Seputar Kemenyan 1
Kemenyan, Getah Magis yang Dulu Senilai Emas
Ada cerita yang sangat dipercaya oleh masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara. Salah satu persembahan yang dibawa tiga majuz atau cendekiawan dari timur untuk bayi Yesus yang baru dilahirkan di Betlehem itu berasal dari Tanah Tapanuli. Persembahan itu berupa kemenyan, mendampingi dua persembahan lainnya, emas dan mur.
Lewat cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan itu dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem.
Cerita itu semakin bergulir mengingat sebagian besar penduduk Tapanuli beragama Kristen dan Katolik yang erat dengan cerita kelahiran Nabi Isa.
Kebenarannya memang perlu diteliti, tetapi setidaknya dari cerita itu bisa terlihat bahwa sampai sekarang pun getah harum bernama kemenyan, yang dalam bahasa Batak disebut haminjon, itu begitu erat dengan kehidupan orang Tapanuli.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Utara yang juga mantan Bupati Tapanuli Utara RE Nainggolan menjelaskan, kemenyan pernah sangat menyejahterakan masyarakat Tapanuli. Dan, getah harum itu ikut pula membesarkan namanya. “Nenek saya pedagang kemenyan,” tuturnya.
Ia tahu persis, pada tahun 1936 neneknya sudah mempunyai mobil untuk mengangkut kemenyan dari Tapanuli ke Pelabuhan Sibolga. Saat itu harga satu kilogram kemenyan sama dengan satu gram emas. Standar itu dipakai terus oleh petani dan pengepul di Tapanuli: Satu kilogram kemenyan sama dengan satu gram emas. Satu kilogram kemenyan juga setara satu kaleng (16 kilogram) beras.
Selain cerita tentang persembahan dari timur untuk Nabi Isa itu, tak banyak orang tahu sejarah kemenyan di Tapanuli. Kebanyakan warga menyebutkannya sebagai tanaman ajaib yang sudah ada ratusan tahun dan menghidupi masyarakat Tapanuli.
Washington Situmorang (70), petani di Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, mengutarakan, pada tahun 1960-an harga kemenyan benar-benar sama dengan emas. Harga itu pelan-pelan surut. Sekitar tahun 1980-an harga kemenyan terus merosot hingga hanya separuh, bahkan sepertiga harga satu gram emas.
Menurut Thomson Silaban, staf bidang rehabilitasi hutan Dinas Pertambangan dan Kehutanan Kabupaten Humbang Hasundutan, jika sebelum tahun 1980 kemenyan mampu menyumbang 60 persen ekonomi rumah tangga, kini turun menjadi sekitar 20 persen.
Kemenyan (Stryrax sp) yang termasuk famili Stryraccaceae dari ordo Ebeneles diusahakan oleh rakyat Sumatera Utara di tujuh kabupaten, terutama di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, dan Toba Samosir. Tanaman ini juga dikembangkan di Dairi, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah meski tidak terlalu banyak. Sedangkan penghasil kemenyan terbesar masih di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan.
Di Tapanuli Utara, kemenyan menjadi komoditas andalan daerah di bawah kopi dan karet. Dari 56.003 keluarga di kabupaten itu, 30.446 keluarga atau lebih dari 54 persen menjadikan kemenyan sebagai sumber penghasilan. Di Humbang Hasundutan bahkan sekitar 65 persen keluarga (33.702) hidup dari pohon kemenyan. Komoditas ini menduduki posisi kedua di bawah kopi.
Dinas Perkebunan Sumatera Utara memperkirakan, pada tahun 2005 luas tanaman kemenyan di Sumatera Utara mencapai 23.592,70 hektar dengan produksi 5.837,86 ton. Produktivitas getah 294,31 kilogram per hektar per tahun. Getah kemenyan mengandung asam sinamat sekitar 36,5 persen yang banyak digunakan untuk industri farmasi, kosmetik, rokok, obat-obatan, dan ritual keagamaan.
Bukan hanya untuk ritual
Sebelum agama Kristen masuk ke Tapanuli, kemenyan banyak digunakan masyarakat Batak untuk kegiatan ritual penyembahan alam. Selama ribuan tahun, kemenyan banyak digunakan dalam tradisi penghormatan kepada Sang Pencipta.
Asap pembakaran yang membubung tinggi menjadi representasi doa yang juga naik kepada Sang Pencipta. Dalam tradisi Katolik, misalnya, kemenyan digunakan dalam misa khusus, menjadi bagian dari serbuk ratus yang dibakar dalam arang membara yang menghasilkan asap harum.
Di tanah Jawa dan juga di banyak kebudayaan dunia, harum asap kemenyan dipercaya mampu mendatangkan roh tetapi juga untuk mengusir roh. Bau harumnya menimbulkan sensasi magis. Kemenyan juga menjadi serbuk campuran rokok yang kebanyakan diisap oleh masyarakat pedesaan dan berusia lanjut di Jawa Tengah.
Hanya Tapanuli dan sedikit di Sumatera Barat yang menjadi penghasil kemenyan di Indonesia. Sayangnya, meski komoditas ini sudah diperdagangkan ratusan tahun, tak ada inovasi dalam mengembangkan perkebunannya. Inovasi produk juga belum ada. Kebanyakan petani tak tahu jalur perdagangannya. Untuk apa dan siapa pengguna akhir kemenyan pun, mereka tidak tahu. Akibatnya, harga getah ini sangat mudah dipermainkan pedagang karena petani tak tahu standar harga dunia.
Tujuh macam
Kemenyan tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian 900-1200 meter di atas permukaan laut, bersuhu antara 28-30 derajat Celsius di tanah podsolik merah kuning dan latosol. Keasaman tanah antara 5,5 hingga 6,5 dengan kemiringan tanah maksimal 25 derajat.
Tanaman tahunan ini mampu hidup hingga lebih dari 100 tahun. Ada 20 jenis pohon kemenyan, tetapi yang banyak tumbuh di Sumut adalah kemenyan jenis durame (Styrax Benzoine) dan kemenyan toba (Styrax Sumatrana). Kemenyan durame lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan jenis toba. Durame bisa disadap sejak umur 6-7 tahun dengan warna getah cenderung hitam, sedangkan toba baru disadap umur 10-13 tahun dengan jenis getah putih.
“Merawat pohon kemenyan itu seperti memperlakukan gadis. Gampang-gampang susah, harus banyak perhatian,” kata Washington Situmorang.
Berbeda dengan karet, penyadapan getah kemenyan tak perlu wadah. Getah dibiarkan keluar dari batang pohon, meleleh di kulit pohon.
Pada cukilan pertama, batang pohon akan menghasilkan getah berwarna putih yang baru bisa diambil sekitar tiga bulan kemudian. Getah itu menempel di kulit pohon sehingga untuk memanen petani harus mencongkel kulit batang kemenyan.
Getah putih yang disebut sidukabi atau mata zam-zam ini bernilai paling tinggi. Namun, kini harganya hanya sekitar Rp 60.000 hingga Rp 75.000 per kilogram di tingkat petani.
Bekas cukilan itu akan menghasilkan tetesan getah kedua yang disebut jalur atau jurur yang bisa dipanen dua-tiga bulan setelah memanen mata zam-zam. Setelah itu muncul getah ketiga yang disebut tahir. Harganya jauh lebih murah daripada harga mata, sekitar Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per kilogram. Jika mata berwarna putih, warna tahir atau jurur semakin menghitam.
Getah-getah kemenyan itu bisa dikelompokkan sedikitnya dalam tujuh macam dari yang paling mahal hingga termurah, yakni mata kasar, kacang, jagung, besar, pasir kasar, pasir halus, hingga abu. Mata kasar bisa bernilai Rp 100.000 per kilogram di tingkat pengumpul, sedangkan abu atau gilingan halus kulit kemenyan seharga Rp 3.000 per kilogram.
Di tempat pengumpul, pemilahan kemenyan ini bak memilah emas dari pasir. Buruh-buruh perempuan dengan tekun memilah-milah butiran itu. Getah kemenyan yang umurnya tua biasanya memang berwarna kuning menyerupai emas.
Dalam satu pohon bisa terjadi banyak cukilan. Di Tarutung atau Doloksanggul cukup mudah menemukan tanaman ini. Asal terlihat tanaman yang batangnya penuh luka cukilan, bisa dipastikan itu tanaman kemenyan.
Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Humbahas Aslin Simamora yang juga anak petani kemenyan menyebutkan, ada ritual yang dulu dianut oleh moyangnya sebelum mengguris (menyadap) pohon kemenyan.
Petani perlu membuat kue itak gurgur, kue yang terbuat dari campuran tepung beras, gula merah, dan parutan kelapa. Kue itu dikunyah lalu disemburkan ke batang pohon kemenyan yang hendak disadap.
Karena sejarah yang panjang itu, tak heran jika masyarakat marah saat PT Toba Pulp Lestari (TPL) menebangi pohon kemenyan rakyat yang berada di register 41 di perbatasan Kabupaten Humbang Hasundutan dan Samosir akhir tahun lalu. DPRD Humbang Hasundutan sampai membentuk panitia khusus yang mendesak PT TPL melindungi kawasan tanaman kemenyan rakyat.
Sumber : (Aufrida Wismi Warastri) Harian Kompas
No comments:
Post a Comment