Tuesday, April 1, 2025

KETIKA DEWA-DEWI DARI LANGIT TUJUH LAPIS TURUN KE BUMI

 

Seri  HITA TOBA 4

KETIKA DEWA-DEWI DARI LANGIT TUJUH LAPIS TURUN KE BUMI

Oleh: Edward Simanungkalit *

 

Membaca buku yang ditulis WM. Hutagalung berjudul: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) ada hal yang menggelitik. Itu berkaitan dengan nama-nama dan hal lainnya yang ada di dalam buku tersebut, Nama-nama yang dimaksud dibatasi pada bagian yang biasa disebut-sebut Mitologi Batak (baca: Dongeng), yaitu mulai dari Mulajadi Nabolon hingga Si Raja Batak dari halaman 1 s/d 33. Yaitu mulai dari langit  7 lapis dan turun ke bumi melalui puncak Pusuk Buhit terus turun ke kaki bukit hingga di Sianjur Mulamula, Kamudian kawinlah dewa-dewi di Sianjur Mula-mula, yaitu Si Boru Deak Parujar dengan Raja Odapodap yang melahirkan Raja Ihatmanisia dan Siboru Itammnisia. Dari keturunan mereka inilah lahir Ompu Jolma yang kemudian diganti namanya menjadi Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan oleh Uli Kozok dalam Bincang Lae Kirman berjudul “Dinamika Sejarah Batak”, 31 Mei 2022 (dikutip 26 Maret 2025; Video: 25 detik. Dikutip dari:  https://www.youtube.com/watch?v=HewtyBgdCqA).

 

Nama-nama yang disebut  di dalam cerita tadi sebagai berikut:

1.Debata Mulajadi Nabolon, 2. Debata Batara Guru, 3. Raja Odapodap, 4. Debata Sori, 5. Tuan Dihurmajati, 6. Batu Holing, 7. Debata Balabulan, 8. Raja Padoha, 9. Debata Asiasi, 10. Tuan Sorimahummat, 11. Boru Saniangnaga, 12. Sitapi Gaga 13. Boru Malim, 14. Boru Sorbajati, 15. Leangnagurasta, 16. Boru Deak Parujar, 17. Tuan Sorimatinggi, 18. Raja Indainda, 19. Raja Indapati, 20. Jumadi Siganding, 21. Debata Jujungan, 22. Boru Nan Bauraja, 23. Boru Surungan, 24, Narudang Ulubegu, 25. Tuan Nahodaraja, 26. Nan Bauraja, 27. Tuan Dipapantinggi, 28. Raja Ihatmanisia, 29. Boru Itammanisia, 30. Boru Naraja Inggotpaung, 31. Raja Inggotpaung, 32. Raja Miokmiok, 33. Patundal nibegu, 34. Aji Lampaslampas, 35. Engbanua, 36. Raja Aceh, 37. Raja Bonang-bonang, 38. Raja Jau, 39. Raja Tantan Debata, dan 40. Raja Batak.

 

Di atas telah dipaparkan nama-nama figur dalam cerita “Langit Tujuh Lapis”. Nama-nama di atas nyaris semuanya berasal dari bahasa Sanskerta atau setidaknya akar katanya berasal dari bahasa Sanskerta. Hal ini tentu ada kaitannya dengan persinggungan budaya dengan orang-orang India dan kepercayaannya.. Harry Parkin dalam bukunya: “Batak Fruit of Hindu Thought” (1978) menyimpulkan telah terjadinya silang budaya antara Toba dengan Hindu terutama ajaran Sivaisme, yang merupakan kepercayaan Tamil. Keberadaan Tamil di Barus relatif dekat dengan kaki Pusuk Buhit, sehingga memungkinkan kontak dengan mereka. Cerita tentang penciptaan dunia, menurut J. Tideman (Agustono & Tim, 2012:195),   merupakan pengaruh Hindu yang diadopsi dari mitos Wedda dan nama-nama dewa diambil dari Hindu Dharma.

 

Lebih jauh lagi, bahwa sudah pernah terjadi kerjasama antara orang-orang India dengan orang Toba di Negeri Toba dalam bidang pertanian di masa lalu. Hal ini diungkapkan oleh Robin Hanbury dan Tenison, dalam tulisannya: "A Pattern Of Peoples; A Journey Among The Tribes Of Indonesian’s Outer Islands, New York, Charles Scribner’s Sons" (1975:28). Kerjasama dengan orang India yang diungkapkan tadi dikuatkan oleh adanya DNA penutur Dravida/India (R-M124) di dalam diri Orang Toba sebesar 2,7%, yang bercampur sekitar 600 tahun lalu.

Balai Arkaeologi Sumatera Utara telah melakukan penelitian khusus di Sianjur Mula-mula. “Penelitian di Sianjur Mula-mula ini dilaksanakan sejak tanggal 9 April—1 Mei 2018. Penelitian ini dipusatkan di bekas permukiman Siraja Batak yang berada di Huta Urat, Desa Sianjur Mula-mula. Hasil penelitian di Sianjur Mula-mula ini telah memberikan bukti adanya permukiman di lokasi tersebut. Temuan ekskavasi yang dominan ditemukan adalah fragmen gerabah/tembikar. Selain itu, ditemukan juga pada manik-manik kaca dan fragmen logam. Pada ekskavasi ini juga ditemukan adanya umpak batu yang merupakan fondasi bangunan rumah panggung. Selain itu, ditemukan juga adanya bekas lubang tiang bangunan.” (Taufiqurrahman S., 18/07-2018, https://balarsumut.kemdikbud.go.id/).

Dr. Ketut Wiradnyana, MSi., Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara, mengemukakan, bahwa berdasarkan data, temuan di Sianjur Mula-mula itu usianya sekitar 600 tahun lalu. Ketut melanjutkan, bahwa di Sianjur Mula-mula sendiri saat dilakukan ekskavasi yang ditemukan hanya artefak seperti peralatan dapur, dan setelah digali lagi hanya menemukan tanah bekas sawah yang usianya kurang lebih 600 tahun yang lalu, dan tidak ditemukan kerangka manusia di dalamnya (SBNPro.com, 24/01-2019).

Leluhur Toba datang bermigrasi ke Negeri Toba sebanyak 4 gelombang, yaitu: 1. Ras Australomelanesoid, 2. Penutur Austroasiatik (Ras Mongoloid berkulit hitam), 3. Penutur Austronesia (Ras Mongoloid berkulit putih), dan 4. Penutur Dravida (orang India dari Banua Holing). Gelombang ke-1-3 bermigrasi sekitar 4.000 tahun – 8.500 tahun lalu, sementara gelombang ke-4 datang sekitar 600 tahun lalu (Edward Simanungkalit, LELUHUR TOBA LELUHUR CAMPURAN – Seri HITA TOBA 1, Sopo Panisioan, 16/2-2025). Demikianlah dikemukakan Sains khususnya Arkeologi (Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak) dan Genetika (Lembaga Eijkman). Jelas, bahwa leluhur Toba, adalah leluhur campuran, sudah datang pada masa prasejarah, 4.000 – 8.500 tahun lalu, bukan 600 tahun lalu yang berkampung di Sianjur Mula-mula. Kemungkinan sekali kampung itu merupakan jejak orang-orang India yang kemudian membuat cerita Mitologi tersebut, karena nama-nama figur Mitologi  didominasi bahasa Sanskerta. Ketika tulang-belulang manusia tidak ditemukan di sana, maka Sianjur Mula-mula itu bukanlah perkampungan hunian berpenduduk. Berat dugaan bahwa Sianjur Mula-mula adalah tempat ritual. Oleh karena leluhur Toba adalah leluhur campuran, maka kampung leluhur Toba itu ada di 4 (empat) tempat, yaitu:  Toba Holbung, Toba Humbang, Toba Silindung, dan Toba Samosir.

Leluhur Toba yang datang pada masa prasejarah terdiri dari Ras Australomelanesoid dan Ras Mongoloid yang didominasi Ras Mongoloid dan rumpun bahasa Austronesia, yaitu: Bahasa Toba.. Mereka mendiami wilayah “sebelum penjajahan Belanda, bernama Negeri Toba, yang merdeka dan berdaulat meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang beribukota di Bangkara.” (Batara Sangti, 1978:27). Penjelasan Batara Sangti ini mirip seperti yang tertulis dalam stempel Raja Singamangarja XII: Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Begitu juga manuskrip Dinasti Di dalam Negarakertagama Pupuh 13 Tahun 1365 M: Disebutkan Mandailing, Toba, Haru, dan Barus di kawasan Sumatera Utara sekarang. Tidak ada kata lain apalagi kata “Batak”. ”. Di dalam buku: “Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus” (Drakard, 1988) pada naskah berupa manuskrip kuno: “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige). Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan tentang Alang Pardosi, yang mendirikan Dinasti Pardosi di Barus, yang datang dari Negeri Toba. Demikian juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: Toba Na Sae (2009) menjelaskan soal kata: Toba Na Sae itu dengan memaksudkan: Negeri Toba yang meliputi: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung (Sitor Situmorang, TOBA NA SAE, Komunitas Bambu, Jakarta: 2009). Di masa lalu sebelum datangnya penjajahan Belanda, tidak ada sebutan Negeri Batak atau Negeri Batak Toba, tapi yang ada sebutan Negeri Toba.

 

Pada tahun 2016, penulis sudah menyampaikan bahwa Si Raja Batak tidak ada dalam tulisan berjudul: “MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda Dalam Pembatakan Non-Melayu” (2016), dan, “MEMBONGKAR DISAIN KOLONIAL LEWAT MITOS SI RAJA BATAK: Sains vs Dongeng”: (2020). Baru-baru ini juga, penulis telah membuat tulisan berjudul: “LELUHUR TOBA CAMPURAN BUKAN TUNGGAL – Seri TOBA 2” (2025). Namanya “Si Raja Batak” berbau bahasa Sanskerta yang memakai kata “raja” berasal dari “raj”. Oleh karena itu, jelas bahwa Si Raja Batak ini bukan dari lingkungan leluhur Toba yang datang pada masa prasejarah dengan berbahasa Austronesia. Bagaimana mungkin leluhur campuran yang datang 8.500-4.000 lalu memiliki seorang nenek-moyang tunggal dari kampung berusia 600 tahun lalu?

Sopo Panisioan, 1 April 2025

(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban

Tuesday, March 25, 2025

H I T A T O B A: Leluhur Toba dan Orang Toba di Negeri Toba

Seri HITA TOBA-3

H I T A   T O B A

Leluhur Toba dan Orang Toba di Negeri Toba

Oleh: Edward Simanungkalit *

 

Gelombang Migrasi Leluhur

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu . Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa millenium.

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:

1. Negrito (ras Australomelanosoid)K-M526* = 13,51%, yang bermigrasi ke Negeri Toba  setelah tenggelamnya Sundaland di sekitar 8.500 tahun lalu.

2. Penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), O-M95* = 13,51%, yang datang sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe.

3. Penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Taiwan (O-M110 = 10,81% dan O-P203 = 2,7%) dan masuk lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu. Pendukung budaya Dongson bermigrasi ke Negeri Toba dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara (O-P201 = 57%) dan masuk dari pantai Timur. Mereka ini lebih dominan 57%.

4. Penutur DravidaR-M124 = 2,7%, dari India Barat bermigrasi ke Negeri Toba melalui Barus di pantai Barat sekitar 600 tahun lalu.

Disimpulkan bahwa leluhur Toba didominasi oleh penutur Austronesia dan bahasa Toba termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Sejak dari leluhurnya, orang Toba didominasi oleh ras Mongoloid.  Leluhur Toba terdiri dari 6 gen (5 gen dari masa pra-sejarah ditambah 1 gen dari  600 tahun lalu), sehingga jelas bahwa leluhur Toba bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran!

Leluhur Toba Menjadi Etnis Toba dan Berdiam di Negeri Toba

Leluhur Toba yang datang pada masa prasejarah terdiri dari Ras Australomelanesoid dan Ras Mongoloid yang didominasi Ras Mongoloid dan bahasa Austronesia, yaitu: Bahasa Toba. Mereka mendiami wilayah yang “sebelum penjajahan Belanda, bernama Negeri Toba, yang merdeka dan berdaulat meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang beribukota di Bangkara.” (Batara Sangti, 1978:27). Penjelasan Batara Sangti ini mirip seperti yang tertulis dalam stempel Raja Singamangarja XII: Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Di dalam Negarakertagama Pupuh 13 Tahun 1365 M: Disebutkan Mandailing, Toba, Haru, dan Barus di kawasan Sumatera Utara sekarang. Tidak ada kata lain apalagi kata ‘Batak’. ”. Di dalam buku: “Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus” (Drakard, 1988), pada naskah berupa manuskrip kuno : “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige). Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan tentang Alang Pardosi, yang mendirikan Dinasti Pardosi di Barus dan yang datang dari Negeri Toba. Demikian juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: Toba Na Sae (2009) menjelaskan soal kata: "Toba Na Sae" itu dengan memaksudkan: Negeri Toba yang meliputi: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung (Sitor Situmorang, TOBA NA SAE, Komunitas Bambu, Jakarta: 2009). Di masa lalu sebelum datangnya penjajahan Belanda, tidak ada sebutan Negeri Batak atau Negeri Batak Toba, tapi yang ada sebutan Negeri Toba.

 

Menarik membaca pemaparan Dr. Ulber Silalahi, MA. dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (Pemerintahan (harajaon) dan birokrasi tradisional Masyarakat Toba (Laporan Penelitian, 2012), yang melakukan penelitian berikut ini, bahwa “semua etnik Toba pada awalnya menyebar dan tinggal di daerah Toba. Tentang nama tempat “Toba”, Ulber Silalahi mengutip keterangan dari misionaris Meerwaldt pada akhir abad ke-19 yang melaporkan pengamatannya sebagai berikut: Sungguh mengherankan bahwa ketika berangkat dari selatan menuju utara Tanah-tanah Batak, semakin kita merasa mendekati Toba yang sesungguhnya, semakin Toba mundur menjauh. Di Angkola, istilah “Toba” menunjuk semua yang ada di sisi seberang Sungai Aek Poli, berarti di sebelah utara lembah Sungai Batang Toru. Namun, begitu kita sampai di Sungai Aek Poli, kita mendengar bahwa “Toba” bermula di lembah Silindung. Penduduk Silindung sendiri menamakan “Toba” daerah yang ada di utara rantai pegunungan yang menutup lembah tersebut. Jika kita berjalan lebih jauh lagi dan tiba di dataran tinggi, kita disuruh melanjutkan sampai di wilayah tepi danau. Baru di sanalah kita menemukan orang-orang yang menamakan tanah mereka “Toba” dan menyebut dirinya “halak Toba”.” (Silalahi, 2012:42-43; Laporan Penelitian).

 

Dr. Ulber Silalahi, MA. melanjutkan, bahwa Toba Samosir menempati daerah Samosir (pada masa kolonialisme Belanda disebut Onderafdeeling Samosir), suatu daerah yang mencakup pulau Samosir dan daerah pantai barat Danau Toba, meliputi daratan lembah subur seperti Sagala, Limbong, Harianboho, Sihotang, Tamba, Sabulan, dan Janjiraja. Sementara Samosir merupakan tanah tandus berbatu-batu. Toba Holbung menempati daerah Toba Holbung (pada masa kolonialisme Belanda disebut Onderafdeeling Toba), yang meliputi Balige dan Porsea dan sekitarnya dan merupakan daerah persawahan terluas yang berada di sepanjang garis pantai selatan Danau Toba. Toba Humbang menempati daerah Humbang (pada masa kolonialisme Belanda disebut Onderafdeeling Hoogvlankte van Toba). Daerah Humbang memiliki wilayah yang terdiri dari padang-padang luas dan pegunungan berhutan lebat. Hanya sedikit lahan untuk persawahan. Toba Silindung menempati daerah Silindung (pada masa kolonialisme Belanda disebut Onderafdeeling Silindung). Daerah ini memiliki daerah persawahan kedua setelah Toba Holbung, termasuk persawahan hingga lembah subur Pahae (2012:43-44). Demikian penjelasan Dr. Ulber Silalahi, MA. dalam Laporan Penelitiannya berjudul: “BIROKRASI TRADISIONAL DARI SATU KERAJAAN DI SUMATERA: Harajaon Batak Toba” (Univ. Parahyangan, Bandung: 2012).

Adapun penulis, sejak kecil memahami diri sendiri sebagai Halak Toba atau Orang Toba pada paruh kedua tahun 1960-an. Itu yang penulis ketahui dari para orangtua di lingkungan penulis di saat berada di Kabupaten Dairi. Para orangtua ketika berbincang-bincang sering berkata: “Anggo adat ni hita, halak Toba, asing do adatna tu adat ni dongan Pakpak manang dongan Karo.” i.e. : “Kalau adat kita, orang Toba, berbeda dengan adat dari saudara kita, Pakpak maupun Karo.”. Begitu kira-kira disampaikan, sehingga terlihat kontras antara Orang Toba dengan Orang Pakpak maupun Orang Karo, yang jelas memberikan identifikasi diri bahwa diri penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba. Demikian juga, ketika penulis berada di daerah Karo, maka ketika menyebut marga penulis,  Orang Karo menyebut penulis: “O’ kalak Tebba.” Begitu juga Orang Pakpak menyebut penulis: “Kalak Tebba”. Kedua perkataan ini artinya: “Halak Toba” atau “Orang Toba”. Kedua pernyataan ini mengkonfirmasi bincang-bincang para orangtua di lingkungan penulis tadi.  Jadi, penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba.

Ketika ada orang dari Sidikalang mau ke bekas daerah Tapanuli Utara dulu sebelum pemekaran (Taput Lama), maka ditanyakan mereka mau ke mana, maka jawabannya: “Naeng tu Toba” i.e.: “Mau ke Toba” dan dilanjutkan penjelasannya di mana Tobanya itu, yaitu: Pangururan,  Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong, Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Demikian juga, ketika mereka kembali dari daerah-daerah tersebut, maka mereka berkata: “Dari Toba”. Bus-bus umum pun yang mau ke daerah-daerah tadi akan berkeliling kota memanggil para penumpangnya dengan berkata: “Toba, Toba, Tobaaaaa …”. Baru-baru ini pada bulan Juni 2015 lalu, ketika melintas di depan stasiun bus Sitra, mereka memanggil: “Toba, Toba, Tobaaaa …”. Pada waktu itu penulis sengaja bertanya kepada mereka apa yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” itu, mereka menjawab: “Samosir, Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong,  Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Jadi, yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” atau “Negeri Toba” itu ialah bekas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dulu sebelum dimekarkan (Taput Lama).

Begitu juga dengan bus-bus dari Simpang Dua, Pematang Siantar yang mau ke Siborong-borong, Dolok Sanggul, dan Tarutung, pihak busnya akan memanggil: “Toba, Toba, Toba …”. Orang-orang Pakkat, Parlilitan, dan Barus, ketika mereka hendak ke Dolok Sanggul.akan menyebut: ke “Toba”. Begitu juga orang-orang dari Sipirok dan Padang Sidimpuan ketika mereka hendak ke Pahae, Tarutung, Siborong-borong, dll. menyebut ke “Toba”. Mereka menyebut mulai dari Pahae itulah sudah masuk “Toba”. Jelaslah, bahwa Taput Lama itu disebut Toba atau Negeri Toba.

HN van der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar istilah “Batak dan Melayu” tidak digunakan secara resmi. Sebagai gantinya HN van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti: Pakpak, Karo, Simalungu, Toba, Mandailing, dan Angkola. Sejak misionaris Jerman dari RMG masuk ke Negeri Toba pada tahun 1862, maka mulailah proses pembatakan berlangsung. Lothar Schreiner‖ (1999:11) mengatakan: “Sebutan ‘Batak‘ maupun ‘daerah Batak‘ barulah muncul setelah pengkristenan”. Setelah Perang Toba I dan II (1878 & 1883), Raja Singamangaraja XII mengundurkan diri bergerilya di Tanah Pakpak. Barulah Negeri Toba dikuasai kolonial dan proses pembatakan dapat berlangsung lebih luas terutama lewat sekolah-sekolah zending. Inilah kerisauan HN van der Tuuk yang ditulis melalui suratnya kepada misionaris Jerman dengan alasan bahwa pengertian dari Batak itu negatif dan mereka memang bukan Batak, sehingga lebih baik mereka tetap sebagai Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Bersama HN van der Tuuk berkata: “Kita bukan Batak!”. HITA TOBA. ^$^

 

Sopo Panisioan, 25 Maret 2025

(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban


Friday, March 21, 2025

LELUHUR TOBA CAMPURAN BUKAN TUNGGAL

Seri HITA TOBA-2

LELUHUR TOBA CAMPURAN BUKAN TUNGGAL

Oleh: Edward Simanungkalit *

Gelombang Migrasi Leluhur

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu . Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa millenium.

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:

1. Negrito (ras Australomelanosoid)K-M526*, yang bermigrasi ke Negeri Toba  setelah tenggelamnya Sundaland di sekitar 8.500 tahun lalu.

2. Penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), O-M95*, yang datang sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe.

3. Penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Taiwan (O-M110 dan O-P203) dan masuk lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu. Pendukung budaya Dongson bermigrasi ke Negeri Toba dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara (O-P201) dan masuk dari pantai Timur. Mereka lebih dominan 57%.

4. Penutur DravidaR-M124, dari India Barat bermigrasi ke Negeri Toba melalui Barus di pantai Barat sekitar 600 tahun lalu.

Disimpulkan bahwa leluhur Toba didominasi oleh penutur Austronesia dan bahasa Toba termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Leluhur Toba terdiri dari 6 gen (5 gen dari masa pra-sejarah ditambah 1 gen dari  600 tahun lalu), sehingga jelas bahwa leluhur Toba bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran!

Kebenaran itu Memerdekakan

Di sini bukan hendak memakai klaim kemutlakan kebenaran agama untuk masuk ke wilayah yang bukan wewenangnya seperti topik bahasan ini. Akan tetapi, pertanggung-jawaban iman Kristen tetap harus ada, sehingga untuk itu perlu dipahami premis dasar: “All truth is God’s truth”. 

Kebenaran di dalam iman Kristen dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu:

1.   Revealed Truth atau kebenaran yang disingkapkan Allah secara khusus untuk menyatakan rencana keselamatan-Nya di dalam Kristus Yesus. Kebenaran ini bersifat ekskusif dan intoleran, karena hal ini adalah masalah iman yang tidak mungkin didialogkan dengan pihak lain. Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan tanggung jawab Kristen, harus disadari bahwa bukanlah bagaimana membuat Revealed Truth yang kita yakini dapat diterima oleh orang lain yang berbeda kepercayaan. Orang Kristen tidak terpanggil untuk itu!

2.   Discovered Truth atau kebenaran yang diijinkan bahkan disediakan Allah untuk ditemukan oleh umat manusia. Discovered Truth meliputi semua kebenaran di luar Revealed Truth yang disediakan Allah untuk ditemukan dan dimanfaatkan dalam kehidupan umat manusia. Kebenaran itu termasuk kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dlsb. Berbeda dari Revealed Truth, maka Discovered Truth sifatnya toleran, sehingga siapapun dengan latar belakang kepercayaan apapun dapat bertemu dalam suatu pemahaman tertentu tanpa diembeli label dari kepercayaan tertentu.

Discovered Truth harus diintegrasikan ke dalam Revealed Truth. Allah di dalam Kristus Yesus yang menjadi sumber dari Revaled Truth adalah Allah yang sama yang menjadi sumber dari Discovered Truth. Respon kita terhadap Discovered Truth tidak harus sama dengan respon kita terhadap Revealed Truth. Setiap kepercayaan boleh mengklaim kemutlakan Revealed Truth mereka masing-masing, tetapi ketika memasuki arena Discovered Truth tidak ada tempat bagi klaim apapun juga. Discovered Truth tidak lebih tinggi dari Revealed Truth. Klaim terhadap keabsolutan Revealed Truth hanya bisa dipahami oleh orang lain melalui pertanggung-jawaban moral dalam Discovered Truth. Moral itupun standarnya Revealed Truth, yaitu Alkitab (Yakub B. Susabda: 1993).

Dalam kerangka integrasi Discovered Truth dengan Revealed Truth di atas, dapatlah dipahami ketika Kristus berkata bahwa “kebenaran itu akan memerdekakan”. Itu sebabnya, tetaplah menyaksikan kebenaran dan menyaksikan Discovered Truth di tengah-tengah masyarakat plural akan memerdekakan semuanya. Kebenaran akan membongkar dan mengalahkan keterbelakangan, ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan. Kebenaran yang dimaksud termasuk kebenaran ilmiah di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mitos Si Raja Batak

Hasil penelitian yang dikemukakan Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak setelah malang-melintang selama karirnya dalam Arkeologi Prasejarah disertai hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Eijkman puluhan tahun di Indonesia telah dipaparkan di awal. Bahwa leluhur datang bergelombang sejak Sumatera kosong setelah Sundaland tenggelam, sehingga leluhur orang Indonesia itu campuran. Leluhur Toba bukan leluhur tunggal, tetapi leluhur campuran. Leluhur Toba yang datang pada masa prasejarah dalam 3 (tiga) gelombang,  dari 8.500 – 4.000 tahun lalu, jelas membuat Negeri Toba sudah ramai didominasi ras Mongoloid berbahasa Austronesia. Dengan demikian, maka Si Raja Batak hanyalah tokoh mitos yang tidak pernah hidup dalam sejarah. Dari namanya yang memakai kata “Raja” berasal dari kata “Raj’” dalam bahasa Sanskerta, maka jelas itu mitos yang berhubungan dengan orang India, bukan ras Mongoloid. Oleh karena leluhur Toba itu leluhur campuran yang didominasi oleh ras Mongoloid berbahasa Austronesia, maka tertolaklah mitos Si Raja Batak ini. &&&

  

Sopo Panisioan, 21 Maret 2025

*Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban

 

Catatan tulisan terkait sebelumnya:

Edward Simanungkalit, “MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda Dalam Pembatakan Non-Melayu”: (2016).

Edward Simanungkalit, “MEMBONGKAR DISAIN KOLONIAL LEWAT MITOS SI RAJA BATAK: Sains vs Dongeng”: (2020). 

Thursday, March 13, 2025

LELUHUR MANDAILING LELUHUR CAMPURAN

 

LELUHUR MANDAILING LELUHUR CAMPURAN

Oleh: Edward Simanungkalit

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia. 

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa sejarah. 

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sbb.:

Negrito (ras Australomelanosoid) datang dari Sundaland ke Tanah Mandailing di sekitar 8.500 tahun lalu pada gelombang migrasi pertama. Kemudian penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam),  datang dari Vietnam Selatan dan Kamboja ke Tanah Mandailing pada gelombang migrasi kedua. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera mulai dari Deli Serdang, Langkat, hingga Lhok Seumawe di sekitar 5.000 - 8.430 tahun lalu. Berikutnya penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Vietnam Utara (dekat perbatasan China Selatan) ke Tanah Mandailing dan masuk lewat pantai Timur  sekitar 4.000 tahun lalu. Dari Taiwan ada juga datang bermigrasi dan masuk dari pantai Barat pada gelombang migrasi ketiga.  Selanjutnya, penutur Dravida, yaitu orang India dari India Selatan bermigrasi ke Tanah Mandailing pada gelombang migrasi keempat melalui pantai Timur dan pantai Barat pada masa sejarah. Nama Mandailing berasal dari Mandala Holing, yang terkait dengan kedatangan orang Holing dari India. Candi Syiwa ditemukan di Simangambat, yang telah diekskavasi, berasal dari abad ke-8.

Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Mandailing termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa leluhur Mandailing didominasi oleh penutur Austronesia. Leluhur Mandailing  datang bermigrasi sebanyak 4 (empat) gelombang, sehingga leluhur Mandailing bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran! Terlihat jelas bahwa etnis Mandailing terbentuk sendiri dan merupakan etnis mandiri.

Namun kemudian, dalam buku HITA BATAK oleh Ch. Robin Simanullang (2020) ada dituliskan: “Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi. … Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Mandailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.” (Simanullang, 2022:452-453; Lihat juga: 483-485; bnd. WM. Hutagalung, PUSTAHA BATAK: 1926). Seperti ini kira-kira penggambaran asal-usul Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, dan Mandailing  menurut penjelasan di dalam buku HITA BATAK tersebut di atas.

Sebelumnya, di bagian awal telah dipaparkan secara ilmiah, baik Arkelogi maupun  Genetika oleh Lembaga Eijkman, bahwa pada masa prasejarah, Etnis Mandailing terbentuk oleh Ras Australomelanosoid (Negrito), penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia melalui 3 (tiga) gelombang migrasi secara berturut-turut. Sedang pada gelombang migrasi keempat, datang lagi penutur Dravida dari India Selatan, sehingga dapat dipastikan bahwa leluhur Mandailing bukanlah leluhur tunggal, melainkan leluhur campuran. Dengan demikian, maka migrasi leluhur Mandailing yang disebut-sebut datang dari Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit jelas tertolak, karena tidak terbukti secara ilmiah. Akhirnya, sains telah menjawab mitologi tadi! &&&

 

Sopo Panisioan, 13 Maret 2025

Tuesday, March 11, 2025

LELUHUR KARO LELUHUR CAMPURAN

 

LELUHUR KARO LELUHUR CAMPURAN

Oleh: Edward Simanungkalit

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian mereka di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa sejarah.

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sbb.: 

Negrito (ras Australomelanosoid), C-RPS4Y* = 19,05%, datang dari Sundaland ke Tanah Karo di sekitar 8.500 tahun lalu pada gelombang migrasi pertama. Kemudian penutur Austroasiatik, O-M95* = 19,05%, (ras Mongoloid yang berkulit hitam),  datang dari Vietnam Selatan dan Kamboja ke Tanah Karo pada gelombang migrasi kedua. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera mulai dari Deli Serdang, Langkat, hingga Lhok Seumawe di sekitar 5.000 - 8.430 tahun lalu. Situs budaya Hoabinh dari masa prasejarah di Namo Gajah, Gua Rampah dan Penen, Deli Serdang telah diekskavasi Balai Arkeologi Sumut (BAS VOL. 15/No. 2/2012, hal. 204-223). Berikutnya penutur Austronesia, O-M119 = 42,85%, (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Vietnam Utara (dekat perbatasan China Selatan) ke Tanah Karo dan masuk lewat pantai Timur  sekitar 4.000 tahun lalu pada gelombang migrasi ketiga.  Selanjutnya, penutur Dravida, R-M173 = 19,05%, yaitu orang India dari India Selatan bermigrasi ke Tanah Karo pada gelombang migrasi keempat melalui pantai Timur dan pantai Barat di sekitar Singkil  pada masa sejarah.

Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa leluhur Karo didominasi oleh penutur Austronesia. Leluhur Karo datang bermigrasi sebanyak 4 (empat) gelombang, sehingga leluhur Karo bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran! Terlihat jelas bahwa etnis Karo terbentuk sendiri dan merupakan etnis mandiri.

Namun kemudian, dalam buku HITA BATAK oleh Ch. Robin Simanullang (2020) ada dituliskan: “Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi. … Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Mandailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.” (Simanullang, 2022:452-453; Lihat juga: 483-485; bnd. WM. Hutagalung, PUSTAHA BATAK: 1926). Seperti ini kira-kira penggambaran asal-usul Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, dan Mandailing  menurut penjelasan di dalam buku HITA BATAK tersebut di atas.

Sebelumnya, di bagian awal telah dipaparkan secara ilmiah, baik Arkelogi maupun  Genetika oleh Lembaga Eijkman, bahwa pada masa prasejarah, Etnis Karo terbentuk oleh Ras Australomelanosoid (Negrito), penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia melalui 3 (tiga) gelombang migrasi secara berturut-turut. Sedang pada gelombang migrasi keempat, datang lagi penutur Dravida dari India Selatan, sehingga dapat dipastikan bahwa leluhur Karo bukanlah leluhur tunggal, melainkan leluhur campuran. Dengan demikian, maka Si Raja Asiasi yang disebut-sebut datang dari kaki Pusuk Buhit jelas tertolak, karena tidak terbukti secara ilmiah. Akhirnya, sains telah menjawab mitologi tadi.! &&&

Sopo Panisioan, 11 Maret 2025

Saturday, March 1, 2025

LELUHUR SIMALUNGUN LELUHUR CAMPURAN

 LELUHUR SIMALUNGUN LELUHUR CAMPURAN

Oleh: Edward Simanungkalit

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia. 

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian mereka di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa sejarah.

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sbb.:

Negrito (ras Australomelanosoid), datang dari Sundaland ke Tanah Simalungun di sekitar 8.500 tahun lalu pada gelombang migrasi pertama. Kemudian penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam),  datang dari Vietnam Selatan dan Kamboja ke Tanah Simalungun pada gelombang migrasi kedua. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang, Langkat, Aceh Tamiang hingga Lhok Seumawe di sekitar 5.000 - 8.430 tahun lalu. Berikutnya penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), datang bermigrasi dari Vietnam Utara (dekat perbatasan China Selatan) ke Tanah Simalungun dan masuk lewat pantai Timur  sekitar 4.000 tahun lalu pada gelombang migrasi ketiga.  Selanjutnya, penutur Dravida, yaitu orang India datang bermigrasi ke Tanah Simalungun pada gelombang migrasi keempat melalui pantai Timur Sumatera pada masa sejarah. Catatan: Migran Toba dari Negeri Toba yang digerakkan oleh Kolonial dengan koordinasi dari Andreas Simangunsong bermigrasi besar-besaran ke Tanah Simalungun pada awal abad ke-20 seperti yang terjadi juga di Tanah Pakpak tidak termasuk sebagai leluhur.

Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Simalungun termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa leluhur Simalungun  didominasi oleh penutur Austronesia. Para penutur Dravida yang mendirikan Kerajaan Nagur serta membawa budaya dan tradisi-tradisi lainnya dari India, yang banyak ditemukan sampai sekarang di Tanah Simalungun. Simalungun memiliki sejarah Kerajaan, dari mulai Kerajaan Nagur yang kira-kira mulai bangkit sekitar abad ke-6 dan berlanjut kepada Raja Maropat hingga Raja Marpitu memasuki kemerdekaan Repubik Indonesia. Leluhur Simalungun datang bermigrasi sebanyak 4 (empat) gelombang, sehingga leluhur Simalungun bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran! Terlihat jelas bahwa etnis Simalungun terbentuk sendiri dan merupakan etnis mandiri.

Namun kemudian, dalam buku “HITA BATAK: A Cultural Strategy” oleh Ch. Robin Simanullang (2020) ada dituliskan: “Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi. … Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Mandailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.” (Simanullang, 2022:452-453; lihat juga: 483-485; bnd. WM. Hutagalung, PUSTAHA BATAK: 1926). Seperti ini kira-kira penggambaran asal-usul Simalungun  menurut penjelasan di dalam buku “HITA BATAK” tersebut di atas.

Sebelumnya, di bagian awal telah dipaparkan secara ilmiah, baik Arkelogi maupun  Genetika oleh Lembaga Eijkman, bahwa pada masa prasejarah, Etnis Simalungun  terbentuk oleh Ras Australomelanosoid (Negrito), penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia melalui 3 (tiga) gelombang migrasi secara berturut-turut. Sedang pada gelombang migrasi keempat, datang lagi penutur Dravida dari Tanah India. Jadi, etnis Simalungun yang terbentuk dari keempat gelombang migrasi tadi adalah masyarakat  berbahasa Simalungun, yang berbeda dengan bahasa Toba walaupun sama-sama termasuk rumpun bahasa Austronesia. Masyarakat Simalungun ini memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan budaya Toba. Etnis Simalungun  juga memiliki tanah ulayat tersendiri yang berada provinsi Sumatera Utara. Jelas, bahwa leluhur Simalungun yang disebut-sebut datang dari Sianjur Mulamula  ke Tanah Simalungun telah tertolak oleh sains tadi. Akhirnya, sains telah menjawab mitologi Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit bahwa Simalungun tidak dari sana! &&&

 

                                                                                                 \Sopo Panisioan, 01 Maret 2025

Thursday, February 27, 2025

LELUHUR PAKPAK LELUHUR CAMPURAN

LELUHUR PAKPAK LELUHUR CAMPURAN

Oleh: Edward Simanungkalit

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia. 

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian mereka di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut: 

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa sejarah.

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:

Negrito (ras Australomelanosoid),  datang dari Sundaland ke Tanah Pakpak di sekitar 8.500 tahun lalu pada gelombang migrasi pertama. Kemudian penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam),  datang dari Vietnam Selatan dan Kamboja ke Tanah Pakpak di sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu pada gelombang migrasi kedua. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe di sekitar 5.000 - 8.430 tahun lalu. Berikutnya penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Taiwan ke Tanah Pakpak dan masuk lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu pada gelombang migrasi ketiga.  Selanjutnya, penutur Dravida (India Tamil) dari India Selatan bermigrasi ke Tanah Pakpak pada gelombang migrasi keempat melalui pantai Barat pada masa sejarah.

Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Pakpak termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa leluhur Pakpak didominasi oleh penutur Austronesia. Pakpak merupakan masyarakat Sulang Silima yang tidak ada duanya. Leluhur Pakpak datang bermigrasi sebanyak 4 (empat) gelombang, sehingga leluhur Pakpak bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran! Terlihat jelas bahwa etnis Pakpak terbentuk sendiri dan merupakan etnis mandiri.

Namun kemudian, dalam buku HITA BATAK ditulis: “Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi. … Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Mandailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.” (Simanullang, 2022:452-453; Lihat juga: 483-485; bnd. WM. Hutagalung, PUSTAHA BATAK: 1926). Seperti ini kira-kira penggambaran asal-usul Pakpak menurut penjelasan di dalam buku HITA BATAK tersebut di atas.

Sebelumnya, di bagian awal telah dipaparkan secara ilmiah, baik Arkelogi maupun  Genetika oleh Lembaga Eijkman, bahwa pada masa prasejarah, Etnis Pakpak terbentuk oleh Ras Australomelanosoid (Negrito), penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia melalui 3 (tiga) gelombang migrasi secara berturut-turut. Sedang pada gelombang migrasi keempat, datang lagi migran penutur Dravida dari India Selatan. Jejak penutur Dravida ini jelas terlihat dari Mejan yang ditemukan di daerah Pakpak pada kelima Suak dan juga ada marga yang menggunakan bahasa Dravida seperti: Maha, Maharaja. Kedatangan penutur Dravida ini terlihat dengan adanya cerita tentang Kada dan Lona yang berasal dari India Selatan terdampar di Tanah Pakpak. Jadi, etnis Pakpak yang terbentuk dari keempat gelombang migrasi tadi adalah masyarakat  berbahasa Pakpak, yang berbeda dengan bahasa Toba walaupun sama-sama termasuk rumpun bahasa Austronesia. Masyarakat Sulang Silima ini memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan budaya Toba. Etnis Pakpak juga memiliki tanah ulayat tersendiri yang berada di dua provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Jelas, bahwa Songkar Somalindang yang disebutkan datang dari kaki Pusuk Buhit ke Tanah Pakpak bukanlah leluhur Pakpak seperti yang diceritakan mitologi tadi. Akhirnya, sains telah menjawab mitologi! &&&

                                                                                          Sopo Panisioan, 27 Februari 2025