• Kenapa Kita Biarkan PT TPL Merusak Alam Tapanuli & Memecah-belah Bangso Batak ?


    Ketika rombongan Lemhanas berkunjung ke PT TPL, juru bicara perusahaan ini dengan bangga menceritakan hubungan yang sekarang sudah harmonis dengan penduduk Tapanuli. Lalu dengan entengnya mereka cuci tangan, lewat pernyataan yang menghapus fakta sejarah bahwa PT TPL telah menimbulkan pencemaran berat di Tapanuli sejak tahun 90-an, mendapat perlawanan dari penduduk di sekitar Porsea, kemudian dipatahkan dengan aksi represif aparat kepolisian dan militer.

    Oleh : Robert Manurung
    DALAM beberapa bulan belakangan ini PT Toba Pulp Lestari (TPL) sangat gencar melakukan berbagai aktivitas public relations, demi membersihkan citra buruk yang sudah terlanjur melekat, yaitu sebagai pencemar lingkungan dan pembabat hutan nomor satu di Tapanuli.
    Sebelumnya perusahaan ini sudah melakukan berbagai kamuflase, yaitu “mempribumikan” diri dengan memakai nama Toba, dan menambah embel-embel Lestari untuk menimbulkan kesan ramah lingkungan. Namun seperti halnya ular biludak : kulit boleh berganti berkali-kali, namun racunnya tetap mematikan; PT TPL pun demikian. .

    Perilaku perusahaan milik Sukanto Tanoto ini, yang semula bernama PT.Inti Indorayon Utama, tidak berubah sedikit pun. Tetap sebagai destroyer dan sumber bencana bagi Bangso Batak.
    Sambil berganti kulit dan melakukan berbagai kamuflase untuk meraih simpati masyarakat Tapanuli, sampai saat ini gergaji mesin TPL masih terus menggasak hutan di empat kabupaten : Simalungun, Toba Samosir (Tobasa), Humbang Hasundutan (Humbahas), dan Samosir.

    Dan alih-alih membangun instalasi pengolahan limbah seperti yang dituntut masyarakat setempat, PT TPL malah memecah-belah masyarakat di sekitar pabrik dengan menggunakan uang sebagai alat pembujuk.. Tak sedikit warga Tobasa yang berubah pendirian dan menjadi Judas Iskariot, berbalik mendukung PT. TPL dan menghianati saudara-saudara dan kampung halamannya; demi uang sekian juta rupiah yang dibagi-bagikan dengan royal oleh PT TPL.

    Konsekuensinya : buangan limbah pabrik pulp milik PT TPL di Dusun Sosor Ladang, Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian,Tobasa, hingga saat ini masih terus mengalirkan racun yang mencemari sumber air, tanah dan udara di sekitarnya. Metro-TV memberitakan dua hari lalu, penduduk di sekitar pabrik pulp itu saat ini sedang menderita gatal-gatal, bahkan ada yang kulitnya sampai bernanah.

    * * *
    MODUS OPERANDI yang dilakukan PT TPL sebenarnya sederhana saja, kasar dan tidak estetik. Perusahaan ini membagi-bagikan uang dan berbagai macam hadiah kepada penduduk, mengadu domba masyarakat, mengundang para pejabat dari pusat, dan merangkul media-media besar di Sumatera Utara.

    Dua dari tiga surat kabar terbesar di Sumut, yaitu Sinar Indonesia Baru (SIB) dan Waspada hampir setiap hari memberitakan aktivitas PT TPL bagi-bagi rejeki di berbagai daerah di Simalungun, Tobasa, Humbahas, dan Samosir. Pemberitaan yang dilakukan terus-menerus tersebut sangat kentara menggunakan metode propaganda, demi mencuci otak pembaca dan kemudian menanamkan kesan serba positif mengenai PT TPL.

    Tadinya ada juga media yang berani memberitakan secara obyektif dan kritis mengenai sepak terjang PT TPL, yaitu harian Batak Pos yang terbit di Jakarta dan beredar pula di Sumut. Pada akhir tahun lalu, koran ini memberitakan secara besar-besaran mengenai pembabatan hutan di Humbahas yang dilakukan oleh PT.TPL.

    Selain menyajikan reportase dari lapangan mengenai pembantaian hutan yang dilakukan perusahaan ini, Batak Pos melengkapi pula dengan foto-foto yang memperlihatkan pohon-pohon bergelimpangan, alat-alat berat yang digunakan, dan truk-truk tronton sedang mengangkut kayu dari bagian Hutan Tano Batak di Humbahas–dikawal oleh aparat kepolisian.

    Namun pemberitaan Batak Pos mengenai “kejahatan lingkungan” yang dilakukan PT.TPL tiba-tiba berhenti pada awal tahun ini, Dan sejak itu surat kabar milik Sopar Panjaitan, adik kandung pahlawan revolusi DI Panjaitan, ini, tak pernah lagi memberitakan aktivitas PT.TPL yang masih terus menggasak hutan di empat kabupaten tadi.

    Menurut informasi dari aktivis lingkungan Johnson Panjaitan, yang juga Ketua Dewan Nasional Walhi, Batak Pos memang sempat diteror oleh PT TPL dari dua arah sekaligus. Pertama melalui lembaga pers SPSI, di mana Leo Batubara sangat berkuasa. Leo juga bekerja untuk kepentingan PT TPL. Sedangkan cara kedua ialah dengan melayangkan surat ancaman akan mensomasi Batak Pos, yang ditanda tangani oleh pengacara PT TPL yaitu Hinca Panjaitan SH.
    * * *
    SEMENTARA itu seiring dengan makin gencarnya pemberitaan positif mengenai PT TPL di harian SIB dan Waspada, sejumlah pejabat tinggi dari Jakarta tidak malu-malu lagi menunjukkan dukungan terbuka kepada perusahaan itu. Salah satunya adalah rombongan 27 orang pengajar dari Lembaga Pertahanan Nasional ( Lemhanas) yang dipimpin oleh Marsda TNI Surya Dharma, 1 Juli 2008.
    Di hadapan rombongan Lemhanas, juru bicara perusahaan ini dengan bangga menceritakan hubungan yang sekarang sudah harmonis dengan penduduk Tapanuli. Lalu dengan entengnya mereka cuci tangan, lewat pernyataan yang menghapus fakta sejarah bahwa PT TPL telah menimbulkan pencemaran berat di Tapanuli sejak tahun 90-an, mendapat perlawanan dari penduduk di sekitar Porsea, kemudian dipatahkan dengan aksi represif aparat kepolisian dan militer.

    Berikut ini cuplikan berita kunjungan rombongan Lemhanas ke “markas” PT.TPL di Sosor Ladang, yang aku kutip dari situs harian SIB :
    Juanda Panjaitan mewakili manajemen PT TPL TBk pada paparannya, mengakui dulu sewaktu pabrik bernama PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) performancenya kurang terbuka kepada masyarakat sekitar. Akibat ketidakterbukaan inilah ketika masa reformasi berlangsung , PT IIU terpaksa harus ditutup

    Ini jelas-jelas sebuah kebohongan besar yang terlalu nekad. Penutupan pabrik pulp PT Inti Indorayon Utama (IIU) pada masa pemerintahan Gus Dur, tidak benar karena performance IIU kurang terbuka, tetapi karena tidak membangun instalasi pengolahan limbah sesuai ketentuan, sehingga buangan limbahnya menimbulkan pencemaran berat di Porsea dan sekitarnya. Para pengajar dari Lemhanas itu juga tahu bahwa penduduk Tobasa sampai melakukan perlawanan fisik dan berbenturan dengan aparat, lantaran tidak tahan lagi menderita akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan PT.IIU.
    Selain harus menghirup udara berbau busuk yang bersumber dari limbah perusahaan itu, penduduk di Porsea sangat menderita karena ikan mas, ternak peliharaan, dan tanaman mereka mati bergelimpangan akibat terpapar limbah PT IIU.
    Namun anehnya, tidak satu pun di antara rombongan pengajar dari Lemhanas itu yang mengoreksi pemutarbalikan fakta dan kebohongan publik yang dilakukan oleh PT.TPL di hadapan mereka.
    * * *
    MESKI bersifat sederhana, kasar dan tidak estetik; technically Eduard Depari telah berhasil membuktikan reputasinya sebagai ahli komunikasi yang pernah menjabat Kepala Humas RCTI, dan dosen jurusan komunikasi di Universitas Mustopo Jakarta. Eduard telah berhasil mengubah citra PT TPL dari “penjahat lingkungan” menjadi sinterklas yang murah hati
    Namun socially, kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman Eduard hanya memperpanjang penderitaan masyarakat Tapanuli, karena citra positif PT TPL yang dibangunnya akan memberikan legiitimasi politik dan sosial yang kuat bagi perusahaan itu untuk terus mengeksploitasi Tapanuli, merusaknya, dan memecah belah masyarakat Batak, serta menimbulkan inferiority complex pada Bangso Batak.
    * * *
    BANDINGKANLAH cara-cara kerja PR oleh Eduard Depari di PT TPL dengan jurus-jurus canggih Philip Morris Inc. Perusahaan rokok terbesar di dunia ini sampai mendirikan laboratorium penelitian kanker, demi meyakinkan publik Amerika Serikat bahwa perusahaan ini berusaha dengan penuh rasa tanggung jawab, untuk mengurangi resiko kanker pada konsumen rokok Marlboro.
    Philip Morris Inc tidak berbohong, misalnya dengan mengatakan bahwa rokok Marlboro aman bagi kesehatan. Perusahaan ini juga tidak mengadu domba masyarakat, dan tidak menghantam para aktivis LSM yang begitu militan berkampanye untuk membangun citra kriminal pada Philip Morris Inc dan Marlboro.

    Dan ketika kampanye yang dilancarkan LSM berhasil meyakinkan publik, bahwa pemberian subsidi yang bersumber dari pajak bagi penderita kanker akibat merokok sangat tidak adil bagi warga AS yang tidak merokok; maka Philip Morris Inc pun terpaksa merelokasi semua pabriknya ke Dunia Ketiga, termasuk ke Indonesia.

    Kenapa orang Amerika bisa mengontrol perilaku korporasi, tapi Bangso Batak malah diadu domba, dimanfaatkan, dijajah, dan dilecehkan ? Apakah masyarakat Batak masih begitu terbelakang, kurang cerdas, kurang punya harga diri dan integritas; sehingga diam saja ketika PT TPL menghancurkan hutan dan mencemari lingkungan di Tapanuli ?

    Apakah masyarakat Batak memang gampang dibeli dan punya kecenderungan berhianat, sehingga para intelektual seperti Leo Batubara, Eduard Depari, Hinca Panjaitan, dan lain-lainnya, tidak merasa malu dan tak merasa bersalah bekerja untuk kepentingan bisnis yang destruktif terhadap Tapanuli dan Bangso Batak ?

    Apakah mereka tidak merasa berdosa memberi makan anak-anaknya, menikmati cara hidup yang super mewah, menyejahterahkan saudara-saudaranya dan kemudian menyumbang gereja; dari uang yang diperoleh dengan cara menghancurkan sumber-sumber kehidupan di Tapanuli, memecah-belah masyarakat, dan membuat masyarakat desa yang miskin lebih menderita lagi dengan datangnya berbagai penyakit dari limbah PT TPL ?
    ============================================================
    Robert Manurung, seorang blogger tinggal di Jakarta, pemilik blog Ayomerdeka
    ============================================================


    Sumber: