Seri
HITA TOBA 4
KETIKA
DEWA-DEWI DARI LANGIT TUJUH LAPIS TURUN KE BUMI
Oleh:
Edward Simanungkalit *
Membaca buku yang ditulis WM. Hutagalung
berjudul: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) ada
hal yang menggelitik. Itu berkaitan dengan nama-nama dan hal lainnya yang ada
di dalam buku tersebut, Nama-nama yang dimaksud dibatasi pada bagian yang biasa
disebut-sebut Mitologi Batak (baca:
Dongeng), yaitu mulai dari Mulajadi Nabolon hingga Si Raja Batak dari halaman 1
s/d 33. Yaitu mulai dari langit 7 lapis
dan turun ke bumi melalui puncak Pusuk Buhit terus turun ke kaki bukit hingga
di Sianjur Mulamula, Kamudian kawinlah dewa-dewi di Sianjur Mula-mula, yaitu Si
Boru Deak Parujar dengan Raja Odapodap yang melahirkan Raja Ihatmanisia dan
Siboru Itammnisia. Dari keturunan mereka inilah lahir Ompu Jolma yang kemudian diganti namanya menjadi Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan
oleh Uli Kozok dalam Bincang Lae Kirman berjudul “Dinamika Sejarah Batak”, 31
Mei 2022 (dikutip 26 Maret 2025; Video: 25 detik. Dikutip dari: https://www.youtube.com/watch?v=HewtyBgdCqA).
Nama-nama yang disebut di dalam cerita tadi sebagai berikut:
1.Debata
Mulajadi Nabolon, 2. Debata Batara Guru, 3. Raja Odapodap, 4. Debata Sori, 5. Tuan
Dihurmajati, 6. Batu Holing, 7. Debata Balabulan, 8. Raja Padoha, 9. Debata
Asiasi, 10. Tuan Sorimahummat, 11. Boru Saniangnaga, 12. Sitapi Gaga 13. Boru
Malim, 14. Boru Sorbajati, 15. Leangnagurasta, 16. Boru Deak Parujar, 17. Tuan
Sorimatinggi, 18. Raja Indainda, 19. Raja Indapati, 20. Jumadi Siganding, 21. Debata
Jujungan, 22. Boru Nan Bauraja, 23. Boru Surungan, 24, Narudang Ulubegu, 25. Tuan
Nahodaraja, 26. Nan Bauraja, 27. Tuan Dipapantinggi, 28. Raja Ihatmanisia, 29. Boru
Itammanisia, 30. Boru Naraja Inggotpaung, 31. Raja Inggotpaung, 32. Raja
Miokmiok, 33. Patundal nibegu, 34. Aji Lampaslampas, 35. Engbanua, 36. Raja
Aceh, 37. Raja Bonang-bonang, 38. Raja Jau, 39. Raja Tantan Debata, dan 40. Raja
Batak.
Di atas telah dipaparkan nama-nama figur
dalam cerita “Langit Tujuh Lapis”. Nama-nama di atas nyaris semuanya berasal
dari bahasa Sanskerta atau setidaknya akar katanya berasal dari bahasa
Sanskerta. Hal ini tentu ada kaitannya dengan persinggungan budaya dengan
orang-orang India dan kepercayaannya.. Harry Parkin dalam bukunya: “Batak Fruit
of Hindu Thought” (1978) menyimpulkan telah terjadinya silang budaya antara
Toba dengan Hindu terutama ajaran Sivaisme, yang merupakan kepercayaan Tamil.
Keberadaan Tamil di Barus relatif dekat dengan kaki Pusuk Buhit, sehingga memungkinkan
kontak dengan mereka. Cerita tentang penciptaan dunia, menurut J. Tideman
(Agustono & Tim, 2012:195), merupakan pengaruh Hindu yang diadopsi dari
mitos Wedda dan nama-nama dewa diambil dari Hindu Dharma.
Lebih
jauh lagi, bahwa sudah pernah terjadi kerjasama antara orang-orang India dengan
orang Toba di Negeri Toba dalam
bidang pertanian di masa lalu. Hal ini diungkapkan oleh Robin Hanbury dan
Tenison, dalam tulisannya: "A Pattern Of Peoples; A Journey Among The
Tribes Of Indonesian’s Outer Islands, New York, Charles Scribner’s Sons"
(1975:28). Kerjasama dengan orang India yang diungkapkan tadi dikuatkan oleh
adanya DNA penutur Dravida/India (R-M124) di dalam diri Orang Toba sebesar
2,7%, yang bercampur sekitar 600 tahun lalu.
Balai
Arkaeologi Sumatera Utara telah melakukan penelitian khusus di Sianjur
Mula-mula. “Penelitian di Sianjur Mula-mula ini dilaksanakan sejak tanggal 9
April—1 Mei 2018. Penelitian ini dipusatkan di bekas permukiman Siraja Batak
yang berada di Huta Urat, Desa Sianjur Mula-mula. Hasil penelitian di Sianjur
Mula-mula ini telah memberikan bukti adanya permukiman di lokasi tersebut.
Temuan ekskavasi yang dominan ditemukan adalah fragmen gerabah/tembikar. Selain
itu, ditemukan juga pada manik-manik kaca dan fragmen logam. Pada ekskavasi ini
juga ditemukan adanya umpak batu yang merupakan fondasi bangunan rumah
panggung. Selain itu, ditemukan juga adanya bekas lubang tiang bangunan.”
(Taufiqurrahman S., 18/07-2018, https://balarsumut.kemdikbud.go.id/).
Dr.
Ketut Wiradnyana, MSi., Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara, mengemukakan,
bahwa berdasarkan data, temuan di Sianjur Mula-mula itu usianya sekitar 600
tahun lalu. Ketut melanjutkan, bahwa di Sianjur Mula-mula sendiri saat
dilakukan ekskavasi yang ditemukan hanya artefak seperti peralatan dapur, dan
setelah digali lagi hanya menemukan tanah bekas sawah yang usianya kurang lebih
600 tahun yang lalu, dan tidak
ditemukan kerangka manusia di dalamnya (SBNPro.com,
24/01-2019).
Leluhur
Toba datang bermigrasi ke Negeri Toba sebanyak 4 gelombang, yaitu: 1. Ras
Australomelanesoid, 2. Penutur Austroasiatik (Ras Mongoloid berkulit hitam), 3.
Penutur Austronesia (Ras Mongoloid berkulit putih), dan 4. Penutur Dravida (orang
India dari Banua Holing). Gelombang ke-1-3 bermigrasi sekitar 4.000 tahun –
8.500 tahun lalu, sementara gelombang ke-4 datang sekitar 600 tahun lalu (Edward
Simanungkalit, LELUHUR TOBA LELUHUR
CAMPURAN – Seri HITA TOBA 1, Sopo Panisioan, 16/2-2025). Demikianlah
dikemukakan Sains khususnya Arkeologi (Prof. Dr. Harry Truman
Simanjuntak) dan Genetika (Lembaga
Eijkman). Jelas, bahwa leluhur Toba,
adalah leluhur campuran, sudah datang
pada masa prasejarah, 4.000 – 8.500 tahun lalu, bukan 600 tahun lalu yang
berkampung di Sianjur Mula-mula. Kemungkinan sekali kampung itu merupakan jejak
orang-orang India yang kemudian membuat cerita Mitologi tersebut, karena
nama-nama figur Mitologi didominasi
bahasa Sanskerta. Ketika tulang-belulang manusia tidak ditemukan di sana, maka
Sianjur Mula-mula itu bukanlah perkampungan hunian berpenduduk. Berat dugaan
bahwa Sianjur Mula-mula adalah tempat ritual. Oleh karena leluhur Toba adalah leluhur
campuran, maka kampung leluhur Toba itu ada di 4 (empat) tempat, yaitu: Toba Holbung, Toba Humbang, Toba Silindung,
dan Toba Samosir.
Leluhur Toba yang datang
pada masa prasejarah terdiri dari Ras Australomelanesoid dan Ras Mongoloid yang
didominasi Ras Mongoloid dan rumpun bahasa Austronesia, yaitu: Bahasa Toba..
Mereka mendiami wilayah “sebelum penjajahan Belanda, bernama Negeri Toba, yang merdeka dan berdaulat
meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang beribukota di Bangkara.” (Batara
Sangti, 1978:27). Penjelasan Batara Sangti ini mirip seperti yang tertulis
dalam stempel Raja Singamangarja XII:
Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Begitu juga manuskrip Dinasti Di dalam Negarakertagama Pupuh 13 Tahun 1365 M:
Disebutkan Mandailing, Toba, Haru, dan Barus di kawasan Sumatera Utara
sekarang. Tidak ada kata lain apalagi kata “Batak”. ”. Di dalam buku: “Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari
Barus” (Drakard, 1988) pada naskah berupa manuskrip kuno: “Sarakatah Surat
Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai
berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige).
Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan
tentang Alang Pardosi, yang mendirikan Dinasti Pardosi di Barus, yang datang
dari Negeri Toba. Demikian juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: Toba Na Sae
(2009) menjelaskan soal kata: Toba Na Sae itu dengan memaksudkan: Negeri Toba
yang meliputi: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung
(Sitor Situmorang, TOBA NA SAE,
Komunitas Bambu, Jakarta: 2009). Di masa lalu sebelum datangnya penjajahan
Belanda, tidak ada sebutan Negeri Batak atau Negeri Batak Toba, tapi yang ada
sebutan Negeri Toba.
Pada tahun 2016,
penulis sudah menyampaikan bahwa Si Raja Batak tidak ada dalam tulisan
berjudul: “MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda Dalam Pembatakan
Non-Melayu” (2016), dan, “MEMBONGKAR DISAIN KOLONIAL LEWAT MITOS SI RAJA BATAK:
Sains vs Dongeng”: (2020). Baru-baru ini juga, penulis telah membuat tulisan
berjudul: “LELUHUR TOBA CAMPURAN BUKAN TUNGGAL – Seri TOBA 2” (2025). Namanya “Si
Raja Batak” berbau bahasa Sanskerta yang memakai kata “raja” berasal dari “raj”.
Oleh karena itu, jelas bahwa Si Raja Batak ini bukan dari lingkungan leluhur
Toba yang datang pada masa prasejarah dengan berbahasa Austronesia. Bagaimana
mungkin leluhur campuran yang datang 8.500-4.000 lalu memiliki seorang
nenek-moyang tunggal dari kampung berusia 600 tahun lalu?
Sopo Panisioan, 1 April 2025
(*)
Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban