DAIRI PUSAKA
Army School di Panggung Musik Sidikalang
Oleh: Edward Simanungkalit
Pagi
itu ketika sedang sarapan, penulis dikejutkan oleh sebuah lagu yang distel oleh
keponakan di komputernya yang memiliki loudspeaker besar. Lagu yang sudah
diupload di 4shared itu terdengar menghentak-hentak seperti hendak mendobrak
sesuatu dan seperti hendak menyadarkan masyarakat banyak. Setelah lagunya
diulang kembali, maka terdengar dari awal yang liriknya seperti berikut:
Di sana aku
lahir dan besar
Dibuai
janji-janji melulu
Generasi
selalu yang utama
Walau kami
tetap pengangguran
Dairi,
Dairi …
Katanya
penghasil kopi
Dairi,
Dairi …
Nyatanya
kami pengangguran
Ibu dan
bapak ada di sana
Ajari kami
gak nyuri duit
Sudah jujur
kok malah sengsara
Kaum
koruptor semakin menjamur
Dairi,
Dairi …
Katanya
penghasil kopi
Dairi,
Dairi …
Kumpulan
tikus-tikus busuk
Dairi
tempat kami bermain
Tempat
kami berbagi rasa
Dairi
tempat kami lahir
Tempat
kami menjadi bodoh
Dairi
tempat kami bernyanyi
Dengan
lagu, lagu sendiri
Dairi
tempat kami bermain
Tempat
kami berbagi rasa
Dairi,
Dairi kok selalu ketinggalan zaman
Penulis terhenyak mendengar lagu yang diberi judul "Dairi Pusaka" ini
dengan liriknya yang membuat terasa ikut tertampar oleh kata demi kata yang
demikian lugas tanpa tedeng aling-aling. Ah, dasar anak muda membuat lagu kayak
begitu, melupakan penghalusan bahasa dan miskin dengan eufenisme. Jangan-jangan
anak-anak muda ini menjadi keblinger oleh karena dididik lingkungannya sendiri yang demikian
semrawut. Padahal, Dairi yang beribukotakan Sidikalang ini lumayan jauh juga
dari ibukota provinsinya, sehingga relatif jauh dari pusat-pusat kemajuan
zaman.
Memang mudah untuk menyalah-nyalahkan
anak-anak muda yang bernyanyi ini dengan group band yang mereka berikan nama
“Army School”. Padahal, mereka sedang memprotes kenakalan orang-orangtua dan
mereka sedang menunjuk-nunjuk orang-orangtua yang memberi nasehat agar tidak
mencuri uang, tetapi koruptor makin menjamur yang membentuk kumpulan
tikus-tikus busuk, kata mereka. Para remaja dan anak muda tentu bukan koruptor,
tetapi para orangtua yang berada di dekat saluran-saluran anggaranlah yang
melakukannya serta mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Anak-anak muda
Army School melihat itu semuanya yang telanjang dipertontonkan orang-orangtua
kepada mereka, sehingga menjadi bahan bisik-bisik di tengah-tengah masyarakat
yang mereka dengar. Belum lagi orang-orangtua yang selingkuh yang menjadi bahan
bisik-bisik di masyarakat yang mereka dengar juga. Sementara kopi Sidikalang
kini hanya tinggal kenangan dan minyak nilam sudah menjadi dongeng dari negeri
antah-berantah.
Tahun 2013 lalu, jalan-jalan di banyak
daerah di Dairi terlihat begitu rusaknya dan walaupun ada yang mendapatkan
perbaikan, tetapi tetap juga masih banyak yang rusak. Belum lagi hutan di Dairi sudah terlihat gundul membuat hawa terasa mulai panas, padahal dulu setiap pagi minyak goreng mengeras dengan warna putih kekuning-kuningan. Sementara para pegawai
banyak yang takut mengalami perpindahan yang biasa disebut “dibuang” ke daerah
terpencil, sedangkan pelayanan kesehatan melalui rumah sakit daerah demikian
memprihatinkan yang telah menimbulkan banyak protes selama ini. Hal ini ditambah dengan air bersih yang sering kotor selama lebih dari 40 tahun sejak ada PAM di kota Sidikalang, sehingga pastilah air bersih yang tak bersih ini merusak kesehatan masyarakat Sidikalang yang meminumnya. Berbagai permasalahan
lain mereka lihat dan dengar di tengah-tengah masyarakat menempatkan mereka
hanya menjadi penonton dan pendengar. Semua itu mereka tahu, semua itu mereka
lihat, dan semua itu mereka dengar dan sekarang mereka menceritakannya di dalam
lagu ini. Oleh karena itu, mereka sesungguhnya merupakan nurani masyarakat yang
masih belum terkontaminasi oleh berbagai kecemaran di masyarakat tadi. Dan,
mereka menyampaikan protes melalui lagu atas kenakalan orang-orangtua.
Army School
Grup band ini berdiri pada tahun 2003
yang terlahir dari sebuah komunitas kecil di kota Sidikalang bernama SUC
(Sidikalang Underground Community) dan grup band itu diberi nama “Army School”. Adapun personilnya
terdiri dari: William Adiaksa pada
gitar dan vocal, Ayie Sitanggang
pada gitar bass dan vocal, Goms
Sihombing pada drum. Komunitas anak-anak muda ini menyimpan kegelisahan
yang meronta di tanah kelahiran mereka sendiri. Tanah kelahiran mereka ini tak
kunjung mengalami perkembangan dan kemajuan di hampir segala bidang.
Perjalanan grup band ini sudah melalui
jalan yang berliku-liku dan pasang-surut di
mana sudah pernah mengalami pergantian personil dan sudah banyak juga memiliki pengalaman panggung sudah lumayan banyak. Adapun vokalis pertama grup band ini ialah Raya Manik, yang sudah merupakan ikon punk Sidikalang. Namun, Raya Manik meninggal dunia pada tahun 2006. Grup band ini sempat mengalami kebingunan dengan kehilangan vokalis yang merupakan pentolan dari Army School. Berat bagi Army School dengan kehilangan bintang vokalisnya, Raya Manik. Sementara grup band ini tidak jarang mendapat cemoohan dan hinaan di tengah-tengah masyarakat, karena mengusung musik punk hingga sempat dicap sebagai sekumpulan pemuda berandal yang tidak punya masa depan.
mana sudah pernah mengalami pergantian personil dan sudah banyak juga memiliki pengalaman panggung sudah lumayan banyak. Adapun vokalis pertama grup band ini ialah Raya Manik, yang sudah merupakan ikon punk Sidikalang. Namun, Raya Manik meninggal dunia pada tahun 2006. Grup band ini sempat mengalami kebingunan dengan kehilangan vokalis yang merupakan pentolan dari Army School. Berat bagi Army School dengan kehilangan bintang vokalisnya, Raya Manik. Sementara grup band ini tidak jarang mendapat cemoohan dan hinaan di tengah-tengah masyarakat, karena mengusung musik punk hingga sempat dicap sebagai sekumpulan pemuda berandal yang tidak punya masa depan.
William
Adiaksa, gitaris band ini, bercerita: “Banyak pengalaman pahit yang kami
rasakan ketika memperjuangkan eksistensi kami dalam dunia musik di kota kami.
Kami sempat diboikot di beberapa studio musik
yang ada di Dairi dan tidak mengizinkan kami latihan. Begitu juga di
acara-acara musik yang ada di kota kami, Sidikalang. Tidak semua yang mau menerima kehadiran kami, entah apa itu
alasannya. Kami hanya pemuda yang ingin mengekspresikan dan menuangkan ide kami
dalam bermusik secara jujur.” Demikian
diceritakan Willy, demikian dia biasa dipanggil, tentang pahit-getirnya
pengalaman mereka selama ini. Willy berhasil diwawancarai setelah mereka tampil
di panggung pada acara gebyar musik “Cetak Biru BANGGA 2015” yang dilaksanakan
di GOR Sidikalang. Grup band mereka, Army School, merupakan salah satu dari 15
grup band yang turut meramaikan acara gebyar musik ini dengan salah satu
lagunya merupakan andalan mereka yaitu DAIRI PUSAKA.
Sidikalang
merupakan kota “kecil”, tetapi memiliki dinamika demikian hebat yang terlihat
dari banyaknya grup band anak-anak muda di kota ini. Kota Sidikalang memiliki
20 grup band lebih dengan berbagai aliran musik, seperti: pop, rock, reggae,
latin, punk, akustik pop, dll. Hebatnya, grup band anak-anak muda kota
Sidikalang ini tidak ada yang mengkhususkan diri pada musik lokal yang
menyanyikan lagu-lagu lokal. Anak-anak muda di kota Sidikalang sebelum era
reformasi berbeda perkembangannya dengan setelah reformasi yang diikuti oleh semakin
besar dan padatnya kota Sidikalang. Perkembangan kota Sidikalang yang semakin
besar jumlah penduduknya turut menyumbang kepada banyaknya grup band di kota
ini. Selain pengaruh reformasi, semakin mengglobalnya dunia ini terutama
perkembangan informasi dan komunikasi turut juga mempengaruhi anak-anak muda
ini. Oleh karena itu, kota Sidikalang yang dulu kecil dan tertutup itu di tahun
1970-an berubah sedemikian drastis, sehingga dapat melahirkan grup band hingga lebih
dari duapuluhan grup band banyaknya. Hal inilah yang melahirkan kesenjangan
antara anak-anak muda yang dinamis yang terlihat dari perkembangan musik dan
grup band tadi dengan orang-orangtua yang berada di lapisan atas seperti di
pemerintahan/birokrasi, politik, ekonomi, adat dan budaya. Orang-orangtua yang
berada di lapisan atas dari keempat kalangan ini sepertinya sudah ditakdirkan
untuk berbenturan dengan anak muda dari grup band Army School ini.
Lagu Dairi Pusaka
Pada tahun 2003, lagu Dairi Pusaka
tercipta yang diciptakan bersama oleh Pak Uwech (Purba) dan Raya Manik. Lagu
ini menceritakan gambaran tanah kelahiran mereka, yaitu Kabupaten Dairi. Lirik
lagu ditulis berdasarkan dengan apa yang mereka rasakan mengenai kondisi Dairi
dan mereka berusaha secara jujur menuliskannya di dalam lirik lagu tersebut.
“Lagu ini menjadi ancaman bagi orang orang yang terganggu kepentingannya. Dan
sebaliknya lagu ini menjadi suara-suara perubahan bagi orang yang mengalami
kegelisahan. Lagu ini merupakan hasil
karya kami pertama dan menjadi lagu wajib
di setiap kesempatan manggung pada acara musik. Lagu ini dimainkan
dengan genre punk rock yang cukup liar dan brutal. Kami memilih genre ini
karena sesuai dengan kemampuan dalam bermain musik kami yang “paspasan” dan
juga sesuai dengan karakter kami yang agak “jogal” (keras kepala, pen.) dan
jujur melihat suatu keadaan. Kami berpandangan bahwa berkarya itu bukan melulu
menceritakan tentang keindahan semu tanpa melihat realitas yang sebenarnya.”,
ungkap Willy tentang lagu Dairi Pusaka yang merupakan lagu Army School, yang
menjadi mascot bagi group band ini.
Sehubungan dengan lagu Dairi Pusaka
dan lagu-lagu lainnya yang mereka nyanyikan di saat manggung, maka banyak
pengalaman senang dan sedih yang mereka alami di waktu manggung pada
acara-acara musik. Bahkan suatu kali pada tahun 2004, mereka mendapat
pengawalan dari militer pada saat manggung dalam acara ulang tahun dari salah
satu instansi. Sebelum mereka naik panggung, acara diisi oleh band-band
mainstream dan mereka membawakan lagunya masing-masing sementara keadaan masih
normal dan biasa-biasa saja sebagaimana biasanya acara musik. Namun, ketika
group band ini mendapat giliran naik ke panggung, suasana mengalami perubahan,
karena ruang kosong yang ada di bawah panggung disterilkan dan tidak bisa ada
yang “pogo” seperti biasanya mereka
memainkan musik dan bernyanyi. Semuanya tampak kaku dan dijaga ketat oleh
aparat dengan alasan menghargai para penguasa. Para anggota grup band ini
sendiri merasa takut dan grogi bermain di atas panggung, karena baru pertama
kali mereka mengalami hal seperti itu.
Beberapa bulan setelah peristiwa tadi,
mereka mendapat kesempatan bermain di panggung pada acara ulang tahun salah
satu studio musik. Seperti biasanya mereka bermain dengan gayanya, tetapi tidak
mendapat sambutan baik, malahan mereka tidak diperbolehkan lagi bermain musik
pada acara-acara berikutnya. Dalam kesempatan lain pada tahun 2005, pernah juga
mereka tidak diperbolehkan masuk dan bermain pada acara Pentas Seni salah satu
sekolah yang ada di kota Sidikalang. Adapun alasan yang disampaikan ialah bahwa
musik mereka katanya tidak mendidik dan dianggap sebagai sekumpulan preman yang
akan membuat onar pada acara tersebut. Tahun 2011, tepatnya pada Velentine Day,
mereka diundang bermain dalam acara musik yang diadakan di GOR Sidikalang. Ada
kejadian aneh pada waktu itu, bahwa mereka diingatkan panitia agar jangan
berorasi sebelum bermain di panggung, Namun, mereka ngotot dan tetap berorasi
seperti biasanya, bahkan lebih pedas dan tajam isi orasinya. Mereka pun merasa
sangat senang sekali, karena baru kali itu mereka manggung dengan mendapat
bayaran sebesar
Rp 300.000,-
Rp 300.000,-
Pada tahun 2013 mereka menerima
undangan untuk bermain pada acara ulang tahun Kabupaten Dairi di tengah-tengah
para pejabat. Mereka pun bermain di atas panggung dengan membawakan lagu “Dairi
Pusaka” disertai suara lantang yang diawali sedikit orasi yang mengkritisi
keadaan Dairi pada saat itu. Mendengar semuanya itu terlihat ekspresi para
pejabat yang mendengarnya berubah sedikit agak memerah wajahnya dan agak salah
tingkah. Pada akhir tahun 2014, mereka tampil juga di panggung pada acara musik
malam Tahun Baru dan ternyata ada orang yang memperhatikan mereka bermain musik
di panggung. Beberapa minggu berselang mereka bertemu lagi dengan orang
tersebut dan mengatakan bahwa dia tertarik dengan music mereka dan gaya bermain
mereka di panggung. Hal ini berada di luar dugaan mereka, karena selama ini
tidak ada yang tertarik dengan musik mereka dan gaya mereka bermain musik di
panggung. Orang itu Zoe Padang, bekas drummer dari grup band “Summer Blues”,
salah satu band indie yang besar namanya pada dekade tahun 1990-an di kota
Medan. Zoe Padang pun mengajak mereka untuk merekam lagu Dairi Pusaka yang
diupload di 4shared.com.
Pada tahun 2015, di bulan Pebruari bertepatan
pada Valentine Day, mereka kembali menerima undangan untuk menjadi bintang tamu
dalam sebuah acara musik rock yang ada di Sidikalang. Pada acara tersebut hadir
beberapa pejabat daerah yang turut menonton. Seperti biasanya sebelum bermain,
mereka melakukan orasi yang turut juga didengar para pejabat tersebut. Setelah
mendengar orasi tersebut para pejabat itupun keluar ruangan meninggalkan acara.
Demikian pengalaman mereka yang kadangkala getir, menyedihkan, dan banyak
kondisi yang membuat hati mereka tidak nyaman. Mereka memberontak terhadap
kondisi masyarakat yang membuat mereka tidak gembira dan mereka menginginkan
perubahan masyarakat kea rah yang lebih baik dan Dairi yang lebih maju.
Penampilan
Army School terakhir, yaitu di acara gebyar musik: “Cetak Biru BANGGA 2015” yang
berlangsung pada hari Sabtu, 28 Nopember 2015 di GOR Sidikalang. Acara gebyar musik
diikuti oleh 15 grup band asal Sidikalang meskipun masih ada beberapa grup band
Sidikalang yang absen dari acara gebyar ini. Panitia memberikan keleluasaan
kepada mereka dengan menyanyikan sebanyak 6 lagu dan kebanyakan lagu yang
mereka bawakan adalah lagu ciptaan mereka sendiri: Punk Rock Show, Hey Sahabat,
Kinantan Jiwaku, KKK Took My Baby Away (Ramones), He Was Punk Rocke, dan tak
ketinggalan lagu Dairi Pusaka. Penampilan mereka kali ini lebih bagus dari
penampilan mereka sebelum-sebelumnya. Army School semakin meningkat. Sukses
buat Army School!
Sidikalang, 01 Desember 2015
From Sidikalang with Love
DAIRI PUSAKA: http://www.4shared.com/mp3/IrzIowUmba/Dairi_Pusaka.html
No comments:
Post a Comment