PERTANIAN KARO DAN IDENTITAS BUDAYA KARO
Ada 3 wujud kebudayaan: ide, prilaku dan artefak (benda). Semuanya dapat diciptakan dan diperoleh dengan cara belajar agar menghasilkan suatu karya tersendiri dan menjadi identitas budaya. Dalam tulisan ini, saya hanya membahas budaya dalam kaitannya dengan pertanian Karo.Pertanian Karo dan bagaimana mengelola lahan pertanian merupakan hasil dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun atau bahkan sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang suku Karo. Pertanian Karo merupakan salah satu identitas suku Karo yang terkenal dari hasil pertaniannya yang sudah mampu menembus pasar daerah, nasional dan bahkan sudah diekspor ke luar negeri. Pertanian Karo juga tidak akan lepas dari istilahAron, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia secara luas, yakni bekerjasama.
Masyarakat akan saling bekerja sama untuk mengelola lahan pertanian penduduk yang satu, dan begitu juga dengan penduduk yang dibantu tadi akan membantu penduduk yang satu lagi. Biasanya aron akan dilakukan ketika musim menanam, mengelola tanaman, dan musim panen (rani). Pertanian Karo merupakan salah satu penyumbang hasil-hasil pertanian di daerah Sumatera Utara, selain dari beberapa kabupaten yang berada dalam wilayah provinsi Sumatera Utara.
Lahan pertanian yang terbentang luas di dataran tinggi Karo menjadi salah satu sumber pertanian unggulan di daerah Sumatera Utara. Tanah Karo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang, kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang di dalamnya ada terdapat Gunung Sinabung, Gunung Sibayak dan perbukitan yang mengakibatkan tanah di Kabupaten Karo menjadi lahan subur dan sangat cocok untuk tanaman muda dan beberapa jenis tanaman tua. Pertanian Karo sekaligus merupakan identitas budaya Karo yang sesungguhnya.
Kebudayaan Karo yang dimaksudkan penulis merupakan hasil dari segala kegiatan masyarakat dalam budaya tersebut, membentuk struktur dan sistem pertanian yang menggabungkan antara pemakaian alat pertanian, teknik pemakaiann, dan pelaksanaan di lapangan. Pertanian sebagai identitas budaya Karo dapat kita temukan dalam segala aktivitas masyarakat Karo di setiap wilayah Dataran Tinggi Karo. Kebudayaan yang dimaksudkan penulis adalah segala aktivitas masyarakat yang memberikan cirri-ciri khusus mengenai kehidupan masyarakat Karo yang dalam hubungannya adalah menyangkut pertanian, cara mengelola lahan pertanian, ritual, peralatan yang digunakan hingga segala kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan menanam dan memanen hasil pertanian. Kerja Tahun merupakan salah satu kegiatan masyarakat yang sudah dijalankan selama puluhan Tahun atau bahkan ratusan tahun. Guro-guro aron merupakan upacara tahunan untuk mensyukuri atas hasil panen yang telah didapat oleh masyarakat Karo.
Ketika Kerja Tahun (pesta tahunan) diadakan, maka setiap keluarga yang mempunyai sanak famii di luar tanah Karo akan datang ke kampung mereka masing-masing untuk memeriahkan acara tersebut. Di dalam budaya Karo, pesta tahunan ini menjadi perayaan yang paling besar dalam budaya Karo. Hal ini dapat kita lihat selama adanya pesta tahunan di antara desa yang satu dengan yang lain, maka setiap keluarga yang mempunyai saudara di luar daerah tanah karo akan berusaha mengajak saudaranya agar mau berkunjung ke desa mereka masing-masing. Pesta tahunan antara desa yang satu dengan yang lain dilaksanakan dalam waktu yang berbeda, sebab kerja tahun merupakan perayaan yang diputusakan bersama kepala desa serta masyarakat yang ada di dalam lingkungan desa tersebut.
Pesta tahunan juga menjadi ajang cari jodoh di tengah kaum muda-mudi. Ajang cari jodoh yang dimaksudkan penulis adalah, bahwa ketika pesta tahuna ini diselenggarakan, maka pemuda atau pemudi dari desa yang lain akan datang menghadiri dan memeriahkan pesta tahunan yang dilaksanakan oleh sutu desa. Kesempatan ini akan dipergunakan oleh muda-mudi untuk saling berkenalan, dan jika ada kecocokan di antara mereka maka hubungan itu juga akan berlanjut ke tahapan yang lebih serius, yakni perkawinan. Tidak jarang ditemukan satu pasangan akan melangsungkan perkawinan hanya mengalami masa perkenalan ketika pesta tahunan itu dilangsungkan.
Beda dengan Kerja Tahun (pesta tahunan), maka ada juga disebut Guro-guro aron. Sebenarnya kedua hal ini hampir sama. Cuma jika pesta tahuna ini hanya dilaksanakan di Dataran Tinggi Karo (Karo Gugung), sedangkan perayaan Guro-guro Aron ini dapat dilaksanakan di mana pun warga Karo berada. Termasuk yang di luar Tanah Karo dapat melaksanakan perayaan Guro-guro Aron. Guro-guro Aron sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen, hasil kerja yang sudah diterima selama satu tahun.
Sebagai daerah yang mayoritasnya adalah suku karo, maka ada berbagai istilah dalam bahasa Karo dalam hubungannya dengan sisterm pertanian Karo, yakni nuan (musim menanam), ngrirak (musim perawatan tanaman), rani (musim panen), dan masih ada lagi bebrapa istilah yang menyangkut pertanian di dalam masyarakat Karo dan menjadi identitas budaya Karo. Sistem pertanian Karo telah mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke Tanah Karo. Lahan pertanian Karo juga telah menjadi salah satu obyek wisata yang telah mampu menyita perhatian setiap wisatawan yang berasal dari dalam dan luar negeri yang ketika berkunjung ke Tanah Karo tersebut. Pemandangan yang memperlihatkan lahan pertanian ini membuat setiap wisatawan akan merasa kagum.
Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Karo dalam hubungannya terhadap sistem pertanian di tengah masyarakat, masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan pencipta atas segala apa yang ada. Dengan upacara tersebut, masyarakat diminta agar senantiasa bersyukur atas segala apa yang sudah mereka terima. Masyarakat juga diminta agar senantiasa mau menjaga kelestarian alam sehingga lingkungan yang mereka tempati akan memberikan hasil yang berguna untuk menopang kehidupan mereka dan keluarga masing-masing. Spiritualitas bertani yang dimiliki masyarakat Karo selama puluhan tahun menjadi cirri khas tersendiri dibandingkan dengan masyarakat yang berasal dari luarTtanah Karo.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pertanian karo dan bagaimana cara mengolah lahan pertanian di daerah tanah Karo tidak luput dari perkembangan jaman, yakni perkembangan teknologi yang sudah membawa perubahan dalam semua bidang kehidupan manusia, terutama dalam hubungannya terhadap pengelolaan lahan–lahan pertanian ,masyarakat Karo. Cara pengelolaan itu telah mengubah sistem pertanian masyarakat Karo, yang pada dahulu dilakukan dengan cara tradisional, maka sekarang ini lahan pertanian sudah disentuh dengan berbagai alat pertanian terbaru yang semuanya bertujuan untuk mencapai efisiensi kerja dan mampu memberikan hasil maksimal lagi dari setiap lahan pertanian yang dikelola. Pertanian karo hadir sebagai salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitanya, dan mampu menjadi sumber mata pencaharian di tengah masyarakat Karo sekitarnya. Pertanian Karo juga sekaligus menjadi spiritualitas baru dalam bertani, dan mampu mengungkapkan nilai-nilai budaya yang ada,
Perkembangan jaman dan modernisasi dalam sektor pertanian juga telah mengubah pandangan masyarakat, terutama masyarakat Karo yang berada di daerah Dataran Tinggi Karo. Penggunaan peralatan pertanian yang terbaru dan juga penggunan herbisida dan pestisida menjadi salah satu cara untuk memberi hasil pertanian yang lebih besar lagi. Dengan penggunaan alat pertanian yang lebih modern lagi, maka akan lebih meminimalisir tenaga manusia dalam mengelola lahan pertanian, yang biasanya dilaksanakan secara tradisonal dan melibatkan sejumlah penduduk dalam mengelola lahan pertanian tersebut. Penggunaan pestisida dan herbisida di dalam lahan pertanian dimaksudkan untuk menjaga tanaman dari serangan hama atau tumbuhan yang dapat mengganggu perkembangan tanaman di lahan pertanian tersebut.
Penulis mencoba memberi satu pandangan baru mengenai Spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo. Spiritualitas yang dimaksudkan penulis adalah spiritualitas yang melibatkan semua komponen dalam masyarakat dalam setiap pribadi dan mampu diintegrasikan dalam bentuk sinergitas di tengah masyarakat. Penulis beranggapan bahwa spiritualitas bertani di dalam masyarakat Karo hendaknya dibangun atas rasa kepedulian terhadap lingkungan, mampu mengelola alam dengan baik dan adanya timbal balik antara pengelola alam dan perhatian terhadap alam itu juga. Hendaknya bukan hanya hasil yang besar yang hanya diharapkan oleh masyarakat dari alam tersebut, melainkan segala tindakan dalam hubungannya terhadap pengelolaan lahan pertanian itu juga memperhatikan etika alam, sehingga apa yang dikerjakan oleh masyarakat itu juga sesuai dengan nilai-nilai dan etika yang ada dalam bertani,
Sebagai suatu identitas budaya, spiritualitas bertani merupakan suatu hal yang harus dipelihara, dijalankan secara berkesinambungan, mempunyai akuntabilitas, sehingga nilai-nilai dari sistem pertanian dalam budaya Karo senantiasa terpelihara dengan baik. Masyarakat juga diminta tidak mengeksploitasi lingkungan dimana mereka berada, melainkan senantiasa menjaga keseimbangan lingkungan, sehingga lingkungan dan manusia menjadi satu kesatuan utuh dalam proses perjalanan waktu yang akan senantiasa berhadapan dengan perubahan cuaca dan perubahan waktu. Alam juga perlu diseimbangkan, sehingga dalam perjalanan waktu masyarakat mampu menjadi pemerhati dan meminimalisir segala tidnakan yang mmapu merusak alam, trerutama di Tanah Karo.
Nilai-nilai budaya dalam masyarakat Karo dalam hubungnnya terhadap sisterm pertanian yang ada hendaknya senantiasa dipelihara, sehingga budaya karo dalam bertani menjadi salah satru contoh yang dapat ditiru oleh masyarakat lain. Pertanian Karo semestinya memberikan suatu pandangan, bahwa segala aktivitas dalam bertani di dalamnya terdapat spiritualitas yang mampu membuat setiap masyarakat semakin mampu menyatu dengan budaya, dengan masyarakat lain dan dengan alam. Kebudayaan yang bersifat dinamis itu akan senantiasa mengalami perubahan seturut perubahan lingkungan yang ada, maka semestinya kita menjaga dan memperhatikan nilai-nilai budaya bertani setiap kita melakukan aktivitas di lahan pertanian.
Jika budaya bertani itu senantiasa dilaksanakan dengan penuh kesadaran, maka pertanian Karo mampu bertahan dan bersaing dengan daerah lain tanpa harus bergantung pada daerah lain. Penggunaan alat pertanian, pestisida dan herbisida, pupuk juga diharapkan bersifat tepat sasaran dan tidak merusak lingkungan, dan tidak berlebihan yang nantinya dapat merusak ekosistem yang ada. Masyarakat karo yang tinggal di dataran tinggi Karo merupakan salah satu masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat yang hidup dari bidang pertanian. Pertanian menjadi cirri utama dalam kehidupan masyarakat Karo. Lahan pertanian menjadi penopang hidup masyarakat yang tinggal di daerah Dataran Tinggi Karo.
Semua harapan ke depannya akan terwujud jika masyarakat Karo yang hidup dalam budaya pertanian dan menjadi suatu kebudayaan yang sangat terkenal itu akan dapat dipertahankan jika setiap masyarakat selalu berusaha memberikan perhatian lebih terhadap alam, tanpa merusak dan selalu menjalaninya dengan penuh tanggungjawab. Bagaimana pun waktu akan selalu mengalami perubahan, namun penulis mengharapakan bahwa budaya bertani dalam masyarakat Karo dan spiritualitas bertani yang dimiliki akan senantiasa mampu berjalan seturut perubahan waktu yang ada.
Perubahan itu memang diperlukan, namun marilah kita mengalami perubahan ke arah yang positif dan mampu membei kontribusi terhadap budaya bertani dan sekaligus menjadi identitas budaya Karo yang sesungguhnya. Semoga setiap masyarakat mampu mengelola lahan pertanian dengan selalu memperhatikan nilai-nilai yang ada. Budaya Karo tetap terjaga, dan hasil pertanian semakin bertambah. Marilah kita kembali kepada nilai budaya, dan mari lah kita menyeimbangkan alam melalui budaya dan spiritualitas bertani yang tepat sasaran.
Rudi Salam Sinulingga - Universitas Darma Agung Medan
Sumber:
No comments:
Post a Comment