Thursday, December 17, 2015

RUNTUHNYA MITOS SI RAJA BATAK - 3: Raja-Raja Simalungun-Karo-Toba vs Si Raja Batak

RUNTUHNYA MITOS SI RAJA BATAK - 3
Raja-Raja Simalungun-Karo-Toba vs Si Raja Batak
Oleh: Edward Simanungkalit *

Raja-Raja Karo
            Arkeolog prasejarah senior, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak, yang sudah malang-melintang selama 35 tahun melakukan pelelitian arkeologi prasejarah di Indonesia ini sudah menulis lebih dari 150 karya tulis yang telah dipublikasikan. Doktor prasejarah lulusan dari Perancis ini, selain sebagai Professor Riset di Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dia juga   Peneliti dan Direktur dari Center for Prehistoric and Austronesian Studies (2006 - sekarang). Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahwa ras Australomelanesoid  telah lebih dulu datang ke Sumatera setelah Sundaland tenggelam. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari Kamboja, Vietnam, dan Khmer, sedang  penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini  dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Sedang pada masa sejarah, orang-orang India Selatan datang lagi ke Sumatera pada sekitar abad ke-2 dan 3 Masehi.
          Penelitian arkeologi dengan melakukan ekskavasi telah dilakukan oleh P.V. van Stein Callenfels di Deli Serdang dekat Medan (1925), H.M.E. Schurman di Langkat dekat Binjai (1927), Kupper di Langsa (1930), Edward MacKinnon di DAS Wampu (1973, 1976, 1978), Harry Truman Simanjuntak & Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan di Aceh Tengah (2011) dan di Bener Meriah, Aceh (2012). Temuan fosil di Loyang Mandale, Aceh Tengah diperkirakan berusia 8.430 tahun Penelitian arkeologi dengan melakukan ekskavasi ini telah menemukan kapak Sumatera (Sumatralith) yang terkenal itu dan menemukan bahwa ras australomelanesoid telah datang melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara ini pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.
          Berdasarkan fosil yang ditemukan di Loyang Mandale, Aceh Tengah (Gayo) yang berusia 7.400 tahun pada waktu itu (sedang temuan terbaru 8.430 tahun), maka dilakukan tes DNA terhadap fosil yang ditemukan dan sampel darah 300 lebih siswa/i Orang Gayo di Takengon. DR. Safarina G. Malik dari Eijkman Institute menyatakan, bahwa mereka itu adalah keturunan dari fosil tadi dan kekerabatan genetik antara populasi Gayo dengan Karo sangat dekat. Hal ini dikarenakan Orang Karo yang berada di dekat penelitian arkeologi tadi merupakan keturunan dari ras Australomelanesoid, yang penulis sebutkan di sini sebagaiRaja-Raja Karo, yang datang pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu. Mereka ini juga yang datang ke Humbang menjadi Raja-raja Toba dan sampai ke selatan Sumatera. Itu sebabnya hasil tes DNA Orang Minangkabau, Orang Riau, dan Orang Melayu juga menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan mereka ini. Semuanya ini cocok dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. DR. Harry Truman sebelumnya.

Raja-Raja Simalungun 
          Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari Kamboja, Vietnam, dan Khmer, sedang  penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini  dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, yang penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Simalungun, yang menurunkan Orang Simalungun. Disusul penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dan penutur Austronesia pada sekitar 4.000 tahun lalu atau kedua-duanya datang pada masa Neolitik di sekitar 6.000 – 2.000 tahun lalu.

Kemudian datang lagi orang-orang India Selatan pada tahun Masehi dan mereka mendirikan Kerajaan Nagur di tanah Simalungun. Kerajaan Nagur bangkit dan berdiri sejak abad ke-6 dan mengalami kemunduran pada abad ke-15 serta tercatat di Cina pada zaman Disnasti Sui abad ke-6 (Agustono & Tim, 2012:24, 31). “… di daerah Tigadolok masih terdapat nama kampung bernama Nagur yang letaknya jauh di pedalaman dan sulit ditempuh. Berdekatan dengan kampung Nagur ini terdapat tempat keramat bernama Batu Gajah sisa candi peninggalan agama Hindu yang sudah pernah diteliti tim arkeologi dari Medan yang menurut perkiraan didirikan sejak abad ke-5 Masehi.” (Agustono & Tim, 2012:38). Demikianlah kedatangan orang-orang India Selatan yang kemudian mendirikan kerajaan Nagur di Simalungun pada awal millenium pertama Masehi.

 Raja-Raja Toba
Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong, yang sekarang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard
Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba.
Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang. Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan nama  Raja-Raja Toba, karena hanya menurunkan Orang Toba. Jadi, Raja-Raja Toba bukan satu orang figur, tetapi lebih dari satu orang atau banyak orang dan mereka itu yang menurunkan Orang Toba terbukti dari DNAnya (2015:31-35).

Si Raja Batak
          Selama ini Si Raja Batak disebut-sebut adalah nenek-moyang Suku Batak. Si Raja Batak disebutkan nama kampungnya Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, yang sekarang berada di daerah Kabupaten Samosir. Berdasarkan mitologi seperti yang ditulis oleh W.M. Hutagalung,  dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso
Batak” (1926), bahwa Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh. Berbagai tulisan maupun buku-buku sejarah “Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula. Walaupun ada versi-versi asal-usul lain, tetapi pada dasarnya Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula yang disebut  merupakan kampung awal Bangso Batak (2015:1-11).
          Para penulis “Sejarah Batak” tadi menyebutkan bahwa keturunan Si Raja Batak pergi menyebar dan membentuk Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Secara khusus, W.M. Hutagalung (1926) menulis tarombo di mana marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing merupakan keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba. Dengan demikian, selain keturunan Si Raja Batak, maka seluruh marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing itu adalah keturunan Batak Toba juga yang kesemuanya disebut Bangso Batak. Sebelum W.M. Hutagalung menulis bukunya, maka konon kabarnya sudah ada dibuat tarombo Si Raja Batak dalam bentuk lukisan yang konon juga kabarnya ditemukan di dalam desertasi Ronvilk sebagai lampiran. Memang masih ada buku-buku yang menguraikan tentang marga-marga bahkan ada yang memasukkan Nias sebagai sub-etnik Batak. Akan tetapi, buku W.M. Hutagalung (1926) yang paling menarik, karena paling laris manis, sehingga paling banyak dibaca oleh masyarakat dan tentulah  dapat diperkirakan pengaruhnya demikian luas. Setelah Bibel, Buku Ende, dan Almanak Gereja, sepertinya buku inilah yang paling banyak dibeli masyarakat terutama masyarakat Toba.
          Pada tebing bukit di Sianjur Mulamula, Samosir ada dibuat tulisan: “PUSUK BUHIT – SIANJUR MULAMULA – MULA NI HALAK BATAK – 5 SUKU: BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAPPAK, BATAK SIMALUNGUN”. Selanjutnya, Monumen Pintu Gerbang Tomok memuat tulisan: BATAK TOBA, BATAK SIMALUNGUN, BATAK MANDAILING, BATAK ANGKOLA, BATAK PAKPAK, BATAK KARO. Sementara dalam website Pemkab Samosir, tentang Si Raja Batak ini ditulis sebagai berikut: “Si Raja Batak, yang tinggal di Kaki Gunung Pusuk Buhit mempunyai dua putra, yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon. Kemudian nama dua putra ini menjadi nama dari dua kelompok besar marga Bangso Batak, yaitu Lontung dan Sumba. Dari kedua kelompok marga ini lahirlah marga-marga orang Batak, yang saat ini sudah hampir 500 marga. Sampai saat ini orang Batak mempercayai bahwa asal mula Bangso Batak ada di Pusuk Buhit Sianjur Mulamula.” (www.samosirkab.go.id).
          Kemudian mengenai masa hidup Si Raja Batak ini, maka dikemukakan beberapa pihak sebagai berikut:
Richard Sinaga, dalam bukunya "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" (1997) mengemukakan bahwa masa hidup Si Raja Batak kira-kira pada tahun 1200 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Batara Sangti Simanjuntak, dalam bukunya berjudul “Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak di Tanah Batak baru ada pada tahun 1305 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Kondar Situmorang, dalam Harian Sinar Indonesia Baru terbitan tanggal 26 September 1987 dan tanggal 03 Oktober 1987 serta tanggal 24 Oktober 1987, dengan judul “Menapak Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada pada tahun 1475 Masehi.
Sarman P. Sagala, dalam website Pemkab Samosir mengatakan, bahwa Si Raja Batak hidup pada tahun 1200 atau awal abad ke-13 (http://dishubkominfo.samosirkab.go.id/).
Ketut Wiradnyana, arkeolog Balai Arkeologi Medan yang telah melakukan penelitian arkeologi di Samosir, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengatakan bahwa  orang Batak pertama di Sianjurmulamula dan mereka telah bermukim di sana sejak 600-1000 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si  Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (
http://humas.unimed.ac.id).
Demikianlah telah diuraikan di atas tentang masa hidup Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan tadi keseluruhannya berkisar antara 500-1000 tahun lalu atau tidak lebih dari 1000 tahun. 

Sejarah Harus Ditulis Ulang
          Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Si Raja Batak itu disebutkan menurunkan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Oleh karena namanya Si Raja Batak, makanya keturunannya menyandang kata “Batak” juga seperti halnya marga. Seperti itulah pemahaman di Toba, yang diyakini bahwa semua yang disebutkan tadi menyebar dari Sianjur Mulamula, sehingga bila ada pihak yang mengatakan bahwa mereka bukan Batak, maka itu dipahami sebagai durhaka, karena menyangkal leluhurnya. Demikianlah pemahaman di Toba, sehingga membuat mereka marah terhadap pihak-pihak tadi yang mengatakan “bukan Batak”, karena menganggap Si Raja Batak mempunyai hubungan genealogis dengan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing.
Telah diuraikan di atas bahwa jumlah marga-marga dari Bangso Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak sekitar hampir 500 marga dari Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing (termasuk Angkola). Jadi, berdasarkan uraian tadi, maka Tano Toba, Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah Simalungun, dan Tanah Mandailing sebelumnya kosong. Baru setelah Si Raja Batak datang ke Sianjur Mulamula dan keturunannya mulai berkembang barulahlah mereka menyebar ke daerah-daerah tersebut, maka terbentuklah Bangso Batak seperti yang disebutkan tadi. Pertanyaannya, benarkah masing-masing daerah ini adalah tanah kosong yang belum didiami oleh manusia sebelum keturunan Si Raja Batak datang mendiami tanah kosong tersebut? Tentu tidak demikian, karena sudah banyak manusia datang ke seluruh daerah di Sumatera Utara sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir.  
          Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, dan Raja-Raja Toba telah lebih dulu berdiam di Sumatera Utara yang datang pada masa Mesolitik, sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu (2015:41-42), sedang masa hidup Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula itu sekitar 500 – 1.000 tahun lalu atau atau paling lama 1.000 tahun lalu. Ditambah lagi penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang bermigrasi ke Tanah Karo dan Tanah Simalungun yang datang pada masa Neolitik, sekitar 6.000 – 2.000 tahun lalu, yang dimenangkan penutur Austronesia, sehingga menjadikan bahasa Karo dan bahasa Simalungun termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Kemudian orang-orang India Selatan datang lagi bermigrasi ke Tanah Karo dan Tanah Simalungun pada millenium pertama di sekitar abad ke-3 Masehi.  Dengan demikian, Si Raja Batak adalah pendatang baru di Sianjur Mulamula yang kedatangannya memiliki selisih waktu setidaknya 5.000 tahun lebih dulu Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, dan Raja-Raja Toba. Itu sebabnya dapat dipastikan bahwa Orang Karo dan Orang Simalungun bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukanlah keturunan Si Raja Batak. Kalaupun terjadi migrasi marga-marga tertentu dari Toba ke daerah Karo dan daerah Simalungun, maka hal itu bukan berarti menjadikan etnis Karo dan etnis Simalungun berasal dari Toba. Kalaupun W.M. Hutagalung dan penulis-penulis Sejarah Batak lain menyebutkan dan mengklaim bahwa semua marga Karo dan marga Simalungun berasal dari Toba sebagai keturunan Si Raja Batak, maka hal itu jelas tidak sesuai dengan fakta.
Etnis Karo sudah ada berdiam di Tanah Karo sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula.  Mereka berbahasa Karo yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian terjadi migrasi dari tetangga-tetangganya ke Tanah Karo, sehingga terjadi percampuran lagi dan mereka yang datang ini hidup mengikuti budaya Karo. Demikian juga dari Karo pun ada terjadi migrasi ke luar yaitu ke tetangga-tetangganya. Sebagai sebuah etnis, Etnis Karo memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Inilah etnis Karo yang sekarang dan pada dasarnya etnis Karo itu terbentuk sendiri, sehingga bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis sejarah Batak lainnya.
Etnis Simalungun sudah berdiam di Tanah Simalungun sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Simalungun yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian terjadi migrasi dari tetangga-tetangganya ke Tanah Simalungun, sehingga terjadi percampuran lagi dan mereka yang datang ini hidup mengikuti budaya Simalungun/Ahap Simalungun. Demikian juga dari Simalungun pun ada terjadi migrasi ke luar yaitu ke tetangga-tetangganya. Sebagai sebuah etnis, Etnis Simalungun memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Inilah etnis Simalungun yang sekarang dan pada dasarnya etnis  Simalungun itu terbentuk sendiri, sehingga bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis sejarah Batak lainnya.
Turiturian dan tesis yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) yang berpangkal kepada figur Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di Samosir terbukti telah gugur dan semakin gugur. Buku-buku Sejarah Batak yang pada dasarnya merujuk kepada buku W.M. Hutagalung (1926) tadi harus ditulis ulang kembali, karena ternyata Orang Toba merupakan keturunan Raja-Raja Toba dari Humbang yang diperkirakan hidup sekitar 6.500 tahun lalu. Etnis Karo juga adalah keturunan Raja-Raja Karo dan Etnis Simalungun adalah keturunan Raja-Raja Simalungun yang diperkirakan sama masa hidupnya dengan Raja-Raja Toba, yang setidak-tidaknya 5.000 tahun lebih dulu dari Si Raja Batak, sehingga mereka bukan berasal dari Sianjur Mulamula dan bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali. Dengan demikian, Belanda melalui W.M. Hutagalung selama ini hanya berusaha mendirikan menara di atas pasir dan menara itu telah rubuh seiring dengan pengungkapan fakta-fakta di atas. Sejarah peradaban yang dirusak oleh Belanda melalui W.M. Hutagalung ini harus ditulis ulang kembali. ***


(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
















Friday, December 11, 2015

RUNTUHNYA MITOS SI RAJA BATAK - 2: Raja-Raja Karo & Raja-Raja Toba vs Si Raja Batak

SERI MENGUBUR MITOS (18)


RUNTUHNYA MITOS SI RAJA BATAK - 2
Raja-Raja Karo & Raja-Raja Toba vs Si Raja Batak
Oleh: Edward Simanungkalit *


Raja-Raja Karo
            Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak, yang sudah malang-melintang selama 35 tahun melakukan pelelitian arkeologi prasejarah di Indonesia ini sudah menulis lebih dari 150 karya tulis yang telah dipublikasikan. Doktor prasejarah lulusan dari Perancis ini, selain sebagai Professor Riset di Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dia juga   Peneliti dan Direktur dari Center for Prehistoric and Austronesian Studies (2006 - sekarang). Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahwa ras Australomelanesoid  telah lebih dulu datang ke Sumatera pada masa Mesolitik yaitu 10.000 - 6.000 tahun lalu dan mereka yang pertama datang setelah Sundaland tenggelam. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari Kamboja, Vietnam, dan Khmer, sedang  penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini  dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Sedang pada masa sejarah, orang-orang India Selatan datang lagi ke Sumatera pada sekitar abad ke-2 dan ke-3 Masehi, sehingga terjadi juga pengaruh India Selatan terhadap Karo, Pakpak, Simalungun, dan Mandailing.
          Penelitian arkeologi dengan melakukan ekskavasi telah dilakukan oleh P.V. van Stein Callenfels di Deli Serdang dekat Medan (1925), H.M.E. Schurman di Langkat dekat Binjai (1927), Kupper di Langsa (1930), Edward MacKinnon di DAS Wampu (1973, 1976, 1978), Harry Truman Simanjuntak & Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan di Aceh Tengah (2011) dan di Bener Meriah, Aceh (2012). Temuan fosil di Loyang Mandale, Aceh Tengah diperkirakan berusia 8.430 tahun Penelitian arkeologi dengan melakukan ekskavasi ini telah menemukan kapak Sumatera (Sumatralith) yang terkenal itu dan menemukan bahwa ras australomelanesoid telah datang melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara ini pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.
          Berdasarkan fosil yang ditemukan di Loyang Mandale, Aceh Tengah (Gayo) yang berusia 7.400 tahun pada waktu itu (sedang temuan terbaru 8.430 tahun), maka dilakukan
tes DNA terhadap fosil yang ditemukan dan sampel darah 300 lebih siswa/i Orang Gayo di Takengon. DR. Safarina G. Malik dari Eijkman Institute menyatakan, bahwa mereka itu adalah keturunan dari fosil tadi dan kekerabatan genetik antara populasi Gayo dengan Karo sangat dekat. Hal ini dikarenakan Orang Karo yang berada di dekat penelitian arkeologi tadi merupakan keturunan dari ras Australomelanesoid, yang penulis sebutkan dalam tulisan ini sebagai Raja-Raja Karo, yang datang pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu. Mereka ini juga yang datang ke Humbang menjadi Raja-Raja Toba dan sampai ke selatan Sumatera. Itu sebabnya hasil tes DNA Orang Minangkabau, Orang Riau, dan Orang Melayu juga menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan mereka ini. Semuanya ini cocok dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. DR. Harry Truman sebelumnya.

 Raja-Raja Toba
Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong, yang sekarang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba dan Bernard K. Maloney sendiri sudah menulis beberapa buku tentang hal ini.

Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang. Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan nama  Raja-Raja Toba, karena hanya menurunkan Orang Toba. Jadi, Raja-Raja Toba bukan satu orang figur, tetapi lebih dari satu orang atau banyak orang dan mereka itu yang menurunkan Orang Toba terbukti dari DNA-nya (2015:31-35).

Si Raja Batak
           Selama ini Si Raja Batak disebut-sebut adalah nenek-moyang Suku Batak. Si Raja Batak disebutkan nama kampungnya di Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, yang sekarang berada di daerah Kabupaten Samosir. Berdasarkan mitologi seperti yang ditulis oleh W.M. Hutagalung,  dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni
Bangso Batak” (1926), bahwa Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh. Berbagai tulisan maupun buku-buku sejarah “Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula. Walaupun ada versi-versi asal-usul lain, tetapi pada dasarnya Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula yang disebut  merupakan kampung awal Bangso Batak (2015:1-11).
          Para penulis “Sejarah Batak” tadi menyebutkan bahwa keturunan Si Raja Batak pergi menyebar dan membentuk Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Secara khusus, W.M. Hutagalung (1926) menulis tarombo di mana marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing merupakan keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba. Dengan demikian, selain keturunan Si Raja Batak, maka seluruh marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing itu adalah keturunan Batak Toba juga yang kesemuanya disebut Bangso Batak. Sebelum W.M. Hutagalung menulis bukunya, maka konon kabarnya sudah ada dibuat tarombo Si Raja Batak dalam bentuk lukisan yang konon juga kabarnya ditemukan di dalam desertasi Ronvilk sebagai lampiran. Memang masih ada buku-buku yang menguraikan tentang marga-marga bahkan ada yang memasukkan Nias sebagai sub-etnik Batak. Akan tetapi, buku W.M. Hutagalung (1926) yang paling menarik, karena paling laris manis, sehingga paling banyak dibaca oleh masyarakat dan tentulah  dapat diperkirakan pengaruhnya demikian luas. Setelah Bibel, Buku Ende, dan Almanak Gereja, sepertinya buku inilah yang paling banyak dibeli masyarakat terutama masyarakat Toba.
          Pada tebing bukit di Sianjur Mulamula, Samosir ada dibuat tulisan: “PUSUK BUHIT – SIANJUR MULAMULA – MULA NI HALAK BATAK – 5 SUKU: BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAPPAK, BATAK SIMALUNGUN”. Selanjutnya, Monumen
Pintu Gerbang Tomok memuat tulisan: BATAK TOBA, BATAK SIMALUNGUN, BATAK MANDAILING, BATAK ANGKOLA, BATAK PAKPAK, BATAK KARO. Sementara dalam website Pemkab Samosir, tentang Si Raja Batak ini ditulis sebagai berikut: “Si Raja Batak, yang tinggal di Kaki Gunung Pusuk Buhit mempunyai dua putra, yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon. Kemudian nama dua putra ini menjadi nama dari dua kelompok besar marga Bangso Batak, yaitu Lontung dan Sumba. Dari kedua kelompok marga ini lahirlah marga-marga orang Batak, yang saat ini sudah hampir 500 marga. Sampai saat ini orang Batak mempercayai bahwa asal mula Bangso Batak ada di Pusuk Buhit Sianjur Mulamula.” (www.samosirkab.go.id).
          Kemudian mengenai masa hidup Si Raja Batak ini, maka dikemukakan beberapa pihak sebagai berikut:
Richard Sinaga, dalam bukunya "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" (1997) mengemukakan bahwa masa hidup Si Raja Batak kira-kira pada tahun 1200 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Batara Sangti Simanjuntak, dalam bukunya berjudul “Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak di Tanah Batak baru ada pada tahun 1305 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Kondar Situmorang, dalam Harian Sinar Indonesia Baru terbitan tanggal 26 September 1987 dan tanggal 03 Oktober 1987 serta tanggal 24 Oktober 1987, dengan judul “Menapak Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada pada tahun 1475 Masehi.
Sarman P. Sagala, dalam website Pemkab Samosir mengatakan, bahwa Si Raja Batak hidup pada tahun 1200 atau awal abad ke-13 (http://dishubkominfo.samosirkab.go.id/).

Ketut Wiradnyana, arkeolog Balai Arkeologi Medan yang telah melakukan penelitian arkeologi di Samosir, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengatakan bahwa  orang Batak pertama di Sianjurmulamula dan mereka telah bermukim di sana sejak 600-1000 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si  Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Demikianlah telah diuraikan di atas tentang masa hidup Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan tadi keseluruhannya berkisar antara 500-1000 tahun lalu atau tidak lebih dari 1000 tahun.

Sejarah Harus Ditulis Ulang
        Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Si Raja Batak itu disebutkan menurunkan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Oleh karena namanya Si Raja Batak, makanya keturunannya menyandang kata “Batak” juga seperti halnya marga. Seperti itulah pemahaman di Toba, yang mereka yakini bahwa semua yang disebutkan tadi menyebar dari Sianjur Mulamula, sehingga bila ada pihak yang mengatakan bahwa mereka “bukan Batak”, maka itu dipahami sebagai mendurhaka, karena dianggap menyangkal leluhur.Demikianlah pemahaman di Toba, sehingga membuat mereka “tersinggung” terhadap pihak-pihak tadi yang mengatakan “bukan Batak”, karena menganggap Si Raja Batak mempunyai hubungan genealogis dengan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. "Ketersinggungan" ini mendorong oknum-oknum tertentu membentuk barisan "pahlawan" Si Raja Batak di Facebook yang siap melawan siapa pun berdebat termasuk berusaha memblokir akun orang-orang yang dianggap berseberangan. "Pahlawan-pahlawan" Si Raja Batak ini siap berjuang mati-matian mempertahankan kehormatan dan supremasi Si Raja Batak serta supremasi Toba di atas etnis lainnya berdasarkan tarombo Si Raja Batak dan tak jarang juga sampai melecehkan etnis lain. Sungguh arogansi yang keterlaluan! 
       Telah diuraikan di atas bahwa jumlah marga-marga dari Bangso Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak sekitar hampir 500 marga dari Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing (termasuk Angkola). Jadi, berdasarkan uraian tadi, maka Tano Toba, Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah Simalungun, dan Tanah Mandailing sebelumnya dianggap kosong. Kemudian setelah Si Raja Batak datang ke Sianjur Mulamula dan keturunannya mulai berkembang barulahlah mereka menyebar ke daerah-daerah tersebut, maka terbentuklah Bangso Batak seperti yang disebutkan tadi. Pertanyaannya, benarkah masing-masing daerah ini adalah tanah kosong yang belum didiami oleh manusia sebelum keturunan Si Raja Batak datang dan mendiami tanah kosong tersebut? Tentu tidak demikian, karena sudah banyak manusia datang ke seluruh daerah di Sumatera Utara sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir.  
          Raja-Raja Karo dan Raja-Raja Toba lebih dulu berdiam di Sumatera Utara yang datang pada masa Mesolitik, sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu (2015:41-42), sedang masa hidup Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula itu paling lama 1.000 tahun lalu. Dengan demikian, Si Raja Batak adalah pendatang baru di Sianjur Mulamula yang kedatangannya memiliki selisih waktu setidaknya 5.000 tahun lebih dulu Raja-Raja Karo dan Raja-Raja Toba. Itu sebabnya dapat dipastikan bahwa Orang Karo sama sekali bukanlah keturunan Si Raja Batak, dan bukan berasal dari Sianjur Mulamula. Kalaupun terjadi migrasi marga-marga tertentu dari Toba ke daerah Karo, maka hal itu bukan berarti menjadikan etnis Karo berasal dari Toba. Kalaupun W.M. Hutagalung dan penulis-penulis Sejarah Batak lain menyebutkan dan mengklaim bahwa semua marga-marga Karo berasal dari Toba sebagai keturunan Si Raja Batak, maka hal itu jelas tidak sesuai dengan fakta. Etnis Karo (negrito-austroasiatik-austronesia-dravidian) sudah ada berdiam di Tanah Karo sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Karo yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian terjadi migrasi dari tetangga-tetangganya ke Tanah Karo, sehingga terjadi percampuran lagi dan mereka yang datang ini hidup mengikuti budaya Karo. Demikian juga dari Karo pun ada terjadi migrasi ke luar yaitu ke tetangga-tetangganya. Inilah etnis Karo yang sekarang dan pada dasarnya etnis Karo itu terbentuk sendiri, sehingga bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis Sejarah Batak lainnya.
Turiturian dan tesis yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) yang berpangkal kepada figur Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Samosir terbukti telah gugur dan semakin gugur. Buku-buku Sejarah Batak yang pada dasarnya merujuk kepada buku W.M. Hutagalung (1926) tadi harus ditulis ulang kembali, karena ternyata Orang Toba merupakan keturunan Raja-Raja Toba dari Humbang yang diperkirakan hidup sekitar 6.500 tahun lalu. Orang Karo juga adalah keturunan Raja-Raja Karo yang diperkirakan sama masa hidupnya dengan Raja-Raja Toba, yang setidak-tidaknya 5.000 tahun lebih dulu dari Si Raja Batak, sehingga mereka bukan berasal dari Sianjur Mulamula dan bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali. Dengan demikian, Belanda melalui W.M. Hutagalung selama ini hanya berusaha mendirikan menara di atas pasir dan menara itu telah rubuh seiring dengan pengungkapan fakta-fakta di atas. Sejarah yang telah dirusak oleh Belanda melalui W.M. Hutagalung ini harus ditulis ulang kembali. ***



(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
















Saturday, December 5, 2015

DAIRI PUSAKA: Army School di Panggung Musik Sidikalang

DAIRI PUSAKA
Army School di Panggung Musik Sidikalang
Oleh: Edward Simanungkalit

Pagi itu ketika sedang sarapan, penulis dikejutkan oleh sebuah lagu yang distel oleh keponakan di komputernya yang memiliki loudspeaker besar. Lagu yang sudah diupload di 4shared itu terdengar menghentak-hentak seperti hendak mendobrak sesuatu dan seperti hendak menyadarkan masyarakat banyak. Setelah lagunya diulang kembali, maka terdengar dari awal yang liriknya seperti berikut:

Di sana aku lahir dan besar
Dibuai janji-janji melulu
Generasi selalu yang utama
Walau kami tetap pengangguran

Dairi, Dairi …
Katanya penghasil kopi
Dairi, Dairi …
Nyatanya kami pengangguran

Ibu dan bapak ada di sana
Ajari kami gak nyuri duit
Sudah jujur kok malah sengsara
Kaum koruptor semakin menjamur

Dairi, Dairi …
Katanya penghasil kopi
Dairi, Dairi …
Kumpulan tikus-tikus busuk

Dairi tempat kami bermain
Tempat kami berbagi rasa
Dairi tempat kami lahir
Tempat kami menjadi bodoh
Dairi tempat kami bernyanyi
Dengan lagu, lagu sendiri
Dairi tempat kami bermain
Tempat kami berbagi rasa

Dairi, Dairi kok selalu ketinggalan zaman

          Penulis terhenyak mendengar lagu yang diberi judul "Dairi Pusaka" ini dengan liriknya yang membuat terasa ikut tertampar oleh kata demi kata yang demikian lugas tanpa tedeng aling-aling. Ah, dasar anak muda membuat lagu kayak begitu, melupakan penghalusan bahasa dan miskin dengan eufenisme. Jangan-jangan anak-anak muda ini menjadi keblinger oleh karena dididik lingkungannya sendiri yang demikian semrawut. Padahal, Dairi yang beribukotakan Sidikalang ini lumayan jauh juga dari ibukota provinsinya, sehingga relatif jauh dari pusat-pusat kemajuan zaman.
          Memang mudah untuk menyalah-nyalahkan anak-anak muda yang bernyanyi ini dengan group band yang mereka berikan nama “Army School”. Padahal, mereka sedang memprotes kenakalan orang-orangtua dan mereka sedang menunjuk-nunjuk orang-orangtua yang memberi nasehat agar tidak mencuri uang, tetapi koruptor makin menjamur yang membentuk kumpulan tikus-tikus busuk, kata mereka. Para remaja dan anak muda tentu bukan koruptor, tetapi para orangtua yang berada di dekat saluran-saluran anggaranlah yang melakukannya serta mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Anak-anak muda Army School melihat itu semuanya yang telanjang dipertontonkan orang-orangtua kepada mereka, sehingga menjadi bahan bisik-bisik di tengah-tengah masyarakat yang mereka dengar. Belum lagi orang-orangtua yang selingkuh yang menjadi bahan bisik-bisik di masyarakat yang mereka dengar juga. Sementara kopi Sidikalang kini hanya tinggal kenangan dan minyak nilam sudah menjadi dongeng dari negeri antah-berantah.
          Tahun 2013 lalu, jalan-jalan di banyak daerah di Dairi terlihat begitu rusaknya dan walaupun ada yang mendapatkan perbaikan, tetapi tetap juga masih banyak yang rusak. Belum lagi hutan di Dairi sudah terlihat gundul membuat hawa terasa mulai panas, padahal dulu setiap pagi minyak goreng mengeras dengan warna putih kekuning-kuningan. Sementara para pegawai banyak yang takut mengalami perpindahan yang biasa disebut “dibuang” ke daerah terpencil, sedangkan pelayanan kesehatan melalui rumah sakit daerah demikian memprihatinkan yang telah menimbulkan banyak protes selama ini. Hal ini ditambah dengan air bersih yang sering kotor selama lebih dari 40 tahun sejak ada PAM di kota Sidikalang, sehingga pastilah air bersih yang tak bersih ini merusak kesehatan masyarakat Sidikalang yang meminumnya.  Berbagai permasalahan lain mereka lihat dan dengar di tengah-tengah masyarakat menempatkan mereka hanya menjadi penonton dan pendengar. Semua itu mereka tahu, semua itu mereka lihat, dan semua itu mereka dengar dan sekarang mereka menceritakannya di dalam lagu ini. Oleh karena itu, mereka sesungguhnya merupakan nurani masyarakat yang masih belum terkontaminasi oleh berbagai kecemaran di masyarakat tadi. Dan, mereka menyampaikan protes melalui lagu atas kenakalan orang-orangtua.

Army School
          Grup band ini berdiri pada tahun 2003 yang terlahir dari sebuah komunitas kecil di kota Sidikalang bernama SUC (Sidikalang Underground Community) dan grup band itu diberi nama “Army School”. Adapun personilnya terdiri dari: William Adiaksa pada gitar dan vocal, Ayie Sitanggang pada gitar bass dan vocal, Goms Sihombing pada drum. Komunitas anak-anak muda ini menyimpan kegelisahan yang meronta di tanah kelahiran mereka sendiri. Tanah kelahiran mereka ini tak kunjung mengalami perkembangan dan kemajuan di hampir segala bidang.
          Perjalanan grup band ini sudah melalui jalan yang berliku-liku dan pasang-surut di
mana sudah pernah mengalami pergantian personil dan sudah banyak juga memiliki pengalaman panggung sudah lumayan banyak. Adapun vokalis pertama grup band ini ialah Raya Manik, yang sudah merupakan ikon punk Sidikalang. Namun, Raya Manik meninggal dunia pada tahun 2006. Grup band ini sempat mengalami kebingunan dengan kehilangan vokalis yang merupakan pentolan dari Army School. Berat bagi Army School dengan kehilangan bintang vokalisnya, Raya Manik. Sementara grup band ini tidak jarang mendapat cemoohan dan hinaan di tengah-tengah masyarakat, karena mengusung musik punk hingga sempat dicap sebagai sekumpulan pemuda berandal yang tidak punya masa depan.
William Adiaksa, gitaris band ini, bercerita: “Banyak pengalaman pahit yang kami rasakan ketika memperjuangkan eksistensi kami dalam dunia musik di kota kami. Kami sempat diboikot di beberapa studio musik  yang ada di Dairi dan tidak mengizinkan kami latihan. Begitu juga di acara-acara musik yang ada di kota kami, Sidikalang. Tidak semua yang  mau menerima kehadiran kami, entah apa itu alasannya. Kami hanya pemuda yang ingin mengekspresikan dan menuangkan ide kami dalam bermusik secara jujur.”  Demikian diceritakan Willy, demikian dia biasa dipanggil, tentang pahit-getirnya pengalaman mereka selama ini. Willy berhasil diwawancarai setelah mereka tampil di panggung pada acara gebyar musik “Cetak Biru BANGGA 2015” yang dilaksanakan di GOR Sidikalang. Grup band mereka, Army School, merupakan salah satu dari 15 grup band yang turut meramaikan acara gebyar musik ini dengan salah satu lagunya merupakan andalan mereka yaitu DAIRI PUSAKA.
Sidikalang merupakan kota “kecil”, tetapi memiliki dinamika demikian hebat yang terlihat dari banyaknya grup band anak-anak muda di kota ini. Kota Sidikalang memiliki 20 grup band lebih dengan berbagai aliran musik, seperti: pop, rock, reggae, latin, punk, akustik pop, dll. Hebatnya, grup band anak-anak muda kota Sidikalang ini tidak ada yang mengkhususkan diri pada musik lokal yang menyanyikan lagu-lagu lokal. Anak-anak muda di kota Sidikalang sebelum era reformasi berbeda perkembangannya dengan setelah reformasi yang diikuti oleh semakin besar dan padatnya kota Sidikalang. Perkembangan kota Sidikalang yang semakin besar jumlah penduduknya turut menyumbang kepada banyaknya grup band di kota ini. Selain pengaruh reformasi, semakin mengglobalnya dunia ini terutama perkembangan informasi dan komunikasi turut juga mempengaruhi anak-anak muda ini. Oleh karena itu, kota Sidikalang yang dulu kecil dan tertutup itu di tahun 1970-an berubah sedemikian drastis, sehingga dapat melahirkan grup band hingga lebih dari duapuluhan grup band banyaknya. Hal inilah yang melahirkan kesenjangan antara anak-anak muda yang dinamis yang terlihat dari perkembangan musik dan grup band tadi dengan orang-orangtua yang berada di lapisan atas seperti di pemerintahan/birokrasi, politik, ekonomi, adat dan budaya. Orang-orangtua yang berada di lapisan atas dari keempat kalangan ini sepertinya sudah ditakdirkan untuk berbenturan dengan anak muda dari grup band Army School ini.
Lagu Dairi Pusaka
          Pada tahun 2003, lagu Dairi Pusaka tercipta yang diciptakan bersama oleh Pak Uwech (Purba) dan Raya Manik. Lagu ini menceritakan gambaran tanah kelahiran mereka, yaitu Kabupaten Dairi. Lirik lagu ditulis berdasarkan dengan apa yang mereka rasakan mengenai kondisi Dairi dan mereka berusaha secara jujur menuliskannya di dalam lirik lagu tersebut. “Lagu ini menjadi ancaman bagi orang orang yang terganggu kepentingannya. Dan sebaliknya lagu ini menjadi suara-suara perubahan bagi orang yang mengalami kegelisahan.  Lagu ini merupakan hasil karya kami pertama dan menjadi lagu wajib  di setiap kesempatan manggung pada acara musik. Lagu ini dimainkan dengan genre punk rock yang cukup liar dan brutal. Kami memilih genre ini karena sesuai dengan kemampuan dalam bermain musik kami yang “paspasan” dan juga sesuai dengan karakter kami yang agak “jogal” (keras kepala, pen.) dan jujur melihat suatu keadaan. Kami berpandangan bahwa berkarya itu bukan melulu menceritakan tentang keindahan semu tanpa melihat realitas yang sebenarnya.”, ungkap Willy tentang lagu Dairi Pusaka yang merupakan lagu Army School, yang menjadi mascot bagi group band ini.
          Sehubungan dengan lagu Dairi Pusaka dan lagu-lagu lainnya yang mereka nyanyikan di saat manggung, maka banyak pengalaman senang dan sedih yang mereka alami di waktu manggung pada acara-acara musik. Bahkan suatu kali pada tahun 2004, mereka mendapat pengawalan dari militer pada saat manggung dalam acara ulang tahun dari salah satu instansi. Sebelum mereka naik panggung, acara diisi oleh band-band mainstream dan mereka membawakan lagunya masing-masing sementara keadaan masih normal dan biasa-biasa saja sebagaimana biasanya acara musik. Namun, ketika group band ini mendapat giliran naik ke panggung, suasana mengalami perubahan, karena ruang kosong yang ada di bawah panggung disterilkan dan tidak bisa ada yang “pogo” seperti  biasanya mereka memainkan musik dan bernyanyi. Semuanya tampak kaku dan dijaga ketat oleh aparat dengan alasan menghargai para penguasa. Para anggota grup band ini sendiri merasa takut dan grogi bermain di atas panggung, karena baru pertama kali mereka mengalami hal seperti itu.
          Beberapa bulan setelah peristiwa tadi, mereka mendapat kesempatan bermain di panggung pada acara ulang tahun salah satu studio musik. Seperti biasanya mereka bermain dengan gayanya, tetapi tidak mendapat sambutan baik, malahan mereka tidak diperbolehkan lagi bermain musik pada acara-acara berikutnya. Dalam kesempatan lain pada tahun 2005, pernah juga mereka tidak diperbolehkan masuk dan bermain pada acara Pentas Seni salah satu sekolah yang ada di kota Sidikalang. Adapun alasan yang disampaikan ialah bahwa musik mereka katanya tidak mendidik dan dianggap sebagai sekumpulan preman yang akan membuat onar pada acara tersebut. Tahun 2011, tepatnya pada Velentine Day, mereka diundang bermain dalam acara musik yang diadakan di GOR Sidikalang. Ada kejadian aneh pada waktu itu, bahwa mereka diingatkan panitia agar jangan berorasi sebelum bermain di panggung, Namun, mereka ngotot dan tetap berorasi seperti biasanya, bahkan lebih pedas dan tajam isi orasinya. Mereka pun merasa sangat senang sekali, karena baru kali itu mereka manggung dengan mendapat bayaran sebesar
Rp 300.000,-
          Pada tahun 2013 mereka menerima undangan untuk bermain pada acara ulang tahun Kabupaten Dairi di tengah-tengah para pejabat. Mereka pun bermain di atas panggung dengan membawakan lagu “Dairi Pusaka” disertai suara lantang yang diawali sedikit orasi yang mengkritisi keadaan Dairi pada saat itu. Mendengar semuanya itu terlihat ekspresi para pejabat yang mendengarnya berubah sedikit agak memerah wajahnya dan agak salah tingkah. Pada akhir tahun 2014, mereka tampil juga di panggung pada acara musik malam Tahun Baru dan ternyata ada orang yang memperhatikan mereka bermain musik di panggung. Beberapa minggu berselang mereka bertemu lagi dengan orang tersebut dan mengatakan bahwa dia tertarik dengan music mereka dan gaya bermain mereka di panggung. Hal ini berada di luar dugaan mereka, karena selama ini tidak ada yang tertarik dengan musik mereka dan gaya mereka bermain musik di panggung. Orang itu Zoe Padang, bekas drummer dari grup band “Summer Blues”, salah satu band indie yang besar namanya pada dekade tahun 1990-an di kota Medan. Zoe Padang pun mengajak mereka untuk merekam lagu Dairi Pusaka yang diupload di 4shared.com.
          Pada tahun 2015, di bulan Pebruari bertepatan pada Valentine Day, mereka kembali menerima undangan untuk menjadi bintang tamu dalam sebuah acara musik rock yang ada di Sidikalang. Pada acara tersebut hadir beberapa pejabat daerah yang turut menonton. Seperti biasanya sebelum bermain, mereka melakukan orasi yang turut juga didengar para pejabat tersebut. Setelah mendengar orasi tersebut para pejabat itupun keluar ruangan meninggalkan acara. Demikian pengalaman mereka yang kadangkala getir, menyedihkan, dan banyak kondisi yang membuat hati mereka tidak nyaman. Mereka memberontak terhadap kondisi masyarakat yang membuat mereka tidak gembira dan mereka menginginkan perubahan masyarakat kea rah yang lebih baik dan Dairi yang lebih maju.
Penampilan Army School terakhir, yaitu di acara gebyar musik: “Cetak Biru BANGGA 2015” yang berlangsung pada hari Sabtu, 28 Nopember 2015 di GOR Sidikalang. Acara gebyar musik diikuti oleh 15 grup band asal Sidikalang meskipun masih ada beberapa grup band Sidikalang yang absen dari acara gebyar ini. Panitia memberikan keleluasaan kepada mereka dengan menyanyikan sebanyak 6 lagu dan kebanyakan lagu yang mereka bawakan adalah lagu ciptaan mereka sendiri: Punk Rock Show, Hey Sahabat, Kinantan Jiwaku, KKK Took My Baby Away (Ramones), He Was Punk Rocke, dan tak ketinggalan lagu Dairi Pusaka. Penampilan mereka kali ini lebih bagus dari penampilan mereka sebelum-sebelumnya. Army School semakin meningkat. Sukses buat Army School!


Sidikalang, 01 Desember 2015

From Sidikalang with Love



DAIRI PUSAKA: http://www.4shared.com/mp3/IrzIowUmba/Dairi_Pusaka.html