WANITA-WANITA LUAR BIASA
DALAM LINTASAN SEJARAH INDONESIA
DALAM LINTASAN SEJARAH INDONESIA
Oleh: Edward Simanungkalit
Ratu Shima (memerintah sekitar 674-732
M) adalah
penguasa Kerajaan Kalingga yang
terletak di Pantai Utara Jawa Tengah. Ia menerapkan hukum yang keras dan tegas
untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta mendorong agar rakyatnya
senantiasa jujur. Berdasarkan Naskah Wangsakerta,
Ratu Shima berbesan dengan penguasa terakhir Tarumanegara.
Ratu
Tribhuwanatunggadewi (memerintah pada
1328-1350), adalah puteri dari Gayatri Rajapatni, salah satu isteri dari Raden
Wijaya. Tribhuwanatunggadewi naik tahta menggantikan Jayanegara yang meninggal
pada 1328. Tribhuwana mengangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih pada 1336, dan selama kekuasaannya Majapahit berkembang semakin besar
dan luas. Ia digantikan
putranya, Hayam Wuruk, setelah ibunya, Gayatri, meninggal pada
1350.
Puteri
Lindung Bulan yang juga disebut Puteri Sri Kandee
Negeri adalah puteri Raja Muda Sedia yang memerintah Negeri Benua Tamieng (negara bagian dari
Kerajaan Islam Perlak) dalam tahun 1353-1389 M. Sekalipun tidak memegang
salah satu jabatan dalam pemerintahan, namun Puteri Lindung Bulan telah
membantu ayahnya dalam berbagai urusan kerajaan, sebagaimana layaknya seorang Perdana Menteri.
Ratu Kusuma
Wardhani (memerintah pada 1389-1426),
adalah puteri mahkota dari Hayam Wuruk
yang meninggal pada 1389. Dia menikah dengan sepupunya pangeran Wikramawardhana
dan bersama-sama menghadapi konflik perebutan kekuasaan dengan Wirabhumi. Dalam
Perang Paregreg (1405-1405), Wirabhumi dikalahkan, tetapi setelah itu Majapahit
semakin melemah.
Ratu Nahrasiyah (memerintah
sekitar 1405-1428), seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai. Ratu Nahrasiyah
adalah puteri dari Sultan Abidin putera Sultan Ahmad putra
Sultan Muhammad putra Sultan Al Malikul Salih. Makam ratu ini sangat
indah dan istimewa terbuat dari batu
pualam yang menunjukkan kebesarannya di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai
dekat Lhok Seumawe. Dari literatur Tiongkok kuno diberitakan bahwa pada Laksamana Cheng Ho mengunjungi Samudera Pasai
pada tahun 1415. Diceritakan juga Sekandar, kemenakan suami kedua ratu ini,
bersama pengikutnya merampok Cheng Ho, sehingga pasukan Cheng Ho dengan bantuan
Ratu Samudera Pasai dapat mengalahkan Sekandar dan dibawa ke Tiongkok.
Ratu Suhita (memerintah pada 1426-1447), adalah puteri Wikramawardhana
dari selirnya yang juga putri kedua Wirabhumi. Majapahit sudah sedemikian
merosot kejayaannya pada masa kekuasaan Ratu Suhita hingga dia meninggal pada
tahun 1447 dan digantikan olek adik lelakinya.
Ratu Kalinyamat (memerintah sekitar
1508-1579) dengan nama asli Retna Kencana adalah puteri dari raja Demak
Trenggana (1521-1546) yang menjadi bupati di Jepara. Ia terkenal di kalangan
Portugis sebagai sosok wanita pemberani. Meninggal sekitar tahun 1579 M.
Laksamana Malahayati (hidup diakhir abad XVI-XVI) menjadi Panglima angkatan perang
Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604) setelah
keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ini berawal dari pertempuran pasukan
Aceh menyerang armada Portugis hingga hancur, tapi banyak pasukan Aceh yang
gugur termasuk suaminya juga, Laksamana Mahmuddin bin
Said Al Latief. Setelah itulah timbul ide Malahayati, Komandan
Protokol Istana Kerajaan Aceh Darussalam (1585-1604), untuk membentuk pasukan
wanita Inong Bale dari janda-janda pahlawan tadi, agar dapat membalaskan
kematian suaminya. Sisa-sisa pangkalan Inong Bale ini masih ditemukan di desa Lamreh, Teluk Krueng Raya. Malahayati
memimpin 2.000 orang pasukan Inong Bale berperang melawan kapal-kapal dan
benteng-benteng Belanda pada 21 Juni 1599.
Dia berhasil menewaskan Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan
satu di geladak kapal dan menawan Federick de Houtman (van Zeggelen, 1935:157). Setelah pertempuran
ini Malahayati diangkat menjadi Laksamana. John Davids, nakhoda kapal Belanda
berkebangsaan Inggris yang datang berkunjung pada masa Malahayati menjadi
Laksamana, melaporkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam memiliki 100 kapal perang,
di antaranya dapat memuat 400-500 penumpang. Selain armada laut yang kuat ini
masih ada lagi pasukan gajah di darat. Banyak lagi catatan orang asing tentang
Malahayati yang kehebatannya memimpin angkatan perang itu diakui oleh negara
Eropa, Arab, Cina, dan India. Laksamana Malahayati juga seorang diplomat ulung,
sehingga sering menjadi delegasi dalam perundingan-perundingan dengan pihak
luar. Laksamana Malahayati berperanan penting dalam menurunkan Sultan Ali
Riayat Syah (1604-1607) dari tahta kekuasaan
hingga naiknya Sultan Iskandar Muda di tahta kekuasaan (Lombard, 1986:128-129). Tidak
jelas kapan Laksamana Malahayati meninggal, tetapi yang pasti itu terjadi pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Ratu Safiatuddin
Syah
(memerintah pada 1641-1675), yang memerintah selama 35 tahun, adalah puteri
dari Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam urusan
pemerintahan, dia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana
(angkatan perang yang dikomandoi seorang laksamana) dan Balai Fardah (lembaga
yang mengatur keuangan kerajaan serta pemungutan cukai dan pengeluaran mata
uang). Selain menyelenggarakan pemerintahan, sultanah membentuk tempat
bermusyawarah, yaitu Balai Rungsari (lembaga terdiri dari 4 uleebalang besar
Aceh), Balai Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah
Rakyat (semacam DPR beranggotakan 73 orang mewakili daerah pemukiman dan sangat
menarik oleh karena terdapat sejumlah wanita). Dia adalah seorang ratu besar
yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negari asing: Belanda,
Portugis, Inggris, India, dan Arab. Dia wafat pada 23 Oktober 1675.
Ratu Nurul Alam
Naqiatuddin Syah (memerintah pada 1765-1678) tidak lama memerintah
menggantikan Ratu Safiatuddin Syah oleh karena cepat meninggal. Meskipun
singkat, dia melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh dan
Adat Meukuta Alam. Desentralisasi dilakukan dengan membentuk Aceh menjadi 3
federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe) yang dipimpin oleh Panglima Sagi,
sehingga terjadi otonomi daerah. Adat Meukuta Alam yang dirancang oleh Sultan
iskandar Muda disempurnakan dan mata uang emas juga dikeluarkan.
Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah (memerintah pada 1678-1688) memerintah menggatikan
Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah hingga dia meninggal pada 3 Oktober 1688. Pada
masa ini ratu menolak rencana Inggris yang hendak mendirikan benteng. Ratu juga
menerima kedatangan tamu utusan Raja Syarif Barakat bernama El Hajj Yusuf E.
Qodri. Utusan itu melaporkan kepada Raja Syarif Barakat bahwa betapa baik dan
sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam
sama halnya dengan dua ratu sebelumnya. Ratu ini juga mengeluarkan mata uang
sendiri.
Ratu Kamalat
Zainatuddin Syah (memerintah pada 1688-1699) naik tahta menggantikan
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah yang meninggal. Pada masa pemerintahannya keadaan
kerajaan terpecah diakibatkan oleh timbulnya perbedaan pendapat antara yang
menginginkan pria duduk menjadi raja dan yang tetap menyetujui wanita duduk
menjadi ratu. Sebelum dia turun tahta pada tahun 1699, ratu ini sempat menerima
tamu dari persatuan dagang Perancis dan serikat dagang Inggris serta sempat mengeluarkan
uang emas.
Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih
Retno Edi (1752-1828) adalah Pahlawan Nasional Indonesia, anak dari Pangeran
Natapraja yang menguasai wilayah di Serang perbatasan Grobogan-Sragen. Dia
menggantikan kedudukan ayahnya setelah meninggal, yang keturunan Sunan
Kalijaga, sedang Ki Hajar Dewantara adalah keturunannya. Nyi Ageng Serang sudah pernah berperang
melawan Belanda sebelum perang Diponegoro (1825-1830), sehingga kemudian hari
dia menjadi penasehat perang dari Pangeran Diponegoro. Dia meninggal pada 1828
di usia 76 tahun dan dimakamkan di Kalibawang. Patungnya yang sedang menaiki
kuda dengan gagah berani membawa tombak didirikan di kota Wates.
Siti Aisyah We Tenriolle (memerintah pada 1855-1910) adalah ratu dari
Tanette, Sulawesi Selatan yang ahli dalam pemerintahan dan mahir juga dalam
kesusasteraan. B.F. Matthes, ahli sejarah Sulawesi Selatan dari Belanda,
mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih
dari 7.000 halaman folio yang merupakan karya ratu Tanette ini. Pada tahun
1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan
modern pertama yang dibuka untuk anak laki-laki dan perempuan.
Marta Christina Tiahahu (1800-1818) adalah putri Kapitan Paulus Tiahahu
dari Desa Abubu di Pulau Nusa Laut. Di usianya yang ke- 17 tahun mengangkat
senjata bersama ayahnya membantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun
1817 melawan Belanda. Dalam pertempuran sengit di Desa Ouw – Ullath Pulau
Saparua, ayahnya berhasil ditawan Belanda dan menjalani hukuman tembak mati.
Dia terus bergerilya di hutan, namun
berhasil tertangkap dalam keadaan kesehatannya terganggu. Dalam perjalanan ke
pembuangan di Pulau Jawa, dia meninggal di kapal perang oleh karena tidak mau berobat
dan tidak mau makan dalam keadaan sakit. Jasadnya dilepaskan dengan
penghormatan militer (2/1-1818).
Cut Nyak Dhien
(1848-1908), adalah isteri dari Teuku Umar yang memilih untuk melanjutkan
perjuangan bersenjata setelah suaminya meninggal. Di masa tuanya yang sudah
rabun dia tetap di dalam hutan bergerilya dalam kejaran pasukan Belanda. Dalam
kondisi tubuh sudah tua dan sakit serta rabun akhirnya Cut Nyak Dhien
tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke Sumedang pada tahun 1906. Di sana dia
meninggal pada tahun 1908.
Teungku Fakinah (1856-1938) adalah seorang wanita ulama besar yang
menjadi pahlawan memimpin sebuah kesatuan dalam perang Aceh dan setelah perang
usai dia mendirikan Pusat Pendidikan Islam yang bernama Dayah Lam Biran.
Teungku Fakinah telah menjadi janda setelah suaminya gugur di medan perang. Sejak itulah dia membentuk badan sosial
dengan menggerakkan janda-janda dan wanita-wanita untuk mengumpulkan sumbangan
rakyat berupa padi dan uang sebagai perbekalan peperangan. Sedang bagi anggota
yang tinggal di tempat, maka kerjanya mempersiapkan makanan bagi orang-orang
yang datang untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk peluru senapan.
Semuanya pekerjaan itu di bawah pimpinan Teungku Fakinah, sedang dia sendiri
mendatangi rumah-rumah orang besar dan kaya untuk meminta zakat dalam rangka
membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk.
Sementara itu di Lam Krak didirikan 4 buah benteng di bawah komando Teungku
Fakinah. Dia kenal baik dengan Cut Nyak Dhien dan Cutpo Fatimah. Sejak
hancurnya benteng pertahanan yang berada di bawah komandonya disertai gugurnya
suami keduanya, maka dia bergerilya bersama ibu dari Panglima Polim. Atas
permintaan Panglima Polim supaya Teungku Fakinah pulang kenbali ke kampung
halaman untuk membuka kembali pesantren di Lam Krak. Pada tahun 1911, Teungku
Fakinah pulang ke Lam Krak dan membuka kembali pesantren. Dalam pembangunan
kembali pesantren ini banyak masyarakat yang memberikan sumbangannya, sehingga
pembangunan berjalan lancar. Banyak janda-janda dan gadis-gadis berdatangan
dari berbagai penjuru Aceh untuk belajar mengaji ke sana. Dalam usianya yang ke
75 tahun, Teungku Fakinah menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1938.
Cut Meutiah
(1870-1910), anak Teuku Ben Daud, uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan
Aceh, Muhammad Daud Syah. Bersama ayahnya dan suaminya, dia berperang melawan
Belanda. Sampai akhirnya dia ditemukan Belanda, tetapi tetap tidak mau menyerah
hingga akhirnya dia gugur dengan peluru Belanda di kepala dan tubuhnya pada 25
Oktober 1910.
Cutpo Fatimah (18..-1912),
teman seperjuangan Cut Meutia dan puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie.
Cutpo Fatimah juga merupakan rekan dari Teungku Fakinah sewaktu bersama-sama membangun
benteng pertahanan di Lam Krak. Bersama suaminya, Teungku Di Barat, melanjutkan
perang setelah Cut Meutiah gugur pada tahun 1910. Dalam pertempuran pada
tanggal 22 Pebruari 1912, Cutpo Fatimah gugur bersama suaminya dengan
bertindih.
Pocut Meurah Intan (1873-1937) adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan
kesultanan Aceh. Suaminya juga merupakan anggota keluarga Sultan Aceh dan
memperolah 3 orang putera. Kemudian hari suaminya menyerah kepada Belanda, dia
bercerai dari suaminya dan mengajak ketiga anaknya untuk terus berperang,
sehingga anak pertama dan bungsunya dikenal sebagai pemimpin utama pergerakan.
Pada tahun 1900, putra tertuanya tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke
Tondano, Sulut. Sedang Pocut Meurah berhasil ditangkap Belanda pada tahun 1902
dan keadaan terluka parah. Setelah sembuh dia dimasukkan ke dalam penjara
bersama putra keduanya. Pada tahun 1905 putra bungsunya berhasil ditangkap
Belanda dan pada tahun itu juga mereka bertiga dibuang ke Blora, Jawa. Pocut
Meurah Intan meninggal pada 19 September 1937.
Pocut Baren
(18..-1928) adalah seorang pahlawan dan ulama wanita dari Aceh. Selain menjadi
panglima perang menggantikan suaminya yang gugur di medan pertempuran, ia pun
menjadi uleebalang daerah Gume menggantikan suaminya juga. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran dan
ikut bergerilya bersama pasukan yang dipimpin Cut Nyak Dhien. Pocut Baren telah
melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910 dan
terus melanjutkan perjuangan meskipun Cut Nyak Dhien sudah tertangkap. Dia
tertangkap dalam pengepungan terhadap gua di Gunong Mancang, karena kakinya
terluka tembak. Dia dibawa Belanda ke Kutaraja dan kakinya membusuk, sehingga
diamputasi dan kemudian hari dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop.
Meskipun demikian, dia tetap menyemangati para pengikutnya melalui syair dan
pantunnya, agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Sebagai uleebalang, dia menggerakkan rakyatnya untuk menghidupkan kembali
lahan-lahan untuk digarap dan menanaminya dengan berbagai tumbuhan yang
menghasilkan. Saluran irigasi pun dibangun untuk mengairi sawah-sawah penduduk.
Saat panen daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian
hasilnya dapat dikirim ke daerah lain. Pocut Baren bukan hanya pandai
berperang, tetapi dia juga adalah ulama wanita dan berhasil membangun
perekenomian rakyatnya. Dalam kecacatannya dia tetap
bersemangat untuk terus berjuang hingga akhir hayatnya. Pocut Baren meninggal
12 Maret 1928.
Maria Walanda
Maramis
(1872-1924), adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang turut
berjuang meningkatkan keadaan wanita di
Indonesia. Maria lahir di Kema, dekat Airmadidi
dari suami-isteri Maramis dan Sarah Rotinsulu. Mereka 3 bersaudara dan
dia saudara kandung dari Andries Maramis. Maria sudah yatim-piatu di usia 6
tahuh, sehingga mereka diasuh oleh pamannya di Maumbi dan dimasukkan ke Sekolah
Melayu di sana. Setelah menikah pada tahun 1890, Maria pun pindah dari Maumbi
mengikuti suaminya ke Manado. Pada awalnya Maria sering menulis opini di surat
kabar setempat bernama Tjahaja Siang. Ia menulis pentingnya peranan ibu dalam
keluarga di mana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan
anggota-anggota keluarganya dan memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya. Pada 8 Juli 1917, Maria dibantu oleh suami dan teman-temannya mendirikan
organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) yang bertujuan untuk
memberi pendidikan pada kaum perempuan tentang rumah tangga, misalnya memasak,
menjahit, merawat bayi, dan sebagainya. Pembentukan organisasi ini didasari
pikiran Maria yang percaya bahwa perempuan adalah tiang keluarga di mana pada
merekalah masa depan anak-anak bergantung.
Pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk
perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Kemudian tumbuh
cabang-cabang PIKAT di Minahasa, seperti
di Maumbi, Tondano, Airmadidi, Amurang, Pandano, Tomohon, Bolaang Mongondow,
Sangir Talaud, Gorontalo, Poso, Donggala dan Motoling. Cabang PIKAT juga terdapat
di Jawa dan Kalimantan, yaitu di Batavia, Bandung, Bogor, Cimahi, Surabaya,
Balikpapan, Sangu-sangu Dalam, Makassar, Magelang dan Kotaraja. Pada tahun
1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah
Kejuruan Putri. Maria juga aktif
mewujudkan cita-citanya supaya kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan
laki-laki. Selain itu, Maria juga berjuang supaya perempuan diberi tempat dalam
urusan politik, misalnya hak untuk memilih dan duduk dalam keanggotaan Dewan
Kota atau Volksraad dan ini berhasil. Tanggal 1 Desember, tanggal
kelahiran Maria, diperingati masyarakat Minahasa sebagai 'Hari Ibu Maria
Walanda Maramis'. Patung Walanda Maramis dibangun juga di Komo, Manado.
Raden Ajeng
Kartini (1879-1905) adalah anak ke-5 dari
11 anak bupati Jepara. Sampai
usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School), tetapi
setelah itu dia dipingit di rumah saja. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda,
maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi
yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa
Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan
majalah Eropa, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi. Dia juga
banyak membaca koran Semarang dan paket majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Kartini menikah
dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah
pernah memiliki tiga istri pada tanggal 12 November 1903. Kartini meninggal pada tahun 1904 setelah 4 hari
melahirkan anaknya yang pertama. Setelah
Kartini wafat, Mr. J.H.
Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah
dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang
arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat
Kartini ini diterbitkan pada 1911. Pada 1912, Sekolah Wanita didirikan oleh Yayasan kartini
di Semarang dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan
daerah lainnya. Sekolah tersebut diberi nama Sekolah Kartini di bawah naungan
Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh
politik Etis.
Dewi Sartika (1884-1947) dilahirkan di Cicalengka, Bandung.
Orangtuanya menyekolahkannya di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi
Sartika diasuh pamannya dari ibu di Cicalengka. Dari pamannya, dia memperoleh
pengetahuan tentang kebudayaan Sunda, sedang wawasan kebudayaan Barat
diperolehnya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah
merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang
rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya
yang perempuan. Merenda, memasak,
jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat
itu. Dengan bantuan Bupati R.A. Martenagara, kakeknya, dan Den Hamer yang
menjabat inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada 16 Januari 1904 Dewi Sartika berhasil membuka Sakola Istri (Sekolah
Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Adapun
tenaga pengajarnya yaitu: Dewi Sartika sendiri dibantu dua saudara misannya,
Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Pada
tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan
bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh
perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi
Sartika. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan
Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita
yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan
Sekolah Latihan Guru. Pada tahun 1912
sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari
seluruh kota kabupaten se-Pasundan).
Pada tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah
Keutamaan Perempuan). Semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan
Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap
memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920 ditambah beberapa yang berdiri di
kota kewedanaan. Pada September 1929,
Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25
tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas
jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah
Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal
di Tasikmalaya pada 11 September 1947.
Rohana Kudus
(1884-1972) yang lahir di Koto Gadang adalah pendiri surat kabar perempuan
pertama di Indonesia. Dia adalah saudara tiri dari Sutan Syahrir dan maktuo
dari Khairil Anwar serta saudara sepupu dari H. Agus Salim. Sewaktu ayahnya
bertugas di Alahan Panjang, mereka bertetangga dengan pejabat Belanda atasan
ayahnya. Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia
rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor.
Dari isteri pejabat Belanda tetangganya, dia belajar menjahit, menyulam,
merenda, dan merajut. Darinya juga dia
banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita
politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemarinya. Setelah
menikah dengan Abdul Kudus, seorang notaris, dengan berbekal semangat dan
pengetahuan yang dimilikinya, Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus
perempuan pada 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai
keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi
pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Rohana juga menulis puisi dan
artikel serta fasih berbahasa Belanda serta menjadi perantara untuk memasarkan
hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini
menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi
simpan-pinjam dan jual-beli pertama yang anggotanya semua perempuan di Minangkabau. Rohana juga menulis puisi dan
artikel serta fasih berbahasa Belanda, sehingga kiprah Rohana menjadi topik
pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka
dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera
Barat. Keinginan untuk berbagi cerita
tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang
kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang
diberi nama Sunting Melayu pada
tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur
dan penulisnya adalah perempuan. Di Bukittinggi, kemudian hari Rohana
mendirikan sekolah dengan nama “Rohana
School” pada tahun1916. Di kota ini dia memperkaya keterampilannya dengan
belajar membordir pada orang Cina menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa
bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin
jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama
di Bukittinggi yang menjadi agen mesin
jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang
Tionghoa. Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan
juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.Pada
masa revolusi fisik, saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap
kaum pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya
yang membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya
dapur umum dan badan sosial untuk
membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan
senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara
menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke
Payakumbuh dengan kereta
api.Kemudian hari Rohana merantau ke Lubuk Pakam dan Medan, tetapi di
sana dia tetap mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Ketika Rohana kembali lagi ke Padang sekitar 3
tahun kemudian, dia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghow-Melayu dan surat kabar Cahaya Sumatera. Demikianlah Rohana
Kudus menjalani 88 tahun hidupnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi
pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Dia menerima
penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974) dan pada Hari Pers
Nasional ke-3 tanggal 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko
menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Pada tahun 2008, pemerintah
Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama meskipun dia telah wafat pada 17
Agustus 1972 di Jakarta.
Penutup
Semuanya
yang telah dipaparkan tadi mengangkat bahwa ternyata bukan hanya R.A. Kartini
memperjuangkan kaumnya dan bukan hanya berwacana-wacana melainkan telah
mempratekkannya di dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, bukan hanya Kartini
yang menjadi pahlawan wanita, tetapi masih banyak wanita lain menjadi pahlawan
wanita yang membela kaumnya melalui praktek bahkan ada yang sudah menempatkan
dirinya sebagai teladan dalam emansipasi wanita. Dengan demikian, bukan hanya
Hari Kartini pada 21 April yang patut dirayakan, tetapi Hari Shima, Hari
Malahayati, Hari Siti Aisyah, Hari Maria Christina, Hari Maria Walanda, Hari
Rohana, dan Hari Dewi Sartika patut juga dirayakan seperti merayakan Hari Kartini.
Akan tetapi, untuk menghindari banyak hari perayaan dan mengindari pengkultusan
pribadi, maka cukuplah perayaan Hari Ibu pada 22 Desember itu yang dirayakan
untuk mengenang perjuangan mereka semuanya. ***
Jakarta, Akhir Maret 2014