Tentang Asal Usul Suku Bangsa Nias –
Sebuah Wawancara dengan Prof. dr. Herawati Sudoyo, PhD
Pengantar Redaksi: Beberapa waktu lalu, Museum Pusaka Nias dan Yayasan Gema Budaya Nias menyelenggarakan Seminar Internasional dengan tema Asal Usul Suku Bangsa Nias – ditinjau dari DNA dan Benda-Benda Purbakala Nias di Teluk Dalam (11-12 April 2013) dan di Gunungsitoli (13 April 2013). Salah seorang pembicara dalam Seminar tersebut adalah Mannis van Oven, mahasiswa doktoral pada Departemen Biologi Molekular Forensik, Erasmus MC University Medical Center Rotterdam, The Netherlands.
Hasil penelitian
Setelah menyajikan materi Seminar di Teluk Dalam dan Gunungsitoli, Mannis van Oven melanjutkan sajiannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, pada tanggal 15 April 2013.
Berikut adalah hasil wawancara Nias Online dengan Prof. dr. Herawati Sudoyo, Ph.D, Deputi Direktur Lembaga Molekul Biologi Eijkman Indonesia yang merupakan pendapat beliau tentang hasil penelitian tersebut. Bahan wawancara tertulis ini disusun oleh Etis Nehe, S. Laia dan E. Halawa, dan disunting oleh Lovely C. Zega – Redaksi
A – Berhubungan dengan Riset Mannis van Oven dkk
Nias Oniline (NO): Sehari setelah Mannis van Oven mempresentasikan hasil penelitian kelompoknya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013), Kompas online memuat berita berjudul: “Asal-usul Orang Nias Ditemukan”. Apakah judul berita di Kompas ini mencerminkan hasil riset yang dipresentasikan oleh van Oven tersebut, yang sebelumnya juga dimuat dalam sebuah karya tulis ilmiah dengan judul: “Unexpected Island Effects at an Extreme: Reduced Y Chromosome and Mitochondrial DNA Diversity in Nias“.
Prof. Herawati Sudoyo (HS): Sebenarnya apa yang ditemukan oleh van Oven dkk dan dilaporkan dalam jurnal ilmiah tersebut menyimpulkan adanya temuan yang tak terduga yang memperlihatkan adanya tingkat keragaman yang sangat rendah pada populasi Nias, baik yang diteliti menggunakan kromosom Y (memperlihatkan penurunan garis paternal) dan juga pada DNA mitokondria (menggambarkan penurunan garis maternal), bila dibandingkan dengan populasi Asia maupun Oceania. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan, mengingat bahwa pulau Nias sebenarnya dari sudut jarak tidaklah terlalu jauh secara geografis dari Asia Tenggara.
Judul Kompas on
NO: Orang awam agak susah mengerti bagaimana menelusuri asal usul suatu bangsa melalui DNA. Bisakah Ibu menjelaskan secara ringkas cara menetapkan “jalur darah” seseorang atau satu suku berdasarkan analisis DNA?
HS: Saya berharap dapat mencari jawaban yang tepat untuk dapat memberikan penjelasan tentang DNA dan asal usul seseorang. DNA adalah informasi genetik yang terdapat di dalam sel tubuh kita yang sifatnya diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. DNA dapat digunakan untuk menentukan spesies makhluk hidup mulai dari manusia sampai mikroorganisme, identifikasi individu. Perlu juga untuk mempelajari migrasi dan struktur populasi. Struktur populasi atau lebih tepatnya hubungan genetik antara individu dan/atau subpopulasi
Ada tiga macam bentuk atau marka DNA yang umum digunakan untuk mempelajari struktur populasi dan sejarah migrasi nenek moyang maupun identifikasi individu yaitu menggunakan kromosom Y dan DNA mitokondria, yang diturunkan hanya dari salah satu orang tua, ayah atau ibu,
NO: Dalam seminar hasil riset van Oven dkk itu, Ibu menyiratkan perlunya menganalisis juga DNA dari Kalimantan dan Sulawesi, sebelum memastikan migrasi bangsa Austronesia ke Nias. Apakah yang membuat Ibu masih ragu akan hasil analisis DNA yang dilakukan van Oven dkk?
HS: Sebenarnya tidak ada yang diragukan dari hasil penelitiannya, karena semua didasarkan atas fakta dan analisis data secara bioinformatika melalui uji statistik kompleks yang biasa kami gunakan untuk studi populasi genetik.
Seperti yang mungkin diketahui, sejarah awal kepulauan Asia Tenggara dimulai dengan adanya dua penyebaran populasi; yang pertama adalah kolonisasi awal paleolitik paparan Sahul kurang lebih 45000 tahun yang lalu dan diikuti ekspansi neolitik populasi berbahasa Austronesia kurang lebih 4500 tahun yang lalu. Penyebaran bahasa Austronesia itu dipercaya berasal dari pulau Formosa dan turun ke selatan melalui Filipina, ujung Sulawesi, atau Borneo kemudian diteruskan ke Jawa dan Sumatra. Ada aliran lain bahasa Austronesia ke arah timur menuju Polinesia. Kami sendiri telah melakukan kajian di Sulawesi, tetapi barulah Sulawesi tengah (Kaili)
NO: Sampel-sampel tersebut dikumpulkan sekitar 10 tahun lalu (baca artikel: Merunut Asal-Usul Orang Nias Berdasarkan DNA/Gen) dan publik mulai mengakses hasil riset ini pada 8 November 2010 (terlihat dari label Advanced Access publication November 8, 2010 di bagian bawah halaman pertama artikel ilmiah itu). Adakah kira-kira alasan teknis yang menyebabkan hasil-hasil riset itu baru dipublikasi beberapa tahun setelah sampel dikumpulkan?
HS: Saya tidak dapat menjawab pertanyaan spesifik ini karena tidak terlibat dalam studi dan sampling yang dilakukan tahun 2002 (lihat dalam Materials and Methods, Samples). Agaknya penelitian ini baru dapat dilakukan pada waktu saudara van Oven melakukan studi doktoralnya di laboratorium Manfred Kayser di Erasmus MC, Rotterdam. Kayser adalah ahli genetika populasi terpandang dan telah meneliti populasi Oceania dan Papua Nugini. Kayser juga merupakan kolaborator kami dalam studi Papua Barat.
NO: Artikel “Unexpected island effects …” mengungkapkan bahwa dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Gua Tögi Ndrawa. Selanjutnya, kutipan dari sebuah artikel di Museum Pusaka Nias berjudul Jalan Setapak Menuju Gua Tögi Ndrawa menyebutkan: “… Gua Tögi Ndrawa secara kontinu dihuni sejak 12.000 tahun sampai 700 tahun yang lalu. Para penghuni itu berbudaya epi-paleolitik (Hoabinh) dan tergolong ke akhir zaman paleolitik atau awal zaman mesolitik.”. Di pihak lain, van Oven dkk memperkirakan migrasi penduduk dari Taiwan melalui Filipina terjadi 4.000 – 5.000 tahun lalu. Dapat disimpulkan, kedua penghuni purba Nias itu pernah hidup pada selang waktu yang sama. Akan tetapi penghuni pertama (yang jejaknya terlacak di Tögi Ndrawa) punah begitu saja. Adakah penjelasan yang logis untuk merujukkan kedua ‘temuan’ yang berbeda ini ?
Dalam artikel tersebut, pendekatan molekul menggunakan marka kromosom Y dan DNA mitokondria, yang hanya dapat memperlihatkan pola genetik yang diturunkan dari sisi ayah dan ibu secara terpisah. Kita dapat mengetahui kemungkinan adanya campuran pola genetik penghuni pertama dan manusia modern Nias sekarang dengan meneliti DNA autosom, seperti yang telah kami lakukan dalam studi nenek moyang Asia dalam program Pan Asian SNP Intiative.
NO: Kembali ke pertanyaan sebelumnya, temuan arkeologis manusia purba Nias di gua Tögi Ndrawa ditopang oleh Carbon Dating sementara temuan van Oven dkk didukung analisis genetik/DNA. Bagaimana menempatkan kedua pendekatan ini dalam menelusuri asal-usul suatu suku atau masyarakat dan pemetaan migrasi bangsa-bangsa?
HS: Genetika populasi melibatkan banyak pakar dalam bidangnya yang mendukung temuan DNA sehingga dapat diartikan. Data DNA saja tanpa ada latar belakang humaniora seperti sejarah, budaya, aspek sosial dan lainnya tidak akan dapat memberikan arti yang bermakna. Saya menyitir kata-kata tersebut untuk memberikan tekanan bahwa setiap bidang dapat memberikan kontribusi pada studi seperti Nias ini. Standard emas dari temuan arkeologi adalah carbon dating ataupun pendekatan lain yang digunakan untuk memberikan estimasi usia temuan tersebut. Data DNA akan memberikan sumbangan dengan memoles dan memberikan data yang lebih rinci, dengan analisa matematik dan statistik terkini.
NO: Apakah lembaga riset dan para ahli Indonesia dilibatkan dalam riset van Oven dkk ini, terutama dari Lembaga Eijkmann? Bila tidak, apakah praktek seperti ini (tidak melibatkan lembaga riset dan ahli lokal) suatu kelaziman ?
HS: Lembaga Eijkman tidak terlibat sama sekali dalam studi ini, walaupun kami mendengar ada peneliti Jerman yang melakukan studi genetika di Nias. Kalau saya tidak salah, saya dulu juga pernah berkomunikasi dengan Museum Pusaka Nias menanyakan tentang kegiatan tersebut, tetapi tidak kami tindak lanjuti.
NO: Temuan Mannis dkk ini, masih ‘menggantung’, artinya belum secara tuntas memastikan asal-usul masyarakat Nias. Menurut Ibu, apa kira-kira langkah-langkah selanjutnya dilakukan dan sebaiknya ditindaklanjuti oleh siapa (institusi mana?)
HS: Saya sangat tergelitik dengan istilah “menggantung”. Dalam studi genetika populasi, setiap kesimpulan pastilah akan memberikan suatu pertanyaan tambahan, apalagi sebagai disiplin ilmu biologi molekul merupakan suatu ilmu yang sangat berkembang dengan cepat, tidak hanya dalam teknologi tetapi juga kemampuan untuk melakukan studi dalam waktu yang cepat dengan sampel jumlah besar.
Sebenarnya ada satu marka lagi yang akan dapat memberikan makna tambahan yaitu marka autosom, yang kita ketahui diturunkan dari sisi ayah maupun ibu. Marka ini telah kami gunakan pada penelitian untuk mengetahui nenek moyang Asia, dan sangat jelas memperlihatkan adanya campuran genetik dari aliran migrasi pertama dan kedua pada populasi Indonesia tengah dan timur, sebelah timur garis Wallacea.
NO: Riset lain menyebutkan bahwa ada juga kesamaan DNA antara penduduk Madagaskar, khususnya dari sisi wanita, dengan penduduk Nias. Bagaimana mengkaitkannya dengan hasil riset dari van Oven dkk ?
HS: Apakah memang ada pernyataan bahwa moyang Madagaskar berasal dari Nias, sepertinya tidak secara gamblang dinyatakan demikian. Berdasarkan perbendaharaan bahasa, bahasa Malagassy adalah kelompok bahasa Austronesia, yang hampir 90% menyerupai bahasa Dayak Maanyan dari Barito, ditambah dengan berbagai bahasa pinjaman seperti Sansekerta, Jawa kuno, Bugis dan lain-lain. Dengan membandingkan data DNA mitokondria populasi kepulauan Nusantara dan Madagaskar dan dengan perhitungan statistic yang cukup rumit, dibuktikan bahwa sejumlah kecil perempuan Indonesia adalah nenek moyang orang Madagaskar. Penelitian van Oven ini tidak mengkaitkan dengan seluruh Nusantara tetapi hanya melihat beberapa populasi yang datanya diperoleh dari data yang telah dipublikasikan sebelumnya, kecuali Karo.
B – Tentang penelitian DNA di Indonesia:
NO: Sejauh mana perkembangan riset DNA di Indonesia dewasa ini?
HS: Seperti yang telah saya sampaikan, riset DNA tidak hanya mengenai manusia saja, tetapi semua organisme. Di Lembaga Eijkman, riset DNA digunakan untuk menjawab berbagai macam mekanisme terjadinya penyakit, seperti malaria, hepatitis, dengue, pneumonia, dan juga berbagai penyakit infeksi yang baru timbul seperti avian flu, Japanese encephalitis dan lain-lainnya.
Di lembaga penelitian lain, pendekatan molekul dengan menggunakan marka DNA sudah tidak asing lagi, walaupun mungkin hanya dilakukan secara rutin di lembaga pendidikan terkemuka, sedangkan di tempat lain hanya terbatas.
NO: Sejauh mana animo mahasiswa di perguruan tinggi terkemuka untuk memilih jurusan ilmu genetik?
HS: Sebenarnya tidak ada jurusan genetik di perguruan tinggi, tetapi ini lebih merupakan suatu pendekatan, yang kemudian diterapkan berdasarkan topik atau fokus penelitian masing-masing. Genetika jaman sekarang pun sudah meluas, dari dulunya genetika klasik, menjadi genetika molekul.
Siapa yang harus melakukan? Ini pertanyaan yang sangat bagus. Pendekatan untuk melihat perbedaan ini masih mahal sekarang ini dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak, seyogyanya ada institusi penelitan Indonesia yang juga terlibat, mungkin tidak dalam metodenya tetapi dalam analisis dan kesimpulan. Sayangnya, karena sampel ini tidak ada di Indonesia, tentu saja sulit dilakukan demikian.
Peneliti asing yang melakukan kegiatan lapangan di Indonesia wajib meminta ijin ke pemerintah. Saat ini perijinan tersebut diurus oleh Kementerian Riset dan Teknologi, sebelumnya diurus melalui LIPI. Ijin tersebut diberikan dengan persyaratan memiliki mitra “setara” dan juga ada komponen transfer teknologi dan pembangunan kemampuan lokal.
Ijin tersebut tidak diperlukan apabila peneliti tersebut hanya berkunjung dan merupakan tamu dari suatu intitusi di Indonesia, apakah dari pihak swasta, pemerintah maupun universitas.
NO: Di Amerika (baca: Women at forefront of booming forensic science field) dan katanya di Inggris juga, minat kaum perempuan untuk menggeluti bidang ilmu forensik semakin tinggi. Mengapa demikian? Bagaimana pengalaman Ibu di Indonesia?
HS: Forensik itu seksi! Hal ini saya kira disebabkan oleh banyaknya film seri di televisi yang menayangkan penanganan kasus kriminal menggunakan teknik dan peralatan canggih yang memang secara nyata digunakan di laboratorium forensik. Tidak hanya itu, dengan berbagai peraturan keselamatan hayati, maka ruang autopsi tidak lagi menakutkan seperti pada jaman kegelapan, laboratoriumnya modern dengan sinar lampu yang terang. Karena perubahan tersebut, banyak generasi muda yang sekarang tertarik untuk mendalami forensik, termasuk dokter atau peneliti perempuan.
NO: Ilmu genetik sering masuk berita beberapa tahun terakhir dan nampaknya ilmu ini merupakan kunci untuk teknologi masa depan. Menurut Ibu, apa peranan ilmu baru ini dalam peta perkembangan ilmu di Indonesia?
HS: Saya merasa bukan genetik tetapi biologi molekul yang akan menjadi kunci teknologi di masa depan. Ilmu ini merupakan dasar pengembangan bioteknologi kedokteran untuk pembuatan vaksin baru, diagnostik yang tepat, dan pengembangan obat.
Saya kira kita harus menyadari bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang menguasai teknologi dan mampu bersaing. Dan seperti yang telah saya sampaikan, penguasaa ilmu dasar patut dimiliki.
NO: Profesor Herawati, terima kasih atas waktu yang diberikan untuk wawancara ini.
HS: Terima kasih. (brk/*)
Sumber:
http://niasonline.net/2013/09/03/tentang-asal-usul-suku-bangsa-nias-sebuah-wawancara-dengan-prof-dr-herawati-sudoyo-phd/