Saturday, April 5, 2025

LELUHUR TOBA TIBA PADA MASA PRASEJARAH


Seri HITA TOBA 6

LELUHUR TOBA TIBA PADA MASA PRASEJARAH

Oleh: Edward Simanungkalit *

 

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (disingkat: Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati Sudoyo menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu . Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa millenium.

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:

1. Negrito (ras Australomelanosoid)K-M526*, yang bermigrasi ke Negeri Toba  setelah tenggelamnya Sundaland di sekitar 8.500 tahun lalu.

2. Penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), O-M95*, yang datang sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe.

3. Penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Taiwan (O-M110 dan O-P203) dan masuk lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu. Pendukung budaya Dongson bermigrasi ke Negeri Toba dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara (O-P201) dan masuk dari pantai Timur. Mereka lebih dominan 57%.

4. Penutur DravidaR-M124, dari India Barat bermigrasi ke Negeri Toba melalui Barus di pantai Barat sekitar 600 tahun lalu.

Akhirnya, disimpulkan bahwa leluhur Toba didominasi oleh penutur Austronesia dan bahasa Toba termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Leluhur Toba terdiri dari 6 gen (5 gen dari masa pra-sejarah ditambah 1 gen dari  600 tahun lalu), sehingga jelas bahwa leluhur Toba bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran!

Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa leluhur Toba sudah tiba di Negeri Toba jauh  ribuan tahun lalu di masa prasejarah sekitar 4.000 tahun s/d 8.500 tahun lalu. Leluhur Toba ini bukan leluhur tunggal, tetapi leluhur campuran. Mereka yang datang pada masa prasejarah ini terdiri dari dua ras: Ras Australomelanesoid dan Ras Mongoloid (Ras Mongoloid yang berkulit hitam dan Ras Mongoloid yang berkulit putih). Leluhur Toba ini didominasi Ras Mongoloid, dominan berbahasa Austronesia dan dominan berbudaya Dongson. Begitulah penjelasan ilmu pengetahuan mengenai leluhur Toba.

Balai Arkaeologi Sumatera Utara telah melakukan penelitian khusus di Sianjur Mula-mula. “Penelitian di Sianjur Mula-mula ini dilaksanakan sejak tanggal 9 April—1 Mei 2018. Penelitian ini dipusatkan di bekas permukiman Siraja Batak yang berada di Huta Urat, Desa Sianjur Mula-mula.” (Taufiqurrahman S., 18/07-2018, https://balarsumut.kemdikbud.go.id/). Dr. Ketut Wiradnyana, MSi., Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara, mengemukakan, bahwa berdasarkan data, temuan di Sianjur Mula-mula itu usianya sekitar 600 tahun (SBNPro.com, 24/01-2019). Jelaslah, ilmu pengetahuan telah mengungkapkan dengan jelas bahwa Sianjur Mula-mula bukanlah kampung leluhur Toba yang pertama. Karena, leluhur Toba datang bergelombang, sehingga leluhur Toba itu leluhur campuran yang tiba di Negeri Toba pada masa prasejarah. Mereka itu tiba di Toba Holbung, Toba Humbang, Toba Silindung, dan Toba Samosir. Jadi, ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa Sianjur Mula-mula bukanlah kampung awal leluhur Toba yang campuran itu!

Sopo Panisioan, 5 April 2025

(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban


Friday, April 4, 2025

LELUHUR TOBA TIBA SEBELUM SI RAJA BATAK LAHIR

Seri HITA TOBA 5

LELUHUR TOBA TIBA SEBELUM SI RAJA BATAK LAHIR

Oleh: Edward Simanungkalit *

 

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.

 

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati Sudoyo menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:

 

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu . Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa millenium.

 

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:

1. Negrito (ras Australomelanosoid)K-M526*, yang bermigrasi ke Negeri Toba  setelah tenggelamnya Sundaland di sekitar 8.500 tahun lalu.

2. Penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), O-M95*, yang datang sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe.

3. Penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Taiwan (O-M110 dan O-P203) dan masuk lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu. Pendukung budaya Dongson bermigrasi ke Negeri Toba dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara (O-P201) dan masuk dari pantai Timur. Mereka lebih dominan 57%.

4. Penutur DravidaR-M124, dari India Barat bermigrasi ke Negeri Toba melalui Barus di pantai Barat sekitar 600 tahun lalu.

Akhirnya, disimpulkan bahwa leluhur Toba didominasi oleh penutur Austronesia dan bahasa Toba termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Leluhur Toba terdiri dari 6 gen (5 gen dari masa pra-sejarah ditambah 1 gen dari  600 tahun lalu), sehingga jelas bahwa leluhur Toba bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran!

 

Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa leluhur Toba sudah tiba di Negeri Toba jauh  ribuan tahun lalu pada masa prasejarah di sekitar 4.000 tahun s/d 8.500 tahun lalu. Leluhur Toba ini bukan leluhur tunggal, tetapi leluhur campuran. Mereka yang datang pada masa prasejarah ini terdiri dari dua ras: Ras Australomelanesoid dan Ras Mongoloid (Ras Mongoloid yang berkulit hitam dan Ras Mongoloid yang berkulit putih). Leluhur Toba ini didominasi Ras Mongoloid, didominasi penutur bahasa Austronesia dan didominasi pendukung budaya Dongson. Begitulah penjelasan ilmu pengetahuan mengenai leluhur Toba.

 

Di kampung Sianjur Mula-mula, yang berusia 600 tahun (menurut hasil ekskavasi Balai Arkeologi Sumatera Utara), dari hasil perkawinan Dewa-Dewi yang turun dari langit tujuh lapis, lahirlah Raja Ihat Manisia. Kemudian pada generasi keenam lahir jugalah Si Raja Batak, yang disebut-sebut nenek-moyang tunggal Bangso Batak. Sementara ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa para leluhur Toba dari masa prasejarah telah tiba di Negeri Toba sebelum Si Raja Batak lahir! Jauh sebelum Si Raja Batak lahir telah tiba leluhur Toba bergelombang, sehingga leluhur Toba itu leluhur campuran. Mereka didominasi ras Mongoloid, dominan berbahasa Austronesia, dominan berbudaya Dongson (sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara). Kesimpulannya, bahwa keberadaan Si Raja Batak kabur. Leluhur Toba itu Leluhur Campuran, sehingga Si Raja Batak tertolak oleh ilmu pengetahuan!

 

Sopo Panisioan, 4 April 2025

(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban

Tuesday, April 1, 2025

KETIKA DEWA-DEWI DARI LANGIT TUJUH LAPIS TURUN KE BUMI

 

Seri  HITA TOBA 4

KETIKA DEWA-DEWI DARI LANGIT TUJUH LAPIS TURUN KE BUMI

Oleh: Edward Simanungkalit *

 

Membaca buku yang ditulis WM. Hutagalung berjudul: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) ada hal yang menggelitik. Itu berkaitan dengan nama-nama dan hal lainnya yang ada di dalam buku tersebut, Nama-nama yang dimaksud dibatasi pada bagian yang biasa disebut-sebut Mitologi Batak (baca: Dongeng), yaitu mulai dari Mulajadi Nabolon hingga Si Raja Batak dari halaman 1 s/d 33. Yaitu mulai dari langit  7 lapis dan turun ke bumi melalui puncak Pusuk Buhit terus turun ke kaki bukit hingga di Sianjur Mulamula, Kamudian kawinlah dewa-dewi di Sianjur Mula-mula, yaitu Si Boru Deak Parujar dengan Raja Odapodap yang melahirkan Raja Ihatmanisia dan Siboru Itammnisia. Dari keturunan mereka inilah lahir Ompu Jolma yang kemudian diganti namanya menjadi Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan oleh Uli Kozok dalam Bincang Lae Kirman berjudul “Dinamika Sejarah Batak”, 31 Mei 2022 (dikutip 26 Maret 2025; Video: 25 detik. Dikutip dari:  https://www.youtube.com/watch?v=HewtyBgdCqA).

 

Nama-nama yang disebut  di dalam cerita tadi sebagai berikut:

1.Debata Mulajadi Nabolon, 2. Debata Batara Guru, 3. Raja Odapodap, 4. Debata Sori, 5. Tuan Dihurmajati, 6. Batu Holing, 7. Debata Balabulan, 8. Raja Padoha, 9. Debata Asiasi, 10. Tuan Sorimahummat, 11. Boru Saniangnaga, 12. Sitapi Gaga 13. Boru Malim, 14. Boru Sorbajati, 15. Leangnagurasta, 16. Boru Deak Parujar, 17. Tuan Sorimatinggi, 18. Raja Indainda, 19. Raja Indapati, 20. Jumadi Siganding, 21. Debata Jujungan, 22. Boru Nan Bauraja, 23. Boru Surungan, 24, Narudang Ulubegu, 25. Tuan Nahodaraja, 26. Nan Bauraja, 27. Tuan Dipapantinggi, 28. Raja Ihatmanisia, 29. Boru Itammanisia, 30. Boru Naraja Inggotpaung, 31. Raja Inggotpaung, 32. Raja Miokmiok, 33. Patundal nibegu, 34. Aji Lampaslampas, 35. Engbanua, 36. Raja Aceh, 37. Raja Bonang-bonang, 38. Raja Jau, 39. Raja Tantan Debata, dan 40. Raja Batak.

 

Di atas telah dipaparkan nama-nama figur dalam cerita “Langit Tujuh Lapis”. Nama-nama di atas nyaris semuanya berasal dari bahasa Sanskerta atau setidaknya akar katanya berasal dari bahasa Sanskerta. Hal ini tentu ada kaitannya dengan persinggungan budaya dengan orang-orang India dan kepercayaannya.. Harry Parkin dalam bukunya: “Batak Fruit of Hindu Thought” (1978) menyimpulkan telah terjadinya silang budaya antara Toba dengan Hindu terutama ajaran Sivaisme, yang merupakan kepercayaan Tamil. Keberadaan Tamil di Barus relatif dekat dengan kaki Pusuk Buhit, sehingga memungkinkan kontak dengan mereka. Cerita tentang penciptaan dunia, menurut J. Tideman (Agustono & Tim, 2012:195),   merupakan pengaruh Hindu yang diadopsi dari mitos Wedda dan nama-nama dewa diambil dari Hindu Dharma.

 

Lebih jauh lagi, bahwa sudah pernah terjadi kerjasama antara orang-orang India dengan orang Toba di Negeri Toba dalam bidang pertanian di masa lalu. Hal ini diungkapkan oleh Robin Hanbury dan Tenison, dalam tulisannya: "A Pattern Of Peoples; A Journey Among The Tribes Of Indonesian’s Outer Islands, New York, Charles Scribner’s Sons" (1975:28). Kerjasama dengan orang India yang diungkapkan tadi dikuatkan oleh adanya DNA penutur Dravida/India (R-M124) di dalam diri Orang Toba sebesar 2,7%, yang bercampur sekitar 600 tahun lalu.

Balai Arkaeologi Sumatera Utara telah melakukan penelitian khusus di Sianjur Mula-mula. “Penelitian di Sianjur Mula-mula ini dilaksanakan sejak tanggal 9 April—1 Mei 2018. Penelitian ini dipusatkan di bekas permukiman Siraja Batak yang berada di Huta Urat, Desa Sianjur Mula-mula. Hasil penelitian di Sianjur Mula-mula ini telah memberikan bukti adanya permukiman di lokasi tersebut. Temuan ekskavasi yang dominan ditemukan adalah fragmen gerabah/tembikar. Selain itu, ditemukan juga pada manik-manik kaca dan fragmen logam. Pada ekskavasi ini juga ditemukan adanya umpak batu yang merupakan fondasi bangunan rumah panggung. Selain itu, ditemukan juga adanya bekas lubang tiang bangunan.” (Taufiqurrahman S., 18/07-2018, https://balarsumut.kemdikbud.go.id/).

Dr. Ketut Wiradnyana, MSi., Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara, mengemukakan, bahwa berdasarkan data, temuan di Sianjur Mula-mula itu usianya sekitar 600 tahun lalu. Ketut melanjutkan, bahwa di Sianjur Mula-mula sendiri saat dilakukan ekskavasi yang ditemukan hanya artefak seperti peralatan dapur, dan setelah digali lagi hanya menemukan tanah bekas sawah yang usianya kurang lebih 600 tahun yang lalu, dan tidak ditemukan kerangka manusia di dalamnya (SBNPro.com, 24/01-2019).

Leluhur Toba datang bermigrasi ke Negeri Toba sebanyak 4 gelombang, yaitu: 1. Ras Australomelanesoid, 2. Penutur Austroasiatik (Ras Mongoloid berkulit hitam), 3. Penutur Austronesia (Ras Mongoloid berkulit putih), dan 4. Penutur Dravida (orang India dari Banua Holing). Gelombang ke-1-3 bermigrasi sekitar 4.000 tahun – 8.500 tahun lalu, sementara gelombang ke-4 datang sekitar 600 tahun lalu (Edward Simanungkalit, LELUHUR TOBA LELUHUR CAMPURAN – Seri HITA TOBA 1, Sopo Panisioan, 16/2-2025). Demikianlah dikemukakan Sains khususnya Arkeologi (Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak) dan Genetika (Lembaga Eijkman). Jelas, bahwa leluhur Toba, adalah leluhur campuran, sudah datang pada masa prasejarah, 4.000 – 8.500 tahun lalu, bukan 600 tahun lalu yang berkampung di Sianjur Mula-mula. Kemungkinan sekali kampung itu merupakan jejak orang-orang India yang kemudian membuat cerita Mitologi tersebut, karena nama-nama figur Mitologi  didominasi bahasa Sanskerta. Ketika tulang-belulang manusia tidak ditemukan di sana, maka Sianjur Mula-mula itu bukanlah perkampungan hunian berpenduduk. Berat dugaan bahwa Sianjur Mula-mula adalah tempat ritual. Oleh karena leluhur Toba adalah leluhur campuran, maka kampung leluhur Toba itu ada di 4 (empat) tempat, yaitu:  Toba Holbung, Toba Humbang, Toba Silindung, dan Toba Samosir.

Leluhur Toba yang datang pada masa prasejarah terdiri dari Ras Australomelanesoid dan Ras Mongoloid yang didominasi Ras Mongoloid dan rumpun bahasa Austronesia, yaitu: Bahasa Toba.. Mereka mendiami wilayah “sebelum penjajahan Belanda, bernama Negeri Toba, yang merdeka dan berdaulat meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang beribukota di Bangkara.” (Batara Sangti, 1978:27). Penjelasan Batara Sangti ini mirip seperti yang tertulis dalam stempel Raja Singamangarja XII: Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Begitu juga manuskrip Dinasti Di dalam Negarakertagama Pupuh 13 Tahun 1365 M: Disebutkan Mandailing, Toba, Haru, dan Barus di kawasan Sumatera Utara sekarang. Tidak ada kata lain apalagi kata “Batak”. ”. Di dalam buku: “Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus” (Drakard, 1988) pada naskah berupa manuskrip kuno: “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige). Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan tentang Alang Pardosi, yang mendirikan Dinasti Pardosi di Barus, yang datang dari Negeri Toba. Demikian juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: Toba Na Sae (2009) menjelaskan soal kata: Toba Na Sae itu dengan memaksudkan: Negeri Toba yang meliputi: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung (Sitor Situmorang, TOBA NA SAE, Komunitas Bambu, Jakarta: 2009). Di masa lalu sebelum datangnya penjajahan Belanda, tidak ada sebutan Negeri Batak atau Negeri Batak Toba, tapi yang ada sebutan Negeri Toba.

 

Pada tahun 2016, penulis sudah menyampaikan bahwa Si Raja Batak tidak ada dalam tulisan berjudul: “MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda Dalam Pembatakan Non-Melayu” (2016), dan, “MEMBONGKAR DISAIN KOLONIAL LEWAT MITOS SI RAJA BATAK: Sains vs Dongeng”: (2020). Baru-baru ini juga, penulis telah membuat tulisan berjudul: “LELUHUR TOBA CAMPURAN BUKAN TUNGGAL – Seri TOBA 2” (2025). Namanya “Si Raja Batak” berbau bahasa Sanskerta yang memakai kata “raja” berasal dari “raj”. Oleh karena itu, jelas bahwa Si Raja Batak ini bukan dari lingkungan leluhur Toba yang datang pada masa prasejarah dengan berbahasa Austronesia. Bagaimana mungkin leluhur campuran yang datang 8.500-4.000 lalu memiliki seorang nenek-moyang tunggal dari kampung berusia 600 tahun lalu?

Sopo Panisioan, 1 April 2025

(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban