batak” memperkuat stereotip kolonial tentang keprimitifan dan homogenitas penduduk pedalaman. Van der Tuuk menyarankan penerjemahan terpisah untuk tiap bahasa. Kritik ini diabaikan oleh NBG, yang tetap memilih efisiensi misi dengan satu versi Alkitab.

---

4. Surat H.N. van der Tuuk kepada Gubernur Hindia Belanda (12 Maret 1856)

Dalam suratnya kepada pemerintah kolonial, van der Tuuk kembali mengkritik penggunaan istilah “Bataklanden” dengan alasan:

Tidak ada kesatuan politik dan budaya antar kelompok.

Perbedaan identitas yang tajam: Toba menyebut diri Bangso Toba, Karo sebagai Kalak Karo, dan Mandailing menolak keras disebut Batak.

Bahasa tidak saling dimengerti, seperti Belanda dan Hungaria. Ia memperingatkan dampak kebijakan ini: konflik sosial, kegagalan hukum adat terpadu, dan resistensi lokal. Namun pemerintah tetap mempertahankan istilah ini demi kemudahan administrasi.

---

5. Kritik kepada RMG dan Surat kepada Nommensen (1860-an)

Van der Tuuk juga menulis kepada misionaris RMG seperti L.I. Nommensen, mengecam penggunaan Injil Toba di wilayah Karo dan penyebutan “Batak” untuk semua. Ia menegaskan perlunya menghormati keragaman bahasa dan budaya, serta menolak penciptaan legenda “Si Raja Batak” yang tidak dikenal di tradisi lokal.

“Mengapa Anda memaksakan istilah 'Batak'? Bahkan orang Toba sendiri tidak mengenal 'Si Raja Batak' sebelum misionaris menciptakannya.”

---

6. Ambivalensi dalam Karya van der Tuuk

Meski menolak “Batak” sebagai identitas homogen, van der Tuuk tetap menggunakannya di judul karya ilmiah (misalnya Bataksch Leesboek, Kamus Batak-Belanda). Ini adalah kompromi editorial agar karyanya diterima penerbit kolonial dan tetap memiliki pengaruh akademik.

---

7. Dampak dan Kesimpulan

Protes van der Tuuk diabaikan, dan pemerintah kolonial bersama RMG melanjutkan proyek konstruksi identitas “Batak” melalui sekolah, gereja, dan kebijakan hukum adat. Akibatnya, muncul identitas tunggal “Bangso Batak” yang diterima sebagian besar penduduk Toba, tetapi ditolak kelompok lain seperti Karo dan Mandailing. Surat-surat van der Tuuk menjadi bukti bahwa homogenisasi ini bukanlah warisan leluhur, melainkan konstruksi kolonial abad ke-19.

---

Daftar Pustaka (ringkas)

Van der Tuuk, H.N. (1851, 1856). Surat kepada NBG dan Gubernur Hindia Belanda. Nationaal Archief, Leiden.

Kozok, U. (2009). Surat Batak.

Laporan RMG dan arsip KITLV.

Sibeth, A. (1991). The Batak.

---


No comments:

Post a Comment