Tuesday, March 25, 2025

H I T A T O B A: Leluhur Toba dan Orang Toba di Negeri Toba

Seri HITA TOBA-3

H I T A   T O B A

Leluhur Toba dan Orang Toba di Negeri Toba

Oleh: Edward Simanungkalit *

 

Gelombang Migrasi Leluhur

Arkeolog prasejarah, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional yang telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama 40 tahun lebih di Indonesia ini. Menurutnya, pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Negrito (ras Australomelanesoid), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman/Eijkman Institute; sekarang BRIN) melalui Prof. Herawati Sudoyo, PhD. mengemukakan bahwa dari hasil penelitian mereka selama ini, migrasi leluhur Indonesia terjadi dalam 4 (empat) gelombang. Pengalaman penelitian Lembaga Eijkman di Indonesia sbb.: “Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.” (Detik.com, Selasa, 15 Nov. 2016). Selanjutnya, Prof. Herawati menjelaskan ke-4 gelombang migrasi itu sebagai berikut:

1. Gelombang migrasi pertama datang dari Afrika menyusuri pesisir Selatan Asia menuju Sundaland mulai dari sekitar 72.000 tahun lalu (Out of Africa).

2. Gelombang migrasi kedua datang dari China Selatan sekitar 4.300 sampai 4.100 tahun lalu. Mereka ini penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja dan kemudian melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

3. Gelombang migrasi ketiga datang dari China Selatan dan dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu . Mereka ini penutur Austronesia bermigrasi hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

4. Gelombang migrasi keempat datang dari India, Arab, dan Eropa pada masa millenium.

Demikian penjelasan Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman mengenai migrasi leluhur Indonesia yang ternyata leluhur campuran (lihat: histotia.id; National Geographic, 24/05-2019). Baik menurut hasil penelitian arkeologi maupun hasil penelitian genetika tadi, bahwa leluhur orang Indonesia adalah leluhur campuran, bukan leluhur tunggal sebagai berikut:

1. Negrito (ras Australomelanosoid)K-M526* = 13,51%, yang bermigrasi ke Negeri Toba  setelah tenggelamnya Sundaland di sekitar 8.500 tahun lalu.

2. Penutur Austroasiatik (ras Mongoloid yang berkulit hitam), O-M95* = 13,51%, yang datang sekitar 4.300- 4.100 tahun lalu. Mereka ini pendukung budaya Hoabinh (Hoabinhian) terbukti dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dan kapak Sumatralith di sepanjang pesisir Timur Sumatera bagian Utara mulai dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe.

3. Penutur Austronesia (ras Mongoloid yang berkulit putih), yang bermigrasi dari Taiwan (O-M110 = 10,81% dan O-P203 = 2,7%) dan masuk lewat pantai Barat sekitar 4.000 tahun lalu. Pendukung budaya Dongson bermigrasi ke Negeri Toba dari Lembah Song Hong, Vietnam Utara (O-P201 = 57%) dan masuk dari pantai Timur. Mereka ini lebih dominan 57%.

4. Penutur DravidaR-M124 = 2,7%, dari India Barat bermigrasi ke Negeri Toba melalui Barus di pantai Barat sekitar 600 tahun lalu.

Disimpulkan bahwa leluhur Toba didominasi oleh penutur Austronesia dan bahasa Toba termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Sejak dari leluhurnya, orang Toba didominasi oleh ras Mongoloid.  Leluhur Toba terdiri dari 6 gen (5 gen dari masa pra-sejarah ditambah 1 gen dari  600 tahun lalu), sehingga jelas bahwa leluhur Toba bukan leluhur tunggal melainkan leluhur campuran!

Leluhur Toba Menjadi Etnis Toba dan Berdiam di Negeri Toba

Leluhur Toba yang datang pada masa prasejarah terdiri dari Ras Australomelanesoid dan Ras Mongoloid yang didominasi Ras Mongoloid dan bahasa Austronesia, yaitu: Bahasa Toba. Mereka mendiami wilayah yang “sebelum penjajahan Belanda, bernama Negeri Toba, yang merdeka dan berdaulat meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang beribukota di Bangkara.” (Batara Sangti, 1978:27). Penjelasan Batara Sangti ini mirip seperti yang tertulis dalam stempel Raja Singamangarja XII: Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Di dalam Negarakertagama Pupuh 13 Tahun 1365 M: Disebutkan Mandailing, Toba, Haru, dan Barus di kawasan Sumatera Utara sekarang. Tidak ada kata lain apalagi kata ‘Batak’. ”. Di dalam buku: “Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus” (Drakard, 1988), pada naskah berupa manuskrip kuno : “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige). Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan tentang Alang Pardosi, yang mendirikan Dinasti Pardosi di Barus dan yang datang dari Negeri Toba. Demikian juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: Toba Na Sae (2009) menjelaskan soal kata: "Toba Na Sae" itu dengan memaksudkan: Negeri Toba yang meliputi: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung (Sitor Situmorang, TOBA NA SAE, Komunitas Bambu, Jakarta: 2009). Di masa lalu sebelum datangnya penjajahan Belanda, tidak ada sebutan Negeri Batak atau Negeri Batak Toba, tapi yang ada sebutan Negeri Toba.

 

Menarik membaca pemaparan Dr. Ulber Silalahi, MA. dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (Pemerintahan (harajaon) dan birokrasi tradisional Masyarakat Toba (Laporan Penelitian, 2012), yang melakukan penelitian berikut ini, bahwa “semua etnik Toba pada awalnya menyebar dan tinggal di daerah Toba. Tentang nama tempat “Toba”, Ulber Silalahi mengutip keterangan dari misionaris Meerwaldt pada akhir abad ke-19 yang melaporkan pengamatannya sebagai berikut: Sungguh mengherankan bahwa ketika berangkat dari selatan menuju utara Tanah-tanah Batak, semakin kita merasa mendekati Toba yang sesungguhnya, semakin Toba mundur menjauh. Di Angkola, istilah “Toba” menunjuk semua yang ada di sisi seberang Sungai Aek Poli, berarti di sebelah utara lembah Sungai Batang Toru. Namun, begitu kita sampai di Sungai Aek Poli, kita mendengar bahwa “Toba” bermula di lembah Silindung. Penduduk Silindung sendiri menamakan “Toba” daerah yang ada di utara rantai pegunungan yang menutup lembah tersebut. Jika kita berjalan lebih jauh lagi dan tiba di dataran tinggi, kita disuruh melanjutkan sampai di wilayah tepi danau. Baru di sanalah kita menemukan orang-orang yang menamakan tanah mereka “Toba” dan menyebut dirinya “halak Toba”.” (Silalahi, 2012:42-43; Laporan Penelitian).

 

Dr. Ulber Silalahi, MA. melanjutkan, bahwa Toba Samosir menempati daerah Samosir (pada masa kolonialisme Belanda disebut Onderafdeeling Samosir), suatu daerah yang mencakup pulau Samosir dan daerah pantai barat Danau Toba, meliputi daratan lembah subur seperti Sagala, Limbong, Harianboho, Sihotang, Tamba, Sabulan, dan Janjiraja. Sementara Samosir merupakan tanah tandus berbatu-batu. Toba Holbung menempati daerah Toba Holbung (pada masa kolonialisme Belanda disebut Onderafdeeling Toba), yang meliputi Balige dan Porsea dan sekitarnya dan merupakan daerah persawahan terluas yang berada di sepanjang garis pantai selatan Danau Toba. Toba Humbang menempati daerah Humbang (pada masa kolonialisme Belanda disebut Onderafdeeling Hoogvlankte van Toba). Daerah Humbang memiliki wilayah yang terdiri dari padang-padang luas dan pegunungan berhutan lebat. Hanya sedikit lahan untuk persawahan. Toba Silindung menempati daerah Silindung (pada masa kolonialisme Belanda disebut Onderafdeeling Silindung). Daerah ini memiliki daerah persawahan kedua setelah Toba Holbung, termasuk persawahan hingga lembah subur Pahae (2012:43-44). Demikian penjelasan Dr. Ulber Silalahi, MA. dalam Laporan Penelitiannya berjudul: “BIROKRASI TRADISIONAL DARI SATU KERAJAAN DI SUMATERA: Harajaon Batak Toba” (Univ. Parahyangan, Bandung: 2012).

Adapun penulis, sejak kecil memahami diri sendiri sebagai Halak Toba atau Orang Toba pada paruh kedua tahun 1960-an. Itu yang penulis ketahui dari para orangtua di lingkungan penulis di saat berada di Kabupaten Dairi. Para orangtua ketika berbincang-bincang sering berkata: “Anggo adat ni hita, halak Toba, asing do adatna tu adat ni dongan Pakpak manang dongan Karo.” i.e. : “Kalau adat kita, orang Toba, berbeda dengan adat dari saudara kita, Pakpak maupun Karo.”. Begitu kira-kira disampaikan, sehingga terlihat kontras antara Orang Toba dengan Orang Pakpak maupun Orang Karo, yang jelas memberikan identifikasi diri bahwa diri penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba. Demikian juga, ketika penulis berada di daerah Karo, maka ketika menyebut marga penulis,  Orang Karo menyebut penulis: “O’ kalak Tebba.” Begitu juga Orang Pakpak menyebut penulis: “Kalak Tebba”. Kedua perkataan ini artinya: “Halak Toba” atau “Orang Toba”. Kedua pernyataan ini mengkonfirmasi bincang-bincang para orangtua di lingkungan penulis tadi.  Jadi, penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba.

Ketika ada orang dari Sidikalang mau ke bekas daerah Tapanuli Utara dulu sebelum pemekaran (Taput Lama), maka ditanyakan mereka mau ke mana, maka jawabannya: “Naeng tu Toba” i.e.: “Mau ke Toba” dan dilanjutkan penjelasannya di mana Tobanya itu, yaitu: Pangururan,  Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong, Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Demikian juga, ketika mereka kembali dari daerah-daerah tersebut, maka mereka berkata: “Dari Toba”. Bus-bus umum pun yang mau ke daerah-daerah tadi akan berkeliling kota memanggil para penumpangnya dengan berkata: “Toba, Toba, Tobaaaaa …”. Baru-baru ini pada bulan Juni 2015 lalu, ketika melintas di depan stasiun bus Sitra, mereka memanggil: “Toba, Toba, Tobaaaa …”. Pada waktu itu penulis sengaja bertanya kepada mereka apa yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” itu, mereka menjawab: “Samosir, Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong,  Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Jadi, yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” atau “Negeri Toba” itu ialah bekas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dulu sebelum dimekarkan (Taput Lama).

Begitu juga dengan bus-bus dari Simpang Dua, Pematang Siantar yang mau ke Siborong-borong, Dolok Sanggul, dan Tarutung, pihak busnya akan memanggil: “Toba, Toba, Toba …”. Orang-orang Pakkat, Parlilitan, dan Barus, ketika mereka hendak ke Dolok Sanggul.akan menyebut: ke “Toba”. Begitu juga orang-orang dari Sipirok dan Padang Sidimpuan ketika mereka hendak ke Pahae, Tarutung, Siborong-borong, dll. menyebut ke “Toba”. Mereka menyebut mulai dari Pahae itulah sudah masuk “Toba”. Jelaslah, bahwa Taput Lama itu disebut Toba atau Negeri Toba.

HN van der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar istilah “Batak dan Melayu” tidak digunakan secara resmi. Sebagai gantinya HN van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti: Pakpak, Karo, Simalungu, Toba, Mandailing, dan Angkola. Sejak misionaris Jerman dari RMG masuk ke Negeri Toba pada tahun 1862, maka mulailah proses pembatakan berlangsung. Lothar Schreiner‖ (1999:11) mengatakan: “Sebutan ‘Batak‘ maupun ‘daerah Batak‘ barulah muncul setelah pengkristenan”. Setelah Perang Toba I dan II (1878 & 1883), Raja Singamangaraja XII mengundurkan diri bergerilya di Tanah Pakpak. Barulah Negeri Toba dikuasai kolonial dan proses pembatakan dapat berlangsung lebih luas terutama lewat sekolah-sekolah zending. Inilah kerisauan HN van der Tuuk yang ditulis melalui suratnya kepada misionaris Jerman dengan alasan bahwa pengertian dari Batak itu negatif dan mereka memang bukan Batak, sehingga lebih baik mereka tetap sebagai Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Bersama HN van der Tuuk berkata: “Kita bukan Batak!”. HITA TOBA. ^$^

 

Sopo Panisioan, 25 Maret 2025

(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban


No comments:

Post a Comment