RUNTUHNYA MITOS SI RAJA BATAK - 5
Raja-Raja Pakpak, Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, Raja-Raja Mandailing, dan Raja-Raja Toba vs Si Raja Batak
Oleh: Edward Simanungkalit *
Raja-Raja
Karo
Arkeolog
prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak, yang sudah malang-melintang
selama 35 tahun melakukan pelelitian arkeologi prasejarah di Indonesia ini
sudah menulis lebih dari 150 karya tulis yang telah dipublikasikan. Doktor
prasejarah lulusan dari Perancis ini, selain sebagai Professor Riset di Puslit
Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dia juga Peneliti dan Direktur dari Center for
Prehistoric and Austronesian Studies (2006 - sekarang). Harry Truman
Simanjuntak mengatakan, bahwa ras Australomelanesoid telah lebih dulu datang ke Sumatera setelah
Sundaland tenggelam. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar
4.300 – 4.100 tahun lalu dari Kamboja, Vietnam, dan Khmer, sedang penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada
sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini,
keduanya berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak.
Sedang pada masa sejarah, orang-orang India Selatan datang lagi ke Sumatera
pada sekitar abad ke-2 dan 3 Masehi.
Penelitian
arkeologi dengan melakukan ekskavasi telah dilakukan oleh P.V. van Stein
Callenfels di Deli Serdang dekat Medan (1925), H.M.E. Schurman di Langkat dekat
Binjai (1927), Kupper di Langsa (1930), Edward MacKinnon di DAS Wampu (1973,
1976, 1978), Harry Truman Simanjuntak & Budisampurno di Sukajadi, Langkat
(1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan di Aceh Tengah
(2011) dan di Bener Meriah, Aceh (2012). Temuan fosil di Loyang Mandale, Aceh Tengah
diperkirakan berusia 8.430 tahun Penelitian arkeologi dengan melakukan
ekskavasi ini telah menemukan kapak Sumatera (Sumatralith) yang terkenal itu
dan menemukan bahwa ras australomelanesoid telah datang melalui pesisir Timur
Sumatera bagian Utara ini pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun
lalu.
Berdasarkan
fosil yang ditemukan di Loyang Mandale, Aceh Tengah (Gayo) yang berusia 7.400
tahun pada waktu itu (sedang temuan terbaru 8.430 tahun), maka dilakukan tes
DNA terhadap fosil yang ditemukan dan sampel darah 300 lebih siswa/i Orang Gayo
di Takengon. DR. Safarina G. Malik dari Eijkman Institute menyatakan, bahwa
mereka itu adalah keturunan dari fosil tadi dan kekerabatan genetik antara
populasi Gayo dengan Karo sangat dekat. Hal ini dikarenakan Orang Karo yang
berada di dekat penelitian arkeologi tadi merupakan keturunan dari ras
Australomelanesoid, yang penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Karo, yang datang pada masa Mesolitik sekitar 10.000 –
6.000 tahun lalu. Mereka ini juga yang datang ke Humbang menjadi Raja-raja Toba
dan sampai ke selatan Sumatera. Itu sebabnya hasil tes DNA Orang Minangkabau,
Orang Riau, dan Orang Melayu juga menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan
mereka ini. Semuanya ini cocok dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. DR. Harry
Truman sebelumnya.
Raja-Raja
Simalungun
Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry
Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa ras australomelanesoid
telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian
disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari
Kamboja, Vietnam, dan Khmer, sedang
penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu.
Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan,
Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini
dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi
datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir
Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke
Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Simalungun, yang menurunkan
Orang Simalungun. Disusul penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100
tahun lalu dan penutur Austronesia pada sekitar 4.000 tahun lalu atau
kedua-duanya datang pada masa Neolitik di sekitar 6.000 – 2.000 tahun lalu.
Kemudian
datang lagi orang-orang India Selatan pada tahun Masehi dan mereka mendirikan
Kerajaan Nagur di tanah Simalungun. Kerajaan Nagur bangkit dan berdiri sejak
abad ke-6 dan mengalami kemunduran pada abad ke-15 serta tercatat di Cina pada
zaman Disnasti Sui abad ke-6 (Agustono & Tim, 2012:24, 31). “… di daerah
Tigadolok masih terdapat nama kampung bernama Nagur yang letaknya jauh di
pedalaman dan sulit ditempuh. Berdekatan dengan kampung Nagur ini terdapat
tempat keramat bernama Batu Gajah sisa candi peninggalan agama Hindu yang sudah
pernah diteliti tim arkeologi dari Medan yang menurut perkiraan didirikan sejak
abad ke-5 Masehi.” (Agustono & Tim, 2012:38). Demikianlah kedatangan
orang-orang India Selatan yang kemudian mendirikan kerajaan Nagur di Simalungun
pada awal millenium pertama Masehi.
Raja-Raja Mandailing
Arkeolog
prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa
ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian disusul oleh penutur
Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari Kamboja, Vietnam, dan
Khmer, sedang penutur Austronesia dari
Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan
penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur
prasejarah ini dikemukakan oleh Harry
Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi datang pada masa Mesolitik di
sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara
dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke Sumatera Selatan. Dari mereka
inilah, penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja
Mandailing, yang menurunkan Orang Mandailing. Disusul penutur Austroasiatik
pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dan penutur Austronesia pada sekitar
4.000 tahun lalu, atau kedua-duanya datang pada masa Neolitik, di sekitar tahun
6.000 – 2.000 tahun lalu.
Mandailing sudah
disebutkan Gajah Mada dalam Sumpah Palapanya dalam Kitab Negarakertagama
sekitar tahun 1365. Candi Simangambat merupakan temuan arkeologis di
Simangambat yang berasal dari abad ke-9 Masehi. Situs-situs lain terdapat di Desa Pidoli Lombang (Saba
Biaro), Desa Huta Siantar (Padang Mardia), Desa Sibanggor Julu dan lain-lain. Keberadaan candi ini
membuktikan sudah ada masyarakat dengan populasi besar dan teratur di sana.
Sedang Candi Portibi di Padang Lawas berasal dari abad ke-11. Pada tahun 1025, Rajendra Chola dari
India Selatan memindahkan pusat pemerintahannya di Mandailing ke daerah
Hang Chola (Angkola). Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk
koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Peristiwa
yang dikenal sebagai Riwajat
Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925 berlanjut ke
pengadilan. Akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan
Hindia Belanda di Batavia, Mandahiling
diakui sebagai etnis terpisah dari Batak (wikipedia).
Raja-Raja
Pakpak
Arkeolog
prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa
ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian
disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari
Kamboja, Vietnam, dan Khmer,
sedang
penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu.
Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan,
Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini
dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi
datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir
Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke
Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Pakpak, yang
menurunkan Orang Pakpak. Disusul
penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dan penutur
Austronesia pada sekitar 4.000 tahun lalu, atau kedua-duanya datang pada masa
Neolitik, di sekitar 6.000 – 2.000 tahun lalu.
Selain
itu, ada juga jejak Tamil dari India Selatan di dalam masyarakat Pakpak,
karena
orang-orang dari India Selatan banyak datang ke Sumatera Utara sejak sekitar
abad ke-3 Masehi. Kemiripan hasil-hasil budaya Pakpak (dengan India) merupakan
buah dari kontak dagang Pakpak dengan India (Tamil). Khususnya Barus merupakan
bandar internasional, menjadi gerbang bagi transfer budaya dari India terhadap
budaya Pakpak yang terjadi setidaknya sejak akhir abad ke-10 M atau awal abad
ke-11 M. Sejumlah unsur budaya India itu telah memperkaya kebudayaan Pakpak
sebagaimana dapat dilihat jejak-jejaknya hingga kini (Soedewo, 2008, dalam https://balarmedan.wordpress.com).
Parultop Padang Batanghari memiliki putri Pinggan Matio, yang dikawini
Raja Silahisabungan. Pdt. Abednego Padang Batanghari menyebutkan bahwa Parultop
merupakan generasi kesembilan dari marga Padang Batanghari (Tabloid TANO BATAK,
Edisi Oktober 2010).
Raja-Raja Toba
Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong,
yang sekarang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang
Hasundutan, telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun
lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood
(2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim
dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl) menunjukkan bahwa
pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum
Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard
Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah
barat Danau Toba.
Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan
pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea
Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora
Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah
ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang. Mereka itu datang
dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali
penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat
Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur
Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan
nama Raja-Raja Toba, karena hanya
menurunkan Orang Toba. Jadi, Raja-Raja Toba bukan satu orang figur, tetapi
lebih dari satu orang atau banyak orang dan mereka itu yang menurunkan Orang
Toba terbukti dari DNAnya (2015:31-35).
Si Raja Batak
Selama ini Si Raja Batak
disebut-sebut sebagai nenek-moyang Suku Batak. Si Raja Batak disebutkan nama
kampungnya di Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, yang sekarang berada di
daerah Kabupaten Samosir. Berdasarkan mitologi seperti yang ditulis oleh W.M.
Hutagalung, dalam
bukunya: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni
Bangso Batak” (1926), bahwa Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja
Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya
dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh. Berbagai tulisan maupun buku-buku
sejarah “Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia
Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula. Walaupun ada versi-versi
asal-usul lain, tetapi pada dasarnya Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula
yang disebut merupakan kampung awal Bangso Batak (2015:1-11).
Para penulis “Sejarah Batak” tadi menyebutkan
bahwa keturunan Si Raja Batak pergi menyebar dan membentuk Batak Toba, Batak
Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Secara khusus, W.M. Hutagalung (1926) menulis tarombo di mana marga-marga
Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing merupakan keturunan Si Raja Batak dari
marga-marga Toba. Dengan demikian, selain keturunan Si Raja Batak, maka seluruh
marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing itu adalah keturunan Batak
Toba juga yang kesemuanya disebut Bangso Batak. Sebelum W.M. Hutagalung menulis
bukunya, maka konon kabarnya sudah ada dibuat tarombo Si Raja Batak dalam
bentuk lukisan yang konon juga kabarnya ditemukan di dalam desertasi Ronvilk
sebagai lampiran. Memang masih ada buku-buku yang menguraikan tentang
marga-marga bahkan ada yang memasukkan Nias sebagai sub-etnik Batak. Akan
tetapi, buku W.M. Hutagalung (1926) yang paling menarik, karena paling laris
manis, sehingga paling banyak dibaca oleh masyarakat dan tentulah dapat
diperkirakan pengaruhnya demikian luas. Setelah Bibel, Buku Ende, dan Almanak
Gereja, sepertinya buku inilah yang paling banyak dibeli masyarakat terutama
masyarakat Toba.
Pada tebing bukit di Sianjur Mulamula, Samosir
ada dibuat tulisan: “PUSUK BUHIT – SIANJUR MULAMULA – MULA NI HALAK BATAK – 5
SUKU: BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAPPAK, BATAK
SIMALUNGUN”. Selanjutnya, Monumen Pintu Gerbang Tomok memuat tulisan: BATAK
TOBA, BATAK SIMALUNGUN, BATAK MANDAILING, BATAK ANGKOLA, BATAK
PAKPAK, BATAK KARO. Sementara dalam website Pemkab Samosir, tentang Si
Raja Batak ini ditulis sebagai berikut: “Si Raja Batak, yang tinggal di Kaki
Gunung Pusuk Buhit mempunyai dua putra, yaitu Guru Tateabulan dan Raja
Isumbaon. Kemudian nama dua putra ini menjadi nama dari dua kelompok besar
marga Bangso Batak, yaitu Lontung dan Sumba. Dari kedua kelompok marga ini
lahirlah marga-marga orang Batak, yang saat ini sudah hampir 500 marga. Sampai
saat ini orang Batak mempercayai bahwa asal mula Bangso Batak ada di Pusuk
Buhit Sianjur Mulamula.” (www.samosirkab.go.id).
Kemudian mengenai masa hidup Si Raja Batak ini, maka dikemukakan beberapa pihak
sebagai berikut:
Richard
Sinaga, dalam bukunya "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM
SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" (1997) mengemukakan bahwa masa hidup Si Raja
Batak kira-kira pada tahun 1200 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Batara
Sangti Simanjuntak, dalam bukunya berjudul “Sejarah
Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak di Tanah Batak baru ada pada tahun 1305
Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Kondar
Situmorang, dalam Harian Sinar Indonesia Baru terbitan tanggal 26
September 1987 dan tanggal 03 Oktober 1987 serta tanggal 24 Oktober 1987,
dengan judul “Menapak Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada
pada tahun 1475 Masehi.
Sarman
P. Sagala, dalam website Pemkab Samosir mengatakan, bahwa Si Raja
Batak hidup pada tahun 1200 atau awal abad ke-13 (http://dishubkominfo.samosirkab.go.id/).
Ketut
Wiradnyana, arkeolog Balai Arkeologi Medan yang telah melakukan
penelitian arkeologi di Samosir, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam
Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengatakan bahwa orang
Batak pertama di Sianjurmulamula dan mereka telah bermukim di sana sejak
600-1000 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Demikianlah telah diuraikan di atas tentang masa hidup Si
Raja Batak sebagaimana dikemukakan tadi keseluruhannya berkisar antara 500-1000
tahun lalu atau tidak lebih dari 1000 tahun.
Sejarah Harus Ditulis Ulang
Sebagaimana telah dikemukakan di atas
bahwa Si Raja Batak itu disebutkan menurunkan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak
Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Oleh karena namanya Si Raja
Batak, makanya keturunannya menyandang kata “Batak” juga seperti halnya marga.
Seperti itulah pemahaman di Toba, yang diyakini bahwa semua yang disebutkan
tadi menyebar dari Sianjur Mulamula, sehingga bila ada pihak yang mengatakan
bahwa mereka bukan Batak, maka itu dipahami sebagai durhaka, karena menyangkal
leluhurnya. Demikianlah pemahaman di Toba, sehingga membuat mereka tidak dapat
menerima terhadap pihak-pihak tadi yang mengatakan “bukan Batak”, karena
menganggap Si Raja Batak mempunyai hubungan genealogis dengan Batak Toba, Batak
Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing.
Telah diuraikan di atas bahwa jumlah marga-marga dari Bangso
Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak sekitar hampir 500 marga dari
Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing (termasuk Angkola). Jadi,
berdasarkan uraian tadi, maka Tano Toba, Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah
Simalungun, dan Tanah Mandailing sebelumnya kosong. Baru setelah Si Raja Batak
datang ke Sianjur Mulamula dan keturunannya mulai berkembang barulahlah mereka
menyebar ke daerah-daerah tersebut, maka terbentuklah BANGSO BATAK seperti yang
disebutkan tadi. Pertanyaannya, benarkah masing-masing daerah ini adalah tanah
kosong yang belum didiami oleh manusia sebelum keturunan Si Raja Batak datang
mendiami tanah kosong tersebut? Tentu tidak demikian, karena sudah banyak
manusia datang ke seluruh daerah di Sumatera Utara sebelum Si Raja Batak tiba
di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir.
Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, Raja-Raja
Mandailing, Raja-Raja Pakpak, dan Raja-Raja Toba lebih dulu berdiam di Sumatera
Utara yang datang pada masa Mesolitik, sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu
(2015:41-42), sedang masa hidup Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula itu paling
lama 1.000 tahun lalu. Dengan demikian, Si Raja Batak adalah pendatang baru di
Sianjur Mulamula yang kedatangannya memiliki selisih waktu setidaknya 5.000
tahun lebih dulu Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, Raja-Raja Mandailing,
Raja-Raja Pakpak, dan Raja-Raja Toba. Itu sebabnya dapat dipastikan bahwa Orang
Karo, Orang Simalungun, Orang Mandailing, dan Orang Pakpak bukan berasal dari
Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukanlah keturunan Si Raja Batak.
Kalaupun terjadi migrasi marga-marga tertentu dari Toba ke daerah Karo, daerah
Simalungun, daerah Mandailing, dan daerah Pakpak, maka hal itu bukan berarti
menjadikan etnis Karo, etnis Simalungun, etnis Mandailing, dan etnia Pakpak berasal
dari Toba. Kalaupun W.M. Hutagalung dan penulis-penulis Sejarah Batak lain
menyebutkan dan mengklaim bahwa semua marga Karo, marga Simalungun, marga
Mandailing, dan marga Pakpak berasal dari Toba sebagai keturunan Si Raja Batak,
maka hal itu jelas tidak sesuai dengan fakta.
Etnis Karo sudah ada berdiam di Tanah Karo sebelum Si Raja
Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka
berbahasa Karo yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian terjadi
migrasi dari tetangga-tetangganya ke Tanah Karo, sehingga terjadi percampuran
lagi dan mereka yang datang ini hidup mengikuti budaya Karo. Demikian juga dari
Karo pun ada terjadi migrasi ke luar yaitu ke tetangga-tetangganya. Sebagai
sebuah etnis, Etnis Karo memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya,
kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Inilah etnis Karo
yang sekarang dan pada dasarnya etnis Karo itu terbentuk sendiri, sehingga
bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti dikemukakan oleh
W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis sejarah Batak
lainnya.
Etnis Simalungun sudah berdiam di Tanah Simalungun sebelum
Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Simalungun yang
termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian terjadi migrasi dari
tetangga-tetangganya ke Tanah Simalungun, sehingga terjadi percampuran lagi dan
mereka yang datang ini hidup mengikuti budaya Simalungun/Ahap Simalungun.
Demikian juga dari Simalungun pun ada terjadi migrasi ke luar yaitu ke
tetangga-tetangganya. Sebagai sebuah etnis, Etnis Simalungun memiliki tanah
ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan
mitologi sendiri. Inilah etnis Simalungun yang sekarang dan pada dasarnya
etnis Simalungun itu terbentuk sendiri,
sehingga bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti
dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh
penulis-penulis sejarah Batak lainnya.
Etnis Mandailing sudah berdiam di Tanah Mandailing sebelum
Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Mandailing yang
termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian terjadi migrasi dari
tetangga-tetangganya, sehingga terjadi lagi percampuran dan mereka yang datang
ini hidup mengikuti budaya Mandailing. Demikian juga dari Mandailing pun ada
terjadi migrasi ke luar yaitu ke tetangga-tetangganya. Sebagai sebuah etnis,
Etnis Mandailing memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan
tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Inilah etnis Mandailing yang
sekarang dan pada dasarnya etnis Mandailing terbentuk sendiri, sehingga bukan
keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperi dikemukakan oleh W.M. Hutagalung
yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis sejarah Batak lainnya.
Etnis Pakpak sudah berdiam di Tanah Pakpak sebelum Si Raja
Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Pakpak yang termasuk rumpun
bahasa Austronesia. Kemudian terjadi migrasi dari tetangga-tetangganya,
sehingga terjadi lagi percampuran dan mereka yang datang ini hidup mengikuti
budaya Pakpak. Demikian juga dari Pakpak pun ada terjadi migrasi ke luar yaitu
ke tetangga-tetangganya. Sebagai sebuah etnis, Etnis Pakpak memiliki tanah
ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan
mitologi sendiri. Inilah etnis Pakpak yang sekarang dan pada dasarnya etnis
Pakpak terbentuk sendiri, sehingga bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur
Mulamula seperi dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti
oleh penulis-penulis sejarah Batak lainnya.
Turiturian dan tesis yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di
dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926)
yang berpangkal kepada figur Si Raja
Batak dari Sianjur Mulamula di Samosir terbukti telah gugur. Buku-buku Sejarah Batak yang pada dasarnya merujuk kepada buku W.M. Hutagalung (1926) tadi harus ditulis ulang kembali, karena ternyata Orang Toba merupakan keturunan Raja-Raja Toba dari Humbang yang diperkirakan hidup sekitar 6.500 tahun lalu. Etnis Karo juga adalah keturunan Raja-Raja Karo, Etnis Simalungun adalah keturunan Raja-Raja Simalungun, Etnis Mandailing adalah keturunan Raja-Raja Mandailing, dan etnis Pakpak adalah keturunan Raja-Raja Pakpak yang diperkirakan sama masa hidupnya dengan Raja-Raja Toba, yang setidak-tidaknya 5.000 tahun lebih dulu dari Si Raja Batak, sehingga mereka bukan berasal dari Sianjur Mulamula dan bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali. Dengan demikian, Belanda melalui W.M. Hutagalung selama ini hanya berusaha mendirikan menara di atas pasir dengan menciptakan tokoh sentral SI RAJA BATAK yang disebutnya sebagai nenek-moyang BANGSO BATAK dan menara itu telah rubuh seiring dengan pengungkapan fakta-fakta di atas. Oleh karena itu, sejarah peradaban yang dirusak oleh Belanda melalui tangan W.M. Hutagalung ini harus ditulis ulang kembali. ***
Batak dari Sianjur Mulamula di Samosir terbukti telah gugur. Buku-buku Sejarah Batak yang pada dasarnya merujuk kepada buku W.M. Hutagalung (1926) tadi harus ditulis ulang kembali, karena ternyata Orang Toba merupakan keturunan Raja-Raja Toba dari Humbang yang diperkirakan hidup sekitar 6.500 tahun lalu. Etnis Karo juga adalah keturunan Raja-Raja Karo, Etnis Simalungun adalah keturunan Raja-Raja Simalungun, Etnis Mandailing adalah keturunan Raja-Raja Mandailing, dan etnis Pakpak adalah keturunan Raja-Raja Pakpak yang diperkirakan sama masa hidupnya dengan Raja-Raja Toba, yang setidak-tidaknya 5.000 tahun lebih dulu dari Si Raja Batak, sehingga mereka bukan berasal dari Sianjur Mulamula dan bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali. Dengan demikian, Belanda melalui W.M. Hutagalung selama ini hanya berusaha mendirikan menara di atas pasir dengan menciptakan tokoh sentral SI RAJA BATAK yang disebutnya sebagai nenek-moyang BANGSO BATAK dan menara itu telah rubuh seiring dengan pengungkapan fakta-fakta di atas. Oleh karena itu, sejarah peradaban yang dirusak oleh Belanda melalui tangan W.M. Hutagalung ini harus ditulis ulang kembali. ***