Oleh : Prof. Dr. Usman Pelly, MA.
Penulis mengungkapkan bahwa kehidupan orang Melayu di kota Medan berkembang sesuai dengan perjalanan sejarahnya. Pada awalnya adalah gambaran peran orang Melayu dalam kehidupan politik, ekonomi, adat, agama dan sebagainya pada masa pemerintahan kolonial.
Pada masa berikutnya terjadi perubahan ekonomi yang membuat orang Melayu kembali pada tradisi pertanian. Keadaan itu membuat orang Melayu tidak mampu berpartisipasi dalam pembangunan di kota Medan dan tidak mampu bersaing dalam merebut posisi birokrasi modern. Menurut penulis, hal itu disebabkan oleh pertimbangan prestise, kendala normatif pendidikan, dan kurangnya semangat kompetisi pada orang Melayu.
1. Pendahuluan
Dalam syair Melayu Puteri Hijau diungkapkan bahwa kata “medan” berasal dari gelanggang pertempuran antara Kerajaan Deli dan Kerajaan Aceh yang terjadi pada tahun 1552. Tragedi perang antara dua kerajaan yang bertetangga ini terjadi karena pinangan Sultan Aceh terhadap Puteri Hijau yang menjadi primadona Kerajaan Deli waktu itu ditolak. Medan dalam bahasa Melayu berarti ‘gelanggang‘. Menurut kisah tadi, di gelanggang yang sekarang dibangun kota Medan, tentara Kerajaan Deli berhasil dikalahkan dan Puteri Hijau diboyong ke Bandar Aceh (Thaib, 1959: 44).
Legenda tragis ini seakan memberi isyarat kepada generasi Puteri Hijau di kemudian hari, bahwa kota Medan kelak akan tetap merupakan gelanggang “pertempuran” yang harus dihadapi oleh setiap putra Melayu. Orang yang kalah dalam gelanggang ini harus berada di pinggir dan kehormatan diri sebagai taruhannya, yang secara simbolik diinterpretasikan sebagai Putri Hijau yang jatuh ke tangan orang lain.
“Apa isyarat sejarah dari kisah ini?” Makna di dalamnya dapat memberikan kearifan kepada putra Melayu dalam menghadapi kehidupan di gelanggang pertempuran kota Medan. Kiranya sejarah juga dapat menjawabnya. Dewasa ini banyak yang percaya bahwa kisah Puteri Hijau tersebut telah berulang pada orang Melayu di kota Medan.
Walaupun demikian banyak pula yang yakin bahwa keberadaan orang Melayu di kota tersebut tetap penting dan berarti.
Selain kisah Putri Hijau, terdapat sumber sejarah yang masih dapat dipercaya, yaitu naskah lama Riwayat Hamparan Perak.Naskah ini dianggap penting karena isinya dapat mengungkapkan liku-liku hubungan kekerabatan dan genealogis orang Melayu Sumatera Timur yang mendiami daerah dataran rendah (lowland) pantai Selat Melaka dengan orang-orang Batak, Karo, dan Simalungun yang tinggal di daerah pegunungan. Naskah Riwayat Hamparan Perak ini menjadi pegangan Panitia Hari Jadi Kota Medan yang kemudian menetapkan tanggal 1 Juli 1590 sebagai hari jadi kota Medan (Meuraxa, 1975).
Naskah ini menceritakan perantauan salah seorang cucu Singamangaraja yang bernama Raja Hita ke tanah Karo. Raja ini mempunyai seorang putra yang bernama Guru Patimpus. Perantauannya ke tanah Deli telah membawanya masuk Islam, setelah dia mempelajari agama itu dari ulama terkenal, Datuk Kota Bangun. Setelah menikah dengan putri Datuk Berayan, salah seorang keturunan Panglima Deli.Keturunannya kelak menjadi cikal bakal keluarga Hamparan Perak dan Sukapiring, yang merupakan rumpun-rumpun besar dari masyarakat Melayu yang makmur karena hasil lada dan pala (Meuraxa, 1975: 34).
John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli, pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan, berpenduduk sekitar dua ratus orang, dan dinyatakan sebagai tempat kediaman Sultan Deli. Medan ini terletak di dekat Labuhan, bandar Kerajaan Deli waktu itu (Anderson, 1924; Pelzer, 1978: 2). Lima puluh tahun setelah kunjungan Anderson, Medan telah menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.
Pada awal abad ke-20, hampir seluruh dataran rendah Sumatera Timur menjadi areal perkebunan ekspor dari berbagai jenis komoditi seperti tembakau, kelapa sawit, cokelat, karet, teh, dan sisal. Berbagai perusahaan asing lainnya yang berasal dari Belgia, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat turut mengambil bagian dalam pembangunan perkebunan ini। Perkebunan besar ini dapat dianggap sebagai pangkal kemasyuran tanah Melayu Sumatera Timur yang mendapat julukan daerah dolar, tetapi juga dapat dianggap sebagai pangkal bencana yang mematikan tradisi pertanian orang Melayu (Sinar, 1976: 9).
2. Kedudukan Orang Melayu Pada Masa Kolonial
Untuk menopang perkembangan perkebunan Sumatera Timur, pemerintah Belanda menjalankan politik pintu terbuka (open door policy) bagi kehadiran kaum perantau dari dalam maupun luar negeri। Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja, terutama di perkebunan, karena orang Melayu, Karo, dan Simalungun dianggap tidak berminat bekerja sebagai buruh perkebunan (Said, 1977), atau karena perusahaan perkebunan sendiri tidak menyukai dan tidak percaya kepada mereka (Pelzer, 1978: 69).
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setidaknya ada dua gelombang migrasi ke Sumatera Timur. Gelombang migrasi pertama berupa kedatangan orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak di perkebunan, tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Cina, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun. Lagi pula mereka selalu menimbulkan kerusuhan. Perusahaan perkebunan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa. Orang-orang Cina bekas buruh kebun tersebut kemudian menetap di kota-kota Sumatera Timur, seperti di Medan.Mereka kemudian mengembangkan lapangan perdagangan bersama dengan kelompok etnis perantau domestik seperti orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Sebagian besar para perantau domestik ini datang pada gelombang kedua.
Berbeda dengan pendahulu mereka, orang Mandailing, Minangkabau, dan Aceh ini datang ke kota Medan bukan untuk bekerja di perkebunan sebagai kuli kontrak, tetapi mereka datang untuk berdagang, bekerja di kantor, menjadi guru, dan ulama. Orang Mandailing yang terpelajar itu banyak diterima bekerja sebagai kerani di perusahaan perkebunan dan kantor pemerintahan kolonial Belanda atau Kesultanan Melayu. Kecenderungan orang Mandailing di bidang okupasi ini merupakan suatu preferensi yang kuat dan terus berkembang ke arah pembangunan dinasti Mandailing di bidang kepegawaian (Pelly, 1983), sedang perantau Minangkabau tidak begitu berminat menjadi pegawai dan lebih banyak mencurahkan perhatian ke bidang perdagangan eceran, dan kaum terpelajarnya cenderung mengembangkan usaha mandiri dan menduduki jabatan profesional, seperti notaris, wartawan, dan dokter (Pelly dan Darmono, 1981)। Kelompok-kelompok etnis lainnya juga berusaha “menguasai” sumber-sumber kehidupan ekonomi untuk kepentingan kelompoknya.
Statistik komposisi etnis kota Medan tahun 1920 dan 1930, menunjukkan hampir 50% penduduknya merupakan bangsa asing yang terdiri dari Cina, India, Arab, Belanda, Inggris, Jerman, dan Belgia, selebihnya adalah kelompok bangsa Indonesia, yaitu Jawa 23, 1%, Minangkabau 6, 8%, Melayu 6, 65%, dan Mandailing 5, 70%, dan Batak yang hanya 1%. Dari komposisi penduduk ini tampak bahwa orang Melayu sejak tahun 1920 telah menjadi minoritas di Medan. Begitu juga menurut perhitungan statistik di Sumatera secara keseluruhan (Langerberg, 1982). Kedudukannya sebagai kelompok minoritas pada waktu itu belum berdampak negatif terhadap kehidupan orang Melayu secara keseluruhan di kota Medan.
Setidaknya ada dua faktor lain yang sangat berperan dalam menopang kedudukan sosial orang Melayu, yaitu faktor politik dan budaya lokal. Dalam kedua bidang tersebut orang Melayu masih dominan. Dalam bidang politik, kekuasaan Sultan Deli masih mampu melindungi kepentingan orang Melayu. Dalam perjanjian antara Sultan Deli dan pemerintah kolonial Belanda yang tercantum dalam Kontrak Panjang (Lange Verklaring), Sultan memiliki kekuasaan pemerintahan otonomi ke dalam (selfgoverning territories), terutama dalam masalah tanah, adat, dan agama. Dua bidang kehidupan yang terakhir ini juga berlaku untuk orang pribumi yang bermukim di kota (gemeente). Setidaknya anggapan pihak Sultan Deli demikian. Hak ini tampak dalam masalah peribadatan, karena hanya Sultan yang dapat mengadakan sembahyang Jumat, baik di kota maupun di desa. Dalam masalah lain, penduduk kota adalah kawula government yang tunduk kepada hukum pemerin¬tah kolonial Belanda dan bukan kawula Sultan. Dalam akta konsesi tanah yang terakhir (1982), hak ulayat (adat) orang Melayu tetap diakui, bahkan pihak swasta dapat mengikat kontrak dengan Sultan tanpa harus meminta persetujuan Batavia, tetapi kontrak tersebut baru sah apabila telah disetujui Batavia. Hal ini menunjukkan bahwa Batavia tidak lagi mempunyai kekuasaaan mutlak atas tanah (Husny, 1976; Mahadi, 1978).
Kekuasaan adat dan agama yang didukung oleh faktor ekonomi perkebunan yang melimpah di kesultanan telah menampilkan sosok budaya Melayu yang tangguh, walaupun aktivitas budaya ini secara seremonial masih tetap berpusat di istana, seperti perayaan-perayaan agama dan acara kesenian Melayu. Adat-istiadat Melayu dan tata-krama kehidupan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam menjadi standar dalam kehidupan masyarakat Medan yang majemuk, terutama bahasa dan kesenian yang merupakan isi dari wujud budaya Melayu yang cukup dominan.
Adat dan agama telah menjadi satu kesatuan dalam budaya Melayu, sehingga kedua aspek kehidupan itu senapas. Budaya Melayu adalah budaya Islam. Orang yang masuk Melayu dikatakan juga masuk Islam, begitu juga sebaliknya. Orang Karo, Simalungun, atau Cina yang masuk Islam juga disebut masuk Melayu. Secara kultur, mereka memang memelayukan diri dengan meninggalkan marga, hidup dalam adat resam Melayu, dan dalam kehidupan sehari-hari memakai bahasa Melayu.Nagata (1982), seorang antropolog Amerika, mengisyaratkan proses ini sebagai proses Islam yang universal ke arah Islam yang partikularistik.
Melayunisasi orang-orang Batak (Karo, Simalungun, Dairi) di Medan pada awal abad ke-20 berdasar pada sistem budaya Melayu Islam (Melayo Moslem culture) yang dijadikan sebagai landasan ideologi wadah pembaruan (melting pot) aneka suku Batak. Bahkan orang-orang Mandailing dan Sipirok/Angkola yang telah memeluk Islam di kampung halamannya menjalani proses Melayunisasi juga. Walaupun mereka banyak yang menjadi ulama, nazir, dan imam masjid, atau khadi Sultan, namun orang-orang Melayu ini dalam kepustakaan sering disebut sebagai Melayu Dusun.
Orang Jawa tidak banyak terlibat dan dilibatkan dalam kehidupan bersama di kota Medan, karena peran mereka sebagai bekas kuli kontrak yang sebagian besar berasal dari strata bawah (wong cilik) tetap menduduki posisi minor dalam okupasi dan pemukiman kota, kecuali kaum ningrat Jawa yang banyak berperan sebagai ambtenaar dan pegawai tinggi pemerintah colonial. Mereka terpisah dari orang Jawa kebanyakan tadi. Keadaan seperti ini dikehendaki oleh pemerintah kolonial Belanda agar orang Jawa itu lepas dari lapisan pemimpin mereka (Said, 1977).
Di antara kalangan perantau domestik di kota Medan, ternyata orang Minangkabau enggan dan menolak Melayunisasi dengan beberapa alas an. Pertama, karena keterikatan mereka yang kuat dengan kampung halaman dalam kaitan misi budaya perantau. Dengan alasan ini mereka memandang alam rantau sebagai tempat sementara. Kedua, karena kebanggaan mereka terhadap budaya dan identitas mereka sebagai orang Minangkabau. Ketiga, karena mereka merasa kemurnian agama Islam mereka lebih tinggi daripada orang Melayu. Dalam kaitan ini, mereka kemudian mempertanyakan keabsahan Islam yang digunakan orang Melayu sebagai dasar budaya. “Apakah benar budaya Melayu identik dengan budaya Islam?”
Permasalahan ini akan lebih jelas bila dikaitkan dengan gerakan purifikasi Islam di Minangkabau yang melahirkan Perang Padri dan gerakan Muhammadiyah. Gerakan pemurnian ini menjalar ke Medan. Gerakan ini dianggap oleh Kesultanan Melayu sebagai tantangan terhadap legitimasi orang Melayu dalam bidang agama dan adat. Kelompok yang ingin mempertahankan keserasian adat dan agama yang disebut sebagai kaum tua kemudian melahirkan organisasi pergerakan Al Washliyah pada tahun 1930, yaitu tiga tahun setelah Muhammadiyah didirikan oleh pedagang-pedagang Minangkabau di kota tersebut. Al-Washliyah yang dipimpin oleh orang-orang Mandailing Melayu atas bantuan para Sultan Melayu meluaskan sayap perguruannya ke pedesaan dan ke pedalaman Sumatera Timur. Adapun Muhammadiyah hanya diberi izin bergerak di daerah-daerah gemeente (Muthi, 1957; Pelly, 1980).
Dari uraian di atas terlihat bahwa kedudukan orang Melayu di kota Medan dan sekitarnya pada zaman kolonial sangat menentukan, terutama dalam lingkungan masyarakat pribumi, kendati dari segi kelompok dan demografis mereka menduduki status minoritas. Orang Jawa merupakan penduduk mayoritas, namun posisi sosialnya merupakan kelompok mayoritas yang tidak berperan (silent majority). Dua dari tiga syarat yang diperlukan untuk menduduki posisi sebagai kelompok budaya unggul (dominant culture) telah dipenuhi oleh orang Melayu, yaitu faktor politik dan budaya lokal, sehingga orang Melayu waktu itu dapat berperan sebagai pusat orientasi akulturasi budaya dalam kehidupan majemuk di kota Medan.
3. Tradisi Okupasi Orang Melayu
Seperti diuraikan sebelumnya orang Melayu memiliki tradisi pertanian yang menghasilkan komoditas ekspor seperti pala, lada, pinang, dan asam gelugur, di samping bertanam padi dan palawija untuk keperluan sehari-hari. Dari hasil pertanian tersebut mereka dapat hidup makmur. Sultan juga dapat memetik hasil perdagangan lada dan komoditas ekspor lainnya. Setelah tanah-tanah orang Melayu dijadikan perkebunan, timbul perubahan-perubahan yang tidak hanya menyangkut sistem perekonomian rakyat Melayu, tetapi juga menyangkut kepentingan Sultan. Pemerintah Belanda memberikan kompensasi ganti rugi kepada Sultan, sedangkan bagi rakyat disediakan tanah jaluran yang dapat dipergunakan untuk bercocok tanam, tetapi terbatas untuk tanaman semusim, seperti padi, jagung, dan palawija. Dengan demikian, tradisi pertanian ekspor orang Melayu beralih ke pertanian subsisten.
Perubahan ini telah memberikan dampak psikologis yang merugikan orang Melayu. Mereka menjadi tidak terbiasa membuka hutan baru untuk mengolahnya menjadi tanah pertanian lada atau pala. Mereka hanya menanti tanah yang telah diolah dan hanya menanti musim panen tembakau selesai, untuk kemudian meminta tanah jaluran dan menanam padi atau palawija, sehingga mereka menjadi rakyat penunggu. Perubahan sistem pertanian ini dianggap sebagai pangkal proses pemiskinan orang Melayu dan menanamkan kebiasaan hidup santai, serta tergantung kepada orang lain.
Sementara itu, tradisi okupasi baru muncul sejalan dengan perkembangan kota, seperti perdagangan, pertukangan, jasa, industri, dan kepegawaian. Pekerjaan di sektor perdagangan dan pertukangan tidak menarik bagi orang Melayu, karena pekerjaan itu dianggap tidak memberikan prestise sosial yang tinggi. Usaha di sektor jasa seperti kontraktor dan perbankan memerlukan modal dan keterampilan khusus yang tidak banyak dimiliki orang Melayu. Begitu juga bidang industri seperti percetakan, yang hanya dikuasai oleh orang Mandailing dan Minangkabau, sedang industri makanan dan pengolahan hasil pertanian dikuasai oleh orang Cina.
Orang Melayu hampir tidak tertarik pada lapangan kerja perburuhan. Lapangan kepegawaian menjadi incaran (preferensi) mereka, tetapi dalam mengembangkan karir orang Melayu banyak terbentur pada tingkat pendidikan, karena rata-rata tingkat pendidikan formal mereka sangat rendah, dan hanya kelompok bangsawan saja yang mendapat pendidikan agak tinggi, sehingga yang berhasil mencapai karir yang tinggi di bidang tersebut adalah kelompok orang-orang Mandailing dan Jawa atau warga sukubangsa lain yang terpelajar.
Absennya orang Melayu dalam dunia perdagangan kota dan adanya pertimbangan politik kolonial lainnya menyebabkan pemerintah Belanda mendorong orang-orang Cina bekas kuli perkebunan untuk menguasai perdagangan menengah, sedang orang-orang Minangkabau yang mempunyai preferensi di bidang okupasi dagang dapat dibendung agar mereka puas bergerak di bidang perdagangan kelas rendah. Kebijakan ini juga berlaku untuk kelompok etnis lainnya yang mencoba terjun ke bidang perdagangan atau industri, sedangkan perdagangan tingkat tinggi, seperti perbankan, ekspor, dan impor tetap dikuasai oleh orang Belanda dan Eropa lainnya.
4. Pola Kehidupan Orang Melayu Sesudah Kemerdekaan
Pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan yang diawali oleh Revolusi Sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 telah merombak posisi sosiopolitis kaum bangsawan Melayu. Perubahan yang berlangsung sangat cepat ini telah memberikan semacam kejutan budaya (cultural shock) bagi masyarakat Melayu secara keseluruhan, sehingga terjadi semacam kebingungan dan sikap ragu-ragu terhadap keadaan, terutama setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia disiarkan secara resmi di Sumatera Utara dan pemerintahan Republik Indonesia dibentuk tanggal 3 Oktober 1945. Hanya Sultan Serdang yang menunjukkan sikap tegas dengan mengirimkan telegram kepada Presiden Soekarno yang berisi Kesultanan Serdang berdiri di belakang pemerintah Indonesia (Sinar, 1976). Sebagian besar kaum bangsawan dan Sultan Melayu lainnya dinilai oleh ahli-ahli sejarah bersikap ragu dan mendua (ambivalen). Sikap ini ternyata kemudian tidak menguntungkan posisi orang Melayu dan memberikan peluang besar kepada pihak “kiri” untuk melancarkan revolusi sosial (Said, 1973).
Dari segi sosiologis orang Melayu, revolusi sosial hanya suatu mimpi buruk, sebab revolusi ini hanya berhasil merombak struktur pemerintahan kesultanan, tetapi tidak mengubah sistem sosial dan sikap mental masyarakat Melayu secara keseluruhan. Revolusi tidak mungkin mengubah nasib orang Melayu kebanyakan, bahkan sebaliknya. Posisi orang Melayu setelah kemerdekaan dan revolusi menjadi bertambah sulit. Kekuasaan politik dan pemerintahan setelah revolusi bukan jatuh ke tangan mereka, tetapi ke tangan orang non-Melayu yang belum tentu memahami dan mengerti posisi orang Melayu kebanyakan. Kenyataan ini dapat dilihat dalam perkembangan kehidupan majemuk di kota Medan pada dekade selanjutnya.
5. Migrasi Orang Batak Toba Ke Medan
Pada dekade pertama setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan dibanjiri perantau baru dari berbagai sukubangsa, terutama suku Batak Toba dari Tapanuli Utara. Kelompok ini terdiri dari tenaga-tenaga muda terpelajar dan petani-petani yang dijuluki oleh Langerberg (1982) sebagai land hunter (pemburu tanah). Sasaran okupasi mereka adalah kepegawaian dan pertanian yang secara kebetulan merupakan bidang preferensi orang Melayu.
Pembukaan perkantoran pemerintahan republik sebagai perluasan jaringan birokrasi memerlukan tenaga-tenaga yang berpendidikan. Dapat dimengerti apabila kesempatan yang terbuka ini sepenuhnya dipergunakan oleh para perantau Batak Toba yang rata-rata memiliki pendidikan formal yang mereka peroleh dari sekolah-sekolah yang diasuh oleh zending di Tapanuli Utara. Dalam kaitan ini, posisi orang Melayu jelas. Jumlah kaum terpelajar di kalangan orang Melayu sangat sedikit dan terbatas. Hanya kaum bangsawan yang banyak mendapat kesempatan menerima pendidikan formal, sedang orang kebanyakan cenderung memasuki pendidikan agama. Akreditasi ijazah sekolah-sekolah agama hanya diterima di jawatan atau dinas agama dan formasi untuk itu pun sangat terbatas. Perpacuan yang paling menentukan pada dekade pertama di bidang kepegawaian ini tidak dapat dimenangkan oleh orang Melayu. Konsekuensi dari perpacuan itu ialah menipisnya lapisan kaum birokrat Melayu dari tahun ke tahun, dan keadaannya secara keseluruhan dewasa ini tidak begitu menggembirakan. Sebagai contoh, di bawah ini dapat dilihat statistik komposisi etnis pada Kantor Walikota Kota Medan, pada periode Walikota Syurkani (1969) dan A.S. Rangkuti.
Data yang diperhitungkan adalah pejabat struktural yang menduduki jabatan kepala bagian (Pelly, 1983 :171). Pejabat-pejabat senior orang Melayu di birokrasi pemerintahan pada umumnya berasal dari masa kolonial. Dewasa ini (1985) hampir seluruhnya telah menjalani masa pensiun.
Apabila dilihat dari komposisi etnis di DPRD Kotamadya Medan, maka kedudukan orang Melayu agak baik. Dalam pengertian, bahwa rata-rata orang Melayu yang menjadi anggota DPRD melalui berbagai fraksi dari periode Ketua DPRD pertama (Harahap, 1957) ke periode ketua Hutasuhut adalah sebesar 12%. Hal itu berarti melebihi persentase jumlah orang Melayu yang ada di kota Medan (8, 57%) pada tahun 1980. Dari jajaran nama-nama walikota kotamadya Medan ternyata hanya satu orang yang putra Melayu, yaitu Datuk. H. Aberhan. Kebetulan pula beliau adalah Walikota Medan semasa Sumatera Timur masuk wilayah Negara Sumatera Timur. Walikota lainnya adalah tujuh orang dari Mandailing, seorang dari Jawa, dua orang dari Simalungun, seorang dari Nias, dan seorang dari Minangkabau.
Dari uraian kuantitatif di atas terlihat jelas gambaran posisi orang Melayu di dalam birokrasi kepegawaian pemerintah, walaupun perlu dicatat di sini bahwa kedua kantor pemerintahan (walikota dan gubernur) tersebut belum dapat dikatakan representatif untuk menjadi dasar bagi suatu generalisasi mengenai posisi orang Melayu di kota Medan.
6. Okupasi Profesional
Berbeda dengan okupasi di bidang kepegawaian (white colar), okupasi atau jabatan-¬jabatan profesional seperti dokter, ahli hukum (advokat), notaris, atau wartawan hanya dapat dijabat oleh orang-orang yang lebih khusus daripada jabatan ke¬pegawaian. Jabatan pro¬fesional menuntut keahlian dari salah satu cabang ilmu. Biasanya pe¬nguasaan ini diperoleh dari suatu perguruan tinggi. Dalam praktik kehidupan, mereka mengabdikan keahlian itu kepada masyarakat, karena pemangku jabatan pro¬fesional mendapat posisi yang terhormat di masyarakat. Okupasi profesional di kalangan orang Melayu ternyata juga tidak be¬gitu menggembirakan, kecuali di bidang kewartawanan.
Dari uraian di atas ter¬lihat jelas bahwa posisi orang Melayu –yang pada zaman kolonial me¬rupakan kelompok dominan secara kultural– dewasa ini telah jauh berubah. Perubahan ini disebabkan oleh degradasi peran orang Me¬layu di bidang politik (pemerintahan) dan ekonomi. Posisi politik ini sangat mempergaruhi dominasi kebudayaan Melayu sebagai ke¬bu¬dayaan lokal di kota Medan. Adanya degradasi pengaruh orang Melayu di bidang politik (deci¬sion makers) telah mempengaruhi keterikatan orang lain terhadap budaya Melayu, atau dengan kata lain budaya Melayu tidak lagi dijadikan pusat orientasi akulturasi oleh penduduk Medan. Oleh karena itu sukar mencari wadah budaya pemersatu bagi masyarakat majemuk kota Medan, padahal kebudayaan nasional masih dalam proses mencari bentuk yang mantap, wa¬laupun Panca¬sila telah menjadi dasar tolok ukur dalam pengem¬bangan sistem bu¬daya nasional tersebut.
7. Pola Pemukiman Orang Melayu Di Kota Medan
Sejak tahun 1950, kota Medan telah beberapa kali melakukan per¬luasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun 1974. Dengan demikian, dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedau¬latan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat. Perluasan areal kota ini telah mendorong pemekaran dan pen¬dis¬tribusian fasilitas perkotaan, seperti pusat-pusat perbe¬lanjaan, transportasi, dan fasilitas kehidupan kota lainnya. Per¬luasan dan mi¬gra¬si pesat orang Batak Toba telah menye¬babkan perubahan dalam kom¬posisi etnis kota Medan pada tahun 1930 dan tahun 1980.
Walaupun orang-orang Melayu pada tahun 1980 hanya berjumlah 8, 57% dari penduduk kota Medan yang telah berjumlah 1, 4 juta, tetapi persentase ini tidak menurun bila dibandingkan dengan statistik tahun 1930 yang berjumlah 7, 06%. Namun apabila dibandingkan dengan kenaikan jumlah pendu¬duk kelompok etnis Batak Toba, Mandailing, atau Karo, maka kedudukan orang Melayu dari segi persentase keseluruhan pen¬du¬¬duk menurun dari urutan ke-5 di tahun 1930 menjadi ke-6 di tahun 1980.
Perluasan kota Medan telah mendorong perubahan pola pe¬mu¬¬kiman kelompok-kelompok etnis, termasuk pemukiman orang Melayu. Ada kesan bahwa pemukiman orang Melayu makin ter¬gusur ke pinggir kota. Dalam beberapa zona perkotaan dugaan ini dapat di¬benarkan. Seperti telah disinggung di atas bahwa salah satu aspek pemekaran kota ialah perluasan fasilitas atau pusat-pusat perbelanjaan. Pusat-puat perbelanjaan ini dari segi proses perkembangannya dapat dilihat dalam lima zona (pusat perbe¬lanjaan yang juga menjadi pusat-pusat perdagangan), yang juga dapat dianggap sebagai pusat kota. Di pusat-pusat perdagangan ini tumbuh pemukiman baru.
Orang Cina dan Minangkabau yang sebagian besar hidup di bidang perda¬gangan hampir 75% dari mereka tinggal di sekitar pusat-pusat per¬belanjaan, berbeda dengan orang Man¬dai¬ling dan Melayu yang ti¬dak banyak terlibat di bidang itu. Mereka yang berdiam di sekitar pusat-pusat perbelanjaan kota hanya sekitar 40%. Dengan demikian, kecenderungan orang Mandailing dan Melayu untuk pindah ke ping¬gir kota sebenarnya bukan dalam pengertian “ter¬singkir”, tetapi mung¬¬kin lebih banyak disebabkan karena per¬hitungan ke¬serasian ling¬¬kungan fisik.
Tempat di ping¬gir kota lebih aman dan nyaman untuk rumah dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu terdapat kecenderungan di ka¬langan orang Mandailing untuk menjual rumah dan tanah mereka di tengah kota, seperti di Kampung Mesjid, Kota Maksum, dan Sungai Mati, dan mereka kemudian pindah ke pemukiman lain. Pemukiman orang Cina dan Minangkabau sejalan dengan arah pemekaran dan per¬luasan fasilitas pusat perbelanjaan.
8. Kesimpulan
Kehidupan orang Melayu sebagai “tuan rumah” (host popu¬la¬tion) dalam masyarakat majemuk kota Medan telah mengalami pasang surut bersama gelombang sejarah yang dihadapinya. Dari segi antropohistoris, kehidupan mereka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, pada masa kolonial orang Melayu secara formal me¬me¬gang kekuasaan pemerintahan (politik), walaupun terbatas pada aspek-aspek tertentu (adat dan agama). Kekuasaan ini dito¬pang oleh limpahan keuntungan konsesi perkebunan yang dapat dimanfaatkan oleh Sultan Melayu. Dalam posisi ini orang Melayu dapat berperan se¬bagai dominant culture, pusat orientasi akulturasi kelompok-ke¬lompok etnis perantauan di kota Medan.
Kedua, perubahan sistem ekonomi pertanian orang Melayu dari pola pertanian ekspor ke pola pertanian subsisten sebagai kon¬¬sekuensi dari pembangunan perkebunan asing merupakan set back yang besar dalam tradisi pertanian orang Melayu. Perubahan sistem pertanian ini merupakan permulaan proses pemiskinan orang Melayu.
Ketiga, karena pertimbangan prestise dan kendala normatif lainnya, orang Melayu tidak mampu berpartisipasi dan mengambil manfaat dari pembangunan dan perkembangan perdagangan kota. Dalam berpacu untuk memperebutkan posisi dalam birokrasi pe¬merintahan mo¬dern (sesudah kemerdekaan) orang Melayu ke¬¬lihatannya juga ti¬dak berdaya. Faktor utama yang menjadi pe¬nyebabnya adalah taraf pen¬didikan formal yang rendah dan semangat kompetisi yang kurang. Di samping itu tampak bahwa orang Melayu tidak siap menghadapi perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kota, yang berjalan dari ascribed status ke achieved status, di mana faktor pen¬didikan dan prestise me¬megang peran yang utama.
Keempat, revolusi sosial dan pembentukan Negara Sumatera Timur (NST) merupakan dua kasus historis yang secara po¬litis me¬nye¬¬babkan image masyarakat Melayu “kurang baik”. Se¬yogyanya di¬usahakan upaya untuk menampilkan sisi lain dari sejarah kemerdekaan yang dapat mengimbangi image tersebut.
Kelima, gambaran bahwa orang Melayu tersingkir dari ke¬hidupan kota tidak sepenuhnya dapat dibuktikan dengan data-data fisik. Pola pemukiman orang-orang Melayu yang cenderung menjauhi pusat-pusat kota sejalan dengan preferensi okupasi orang Melayu yang tidak menyukai dunia perdagangan besar. Hal yang sama juga dapat ditemui pada orang Mandailing. Gambaran ter¬kucilnya kehidupan orang Me¬layu di kota Medan lebih banyak didasarkan pada menurunnya peran mereka dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Keenam, kehidupan majemuk kota Medan memerlukan penam¬pilan budaya Melayu sebagai pusat orientasi akulturasi da¬lam ke¬hi¬dup¬an bersama. Budaya Melayu sebagai budaya lokal masyarakat majemuk Medan harus dibangun dan diperkaya oleh semua warga kota Medan dan tidak hanya oleh orang Melayu.
Ketujuh, kebudayaan Melayu dapat berfungsi sebagai pra-kebudayaan nasional dengan syarat “membuka diri” terhadap peng¬kayaan gagasan kolektif yang membangun. Dengan demikian kebudayaan Melayu akan berfungsi sebagai salah satu identitas kota Medan.*
Daftar Pustaka
Anderson, J. 1924. Mission to East Sumatra: A Report. London: Blackwood.
Bruner, E. M. 1974. “The Expression of Ethnicity in Indonesia, ” dalam Urban Eth¬ni¬¬city. A. Cohen (Ed.). London: Tavistock.
Husny, T. L. 1976. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950. Medan: Badan Penerbitan Husny.
Langerberg, M. v. 1982. Class and Ethnic Conflict in Indonesia‘s Decolonization Process: A Study of East Sumatera, Indonesia. Ithaca: Southeast Asia Pro¬ject, Conell University.
Mahadi. 1978. Sedikit Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah Suma¬tera Timur. Bandung: Penerbit Alumni.
Meuraxa, D. 1975. Sejarah Hari Jadinya Kota Medan. Medan: Sastrawan.
Mu‘thi, A. 1957. Tiga Puluh Tahun Muhammadiyah Daerah Sumatera Timur. Medan: Panitia 30 Tahun Muhammadiyah.
Nagata, J. 1982. “Islamic Revival and the Problem of Legitimacy Among Rural Re¬ligius Elites in Malaysia”. Man 17 (1).
Pelly, U. dan Darmono. 1981. Pandangan tentang Makna Hidup dan Transi¬sio¬nalitas Masyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara. Jakarta: Studi Stra¬tegi Kebudayaan, LIPI.
Pelly, U. dkk. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud.
Pelly, U. 1977. Ulama di Kesultanan Melayu. Laporan Penelitian, Jakarta LEK¬NAS LIPI.
–––––––––––. 1980. Ethnicity and Religious Movements: A Study of Urban Adap¬ta¬tion Among Mandailing Batak and Minangkabau, and Their Role in Washliyah and Muham¬madiyah. Thesis. University of Illinois, Urbana- Champaign.
–––––––––––. 1983. Urban Migrations and Adaptation in Indonesia: A Study of the Minangkabau and Mandailing Batak Migrations in Medan, North Suma¬tera. Disertasi University of Illinois, Urbana-Champaign.
Pelzer, K. J. 1978. Planter and Peasant: Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Coast Sumatera (1863–1947). s‘Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Said, M. 1973. “What was the Social Revolution of 1946 in East Sumatera in Indonesia?”. Indonesia No. 15.
–––––––––––. 1977. Koeli Kontrak Tempoe Doeloe, dengan Derita dan Kemarah¬annya. Medan: Percetakan Waspada.
Sinar, T. L. 1976. The Impact of Dutch Colonialism on The Malay Coastal States in The East Sumatera During the 19 Century.
Sulaiman, N. 1956. Seperempat Abad Al-Djamiatul Washliyah. Medan.
Thaib, R. dkk. 1959. Lima Puluh Tahun Kotapraja. Medan: Panitia 50 Tahun Kota¬¬praja Medan.
oooOooo
_____________________
Prof. Dr. Usman Pelly, MA., adalah Dosen Luar Biasa IKIP Medan, Fakultas Sastra dan Ilmu Sosial Politik, Universitas Sumatera Utara dan IAIN Sumatera Utara. Lahir di Lhoksumawe pada tanggal 12 Juli 1938. Tahun 1962 lulus Sar¬jana Muda dari FKIP Universitas Sumatera Utara; tahun 1969 lulus Sarjana IKIP Medan. Master of Arts bidang Antropologi diperolehnya dari University of Illinois, USA pada tahun 1980; Ph.D. dalam bidang Antropologi Kependu¬duk¬¬an diperoleh dari University of Illinois, USA pada tahun 1983; dan Akta V/B Universitas Terbuka diperoleh pada tahun 1984. Dia aktif dalam berbagai kegiatan. Dia tercatat sebagai anggota The Honor Society Phi Kappa Phi (1978); anggota The American Anthropological Association (AAA); Ketua Komisariat HIPIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial) Medan dan sekitarnya; ang¬gota DPP MSI (Dewan Pimpinan Pusat Masyarakat Seja¬ra¬wan Indonesia); dan anggota Himpunan Studi Pengembangan Ilmu Wilayah Sumatera Utara.
Sesuai dengan profesinya sebagai dosen, dia juga aktif dalam du¬nia penelitian dan tulis-menulis. Hasil karyanya antara lain “Ara dan Perahu Bugisnya: Suatu Studi Pewarisan Keahlian Membuat Perahu Orang Bugis Kepada Anak dan Keturunan¬nya”, PLPIIS, Universitas Hasanuddin, 1975; “Peranan Ulama di Tiga Kesultanan Melayu Pesisir Sumatera Timur”, Leknas LIPI, 1976; “Ethni¬city and Religious Movement in East Sumatera”, thesis University of Illinois, USA, 1980; “Urban Migration and Adaptation in Indonesia: A Study of the Minang¬kabau and the Mandailing Batak Migrants in Medan, North Sumatra”, disertasi University of Illinois, USA, 1983; “Symbolic Aspect of Bugis Ship and Ship Building”, Journal of the Steward Anthropological Society, 8(2), 1977; “Differing Adaptation in Urban Migration”, makalah dalam The 8Ist Annual Meetings of the American Anthropological Association, Washington, D.C., 1982.
_____________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985. (Dengan penambahan hyperlink dari MelayuOnline.com)
Mengingat pentingnya makalah ini, Redaksi MelayuOnline.com memuat ulang dengan penyuntingan seperlunya.
Kumpulan makalah (prosiding) seminar ini telah dibukukan dengan judul “Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan”, dengan editor Prof. Dr. Heddy Shri Ahmisa-Putra, setelah dilakukan penyuntingan ulang pada klasifikasi dan urutan pada daftar isi, bahasa, maupun perubahan judul. Editor juga memberikan Wacana Pembuka dan Wacana Penutup serta Kata Pengantar pada setiap bagian. Diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Edisi Eksklusif (Hard Cover), 965 halaman.
Seluruh makalah pada buku tersebut akan dimuat berdasarkan urutan bagian secara bergantian. Buku tersebut terdiri atas 36 (tiga puluh enam) makalah pilihan yang terbagi dalam 8 (delapan) bagian yakni, 1) Sejarah dan Keragaman Kesulatanan Melayu; 2) Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia; 3) Sastra Melayu dan Sastrawan Melayu; 4) Naskah Melayu dan Penelitiannya; 5) Seni Pertunjukan Melayu; 6) Kepribadian, Adat Istiadat dan Organisasi Sosial Melayu; 7) Teknologi Melayu; dan 8) Melayu dan Non-Melayu.
Sumber:
http://medantanahdeli.com/index.php/medan-tanah-deli