23 September 2014:
Kepada mereka yang
tempohari ikut nimbrung di FB Saut Situmorang soal Huta Siallagan –
perkampungan yang dikelilingi batu besar termasuk di antara Batu Persidangan
yang konon dipakai sebagai tempat eksekusi hukuman mati. Berbagai cerita yang
sedap-sedap ngeri disajikan kepada para wisatawan yang berkunjung kepada situs
tersebut. Antara lain diceritakan bahwa situs megalit tersebut berusia 300
tahun, dan bahwa para tahanan dieksekusi di situ dengan cara yang paling kejam.
Ini
keterangan yang saya peroleh dari Bapak Jean-Pierre Barbier-Mueller yang di
antara tahun 1974 dan 1978 beberapa kali singgah di Huta Siallagan untuk
mewawancarai penduduk: Awalnya, di sekitar tahun 1920an, hanya ada satu batu di
Huta Siallagan yang selalu kalah dengan batu Raja Sidabutar di Tomok. Kesal
karena para wisatawan hanya berkunjung ke Tomok maka Raja Hendrik Siallagan
mulai membangun berbagai jenis pahatan batu termasuk patung, kursi, dan meja.
Pembangunan berlangsung selama beberapa tahun dan selesai dibangun pada sekitar
tahun 1937. Karena batu-batu pahatan Raja Hendrik maka Ambarita akhirnya
menjadi atraksi wisata yang tidak kalah lagi dengan Tomok.
Ketika berkunjung ke sana tahun 1974 kata Pak Jean-Pierre yang
kini berusia 83 tahun, tidak ada cerita bahwa batu-batu itu dipakai sebagai
batu persidangan. Soalnya orang tahu semua bahwa Raja Hendriklah yang
membangunnya untuk mendatangkan wisatawan. Jadi kisah yang berdarah yang selama
ini diceritakan kepada wisatawan baru muncul setelah tahun 1970an. Cerita tsb.
memang hanya isapan jempol belaka (tetapi sangat laris buat sibontar mata yg
berkunjung ke sana) karena pada waktu batu persidangan didirikan Samosir sudah
lama berada di bawah kekuasaan Belanda.
Sumber:
https://www.facebook.com/uli.kozok/posts/10152401523869849
No comments:
Post a Comment