RUNTUHNYA MITOS SI RAJA BATAK - 3
Raja-Raja Simalungun-Karo-Toba vs Si Raja
Batak
Oleh: Edward Simanungkalit *
Raja-Raja Karo
Arkeolog prasejarah senior, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak, yang sudah malang-melintang selama 35 tahun melakukan pelelitian arkeologi prasejarah di Indonesia ini sudah menulis lebih dari 150 karya tulis yang telah dipublikasikan. Doktor prasejarah lulusan dari Perancis ini, selain sebagai Professor Riset di Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dia juga Peneliti dan Direktur dari Center for Prehistoric and Austronesian Studies (2006 - sekarang). Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahwa ras Australomelanesoid telah lebih dulu datang ke Sumatera setelah Sundaland tenggelam. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari Kamboja, Vietnam, dan Khmer, sedang penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Sedang pada masa sejarah, orang-orang India Selatan datang lagi ke Sumatera pada sekitar abad ke-2 dan 3 Masehi.
Penelitian arkeologi dengan melakukan ekskavasi telah dilakukan oleh P.V. van Stein Callenfels di Deli Serdang dekat Medan (1925), H.M.E. Schurman di Langkat dekat Binjai (1927), Kupper di Langsa (1930), Edward MacKinnon di DAS Wampu (1973, 1976, 1978), Harry Truman Simanjuntak & Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan di Aceh Tengah (2011) dan di Bener Meriah, Aceh (2012). Temuan fosil di Loyang Mandale, Aceh Tengah diperkirakan berusia 8.430 tahun Penelitian arkeologi dengan melakukan ekskavasi ini telah menemukan kapak Sumatera (Sumatralith) yang terkenal itu dan menemukan bahwa ras australomelanesoid telah datang melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara ini pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.
Berdasarkan fosil yang ditemukan di Loyang Mandale, Aceh Tengah (Gayo) yang berusia 7.400 tahun pada waktu itu (sedang temuan terbaru 8.430 tahun), maka dilakukan tes DNA terhadap fosil yang ditemukan dan sampel darah 300 lebih siswa/i Orang Gayo di Takengon. DR. Safarina G. Malik dari Eijkman Institute menyatakan, bahwa mereka itu adalah keturunan dari fosil tadi dan kekerabatan genetik antara populasi Gayo dengan Karo sangat dekat. Hal ini dikarenakan Orang Karo yang berada di dekat penelitian arkeologi tadi merupakan keturunan dari ras Australomelanesoid, yang penulis sebutkan di sini sebagaiRaja-Raja Karo, yang datang pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu. Mereka ini juga yang datang ke Humbang menjadi Raja-raja Toba dan sampai ke selatan Sumatera. Itu sebabnya hasil tes DNA Orang Minangkabau, Orang Riau, dan Orang Melayu juga menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan mereka ini. Semuanya ini cocok dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. DR. Harry Truman sebelumnya.
Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari Kamboja, Vietnam, dan Khmer, sedang penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, yang penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Simalungun, yang menurunkan Orang Simalungun. Disusul penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dan penutur Austronesia pada sekitar 4.000 tahun lalu atau kedua-duanya datang pada masa Neolitik di sekitar 6.000 – 2.000 tahun lalu.
Kemudian datang lagi orang-orang India Selatan pada tahun Masehi dan mereka mendirikan Kerajaan Nagur di tanah Simalungun. Kerajaan Nagur bangkit dan berdiri sejak abad ke-6 dan mengalami kemunduran pada abad ke-15 serta tercatat di Cina pada zaman Disnasti Sui abad ke-6 (Agustono & Tim, 2012:24, 31). “… di daerah Tigadolok masih terdapat nama kampung bernama Nagur yang letaknya jauh di pedalaman dan sulit ditempuh. Berdekatan dengan kampung Nagur ini terdapat tempat keramat bernama Batu Gajah sisa candi peninggalan agama Hindu yang sudah pernah diteliti tim arkeologi dari Medan yang menurut perkiraan didirikan sejak abad ke-5 Masehi.” (Agustono & Tim, 2012:38). Demikianlah kedatangan orang-orang India Selatan yang kemudian mendirikan kerajaan Nagur di Simalungun pada awal millenium pertama Masehi.
Raja-Raja Toba
Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong, yang sekarang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard
Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba.
Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang. Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan nama Raja-Raja Toba, karena hanya menurunkan Orang Toba. Jadi, Raja-Raja Toba bukan satu orang figur, tetapi lebih dari satu orang atau banyak orang dan mereka itu yang menurunkan Orang Toba terbukti dari DNAnya (2015:31-35).
Si Raja Batak
Selama ini Si Raja Batak disebut-sebut adalah nenek-moyang Suku Batak. Si Raja Batak disebutkan nama kampungnya Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, yang sekarang berada di daerah Kabupaten Samosir. Berdasarkan mitologi seperti yang ditulis oleh W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso
Batak” (1926), bahwa Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh. Berbagai tulisan maupun buku-buku sejarah “Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula. Walaupun ada versi-versi asal-usul lain, tetapi pada dasarnya Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula yang disebut merupakan kampung awal Bangso Batak (2015:1-11).
Batak” (1926), bahwa Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh. Berbagai tulisan maupun buku-buku sejarah “Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula. Walaupun ada versi-versi asal-usul lain, tetapi pada dasarnya Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula yang disebut merupakan kampung awal Bangso Batak (2015:1-11).
Para penulis “Sejarah Batak” tadi menyebutkan bahwa keturunan Si Raja Batak pergi menyebar dan membentuk Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Secara khusus, W.M. Hutagalung (1926) menulis tarombo di mana marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing merupakan keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba. Dengan demikian, selain keturunan Si Raja Batak, maka seluruh marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing itu adalah keturunan Batak Toba juga yang kesemuanya disebut Bangso Batak. Sebelum W.M. Hutagalung menulis bukunya, maka konon kabarnya sudah ada dibuat tarombo Si Raja Batak dalam bentuk lukisan yang konon juga kabarnya ditemukan di dalam desertasi Ronvilk sebagai lampiran. Memang masih ada buku-buku yang menguraikan tentang marga-marga bahkan ada yang memasukkan Nias sebagai sub-etnik Batak. Akan tetapi, buku W.M. Hutagalung (1926) yang paling menarik, karena paling laris manis, sehingga paling banyak dibaca oleh masyarakat dan tentulah dapat diperkirakan pengaruhnya demikian luas. Setelah Bibel, Buku Ende, dan Almanak Gereja, sepertinya buku inilah yang paling banyak dibeli masyarakat terutama masyarakat Toba.
Pada tebing bukit di Sianjur Mulamula, Samosir ada dibuat tulisan: “PUSUK BUHIT – SIANJUR MULAMULA – MULA NI HALAK BATAK – 5 SUKU: BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAPPAK, BATAK SIMALUNGUN”. Selanjutnya, Monumen Pintu Gerbang Tomok memuat tulisan: BATAK TOBA, BATAK SIMALUNGUN, BATAK MANDAILING, BATAK ANGKOLA, BATAK PAKPAK, BATAK KARO. Sementara dalam website Pemkab Samosir, tentang Si Raja Batak ini ditulis sebagai berikut: “Si Raja Batak, yang tinggal di Kaki Gunung Pusuk Buhit mempunyai dua putra, yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon. Kemudian nama dua putra ini menjadi nama dari dua kelompok besar marga Bangso Batak, yaitu Lontung dan Sumba. Dari kedua kelompok marga ini lahirlah marga-marga orang Batak, yang saat ini sudah hampir 500 marga. Sampai saat ini orang Batak mempercayai bahwa asal mula Bangso Batak ada di Pusuk Buhit Sianjur Mulamula.” (www.samosirkab.go.id).
Kemudian mengenai masa hidup Si Raja Batak ini, maka dikemukakan beberapa pihak sebagai berikut:
Richard Sinaga, dalam bukunya "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" (1997) mengemukakan bahwa masa hidup Si Raja Batak kira-kira pada tahun 1200 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Batara Sangti Simanjuntak, dalam bukunya berjudul “Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak di Tanah Batak baru ada pada tahun 1305 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Kondar Situmorang, dalam Harian Sinar Indonesia Baru terbitan tanggal 26 September 1987 dan tanggal 03 Oktober 1987 serta tanggal 24 Oktober 1987, dengan judul “Menapak Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada pada tahun 1475 Masehi.
Sarman P. Sagala, dalam website Pemkab Samosir mengatakan, bahwa Si Raja Batak hidup pada tahun 1200 atau awal abad ke-13 (http://dishubkominfo.samosirkab.go.id/).
Ketut Wiradnyana, arkeolog Balai Arkeologi Medan yang telah melakukan penelitian arkeologi di Samosir, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengatakan bahwa orang Batak pertama di Sianjurmulamula dan mereka telah bermukim di sana sejak 600-1000 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Demikianlah telah diuraikan di atas tentang masa hidup Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan tadi keseluruhannya berkisar antara 500-1000 tahun lalu atau tidak lebih dari 1000 tahun. Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Sejarah Harus Ditulis Ulang
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Si Raja Batak itu disebutkan menurunkan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Oleh karena namanya Si Raja Batak, makanya keturunannya menyandang kata “Batak” juga seperti halnya marga. Seperti itulah pemahaman di Toba, yang diyakini bahwa semua yang disebutkan tadi menyebar dari Sianjur Mulamula, sehingga bila ada pihak yang mengatakan bahwa mereka bukan Batak, maka itu dipahami sebagai durhaka, karena menyangkal leluhurnya. Demikianlah pemahaman di Toba, sehingga membuat mereka marah terhadap pihak-pihak tadi yang mengatakan “bukan Batak”, karena menganggap Si Raja Batak mempunyai hubungan genealogis dengan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing.
Telah diuraikan di atas bahwa jumlah marga-marga dari Bangso Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak sekitar hampir 500 marga dari Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing (termasuk Angkola). Jadi, berdasarkan uraian tadi, maka Tano Toba, Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah Simalungun, dan Tanah Mandailing sebelumnya kosong. Baru setelah Si Raja Batak datang ke Sianjur Mulamula dan keturunannya mulai berkembang barulahlah mereka menyebar ke daerah-daerah tersebut, maka terbentuklah Bangso Batak seperti yang disebutkan tadi. Pertanyaannya, benarkah masing-masing daerah ini adalah tanah kosong yang belum didiami oleh manusia sebelum keturunan Si Raja Batak datang mendiami tanah kosong tersebut? Tentu tidak demikian, karena sudah banyak manusia datang ke seluruh daerah di Sumatera Utara sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir.
Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, dan Raja-Raja Toba telah lebih dulu berdiam di Sumatera Utara yang datang pada masa Mesolitik, sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu (2015:41-42), sedang masa hidup Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula itu sekitar 500 – 1.000 tahun lalu atau atau paling lama 1.000 tahun lalu. Ditambah lagi penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang bermigrasi ke Tanah Karo dan Tanah Simalungun yang datang pada masa Neolitik, sekitar 6.000 – 2.000 tahun lalu, yang dimenangkan penutur Austronesia, sehingga menjadikan bahasa Karo dan bahasa Simalungun termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Kemudian orang-orang India Selatan datang lagi bermigrasi ke Tanah Karo dan Tanah Simalungun pada millenium pertama di sekitar abad ke-3 Masehi. Dengan demikian, Si Raja Batak adalah pendatang baru di Sianjur Mulamula yang kedatangannya memiliki selisih waktu setidaknya 5.000 tahun lebih dulu Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, dan Raja-Raja Toba. Itu sebabnya dapat dipastikan bahwa Orang Karo dan Orang Simalungun bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukanlah keturunan Si Raja Batak. Kalaupun terjadi migrasi marga-marga tertentu dari Toba ke daerah Karo dan daerah Simalungun, maka hal itu bukan berarti menjadikan etnis Karo dan etnis Simalungun berasal dari Toba. Kalaupun W.M. Hutagalung dan penulis-penulis Sejarah Batak lain menyebutkan dan mengklaim bahwa semua marga Karo dan marga Simalungun berasal dari Toba sebagai keturunan Si Raja Batak, maka hal itu jelas tidak sesuai dengan fakta.
Etnis Karo sudah ada berdiam di Tanah Karo sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Karo yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian terjadi migrasi dari tetangga-tetangganya ke Tanah Karo, sehingga terjadi percampuran lagi dan mereka yang datang ini hidup mengikuti budaya Karo. Demikian juga dari Karo pun ada terjadi migrasi ke luar yaitu ke tetangga-tetangganya. Sebagai sebuah etnis, Etnis Karo memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Inilah etnis Karo yang sekarang dan pada dasarnya etnis Karo itu terbentuk sendiri, sehingga bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis sejarah Batak lainnya.
Etnis Simalungun sudah berdiam di Tanah Simalungun sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Simalungun yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian terjadi migrasi dari tetangga-tetangganya ke Tanah Simalungun, sehingga terjadi percampuran lagi dan mereka yang datang ini hidup mengikuti budaya Simalungun/Ahap Simalungun. Demikian juga dari Simalungun pun ada terjadi migrasi ke luar yaitu ke tetangga-tetangganya. Sebagai sebuah etnis, Etnis Simalungun memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Inilah etnis Simalungun yang sekarang dan pada dasarnya etnis Simalungun itu terbentuk sendiri, sehingga bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis sejarah Batak lainnya.
Turiturian dan tesis yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) yang berpangkal kepada figur Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di Samosir terbukti telah gugur dan semakin gugur. Buku-buku Sejarah Batak yang pada dasarnya merujuk kepada buku W.M. Hutagalung (1926) tadi harus ditulis ulang kembali, karena ternyata Orang Toba merupakan keturunan Raja-Raja Toba dari Humbang yang diperkirakan hidup sekitar 6.500 tahun lalu. Etnis Karo juga adalah keturunan Raja-Raja Karo dan Etnis Simalungun adalah keturunan Raja-Raja Simalungun yang diperkirakan sama masa hidupnya dengan Raja-Raja Toba, yang setidak-tidaknya 5.000 tahun lebih dulu dari Si Raja Batak, sehingga mereka bukan berasal dari Sianjur Mulamula dan bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali. Dengan demikian, Belanda melalui W.M. Hutagalung selama ini hanya berusaha mendirikan menara di atas pasir dan menara itu telah rubuh seiring dengan pengungkapan fakta-fakta di atas. Sejarah peradaban yang dirusak oleh Belanda melalui W.M. Hutagalung ini harus ditulis ulang kembali. ***
(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
Mauliate amang Edward Simanungkalit
ReplyDeleteOk., sama-sama.
Delete