Monday, June 2, 2014

SEJARAH ASAL –USUL ORANG RAO

SEJARAH ASAL –USUL ORANG RAO 
Oleh : SYAMSIRUDDIN
Oleh Reski Hasan, Isof Rao dan Dian Agusta di RAO Borandei (tampek bobagi corito Online) · Sunting Dokumen

PENDAHULUAN
Latar belakang
Dengan munculnya Buku Sipongki Nangol-ngolan Sinambela gelar Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggan (MO) Parlindungan yang dibantah oleh Prof. Dr. Hamka dengan bukunya Antara Fakta dan Khayalan sebanyak 363 halaman. Sejak itu sampai sekarang muncul berbagai polemic tentang Rao, hal ini yang memotifasi para aktifis sejarah untuk menelusuri sejarah Rao yang akhirnya terjadilah kesimpang-siuran sejarah Rao.


Tujuan :
Untuk membahas asal orang Rao yang sebenarnya
PEMBAHASAN
Asal - usul orang Rao :
Sudah banyak pendapat tentang asal – usul orang Rao kita temukan pendapat tersebut antara lain sebagai berikut :

Menurut Amir.B dalam tulisannya “Minang Kabau Manusia dan Kebudayaan” diceritakan dua orng yang berasal dari Balai Janggo Pagaruyung bernama Tum Barido dan Tum Kayo mencari Tanahgarapan di utara pagaruyung, setelah didapatkan di daerah Pasaman mereka membagi dua daerah ini, Tum Barida dan pengikutnya menerapkan system adapt kota Piliang,Tum Kayo dan pengikutnya menerapkan Adat Bodi Caniago (1).

Menurut Djafri Dt. Bandaro Lubuak Sati “Dari Warih Nan Dijawek” yang bersumber dari daerah Limo Puluh Koto antara lain menyebutkan asal usul orang Rao secara umum juga orang Pasaman adalah kelanjutan penyebaran Limo Puluh Koto yang berasal dari Pariangan Padang Pajang yang bergarak kearah utara mencari daerah pertanian di kaki gunung Sago, penyebaran selanjutnya empat orang dari Limo Pulunh Koto itu

1. Majalah Limbago Edisi Ke 4 tahun ke 2 (1978)

berangkat kearah utara menyusuri sungai, satu orang tinggal di Ipuh,satu orang tinggal di Mungka Koto Tuo dan dua orang lagi terus ke Mahat Aur Berduri sampai ke Kapur, Rokan, kemudian berkembang ke Muaro Sibelayang, Lubuk Layang, Padang Nunang yang tersebut terakhir itulah yang menjadi Rao Mapat Tunggul atau Rao Mapat Cancang. (2).

Menurut Tambo Sutan Nan Salapan yang naskah aslinya dicap dengan stempel Sultan Seri Maharajo Dirajo Sultan abdul Jalil menyebutkan “Adaopun nan turun ka Rao Mandahiliang sampai ka Toboh Sultan Mahyudi namonyo” (3).


Menurut Ahmat Dt. Tuah dan A. Dt Majo Indo dalam Tambo Alam Minang Kabau (1958) tentang asal sul penduduk Cubadak dan Talu menyebutkan bahwa “Datuk-datuk yang di Rao telah memberikan tanah kepada Rajo Gunung Mulia dan penduduk Mandahiling Gadang kemudian Datuk – datuk di Rao dialahkan oleh Rajo Gunung Mulia,dengan demikian Datuk –datuk di Rao pergi entah kemana, sementara daerah pemberian itu diberi nama Sontang (4)

Dari penelitian Dr Mukhtar Naim dalam tulisannya “Merantau” menjelaskan bahwa “Suku asli penduduk di sana disebut Suku Lubu atau Ulu termasuk kedalam Ras Minang kabau (5)

Menurut MO Parlindungan SH, mengatakan bahwa “sebelum rombongan pertama dari suku bangsa Batak mendarat di Muara sungai Sorkam, di muara sungai Batang Toru sudah terlebih dahulu suatu suku bangsa lain yang bukan Proto Malayan, suku bangsa Lubu sebangsa dengan orang Kubu, Semang, Sakai, Andanam dan Nicobar yang tersebar keseluruh Nusantara. (6)

Kalau kita analisa pendapat diatas, beberapa versi yang berasal dari Tambo mengatakan bahwa asal – usul orang Rao berasal dari Pagaruyuang. Tetapi jika dari penelitian Dr Mukhtar Naim dengan pendapat dari MO Parlindungan mengatakan




1. Majalah Limbago Edisi Ke 4 tahun ke 2 (1978)
Ibit
Ibit
bahwa asal- usul orang Rao Berasal dari Champa yaitu suku bangsa Lubu bukan dari Pagaruyuang, hal ini sesuai dengan pendapat orang tua – tua di Rao yang mereka menerima pitua secara turun-temurun mengatakan bahwa asal – usul orang Rao adalah orang Lubu, hal ini sesuai pula dengan peninggalan sejarah klasik Rao yang menganut agama Hindu dan Budha yang mereka bawa dari Champa negeri asal mereka,jadi orang Rao bukanlah berasal dari Pagaruyung dan bukan pula berasal dari Batak tapi mereka adalah suku bangsa Lubu yang menyeberang ke Sumatera dari Champa. Imigran suku bangsa Lubu ini terjadi dalam dua gelombang yaitu :
Gelombang pertama seperti apa yang dikatakan MO parlindungan sekitar abad ke 2 suku bangsa Lubu ini mendarat di Muara Sungai batang Toru terus bergerak ke Pedalaman Sumatera seperti Sipirok, Padang Lawas, Tapsel dan pedakaman Sunatera lainnya.
Gelombang kedua sesuai dengan cerita orang tua-tua Rao bahwa di Abad ke 6 masehi datang ke Rao suku bangsa Lubu yang menganut Agama Hindu Brahmanis Sekte Bhairawa,mereka datang melalui selat Malaka masuk ke Muara sungai Rokan (Sumpu) dan memudikkan sungai tersebut melawan arus sungai dan mendarat di suatu tempat yang disebut Lubuk Godang, karena mereka beragama Hindu maka merekajuga mempunyai kasta / klas / Strata sosial antara lain :
Kasta Ompu ( Brahmana )
Kasta Kandang Kopuoh ( Ksatria )
Kasta Mandailing ( Waisya )
Kasta Pungkut ( Sudra )

Mereka membuat kampung pertama dan tempat perladangan di Lubuk Godang sistim perladangan mereka secara berpindah-pindah menurtkan kesuburan tanah. dalam membuka hutan tempat perladangan mereka bertemu dengan bangsa




4 Majalah Limbago edisi ke 4 tahun ke 2 (1978)
5 Ibid
6 Parlindungan Mangaraja Onggang (1965) sipingki nangol -- ngolan Sinambela. Gelar tuanku Rao : Tanjung Harapan


Asli Sunatera yang tinggal dipedalaman yang disebut bangsa Leco, bangsa asli ini masih sangat primitif belum mengenal pakaian dan makanan yang diolah dengan api, tingginya tidak lebih dari satu meter tapi menurut keterangan masyarakat setempat mereka sangat kuat dapat membalik-balikkan batu- batu yang besar melebihi besar tubuhnya dalam rangka mencari /mengalah ikan. Ikan yang didaoat dari mengalah tersebut dimakan dengan mentah-mentah tanpa dimasak lebih dahulu, bangsa Leco ini belum mengenal rumah tempat tinggal mereka hidup berkelompok dan berpindah pindah di pedalaman sumatera, menurut orang-orang Rao sampai sekarang pun masih ada Leco yang tinggal di hutan di daerah Rao , Pasaman Barat, Madina, Pasir Pongoraian, Rokan Jambi dan tempat lainnya di pedalaman sumatera tapi sekarang Leco sangat jarang ditemukan, biasanya mereka baru dapat ditemukan manakala mereka sedang asik mencari ikan di sungai (7).

Menurut cerita masyarakat setempat yang diceritakan secara turun temurun mengatakan bahwa dalam meluaskan daerah pertaniannya bangsa Lubu mendapat tentangan dari dari bangsa Leco namun mereka mengalahkan bangsa leco dengan taktikmenakut-nakuti bangsa Leco denga cara memancung pucuk bambu (Aur) sehungga bangsa leco menganggap bangsa Lubu bertubuh tinggi besar kata mereka orang lubu Godang ( orang Lubu besar ) dari kata Lubu Godang inilah asal mula nama negeri Lubuk Godang. (8)

Menurut wawancara denga pemuka masyarakat Soma bahwa nama kampung Sibintaian berasal dari kalimat bersibantaian antara orang Lubu dengan Leco, menurut cerita bahwa ditempat ini telah terjadi peperangan bangsa Lubu dengan bangsa Leco sehingga bangsa Leco yang kalah mengisolasikan diri dipedalaman sumatera (9).


7. Wawancara dengan bapak Hasanuddin di kampung Tamiang Tingkarang 10 Mei 1978
8. Wawancara dengan bapak Syafruddin di Padang Mentinggi 14 Februari 1985
9. Wawancara dengan bapak syahyaruddin di Pasar Rao 18 Desember 1986





Jika kita tinjau kepada kasta – kasta suku bangsa Lubu maka dapat di analisa bahwa sebenarnya orang Mandailing di Sumatera Utara sebenarnya juga berasal dari suku bangsa Lubu hal ini dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan bahwa suku Mandailing dan suku Pungkut yang ada di Rao sebenarnya bukanlah marga melainkan kasta atau tingkatan kedudukan dalam masyarakat Hindu di padalaman sumatera. Kasta Mandailing dan Pungkut bergerak ke utara mencari tanah yang subur untuk dijadikan tanah pertanian, setelah didapat mereka menamakan daerah tersebut dengan nama Mandailing dan Koto Pungkut yang akhirnya berobah menjadi Huta Pungkut, dalam hal ini berarti orang Mandailing, Sipirok, Padang Lawas dan sekitarnya bukanlah orang Batak tetapi mereka adalah orang Lubu (melayu). Hal ini dapat dibuktikan melalaui sejarah kerajaan Haru dan Panai, kedua kerajaan ini disebut kerajaan Melayu bukan kerajaan Batak, dulunya mereka memakai bahasa melayu sama dengan bahasa Rao, namun pada abad ke 16 terjadi ekspansi orang – orang Batak kearah timur dan selatan melalui asimilasi mereka akhirnya bahasa melayu disana punah dikalah oleh bahasa Batak, demikian pula halnya terhadap bahasa Rao (bahasa melayu baku) ke depan akan punah digeser oleh bahasa batak dan bahasa minang.


Dengan semakin berkenbangnya suku bangsa Lubu di Rao sehingga mereka keluar dari daerah Rao mencari tanah yang subur untuk pertanian, kearah utara yaitu ; Mandailing, Sipirok, Padang Lawas disini mereka berasimilasi dengan orang – orang Lubu yang datang pada abad ke 2, penyebaran mereka berlanjut sampai ke Aceh melalui pantai timur sumatera kecuali daerah Tapanuli Utara yang telah didiami oleh orang Batak dan daerah Aceh Gayo yang didiami oleh orang Batak Gayo. Kearah selatan melalui Agam, Tanah Datar, Painan, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan kecuali daerah danau Rangau yang lebih dahulu didiami oleh bangsa Batak Rangau. Kearah timur mereka sampai ke Rokan, Dalu – dalu, Pasir Pongoraian, Pantai Timur dan Kepulauan Riau. Kearah barat mereka sampai ke pesisir pantai barat seperti Air Bangis, Natal, Sibolga, Barus dan Singkil, dibeberapa tempat mereka berasimilasi dengan bangsa Proto Malayan (batak), menurut orang tua –tua Rao sesuai dengan Pantun mengenai kekuasaan Rao :


Riringgiek Tebang Jo Olang
Tebang Mombubuong ko Udaro
Dari Sungei Soriak ko Gunuang Molintang
Tosobuik Luhak Tanah Rao

Orang tua-tua Negeri Koto Rajo pernah mengatakan bahwa kekuasaan Kerajaan Rao adalah dari lauik kelauik.


Jadi menurut orang tua-tua yang mengetahui tentang sejarah Rao mengatakan bahwa kekuasan Rao dari sungai Soriek sampai ko gunuong Molintang, dari lauik ko lauik, berarti wilayah kekuasan pada zaman dahulu kira –kira :
Sebelah timur berbatas dengan pantai timur sumatera.
Sebelah barat berbatas dengan pantai barat sumatera.
Sebelah utara berbatas dengan kerajaan Panai
Sebelah selatan berbatas dengan kerajaan Minang Kabau


Asisten Residen Smitt yang pernah menjabat Asisten Residen dan tinggal di Rao menulis pada tahun 1848 bercerita tentang Rao yakni : “ Bahwa semua Wilayah pada bagian lembah ini Daerah Hulu Siak yang tidak di huni antara V dan VI Kota dari Kampar dan Parit masik kedalam bagian Rao”.(10). Hal ini membuktikan bahwa Rao itu pernah besar dan bukan bagian dari kerajaan lain.


ASAL – USUL NAMA RAO
Ada dua pendapat tentang asal – usul nama Rao yang dapat penulis kumpulkan’pendapat pertama dari pemuka masyarakat Rao dan pendapat ledua menurut Letnan H. Bahar.
Pendapat pertama menurut beberapa pemuka masyarakat Rao, bahwa nama Rao berasal dari kata rawang (rawa) berdasarkan cerita bahwa di Rao dulu masih ada laut dan Panti adalah pantai setelah ada penyusutan permukaan air maka Rao menjadi rawa –



10. JB Neumenn. Sejarah Mapat Tunggul Hal 8 terjemahan Drs M. Yusuf M Hum.

rawa, dari kata rawa inilah menjadi Rao (11) Pendapat kedua menurut Letnan H. Bahar, putra Rao yang berasal dari Tontoruang beliau adalah peminat sejarah mengatakan bahwa nama Rao berasal dari kata mangarao (bahasa orang Lubu) yang artinya bertelanjang,kata ini lama kelamaan berobah akibat perobahan zaman akhirnya menjadi Rao.(12) Selanjutnya beliau mengatakan bahwa dahulu ketikan orang Lubu baru mendarat di Lubuak Godang dan membuat perkampungan serta meneruko tanah perladangan mereka bertemu dengan suku bangsa Leco sedang mengalah (Menangkap) ikan di sungai dan Leco itu bertelanjang makanya orang Lubu tadi menyebut Leco tadi dengan kata mangarao sekaligus mereka menyebut pedalaman sumatera ini dengan daerah mangarao.


Jika kita analisa pendapat pertama diatas sebenarnya bukan suatu alasan bahwa rawang (rawa) akhirnya menjadi Rao karena dari dulu sampai sekarang Rao itu terdiri dari sebahagian besar bukit Barisan dan sebahagian lagi lembah dan orang Rao mengatakan rawa – rawa bukanlah rawang, melainkan Boncah, rawang berasal dari bahasa minang,dari perbedaan bahasa sudah jelas bahwa kata Rao bukan berasal dari kata rawang.


Dalam hal ini penulis mengambil kesimpulan mungkin kata rawang ini diambil dari tulisan Jawi/arab melayu ra dan wow jika ditulis dengan huruf latin menjadi rawa,dalam bahasa Indonesia rawa ini adalah rawa – rawa,hal ini dapat terjadi karena pada abad ke 16 bahasa pengantar dalam perdagangan dan mengembangan Islam dipakai bahasa Melayu dengan Tulisan adalah tulisan Jawi/arab melayu dan tulisan ini masih populer sampai tahun limapuluhan sehingga para pemuka mengambil kata rawa dalam bahasa Jawi dipindahkan ketulisan latin dan diartikan melalui arti dalam bahasa Indonesia. Dalam halini penulis sependapat dengan pendapat kedua (Letnan H. Bahar) yang mengatakan asal kata Rao berasal dari kata mangarao.



11. Wawancara dengan bapak M. Sholeh di Padang Mentinggi Rao tgl 07 Juni 1979
12. wawancara dengan bapak Letnan H. Bahar di Rao tgl 97 Agustus 1982




SEJARAH RAO
Jika kita lihat dari peninggalan sejarah klasik rao yang pernah dilaporkan oleh Gueverneur Van Sumatera’s Westkust (Gubernur Pantai Barat Sumatera) melalui suratnya no 70 tanggal 06 Januari 1966 kepada direksi Bataviasch Genotskop di Batavia (Museum Nasional) melaporkan bahwa telah ditemukan gundukan batu berbentuk menara. (13)

Pada tahun 1912 penemuan tersebut di investarisir secara sistematis oleh Prof. NJ. Krom dalam Oudheidkundig Verslag (OP) yang diterbitkan secara berkala dari Bataviasch Genotskop edisi tahun 1912 melaporkan tentang sisa – sisa bangunan Candi di Tanjung Medan dan Tarung – Tarung. (14)
Ketika itu ditemukan hiasan berentuk bunga teratai dari emas yang pada lembarannya terdapat inskripsi pendek :

“Hum (om) Akshobya…Phat” “Hum (om) Amoghasiddi…Phat”
“Hum (om) Ratu Sambhawa…..Phat”

Berdasarkan analisa bahwa kelopak bunga teratai melambang Mandala yang berlatar belakang agama Budha. Nama – nama tersebut adalah nama dewa – dewa penguas Mata Angin Timur dan Barat dan dewa utamanya adalah Akshobya.(15)

Menurut cerita masyakat setempat Candi Tanjung Medan merupakan Biaro Putri Sangkak Bulan. Cerita ini sesuai dengan apa yang diceritakan dalam Terombo bertulisan Jawi,tanpa pengarang mengabarkan bahwa :

“Sesampai nya Putri Sangkak bulan di Negeri Atas Angin maka Putri keluar dari keranda besi, setelah beberapa saat lamanya berkatalah tuan Putri kepada Rajo Songek Baung bahwa beiau bersedia menikah dengan Raja Songek Baung dengan sarat dibuatkan dua buah Biaro dari batu bata serta disiapkan lapangan pemedanan tempat menyabung ayam dan bunyi – bunyian, beliau juga meminta dihelatkan selama lima belas hari lima belas malam”.



13 Buletin Arkeologi, Amoghapasa, edisi 10/XI Desember 2005 BP3 Batu Sangkar
14 Sigiharta Sri, kegiatan keagamaan di Koto Rao, laporan Eksavasi penyelamatan BP3 Batu Sangka
15. Buletin Arkeologi, Amoghapasa Edisi 10/XI Desember 2005 BP3 Batu Sangkar
Sebahagian masyakat Rao menduga bahwa Putri Sangkak Bulan adalah kemenakan dari Datuk Berpatih Nan Sabatang (Menurut Tambo) tetapi sebahagian lagi mengatakan bahwa Putri Sangkak Bulan adalah Putri Raja kerajaan Panai Sumatera Utara, hal ini diketahui dari beberapa kisah yang mengisahkan tentang pengejaran Putri Sangkak Bulan. Rajo Songek Baung yang datang dari kerajaan Atas Angin (Rao) melamar (meminang) Putri Sangkak Bulan,namun putri Sangkak Bulan tidak mau menikah denganRajo Songek Baung, lalu Putri melarikan diri ke Palembang lalu di kejar oleh Rajo Songek Baung ke Palembang, Putri lari lagi ke Tumasik namun Raja Songek Baung tetap mengejarnya sampai ke Tumasik dan putri lari lagi ke kerajaan Aru,disinilah Putri baru menyerah dan mau dibawa oleh Raja Songek Baung dengan syarat di angkut dengan keranda besi. (16)


Untuk memenuhi permintaan Putri Sangkak Bulan, Raja Songek Baung memerintahkan bala tentaranya dan seluruh rakyatnya membuat batu bata disekitar kampung Pancahan sekarang dan bekas pembuatan batu bata ini sampai sekarang dinamakan Tobin Tarah (tebing tarah), menurut para ahli Candi Tanjung Medan dibangun sekitar abad 12. (17)

Menurut bapak Arifin Adat seorang peminat sejarah yang banyak mengetahui sejarah Rao mengatakan bahwa Candi Tanjung Medan (Biaro Putri Sangkak Bulan) ditemukan pada tahun 1830 oleh dua orang Arkeologi Belanda bernama Jhon dan Bosch, mereka mereka membongkar gundukan yang berbentuk menara dan menggali kedasarnya sehingga mereka mendapatkan Piring Emas berbentuk Bunga Teratai, piring ini mereka bawa ke Leiden Belanda. Dalam pekerjaan membongkar candi tersebut dikerjakan dengan sembrono sehingga sampai sekarang kita tidak dapat merekontruksi bentuk aslinya. Yang ada sekarang ini bukanlah bentuk asli Candi yang di bangkar oleh Bosch. Bapak M. Arifin Adat juga mengatakan bahwa batu bata yang dibuat di Tobin Tarah itu juga dipakai untuk membangun Goduang Gajah Morom (Istana Yang Dipertuan Rao)


16. Tarombo Rajo Nan Bumi, Asal – usul Keturunan Rajo Nan Bumi (Tulisan Jawi)
17. Wawancara dengan bapak m. Arifin Adat, Pasar Rao, 15 - 17 - 1980



yang terletak di Koto Tinggi tepatnya di daerah Pasar Rao sekarang. Goduang ini oleh Tuanku Rao bersama dengan Panglima Ninik Tudung Puar dijadikan benteng Rao karena letaknya strategis, namun benteng Rao yang tangguh ini akhirnya dapat direbut oleh tentara Belanda pada tahun 1832 dibawah pimpinan Mayor Van Amorongen yang dibantu oleh Raja Gadumbang dari Hutanagodang.

Setelah benteng Rao mendapat perbaikan menurut selera Belanda maka benteng tersebut ditukar namanya menjadi Fort De Amorongen untuk mengenang jasa Van Amorongen. Setelah Padri kalah dalam peperangan benteng Amorongen berubah fungsi menjadi kantor Asisten Residenan Rao Van Air Bangis akhirnya menjadi Tangsi Belanda yang didalamnya terdapat kantor kontroleur di akhir abad ke 19 Tangsi ini di hancurkan/dibongkar oleh Belanda dan batu batanya dijadikan bahan bangunan kantor Kontroleur di Lubuk Sikaping, Bangunan Tangsi Belanda yang berada dibelakang Pasar sekarang serta Pagar lokasi Pasar/Pekan Rao, karena pesatnya pembangunan maka bangunan – bangunan tersebutpun sudah dibangun pula dengan yang baru beralih fungsi sesuai dengan Zaman. Pekan/Pasar dibangun pada tahun 1902. (18)

Dari informasi diatas dapat dianalisa bahwa jauh sebelum Agama Islam masuk ke tanah Rao di negeri ini sudah ada kerajaan yang menurut Tambo bernama kerajaan Atas Angin yang Rajanya bernama Rajo Songek Baung. Kerajaan ini mungkin kerajaan besar karena menurut cerita bahwa serta tentara dan pengikutnya berani melanglang buana melintasi kerajaan besar lainnya dalam rangka mengejar Putri Sangkak Bulan idaman hatinya, kerajaan – kerajaan besar yang dilintasinya tidak dapat melindungi Putri dari kejaran Raja Songek Baung. Menurut Tulisan Tambo Raja Nan Bumitersebut bahwa kerajaan Atas Angin Bukanlah bahagian dari kerajaan Pagaruyuang. Tambo tersebut ditulis dengan huruf Jawi (Arab/Melayu) berarti Tambo ini dibuat menjelang perang perang Padri atau dalam masa perang perang Padri atau pula sesudah perang Padri, sudah diketahui secara umum pada masa – masa tersebut di atas adalah masa terjadinya proses Mempagaruyuangkan daerah Pasaman termasuk Negeri Rao, Riau dan Negeri – negeri lain oleh belanda dan pengikut – pengikutnya untuk dijadikan Daerah Rantau Minang. Namun penulis Torombo tetap membedakan antara kerajaan Atas Angindengan kerajaan Pagaruyuang.



18.Wawancara dengan Bapak M. Arifin Adat Pasar Rao 15-07-1980
Dra. Setyawati Sulaiman menyimpukan bahwa diabad 12 sampai 14 pernah ada sebuah kerajaan di daerah Rao Pasaman yang menganut Agama Budha Mahayana, hal ini berdasarkan penelitiannya pada tahun tujuh puluhan. Dra. Setyawati Sulaiman adalah ahli Arca dari pusat Arkeologi Nasional Jakarta.

Pada akhir abad ke 14 seorang raja perempuan kerajaan Rao di Koto Bonia Tinggi bernama Putri Sangkak Bulan mempunyai tujuh orang anak, enam orang laki – laki dan satu oramg perempuan, anaknya yang paling tua diberi nama Julat Joransyah dengan gelar Sultan Seri Alam. Dia sangat gagah dan sangat jahat sehingga saudara – saudaranya benci kepadanya, oleh karena itu Julat Joransyah merajuk dan berniat akan meninggalkan kampung kelahirannya (Koto Bonio Tinggi) niatnya ini disampaikannya kepada Ayahandanya dan bermohon agar diizinkan berjalan keluar dari Negeri Bonia Tinggi mencari tempat tinggal baru dengan membawa pengiring sebanyak 30 kelamin termasuk istrinya. Setelah mendapat izin dari ayahandanya maka berangkatlah rombongan ini kearah timur Bonio Tinggi dengan menghilirkan sungai Rokan (Sumpu) dengan memakai rakit dan perahu.

Sampai disuatu tempat di pinggir sungai Rokan beliau dan pengiringnya berhenti dan membuat perkampungan serta tanah perladangan didaerah itu,kampung itu oleh Julat Joransyah diberi nama Koto Sembah Yang Tinggi. Julat joransyah diangkat menjadi Raja Rokan tahun 1340 M dan memerintah selama 41 tahun. Beliau wafat pada tahun 1382 M dan digantikan oleh anaknya yang bernama Tengku Panglima Raja dengan gelar Tengku Raja Rokan.(19)

Perjalanan Raja Gumanti Porang dari Pidoli (Panyabungan)ke Rao pada abad ke 17 karena tidak ingin berperang dengan saudaranya Raja Huta Siantar yang bernama Yang Diertuan dalam perang dingin dengan saudaranya beliau telah menyuruh pengikutnyauntuk mencari tempat tinggal di Rao, pengikutnya tersebut antara lain Rajo Gunung Maleha, Raja Burinting Bosi dan Raja Siputar. Setelah tepat waktu dengan perencanaannya maka berangkatlah Raja Gumanti Porang menemui Datuk mondindiang Alom sahabat ayahnya (sibaroar Nasution) Datuak inilah yangmembantu ayahnya memerangi Namora Pulungan untuk menuntuk balas kematian kakek ayahnya.


19. Curai Paparan Asal usul Raja dan Haba Rai’at Luhak Rokan IV Koto
Sesampainya di Rao disampaikannyalah maksud hatinya unutk pindah ddari Pidoli ke negeri Rao kepada Datuak Mondindiang Alom, oleh Datuak maksud Rajo Gumanti Porang dan rombongan untuk mencari kampung tempat pertanian direstui serta ditunjukkan tanahtanah yang masih kosong di daerah selatan, lalu Rajo Gumanti Porang pergi ke arah keselatan, ketika sampai di Tambun wafatlah istrinya dan dimakamkan disitu sampai sekarang kuburannya disebut dengan kuburan batu. (20)

Kalau kita analisa kedua berita sejarah tersebut diatas jelaslah bahwa negeri Rao jauh sebelum abad ke 14 sudah dihuni oleh orang Rao seiring dengan keberangkatan Raja Julat Joransyah (Sutan Seri Alam) ke Rokan dan kedatangan Rajo Gumanti Porang pada akhir abad 17, namun kedua berita diatas tersebut tidak mencerikan nama kerajaan yang ditinggalkan Rajo Julat Joransyah serta Tambun Batu tempat dimakamkan istri Rajo Gumanti Porang.

Setelah kepergian Julat Joransyah ke Rokan dan membangun kerajaan di Rokan, kerjaan di Bonio Tinggi mulai lemah, wilayah kerajaannya dibagi – bagi oleh anak keturunannya sehingga muncul negeri – negeri kecil di wilayah Rao ketika itu pulalah masuknya Rajo Gumanti Porang ke Rao.

 Namun demikian kekuasan Luhak Rao di pegang oleh Yang Dipertuan Rao yang berkedudukan di Koto Tinggi (Rao sekarang) diwaktu menjelang perang Paderi masih ada yang memimpin Rao yaitu Yang Dipertuan Rao dengan gelar Datuk Baginda Alam. Ketika itu Istananya di Koto Tinggi diserahkan kepada Tuanku Rao bersama panglima Tuduang Puar untuk dijadikan benteng Rao, setelah diserahkannya Istana yang bernama Goduang Gajah Morom tersebut kepada Padri beliau tinggal di Padang Mentinggi tapi beliau lebih suka menginapdi Kampung Hatar.(21)

Seperti kita ketahui bahwa Rao adalah daerah yang strategis terletak di tengah – tengah pulau Sumatera dan daerah ini dulunya menghasilkan emas, beras, kerbau kopi dan rempah – rempah sehingga sejak dulu daerah ini sudah dipenuhi oeh pedagang dari berbagai negara sepertiIndia, Arab, China dan negara –negara dari Indo China mereka masuk ke Rao melalui sungai Rokan (Sumpu)
.


20. Tombo Sejarah Negeri Sontang, Cubadak – simpang Tonang
21. M. Rajab.Sejarah Perang padri

Menurut cerita orang tua – tua dan secara turun temurun bahwa Islam masuk ke Rao pada awal abad ke 15, Agama Islam ini dibawa oleh para pedagang dari Malaka dan Aceh, mereka datang ke Rao untuk berniaga Kain, permadani,porselen, minyakwangi dan lain – lain, sedangkan dari Rao mereka membeli emas, beras, kerbau, kopi dan rempah – rempah untuk dibaw ke Malaka dan Aceh.

Pedagang dari Malaka masuk ke Rao melalui Bagan Siapi –api memudikkan sungai Rokan langsung ke Cironting. Sedangkan pedagang dari Aceh masuk melalui pelabuhan Katiagan di Panta Barat Sumatera dari Katiagan mereka ke Kinali, Ladang Panjang, Kumpulan, Bonjol, Lubuk Sikaping, Panti langsung ke Rao. Menurut orang tua –tua dan cerita secara turun temurun bahwa bandar Rao (Kota Rao) bernama Koto Tinggi, dulu Bandar ini sangat ramai terletak di empat persimpangan yaitu Jalan ke Sumatera Utara, ke Air Bangis. Ke Riau dan ke Agam. Para pedagang yang datang ke Rao adalah pemeluk Agama Islam maka secara cepat atau lambat Agama Islam juga di anut oleh orang –orang Rao.

Pada tahun 1511 Malaka kalah berperang dengan Portugis dibawah pimpinan Alfonso De Albuquerque. Maka para pedagang Islam mengalihkan perdangannya ke Teluk Banten karena enggan berdagang dengan orang – orang Eropah, tapi kapal – kapal dagang mereka selalu dihadang dan dipaksa ke Malaka dan harus berdangan dengan orang Portugis dengan harga yang telah ditetapkan,oleh karena itu para pedagang Islam secara bersembunyi berdagang di Pantai Barat Sumatera.

Untuk menjaga keamanan Pantai Barat Sumatera maka kerajaan Aceh yang menguasai Pantai Barat Sumatera tersebut menurunkan armadanya untuk selalu berpatroli disana guna mengawasi agar tidak terjadi transaksi atau jual beli dengan bangsa Eropah. Pada masa ini awal abad ke 19 sebahagian Pasaman dikuasai oleh Kerajaan Aceh. Agama Islam semakin berkembang dengan pesat di Rao. Terbukti dengan munculnya Ulama Tarikat dengan berbagai aliran seperti : Aliran Satari, Aliran Zamani dan Aliran Nasakbandi.







BUDAYA RAO

1.Bahasa Rao
Ada dua pendapat tentang tentang bahasa Rao yang dapat penulis kumpulkan antara lain :
Menurut JB Neumans dengan bukunya berjudul Sejarah Mapat Tunggul mengatakan bahwa bahasa yang digunakan di Mapat Tunggul adalah bahasa melayu dialek Rao kecuali di Muaro lebih murni tapi masih berhubungan dengan bahasa yang dipakai orang Rao.(22)

Rao sebagai daerah perbatasan tidak dapat menutup diri dari kehadiran para teangga yang memasuki daerahnya seperti halnya Mandahiling, Pekan Baru, maupun daerah lainnya yang masih berada dalam kawasan Pasaman seperti Bonjol, Lubuk Sikaping dn Kumpulan. Kehadiran para tetangga tentu saja merubah khasanah Budaya maupun Bahasa. Dengan sendirinya perpaduan berbagai macam ras dan suku bangsa tersebut, melahirkan satu bahasa yang agak berbeda dengan daerah Minang Kabau sekitarnya.(23)

Jika kita analisa pendapat diatas versi pertama mengatakan bahwa bahasa Rao

adalah bahasa Melayu. Versi kedua mengatakan bahwa bahasa Rao adalah bahasa minang yang bercampur dengan bahasa lain, dalam hal ini dapat dianalisa bahwa bahsa Rao bukan berasal dari bahasa Minang karena baik dialek maupun artinya sangat berbeda dengan bahasa minang apalagi dengan bahasa Batak, menurut penulis bahwa bahasa Rao itu adalah bahasa Melayu baku (cikal bakal bahasa Melayu sekarang ). Sesuai dengan asalnya bahwa orang Rao adalah Bangsa Lubu sebagai cikal bakal bangsa Melayu di Nusantara ini berarti bahasanyapun menyebar pula keseluruh Nusantara, seperti contoh orang asli Lampung, Bengkulu, Jambi, Tanjung Balai, Deli, Serdang, Langkat, Rokan Hulu, Rokan




22. JB Neumans. (1848). Sejarah Mapat Tunggul Terjemahan Drs. M. Yusuf M. Hum
23 SS. Siti Rohana. (2005) Tuanku Rao Peranannya Dalam Gerakan Pader



Hilir disepanjang sungai Rokan, Pantai Timur Sumatera, Barus, Natal, Singkil, Batu Bara, Sibolga, danPantai Barat Sumatera lainnya memakai bahasa yang sama sekurang – kurangnya mirip dengan bahasa Rao, karena bereka juga berasal dari bangsa Lubu. Disini perlu kami tegaskan bahwa bahasa Rao adalah bahasa Melayu baku yang dipakai sebahagian besar orang melayu sedangkan bahasa Minang Kabau sangat berbeda dengan bahasa Rao. Contoh :



Bahasa Batak
Bahasa Rao
Bahasa Minang
Bahasa Melayu

Giot tu dia
Ho
Inda giot
Monjap
Giot
Au
Nak komano
Abang/diang
Indo ondak
Borondok
Ondak / Nak
Aku
Nak kama
Ang/waang
Indak nio
Mandok/mailang
Nio
Aden
Nak kemane
Engkau
Tak ndak / Tak Nak
Berondok
Mau / Nak
Aku


Dari tabel diatas sangat jelas perbedaan bahasa Minang dengan bahasa Rao. Jika orang Rao berasal dari Pagaruyung atau Minang semestinya orang Rao memakai bahasa Minang juga misalnya orang Rao sendiri kemanapun mereka merantau tetap memakai bahasanya dikalangan keluarga dan handai tolan sekampung demikian pula orang Batak.

Dari bahasa saja dapat kita membedakan bahwa orang Rao bukan berasal dari Pagaruyuang (Minang Kabau) tapi kemungkinan orang Minang Kabau berasal dari Rao.



2.Kesenian Rao

Jika kita tinjau kesenian anak negeri Rao kita lebih cenderung mengatakan bahwa orang Rao itu adalah orang Melayu, bukan orang Minang atauoun Orang Batak, hal ini dapat dibuktikan bahwa kesenian Rao itu sendiri sama dengan kesenian Melayu seperti :
Musik Gamad
Tari Inang
Tari Tandaq
Tari Japin
Dikier
Sikombang
Bosingilou
Kaco Pocah

alat – alat musik instrument yang dipakai antara lain seperti : Kenong, Oguang, Gondang, Robano, Robob dan Kecapi.(24)

Ada Seni Budaya khusus yang hanya boleh ditampilkan manakala ada acara – acara adat tertentu seperti Rontak Kudo, Tandang boinei, ditambah dengan kesenian yang diatas hanya boleh ditampilkan di Hari Raya sebagai hiburan anak negeri dan muda mudi di Rao, sedangkan Tingkah Losuong Panjang, Silek Situo Rao, Silek Rimou, Musamg – Musang, Lukah Gilo dan Tiduor Diateh Duri hanya dapat ditampilkan manakala ada acara adat Nogori dan Anak Raja Nikah/Kawin dilaksanakan. Kesenian tersebut diastas tidak boleh ditampilkan disembarang waktu.


3.Makanan Khas Rao
Jika kita tinjau makanan khas Rao nyata benar bahwa orang Rao itu Bukan orang Minangkabau ataupun orang Batak, hal ini dapat dibuktikan ari masakan/makanan Khasnya juga tidak sama dengan makanan khas Minang dan Batak seperti contoh :
Asam Keluwang (makanan Raja – Raja Rao dizaman Hindu Budha)
Asam Kebou (makanan Raja – Raja dizaman Islam)
Asam Lauok
Gulei Birah
Gulei Korambie
Gulei Pisang
Pangggang Pacak
Singgang Ayom dan lain – lain


24. JB Noumen. Sejarah Mapat Tunggu Hal 15 Terjemahan Drs M. Yusuf M. Hum
Makanan tersebut diatas merupakan makanan asli/spesifik anak Nogori dari dulu sampai sekarang yang tidak terdapat di daerah lainnya. Hal ini adalah satu bukti orang Rao adalah bangsa Rao bukan berasal dari bangsa lain.


4.Pantang Tanah
Anak Raja – Raja Rao sejak lahir sampai berumur 15 bulan berpantang tanah dan bunga (pada usia tersebut diatas tidak boleh kena tanah, abu ataupun bunga), jika dalam masa usia dibawah umur 15 bulan ataupun sebelum dijejakkan terlanggar pantang (terkena atau memegang tanah, abu ataupun bunga) anak Raja tersebut spontan akan sakit perut, demam panas dan lain sebagainya, jika tidak cepat diobat maka akan berakibat fatal bagi si anak bisa – bisa sianak meninggal dunia ataupun lumpuh, bodoh/idiot sekurang – kurangnya berpenyakit infeksi telinga yang susah diobati. Ada beberapa pendapat tentang asal – usul Pantang Tanah bagi Anak Raja Rao menurut masyarakat Rao antara lain :

Pantang tanah ini bermula sewaktu Anak Raja yang dijeput ke Pagaruyung sesampainya di Rao dijejakkan ke tanah, karena begitulah adat Raja – Raja Pagaruyung.(25)

Menurut informasi bahwa dulu di Rao pernah terjadi musibah besar yang mana orang Rao banyak yang meninggal karena di bunuh oleh hantu Rao (malaria). Menurut A. Raja Junjungan, itulah sebabnya orang negeri sontang banyak yang pindah kearah barat yaitu ke Cubodak Simpang Tonang sekarang karena menghindari hantu Rao. Untuk negeri Rao dari musibah ini turunlah Putri Sangkar Bulan (dewa Chandra) dari Dhyang (khayangan). Upacara Sakral dilakukan menyambut kehadirannya, inilah asal mula orang Rao memanggil Dhyang terhadap perempuan.(26)



25. Wawancara dengan Bapak Marlis Kauman
26 Wawancara dengan Bapak A. Raja Junjungan Sontang,
Asal mulanya berpantang tanah dan monjojak tanah bagi Anak Raja – Raja di Rao berasal dari Putri Sangkak Bulan yang kawin terpaksa dengan orang yang tidak dicintainya yaitu Rajo Songek Baung karena sangat bencinya Putri terhadap Raja sehingga beliau bersumpah terhadap anak keturunannya apabila anak keturunannya terkena tanah atau abu atau memegang bunga sebelum cukup umur 15 bulan atau belum dijejakkan apabila anak yang terlanggar pantang tersebut tidak cepat diobati maka sianak akan mati, atau lumpuh atau bodaoh atau cacat seumur hidup dan tidak bisa mewarisi tahta kerajaan leluhurnya.(27)

Jika kita analisa pendapat pertama tentu kita telusuri apakah benar budaya panatang tanah dan monjojak tanah adalah budaya Raja – Raja Pagaruyung? Menurut pendapat sebahagaian masyarakat Rao di Pagaruyung tidak ada budaya pantang tanah dan monjojak tanah, bahkan budaya ini tidak ada pada keturunan Raja – Raja Melayu dan tidak ada juga budaya ini didaerah lain, jadi penulis tidak sependapat dengan pendapat pertama ini.

Kita tinjau pula pendapat kedua yang mengatakan akibat mengganasnya hantu Rao, analisa penulis ini hanya sebuah pemikiran/reka-rekaan saja karena penulis tahu benar bahwa asal-usul orang Sontang berasal dari Pidoli yang dibawa oleh Raja Gumanti Porang datang ke negeri Rao di akhir abad ke 17, perlu diketahui bahwa Rajo Gumanti Porang adalah cicit dari Tuanku Patuan Saripado/Sultan Saripada yang melawat ke Aceh pada awal abad ke 17, berarti di daerah Rao jauh sebelum abad ini sampai sekarang sudah beragama Islam. Sedangkan budaya pantang tanah dan monjojak tanah ini berlaku sudah berbad-abad lamanya kemungkinan berawal sekitar abad 12 – 14 yang ketika itu orang-orang Rao masih menganut agama budha. Setahu penulis ketika itu Raja Gumanti Porang dan pengikutnya belum lagi datang ke Rao dan isu mengenai musibah akibat dibunuh hantu Rao (malaria) ketika itu tidaklah benar karena pada abad 12 s/d 14 daerah Rao belum ada tobek ataupun boncah (rawa) yang ada hanya perbukitan dan lahan perladangan masyarakat tentang ikan ketika itu di sungai-sungai yang ada di Rao ikan sangat berlimpah. Jadi ketika itu tidak ada endemi malaria di daerah ini, endemi malaria baru berjangkit di Rao akhir abad 19 manakala orang-orang Rao sudah membukan usaha tobek (perikanan darat) atas usul pemerintah Hindia Belanda, sedangkan kata diyang



27. Wawancara dengan Bapak Khirunnas Kauman Tangga 17 Mei 1985

bukanlah berasal berasal dari kata dhyang (khayangan) tetapi asal kata diyang bermula berasal dari seorang Raja Rao yang fasik (stress) akibat kematian istri yang dicintainya, maka setiap hari Raja meratap di kubur istrinya sambil berbalas pantun sendiri dan dalam pantun inilah terucapkan kata diyang yang artinya dik sayang, menurut cerita dari orang tua-tua bahwa Raja tersebut tidak memanggil nama kepada istrinya melainkan dengan panggilan dik sayang karena sangat cinta terhadap istrinya. Orang sontang pindah ke barat (Cubodak dan Simpang Tonang) bukanlah karena hantu Rao tapi karena di Sontang sudah tidak ada lagi tanah yang subur untuk tempat perladangan (pertanian) karena sudah dikuasai Datuk-datuk lain sebagai tanah ulayat negerinya masing-masing, sedangkan tanah yang masih kosong dan subur adalah disebelah barat sontang makanya mereka pindah kearah barat, tentang upacara sakral yang dikatakan diatas tidak pernah terjadi karena pada masa itu orang Rao dan Sontang sudah memeluk agama Islam dan sudah tidak percaya kepada Dewa-Dewi, kita tidak tahu siapa yang dijejakan pada Upacara Sakral tersebut, dalam hal ini penulis juga tidak sependapat dengan pendapat kedua.Pendapat ketiga dapat penulis terima sepenuhnya karena menurut pitua secara turun temurun bahwa berpantang tanah dan Upacara Monjojak tanah bagi Anak Raja- Raja Rao karena disebabkan oleh Sumpah Putri Sangkar Bulan yang menyumpahi anak keturunannya dengan Rajo Songek Baung Suami yang tidak dicintainya dengan sumpah Anak keturnannyan harus berpantang tanah dan bunga sejak lahir sampai berumur 15 bulan dan harus dijojakkan dengan upacara Monjojak tanah baru boleh menjejak tanah dan memegang bunga-bungaan selamanya, pada masa itu Agama yang dianut masyarakat Rao adalah Agama Budha Mahayana, sumpah ini berlaku sampai sekarang.


5.Monjojak Tanah .
Upacara ini dilaksanakan manakala Anak Raja ( Keturunan Raja ) sudah berumur 15 bulan diwaktu bulan naik ( tidak boleh lewat dari 15 hari bulan ) karena menurut orang tua-tua kalau pelaksanaan Jojak Tanah dilaksanakan pada umur 15 bulan lewat 15 hari bulan pelaksanaan ini kurang baik , harus dilaksanakan pada bulan ganjil berikutnya .diwaktu bulan naik. Upacara Momjojak Tanah dilaksanakan dengan perlengkapan sebagai berikut :


Emas batang 8. Sitawar Sidingin
Empu Kunyit 9. Keris/Sewar
Bunga tujuh macam 10 Baju Raja
Sipulut Kuning 11 Kain Songket
Beras kuning 12. Tikuluk (Detar)
beras putih 13 Singgang Ayam
Bertih ( Padi yang direndang sampai meletus berasnya) 14. Nasi putih


Anak raja yang akan dijejakan ketanah sehari sebelumnya tangan dan kakinya diberi Inai , pada hari pelaksanaan upacara monjojak tanah si anak diberi pakaian Raja lengkap dengan Keris ,Rantai dan gelang emas serta perlengkapan Monjojak kotanah sudah dilengkapi seperti Tanah hitam yang ada dalam wadah (talam) sudah diletaknya di ruangan upacara yang beralaskan Permadani atau tikar, bunga tujuh rupa juga sudah diserakan diatas tikar khusus berikut Bertih, beras kuning, beras putih, Sitawar sidingin diletakkan pada tempatnya, Sipulut Kuning , Nasi Putih ,Singgang Ayam sudah disiapkan disamping peralatan yang ada demikian pula Air bunga tujuh rupa juga sudah disiapkan terlebih dahulu. Manakala Upacara akan dilaksanakan maka si Anak diserahkan kepada Tukang Jejak tanah yang telah diundang, acara selanjutnya adalah :

Oleh tukang Jojak tanah menyapu / menyentuhkan ompu kunyit kekening si anak disentuhkan lalu ke ulu hati, dari ketiak tangan sampai ketelapak tangan, dari pangkal paha sampai ke telapak kaki, demikianla pula terhadap emas batang disapukan kedaerah-daerah badan si anak seperti diatas.

Selanjutnya si anak dijejakkan kakinya kebunga diteruskan dijejakkann ketanah hitam setelah itu si anak dimandikan dengan air bunga tujuh rupa maka acara Monjojak Tanah selesai, besoknya si anak dijejakkan ketanah dihalaman rumah selama tiga pagi berturut – turut barulah anak raja tersebut bebas menjejak tanah selamanya ememijak tanah dan memegang bunga.(28)

28. Wawancara dengan Bapak Khirunnas Kauman 17 Mei 1985

KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Rao ( Pasaman ) berasal dari suku bangsa Lubuk yang akhirnya berkembang menjadi orang Melayu. Suku Bangsa Lubu ini datang ke Rao diperkirakan pada abad ke 6 mereka sudah menganut Agama Hindu Sekte Bhairawa, mempunyai kasta, yakni Ompu, Kandang Kopuah, Mandailing dan Pungkut. Terakhir setelah mereka memeluk Agama Budha Kasta ini berobah menjadi Suku dan orang mandailing di Sumatera Utara sebenarnya bukan orang batak tetapi mereka adalah orang melayu juga berasal dari Suku Bangsa Lubu.


Sejak dulu sampai sekarang bahasa Rao TIDAK PERNAH mengalami perubahan walaupun Daerah Rao selalu didatangi oleh perdatang dari Negeri tetangga tapi Negeri tetanggapun ketika itu memakai bahasa Rao, juga Orang mandailing baru memakai bahasa Batak terjadi sekitar abad 16-17 setelah terjadi Ekspansi orang – orang Batak dari Tapanuli Utara ke arah Timur dan Selatan mereka berasimilasi dengan orang Lubu Kasta Mandailing dan Pungkut akibatnya dari asimilasi ini bahasa Rao ( Bahasa Lubu ) tergeser oleh bahsa Batak.


Peninggalan sejarah yang banyak terdapat di Rao membuktikan bahwa Rao adalah Negeri tertua dibandingkan daerah-daerah lain, berarti tidak benar bahwa orang Rao itu berasal dari Pagaruyung atau Minang Kabau. Menurut cerita Rakyat Rao sekitar abad 12-14 telah ada satu kerajaan di Rao yang bernama Kerajaan di Atas Angin yang rajanya bernama Songek Baung Raja ini perkasa dan ditakuti kerajaan tetangganya terbukti dari cerita beliau mengejar Putri Sangkar Bulan yang dicintainya melarikan diri ke beberapa Kerajaan dan Kerajaan-Kerajaan tersebut tak berdaya untuk mempertahakan putri Sangkar Bulan dari kejaran Raja Songek Baung.


Berdasarkan budaya Rao kita juga dapat membedakan bahwa orang Rao bukalah orang Minang ataupun orang Batak melainkan orang Rao adalah Suku Bangsa tersendiri sebagai cekal bakal suku Bangsa Melayu termasuk orang minang.


Sumber:
https://www.facebook.com/jhritonga17/posts/3976616908704

No comments:

Post a Comment