Jejak Peradaban di Pagar Batu, Samosir
Ini merupakan kunjungan kedua saya ke Pagar Batu. Tujuh tahun lalu, ketika pertama kali menjejakkan kaki di sini, tempatnya tidak sebersih dan tidak seterang benderang bulan Juli yang silam. Well, sebenarnya tidak terang benderang banget, sih. Tapi yang pasti, jalan menuju ke sana sudah tidak rambaon lagi seperti dulu. Rambaon bahasa Batak yang artinya penuh semak.
Apa pasal? Rupanya selain karena situs Pagar Batu sudah resmi menjadi salah satu objek wisata Samosir, saat itu ada serombongan peneliti datang dari balai arkeologi Medan. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk memetakan serta mencari tahu seberapa tua persisnya usia situs ini.
Hariara
Jalan masuknya berada di seberang Sekolah Dasar Negeri (SDN). Saya lupa entah SDN nomor berapa sekolah tersebut. Yang jelas, ia satu-satunya SDN di daerah itu. Menyusuri jalan setapak, lapo atau kedai adalah bangunan pertama yang saya jumpai. Kemudian disusul kuburan besar bercat hijau. Semakin ke dalam, saya berjumpa dengan beberapa hariara atau pohon beringin raksasa yang berumur sekitar 200 tahun, menjulang angkuh seolah menantang alam.
Pemandangan di sekitar jalan masuk ke Pagar Batu.
Melewati kuburan besar bercat hijau.
Jalan masuk.
Bandingkan kecilnya manusia dengan tingginya hariara di belakang mereka.
Hariara.
Hariara.
Hariara. Jadi pengen bergelantungan kayak Tarzan. Auoooooo :D
Bagian akar hariara.
Pohon Enau
Pohon enau banyak saya jumpai di daerah ini. Enau adalah bahan utama tuak atau minuman beralkohol hasil fermentasi khas Batak. Tuak dari sini terkenal enak. Saya pernah mencobanya sedikit. Rasanya campuran antara pahit, asam dan manis. Lagi-lagi, saya meminumnya karena penasaran seperti apa rasanya :D. Dan karena saya bukan ahli minuman beralkohol, saya tak begitu paham entah bagaimana kriteria tuak yang enak, kurang enak, enak banget, atau kurang nggak enak banget :D.
Pohon enau.
Pokki
Selain itu ada tanaman pokki. Kayunya yang kuat, bisa digunakan sebagai bahan bangunan dan perabotan.
Daun pokki.
Punden Berundak
Oya, situs ini sendiri merupakan kompleks punden berundak dengan empat undakan yang semuanya disusun dari batu.
Batu disusun bertingkat-tingkat.
Setelah melalui tiga undakan, tibalah saya di bagian puncaknya.
Bagian puncak setelah dibersihkan.
Sarkofagus
Di puncak ini terdapat sarkofagus atau kubur pahat batu. Zaman dahulu, jenazah dimasukkan ke dalam batu ini. Tapi bukan sembarang jenazah. Biasanya hanya jenazah pemimpin atau raja.
Sarkofagus. Tempat jenazah.
Sarkofagus yang terbuka.
Si Boru Nagojong
Selain itu ada batu Si Boru Nagojong yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sarkofagus. Gojong artinya perut gembung. Kesinilah zaman dulu dibawa para tersangka yang tidak mau mengaku berbuat salah entah mencuri, berbohong serta tindakan-tindakan tidak jujur lainnya.
Ada “wajah” dipahat pada batu. Bisakah Anda melihatnya? :)
Batu Si Boru Nagojong.
Batu Si Boru Nagojong.
Tempat mencuci kaki atau tempat makan babi.
Batu Pahat “Wajah”
Selanjutnya, lagi-lagi terdapat batu besar dengan pahatan “wajah” seperti di foto berikut ini. Kali ini bisakah Anda temukan wajahnya? :)
Penjaga huta atau kampung.
“Wajah” ini dipahat pada tiga sisi batu. Zaman dahulu, mereka dipercaya sebagai penjaga huta atau kampung. Nantinya mereka diberi makan beras oleh penduduk. Berasnya dimasukkan melalui lubang kecil yang terdapat di bawah pahatan “wajah”, seperti yang tertera dalam foto di atas. Bisakah Anda melihat lubangnya? :)
“Wajah” penjaga huta/kampung dipahat pada batu.
Losung
Di atas sudah saya singgung mengenai beras. Masyarakat zaman dahulu percaya bahwa beras memiliki roh. Oleh karena itu tidak boleh sembarangan menumbuknya. Terletak menyebelah dengan batu pahatan “wajah”, terdapat batu losung atau tempat menumbuk padi berjumlah lima. Disinilah padi-padi pada zaman itu ditumbuk.
Lima losung.
Pamelean
Masyarakat pada zaman itu belum mengenal Tuhan. Namun mereka jelas mengakui bahwa ada kekuatan lain yang bukan manusia, yang lebih besar, lebih tinggi, lebih kuat serta lebih berkuasa dari mereka.
Foto di bawah ini, dulunya adalah tempat pemujaan atau pamelean kepada pribadi yang dianggap lebih tinggi, lebih kuat atau lebih berkuasa tadi.
Tempat pamelean atau pemujaan.
Gua
Kemudian terdapat gua di sini. Gua yang katanya tembus hingga ke Tanjungan. Ceritanya pernah ada lima ekor anjing dilepas masuk ke gua. Sebagian kembali, sebagian lagi tidak. Yang tak kembali katanya dimakan oleh naga yang berada di dalam gua. Padahal kemungkinan besar mereka mati di dalam karena kehabisan oksigen.
Pintu gua yang katanya tembus sampai ke Tanjungan. Pintunya semakin lama semakin sempit akibat gempa.
Parik Debata
Akhirnya tibalah saya di Parik Debata. Batu tunggal raksasa, yang menurut saya magnetnya Pagar Batu. Parik artinya dinding yang terbuat dari tanah atau batu. Debata artinya Tuhan. Jika diterjemahkan, Parik Debata adalah: dinding Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang bisa membuat dinding semacam ini.
Saya merinding ketika pertama kali melihat batu ini. Dan ternyata, di kali ke dua saya menyaksikannya, saya masih merinding juga. Takjub rasanya. Betapa kecilnya saya ketika berdiri di hadapan batu yang berukuran panjang sekitar 16 meter dan bertinggi sekitar 9 meter ini.
Menurut teori orang setempat, batu raksasa ini berasal dari muntahan gunung Toba yang meletus ribuan tahun lalu. Jadi ketika meletus, batu ini terlempar ke Pagar Batu.
Parik Debata.
Tim arkeolog Medan sedang menggali.
Tim arkeolog Medan.
Beberapa hasil galian.
Kerbau di balik semak. Kalau yang ini bukan hasil galian, lho ya :D
Bontean
Setelah mengobrol sebentar, saya melanjutkan perjalanan ke tempat bontean. Dulunya tempat ini merupakan pelabuhan kuno. Sedangkan bontean adalah tiang silinder setinggi dua meter yang berfungsi sebagai tempat untuk mengikat tali kapal yang merapat di sini.
Sekarang, bontean-bontean yang tersisa ini berada sekitar 10 meter di atas permukaan danau. Dari situ dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam kurun waktu sekitar 300 tahun, air Danau Toba surut sebanyak 10 hingga 11 meter.

Bontean.
Puing bontean.
Puncak bontean. Disitulah tali kapal diikat pada zaman dulu.
Jalan.
Seorang penduduk memberi makan ayam.
Rumah penduduk.
Rumah penduduk.
***
Sumber:
http://h0tchocolate.wordpress.com/2014/08/15/jejak-peradaban-di-pagar-batu-samosir/
No comments:
Post a Comment