Hal pertama yang saya urusi adalah manusianya
Oleh Elia Massa Manik - Kamis, 17 Oktober 2013 | 08:47 WIB
Tahun 2011, operasional Elnusa sempat di ujung tanduk. Dana operasional perusahaan minus akibat terseret kasus pembobolan dana di Bank Mega. Kini, kondisi perusahaan sudah pulih. Apa yang dilakukan manajemen perusahaan di bawah kendali Presiden Direktur Elnusa Elia Massa Manik? Berikut penuturannya kepada wartawan KONTAN Fransiska Firlana, Roy Franedya, dan Carolus Agus, di Jakarta, Jumat (4/10) lalu.
Saya masuk ke Elnusa jelas karena ada kasus pembobolan dana perusahaan di Bank Mega. Ketika kasus ini melibatkan oknum, pemegang saham mengaku tak habis pikir mengapa hal itu bisa terjadi. Jangan-jangan ini gunung es.
Kala itu pemegang saham cepat-cepat melakukan perubahan direksi Elnusa. Pada bulan Juli 2011, saya resmi bergabung. Sebelum bergabung di Elnusa secara resmi, saya mengajukan makalah kepada pemegang saham tentang management improvement. Saya meminta privilege untuk melakukan perubahan, khususnya dari segi manusianya. Mulai awal 2012, semua direksi baru.
Ketika saya masuk, Elnusa bak kapal yang nyaris karam. Tentu amanat pemegang saham kepada saya adalah menyehatkan Elnusa. Ini merupakan suatu permintaan alamiah dari pemegang saham. Pertamina selaku single majority atas Elnusa, kepemilikan sahamnya 41,10%.
Setelah satu bulan di Elnusa, saya menerima kenyataan bahwa kondisi perusahaan memang kritis. Saya segera melakukan mapping. Toh ini perusahaan terbuka, datanya semua ada.
Masalahnya, ini perusahaan minyak sehingga orang tidak terlalu peduli untuk menilik data-datanya. Bila dicermati betul data-data tersebut, Elnusa sebenarnya tidak pernah untung. Kalau pun selalu untung, itu karena ada penjualan aset.
Ambil contoh, pada tahun 2008 Elnusa melakukan IPO. Dana hasil IPO masuk perusahaan sekitar Rp 600 miliar. Lantas, tahun 2010, Elnusa menjual PT Infomedia Nusantara dan dana yang masuk sekitar Rp 500 miliar.
Ketika saya masuk Elnusa, laporan keuangan perusahaan masih menunjukkan adanya net profitsebesar Rp 60 miliar. Tapi, operating cash flow negatif Rp 200 miliar.
Secara finansial, memang operasional kurvanya menuju pada kebangkrutan. Karena waktu saya hitung ulang, cash flow tinggal Rp 27 miliar.
Memang ada uang cash Rp 600 miliar di account, tetapi saya harus potong sebesar Rp 111 miliar karena dana tersebut terkait dengan Bank Mega. Karena uang itu menjadi sengketa, tidak bisa dipakai.
Dengan cash flow saat itu tinggal Rp 27 miliar, jarak pandang saya untuk perusahaan ini tinggal satu atau dua bulan untuk hidup. Melihat fakta-fakta di Elnusa, terlintas di pikiran bahwa saya masuk ke Elnusa untuk ikut menguburkannya.
Akhirnya, tiga bulan setelah menjabat, saya pun mengajukan permintaan ke pemegang saham. Saya butuh cash keras dana talangan secepatnya US$ 20 juta. Tapi saya mengurungkan permintaan itu karena kami berhasil refinancing.
Banyak reorganisasi
Bukan hanya dari sisi finansial yang faktanya cukup mencengangkan, tetapi juga kultur kerja yang sangat jauh dari keterbukaan. Saya memperhatikan, keterbukaan itu barang langka di Elnusa. Seolah tabu bicara kenyataan yang jelek. Karyawan seolah enggan terbuka karena takut melukai divisi lain.
Saling ewuh-pakewuh
Untuk mengubah kultur ini tidak mudah. Saya butuh waktu sekitar 1,5 tahun untuk bisa merasakan iklim keterbukaan di Elnusa.
Sejak saya masuk Elnusa, hal pertama yang diurusi adalah manusianya alias sumberdaya manusia, karena kunci semua kemajuan itu ada di manusia. Kalau saya dapat hatinya, selesai sudah. Artinya, 70% tugas korporasi beres.
Perusahaan itu perlu kecerdasan, struktur organisasi yang efektif, sistem penggajian yang baik. Semua itu berbasis pada manusia. Elnusa itu perusahaan yang bisnisnya berkutat dalam bidang jasa. Kami ini services company di bidang minyak dan gas bumi (migas).
Perusahaan jasa di bidang migas itu berbeda dengan industri lain. Services company memainkan peran yang sangat penting. Sebab, perawatan-perawatan sumur milik perusahaan migas itu kalau sudah diserahkan ke Elnusa maka produksinya pun tergantung Elnusa. Kalau produksinya jelek, maka klien kami yang notabene adalah perusahaan migas mengalami produksi yang jelek.
Investasi alat pada bisnis ini juga besar. Jadi memang membutuhkan tenaga-tenaga operator yang ahli. Sebelum ke lapangan mereka harus dilatih, paling tidak setahun. Untuk itu kami mulai mengaktifkan Elnusa Petroleum School. Saya terjun langsung menangani lembaga training karyawan Elnusa.
Dengan acuan kerja semacam itu, tentu tidak bisa main-main dalam menempatkan orang. Tujuan pengurangan karyawan yang kami lakukan bukan untuk efisiensi.
Perusahaan yang tidak perform itu tentu saja karena manusianya. Untuk itu, karyawan-karyawan yang integritas dan kapasitasnya kurang perform terpaksa mundur.
Saya memang harus melakukan banyak reorganisasi di Elnusa.
Selain mengurusi SDM, saya juga melakukan pendekatan dengan klien-klien dan calon klien. Saya menceritakan secara jujur kondisi Elnusa terkait dengan dana di Bank Mega yang memang belum bisa dipakai.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keluhan dari klien kepada kami banyak sekali. Dalam kondisi ini, saya tidak hanya berbicara melalui mulut karena klien ini akan memantau day by day.
Kami melakukan koordinasi dengan para karyawan untuk melakukan perubahan yang baik dalam layanan terhadap klien. Saya datang ke lapangan untuk mengecek kerja mereka. Setelah menemukan persoalan dan keluhan klien, segera kami tindak lanjuti.
Bukan hanya asal perintah ke tenaga di lapangan, saya juga mencoba menggali hambatan yang sering dialami karyawan di lapangan. Saya mencoba memberikan fasilitas-fasilitas pendukung kerja mereka. Misalnya ada fasilitas workshop. Perumahan yang tadinya jorok menjadi bersih.
Di Balikpapan, ada klien yang mengeluhkan ketersediaan alat dan suku cadang dari Elnusa yang sering terlambat. Nah, kami berupaya supaya segala sesuatunya tepat waktu.
Perbaikan layanan di lapangan yang cepat membuat penilaian positif dari klien. Klien lama tetap bertahan dan selama dua tahun terakhir ini sudah ada dua klien baru. Utilisasi alat yang tadinya hanya 70% sekarang bisa sampai 100%.
Saya juga melakukan perubahan model bisnis. Misalnya, kami menutup beberapa bisnis yang tidak sejalan dengan bisnis Elnusa. Kami menutup perusahaan patungan dengan CGG Veritas asal Perancis.
Kami menutupnya karena biaya tetapnya (fixed cost) tinggi sementara market-nya spot. Jadi, pekerjaannya jangka pendek tapi operasional tidak pernah berhenti. Padahal biaya operasional mencapai US$ 105.000 per hari.
Kami juga menjual PT Patra Telekomunikasi Indonesia (Patrakom). Sebenarnya ini sudah direncanakan manajemen lama. Tapi dua tahun dijual tidak pernah laku. Baru pada September lalu bisa laku. Patrakom dijual karena bukan bisnis inti kami. Ya sudah kami lepaskan.
Perlahan tapi pasti, setelah setahun berjalan, sudah menunjukkan surplus Rp 250 miliar. Laba bersih pada tahun 2012 lalu Rp 128 miliar. Targetnya tahun ini Rp 150 miliar.
Pangsa pasar kami saat ini baru 4%. Targetnya dalam lima tahun ke depan bisa 10%. Setelah 44 tahun berdiri, baru kali ini Elnusa mendapat penghargaan The Best Services Company dari Total.
Sumber:
http://executive.kontan.co.id/news/hal-pertama-yang-saya-urusi-adalah-manusianya/2013/10/17
Tahun 2011, operasional Elnusa sempat di ujung tanduk. Dana operasional perusahaan minus akibat terseret kasus pembobolan dana di Bank Mega. Kini, kondisi perusahaan sudah pulih. Apa yang dilakukan manajemen perusahaan di bawah kendali Presiden Direktur Elnusa Elia Massa Manik? Berikut penuturannya kepada wartawan KONTAN Fransiska Firlana, Roy Franedya, dan Carolus Agus, di Jakarta, Jumat (4/10) lalu.
Saya masuk ke Elnusa jelas karena ada kasus pembobolan dana perusahaan di Bank Mega. Ketika kasus ini melibatkan oknum, pemegang saham mengaku tak habis pikir mengapa hal itu bisa terjadi. Jangan-jangan ini gunung es.
Kala itu pemegang saham cepat-cepat melakukan perubahan direksi Elnusa. Pada bulan Juli 2011, saya resmi bergabung. Sebelum bergabung di Elnusa secara resmi, saya mengajukan makalah kepada pemegang saham tentang management improvement. Saya meminta privilege untuk melakukan perubahan, khususnya dari segi manusianya. Mulai awal 2012, semua direksi baru.
Ketika saya masuk, Elnusa bak kapal yang nyaris karam. Tentu amanat pemegang saham kepada saya adalah menyehatkan Elnusa. Ini merupakan suatu permintaan alamiah dari pemegang saham. Pertamina selaku single majority atas Elnusa, kepemilikan sahamnya 41,10%.
Setelah satu bulan di Elnusa, saya menerima kenyataan bahwa kondisi perusahaan memang kritis. Saya segera melakukan mapping. Toh ini perusahaan terbuka, datanya semua ada.
Masalahnya, ini perusahaan minyak sehingga orang tidak terlalu peduli untuk menilik data-datanya. Bila dicermati betul data-data tersebut, Elnusa sebenarnya tidak pernah untung. Kalau pun selalu untung, itu karena ada penjualan aset.
Ambil contoh, pada tahun 2008 Elnusa melakukan IPO. Dana hasil IPO masuk perusahaan sekitar Rp 600 miliar. Lantas, tahun 2010, Elnusa menjual PT Infomedia Nusantara dan dana yang masuk sekitar Rp 500 miliar.
Ketika saya masuk Elnusa, laporan keuangan perusahaan masih menunjukkan adanya net profitsebesar Rp 60 miliar. Tapi, operating cash flow negatif Rp 200 miliar.
Secara finansial, memang operasional kurvanya menuju pada kebangkrutan. Karena waktu saya hitung ulang, cash flow tinggal Rp 27 miliar.
Memang ada uang cash Rp 600 miliar di account, tetapi saya harus potong sebesar Rp 111 miliar karena dana tersebut terkait dengan Bank Mega. Karena uang itu menjadi sengketa, tidak bisa dipakai.
Dengan cash flow saat itu tinggal Rp 27 miliar, jarak pandang saya untuk perusahaan ini tinggal satu atau dua bulan untuk hidup. Melihat fakta-fakta di Elnusa, terlintas di pikiran bahwa saya masuk ke Elnusa untuk ikut menguburkannya.
Akhirnya, tiga bulan setelah menjabat, saya pun mengajukan permintaan ke pemegang saham. Saya butuh cash keras dana talangan secepatnya US$ 20 juta. Tapi saya mengurungkan permintaan itu karena kami berhasil refinancing.
Banyak reorganisasi
Bukan hanya dari sisi finansial yang faktanya cukup mencengangkan, tetapi juga kultur kerja yang sangat jauh dari keterbukaan. Saya memperhatikan, keterbukaan itu barang langka di Elnusa. Seolah tabu bicara kenyataan yang jelek. Karyawan seolah enggan terbuka karena takut melukai divisi lain.
Saling ewuh-pakewuh
Untuk mengubah kultur ini tidak mudah. Saya butuh waktu sekitar 1,5 tahun untuk bisa merasakan iklim keterbukaan di Elnusa.
Sejak saya masuk Elnusa, hal pertama yang diurusi adalah manusianya alias sumberdaya manusia, karena kunci semua kemajuan itu ada di manusia. Kalau saya dapat hatinya, selesai sudah. Artinya, 70% tugas korporasi beres.
Perusahaan itu perlu kecerdasan, struktur organisasi yang efektif, sistem penggajian yang baik. Semua itu berbasis pada manusia. Elnusa itu perusahaan yang bisnisnya berkutat dalam bidang jasa. Kami ini services company di bidang minyak dan gas bumi (migas).
Perusahaan jasa di bidang migas itu berbeda dengan industri lain. Services company memainkan peran yang sangat penting. Sebab, perawatan-perawatan sumur milik perusahaan migas itu kalau sudah diserahkan ke Elnusa maka produksinya pun tergantung Elnusa. Kalau produksinya jelek, maka klien kami yang notabene adalah perusahaan migas mengalami produksi yang jelek.
Investasi alat pada bisnis ini juga besar. Jadi memang membutuhkan tenaga-tenaga operator yang ahli. Sebelum ke lapangan mereka harus dilatih, paling tidak setahun. Untuk itu kami mulai mengaktifkan Elnusa Petroleum School. Saya terjun langsung menangani lembaga training karyawan Elnusa.
Dengan acuan kerja semacam itu, tentu tidak bisa main-main dalam menempatkan orang. Tujuan pengurangan karyawan yang kami lakukan bukan untuk efisiensi.
Perusahaan yang tidak perform itu tentu saja karena manusianya. Untuk itu, karyawan-karyawan yang integritas dan kapasitasnya kurang perform terpaksa mundur.
Saya memang harus melakukan banyak reorganisasi di Elnusa.
Selain mengurusi SDM, saya juga melakukan pendekatan dengan klien-klien dan calon klien. Saya menceritakan secara jujur kondisi Elnusa terkait dengan dana di Bank Mega yang memang belum bisa dipakai.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keluhan dari klien kepada kami banyak sekali. Dalam kondisi ini, saya tidak hanya berbicara melalui mulut karena klien ini akan memantau day by day.
Kami melakukan koordinasi dengan para karyawan untuk melakukan perubahan yang baik dalam layanan terhadap klien. Saya datang ke lapangan untuk mengecek kerja mereka. Setelah menemukan persoalan dan keluhan klien, segera kami tindak lanjuti.
Bukan hanya asal perintah ke tenaga di lapangan, saya juga mencoba menggali hambatan yang sering dialami karyawan di lapangan. Saya mencoba memberikan fasilitas-fasilitas pendukung kerja mereka. Misalnya ada fasilitas workshop. Perumahan yang tadinya jorok menjadi bersih.
Di Balikpapan, ada klien yang mengeluhkan ketersediaan alat dan suku cadang dari Elnusa yang sering terlambat. Nah, kami berupaya supaya segala sesuatunya tepat waktu.
Perbaikan layanan di lapangan yang cepat membuat penilaian positif dari klien. Klien lama tetap bertahan dan selama dua tahun terakhir ini sudah ada dua klien baru. Utilisasi alat yang tadinya hanya 70% sekarang bisa sampai 100%.
Saya juga melakukan perubahan model bisnis. Misalnya, kami menutup beberapa bisnis yang tidak sejalan dengan bisnis Elnusa. Kami menutup perusahaan patungan dengan CGG Veritas asal Perancis.
Kami menutupnya karena biaya tetapnya (fixed cost) tinggi sementara market-nya spot. Jadi, pekerjaannya jangka pendek tapi operasional tidak pernah berhenti. Padahal biaya operasional mencapai US$ 105.000 per hari.
Kami juga menjual PT Patra Telekomunikasi Indonesia (Patrakom). Sebenarnya ini sudah direncanakan manajemen lama. Tapi dua tahun dijual tidak pernah laku. Baru pada September lalu bisa laku. Patrakom dijual karena bukan bisnis inti kami. Ya sudah kami lepaskan.
Perlahan tapi pasti, setelah setahun berjalan, sudah menunjukkan surplus Rp 250 miliar. Laba bersih pada tahun 2012 lalu Rp 128 miliar. Targetnya tahun ini Rp 150 miliar.
Pangsa pasar kami saat ini baru 4%. Targetnya dalam lima tahun ke depan bisa 10%. Setelah 44 tahun berdiri, baru kali ini Elnusa mendapat penghargaan The Best Services Company dari Total.
Sumber:
http://executive.kontan.co.id/news/hal-pertama-yang-saya-urusi-adalah-manusianya/2013/10/17