BATAK
TOBA (BUKAN) KANIBAL
Oleh:
Edward Simanungkalit
Cerita tentang kanibalisme banyak ditulis para musafir yang
datang ke Sumatera. Berbagai cerita tentang kanibalisme di beberapa tempat dan
salah satunya di wilayah Batak Toba. Cerita tentang kanibalisme ini terasa
dibesar-besarkan dengan memanfaatkan peristiwa yang dialami oleh misionaris
Munson dan Lyman. Seorang kenalan pengusaha Tionghoa yang bertemu dengan
penulis pada 11 Agustus 2010 di bandara Polonia mempertanyakan peristiwa ini.
Dia mengatakan yang dia ketahui bahwa Munson dan Lyman adalah misionaris yang
dibunuh dan dimakan di dekat kota Tarutung. Seperti inilah gambaran yang
diperoleh orang umumnya dan mengatakan Batak itu kanibal.
Peristiwa kematian misionaris Munson dan Lyman (1834) ini
diperbesar-besar dan diprovokasi Belanda sedemikian rupa untuk
melegitimasi kedatangannya ke wilayah Batak Toba. Padahal kita tahu bahwa
banyak kekejaman dilakukan oleh Belanda selama penjajahannya di Indonesia seperti pembataian
massal yang dilakukan terhadap orang Gayo, Alas, dan Batak di daerah Alas pada awal
abad ke-20. Pembantaian yang dilakukan oleh Belanda terhadap puluhan ribu orang
di Makassar setelah Indonesia merdeka dan Westerling yang merupakan algojonya
hidup tenang tanpa terjamah oleh hukum sampai masa tuanya. Kedua peristiwa ini
hanya merupakan dua contoh saja yang diambil dari sekian banyak peristiwa
lainnya termasuk membakar hidup-hidup Kapitan Pattimura dan Walter Robert
Monginsidi di depan umum.
Orang Jerman pun turut meniup-niupkan masalah kanibalisme
termasuk J.T. Nommensen, anak dari I.L. Nommensen, turut meniup-niupkannya
dengan menulis kutipan dialog pendeta kulit putih dengan seorang Batak Toba
(Nommensen, 2003:249). Hal ini dapat dilihat dalam buku “Ompu i Tuan Dr. I.L.
Nommensen” yang ditulis oleh J.T. Nommensen, anak dari misionaris I.L.
Nommensen sebagai berikut: “Sekarang zaman telah berubah pak guru, karena
di pasar hanya dijual daging ayam dan daging babi, kalau dahulu tidak jarang
tangan dan kaki manusia dapat dibeli di pasar.” (Nommensen,
2003:235). Gaya bahasa hiperbola seperti ini sangat provokatif sekali diikuti
dengan dilatarbelakangani perasaan superior. Di mana Batak digambarkan
sebagai bangsa yang tadinya tidak beradab sudah berobah menjadi bangsa beradab.
Perubahan tersebut, maksudnya, tentu tidak lepas dari peran
orang Jerman yang paling beradab dan berbudaya itu. Padahal, bagaimana kita
dapat melupakan jutaan orang Jahudi yang
tewas di kamp-kamp konsentrasi. Belum lagi mereka yang berseberangan dengan
Nazi yang mati di tangan Gestapo serta pemerkosaan massal yang dilakukan oleh
tentara Jerman ketika melakukan penyerangan ke Rusia. Seisi dunia tahu akan
peristiwa tersebut dan apakah ini yang hendak dikatakan sebagai berbudaya dan
beradab? Tak kalah mengherankan bahwa tidak adanya orang Batak yang mengajukan
protes terhadap buku J.T. Nommensen tersebut selama ini malah mencetak ulang
buku tersebut terakhir pada tahun 2003 lalu, sedang cetakan pertama tahun 1921
meskipun buku tersebut nyata-nyata merendahkan martabat orang Batak.
Masyarakat Batak Toba di masa lalu adalah masyarakat yang hidup di dalam huta, horja, dan bius. Mereka bukanlah bangsa yang liar dan
barbar sebagaimana banyak digambarkan oleh musafir asing dan para misionaris Jerman
yang datang ke wilayah Batak Toba. Untuk dapat hidup bersama-sama dari sumber
yang sama, maka mereka memiliki cara tersendiri untuk melakukan penataan dan
pengaturan di dalam huta, horja, dan bius tadi. Cara berpikir mereka yang utuh
dan menyeluruh terlihat ketika mereka membedakan dan menggabungkan hal-hal yang
bersifat sekuler dan yang bersifar religius. Mereka mengorganisir diri dengan
rapi, sehingga seluruh aktivitas hidup mereka tertata dan terorganisir di dalam
huta, horja, dan bius, baik secara sekuler maupun religius. Karena, Dewan Bius
bekerja berdampingan dengan Parbaringin walaupun ada pemisahan fungsi di mana
Parbaringin berfungsi untuk memimpin hal-hal yang bersifat religius dan Dewan
Bius menangani hal-hal yang bersifat sekuler di dalam lingkungan biusnya.
Pada akhirnya, mereka dipersatukan di bawah pengayoman Dewa-raja,
Singamangaraja sebagai primus interpares.
Di dalam pengorganisasian masyarakat banyak seperti itu
tentulah diperlukan sejenis peraturan/norma-norma, larangan, tabu, dan
nilai-nilai yang dianut sebagai suatu kebaikan/kebenaran tertinggi di dalam
diri mereka. Semuanya ini sudah dikemukakan di dalam huta, horja, dan bius yang
telah dipaparkan dan sebagai wujud daripada itu dapat dilihat dari apa yang
mereka lakukan ketika menyambut dan menerima misionaris Richard Burton dan
Nathaniel Ward. Sebelumnya misionaris ini sudah melihat bagaimana baiknya
mereka menata alam-lingkungannya, sawah dan sistim irigasinya, tanamannya,
pasarnya, dan lain-lain. Mereka secara terbuka menyambut kedua misionaris ini
dengan tor-tor dan memberikan tempat buat keduanya serta memberikan kesempatan
kepada misionaris ini untuk bicara. Di hadapan 2.000 orang, misionaris ini
bicara dan berkhotbah menyampaikan firman Tuhan, tetapi mereka menolak apa yang
disampaikan misionaris tanpa ada permasalahan.
Dua minggu lamanya kedua misionaris tinggal bersama-sama
mereka di Silindung, tapi kedua misionaris tidak dapat melanjutkan perjalanan
ke Bangkara oleh karena penyakit disentri yang dideritanya. Ketika hendak
kembali ke Sibolga, mereka masih mengadakan acara perpisahan dan menjamu kedua
misionaris dengan makan pada acara perpisahan yang meriah dihadiri 7.000 orang.
Sesampainya kedua misionaris di Sibolga, sampai juga surat undangan
Singamangaraja untuk datang ke Bangkara sehubungan dengan kemarau yang sudah
mulai merusak tanaman penduduk, tapi misionaris tidak dapat memenuhinya akibat
dari penyakit disentrinya. Semuanya ditulis Richard Burton dan Nathaniel Ward
di dalam kesaksiannya tentang Batak Toba di lembah Silindung.
Peneliti
Jerman, Franz Wilhem Junghuhn, menjelajahi tanah Batak pada tahun 1840-1841.
Selama 17 bulan keberadaannya di tanah Batak, Junghuhn mengaku tidak pernah
menyaksikan praktek kanibalisme di desa-desa yang dilaluinya. Dia malah heran
mengapa predikat barbar dan kanibalisme itu melekat pada diri orang-orang Batak
selama berabad-abad. Dalam bukunya Die Battaländer auf Sumatra (1847), Junghuhn
menyimpulkan bahwa cerita-cerita barbarisme dan kanibalisme hanya rumor yang
sengaja diciptakan orang Batak sendiri untuk membentengi diri dari ancaman luar
yang mungkin mengganggu ketenteraman mereka. Demikianlah orang Batak membentuknya
selama berabad-abad (Hutahaen, 2011:2).
Memang masyarakat Toba mengalami
penderitaan yang membuat mereka trauma berat akibat kekejaman yang dialami pada
waktu invasi pasukan Paderi (1825-1829), setahun setelah kedatangan Richard
Burton dan Nathaniel Ward (1824). Berbagai macam tindakan pasukan Paderi
telah meluluh-lantakkan wilayah Toba dengan membunuhi orang, membungi-hanguskan
kampung, menjarah harta benda, memperkosa dan membawa para perempuan
untuk dijual. Keadaan tadi diikuti
lagi oleh berkembangnya penyakit kolera akibat banyaknya mayat membusuk yang tidak
dikubur, sehingga banyak meninggal akibatnya. Di dalam kondisi trauma berat
yang mereka alami itu, W.B. Sijabat menyebutnya Xenophobia, datanglah Munson
dan Lyman (1834) ke Sisaksak, Lobupining.
Sebelum berangkat ke pedalaman Toba, Samuel Munson dan Henri
Lyman bertemu dengan Nathaniel M. Ward di Padang pada 29 April 1834. Munson dan
Lyman adalah warga negara Amerika Serikat dan sangat kritis terhadap sikap
pemerintah Belanda sebagaimana perkataan Henri Lyman sendiri: “Selama 200 tahun penduduk pribumi tanpa
kecuali telah dijadikan sasaran ketamakan dan ambisi; sasaran penindasan, dan
alat mendapatkan keuntungan bagi penakluk asing. Dan penakluk itu menyebut
dirinya orang Kristen!” (Sijabat, 2007:399).
Lebih jauh Prof. DR. W.B. Sijabat memaparkan tentang
peristiwa Munson dan Lyman ini hingga tuntas di dalam bukunya: “AHU SI
SINGAMANGARAJA: Arti Historis, Politis, Ekonomis dan Religius Si Singamangaraja
XII” (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 2007:395-401). Munson dan Lyman sudah
tahu sebelumnya, bahwa kalau penduduk menganggap mereka adalah “orang Belanda”,
maka mereka pasti celaka. Hal ini sudah mereka pelajari dari kapten kapal
Pago-pago yang mereka tumpangi dari Padang ke Sibolga, sedang orang Inggris,
Amerika, Batak, Aceh atau Bugis akan diterima sebagai kawan. Penduduk sangat
curiga terhadap Pidari dan Belanda (Sijabat, 2007:399-400).
Munson dan Lyman berangkat ke pedalaman dengan seorang yang
bernama Jan, seorang yang misterius hingga saat ini, yang justru ditunjuk oleh
orang Belanda sendiri di Sibolga. Mereka bermaksud pergi ke Sakka (Sisaksak?
Pen.) hendak menginap di tempat raja na opat. Sesampainya mereka di daerah
Sakka, justru Jan yang terlebih dahulu berbicara dengan penduduk di Lobupining,
yang termasuk lingkungan raja na opat, berkedudukan di Sakka. Lobupining sudah
ditugaskan raja na opat pada waktu itu untuk mengamati orang yang datang dari
luar dan mau masuk ke Silindung, agar peristiwa seperti pada zaman masuknya
pasukan Paderi tidak terulang kembali. Lobupining merupakan semacam pos
pengawalan pasukan raja na opat, yang tunduk kepada Singamangaraja XI (Sijabat,
207:400).
Kedua misionaris langsung dikepung penduduk dan langsung
dibunuh tanpa mengetahui apa yang dibisikkan oleh Jan kepada orang Batak itu,
namun bukan “dimakan” seperti yang digembar-gemborkan oleh pihak Belanda dan
misionaris Jerman. Sementara Jan sendiri pergi melarikan diri kembali ke
Sibolga kepada pihak Belanda. Data-data dalam Memoirs tadi menunjukkan,
bahwa Jan, penunjuk jalan pilihan itu, mungkin sekali membisikkan kepada orang
Sakka, bahwa kedua orang itu adalah dari pihak Belanda; oleh karena itu mereka
segera dikepung dan dibunuh (Sijabat, 2007:400; Cf. Gould dan Pedersen).
Hal ini terbukti juga dari reaksi orang Batak sendiri
di tempat itu setelah mengetahui kemudian hari, bahwa sebenarnya maksud Munson
dan Lyman ialah tujuan baik, maka mereka mengambil tindakan tegas terhadap yang
membunuh itu. Itulah sebabnya di dalam Memoirs Munson dan Lyman dapat
dibaca catatan editor buku ( Sijabat, 2007:400-401) tersebut:
When it became known from the natives on the coast and from
others on the road, that the brethren were good men, and bad come to do the
Batta nation good, all the vellages around leagued together for vengeance
against the villages where the outrage was perpetrated, and to require blood
for blood. The unhappy villages was named Sacca.
Setelah diketahui dari kalangan penduduk di bagian pantai
dan dari orang yang mengadakan perjalanan, bahwa saudara-saudara itu
orang-orang baik, dan datang hendak berbuat baik bagi orang Batak, maka semua
desa di sekitarnya berkumpul untuk mengadakan pembalasan terhadap desa yang
melakukan kejahatan itu, dan menuntut darah ganti darah. Desa celaka itu
disebut Sakka.
Peristiwa kematian Munson dan Lyman justru sering dibesar-besarkan
dan data tersebut di atas tidak diberitahukan pihak Belanda, bahwa mereka
dibunuh, bahkan “dimakan habis”, yang sama sekali tidak mempunyai bukti ilmiah
dan historis. Kalau ingin mengetahui kebenaran tentang yang diutarakan ini,
maka tidak usah membaca tulisan orang Batak, karena dapat dianggap sebagai
usaha defensif apologetis. Cukup mengetahui bahwa keluarga Munson dan Lyman
sendiri tidak meyakini kalau Munson dan Lyman dimakan habis. Mereka bahkan
mencurigai Belanda sebagai pihak yang campur tangan “lempar batu sembunyi
tangan”, karena Belanda takut kalau-kalau misionaris Amerika itu akan membantu
orang Batak melihat kejahatan penjajahan Belanda yang mendiami daerah yang
justru hendak dianeksasi waktu itu, sesuai dengan nota Gubernur Jenderal van
den Bosch. Ennis, teman Munson dan Lyman dari Amerika, juga disuruh Belanda
pulang dari Natal sesudah tahun 1834 (Sijabat, 2007:401).
Setelah diadakan penelitian yang lebih seksama belakangan
ini, “Gould dan Paderson tidak melihat bahwa Munson dan Lyman dimakan oleh
orang Batak, melainkan menjadi korban intrik politik penguasa Belanda di
Sibolga waktu itu.” Diperkirakan bahwa Sickman, Letnan Schack dan Schooner
Argd dari pihak militer Belanda di Sibolga yang paling tahu tentang maksud dan
tujuan pembunuhan kedua martir itu (Sijabat, 2007:401; bnd. Memoirs Munson
& Lyman). Menjadi catatan juga, bahwa kuburan Munson dan Lyman ada di
Lobupining, maka ini menjadi keanehan tersendiri, karena bagaimana mungkin
ada kuburan manusia yang dimakan habis semua dagingnya?
Tak kalah hebatnya juga bahwa para misionaris Jerman turut
membesar-besarkan tentang peristiwa kematian Munson dan Lyman ini melalui
penelitian Dr. A. Schreiber menunjukkan bahwa daging kedua misionaris dimakan
habis (Simanjuntak, 2006:48). Demikian juga misionaris Dr. Johannes Warneck
turut meneguhkan peristiwa itu walau dengan alasan bahwa perbuatan mereka dilatarbelakangi
ketakutan orang Batak Toba. Mereka juga memperbesar-besar cerita tentang
masalah orang Batak makan manusia (kanibalisme) seperti yang dilakukan oleh
J.T. Nommensen melalui buku yang ditulisnya. Kiranya ini dapat mendorong untuk
meneliti karya-karya tulis para misionaris Jerman yang justru memperbesar-besar
cerita seperti ini dan memandang buruk semuanya budaya Batak. Sebagai Anugerah Umum dari Allah, maka patut diyakini bahwa kebudayaan Batak itu tentulah ada
yang baik, karena berasal dari Allah. Mungkin para misionaris Jerman tersebut
mendapat keuntungan juga atas tindakan Belanda yang memperbesar-besar cerita
kematian Munson & Lyman ini, tetapi merekalah yang tahu itu. ***