Jambar dan Azas Publisitas
Oleh Suhunan Situmorang
SATU hal yang sebetulnya unik namun acap jadi sumber keluhan dalam pesta perkawinan orang Batak (unjuk) adalah saat pembagian jambar. Bahkan yang tak paham (terutama tamu non-Batak) kerap diliputi heran dan pertanyaan: pesta kok macam rapat besar, dipenuhi suara keras yang berseliweran, kadang mirip kegaduhan? Memang, bagi yang tak cukup paham, bagian ritus pesta adat yang disebut mambagi jambar akan dianggap keanehan. Perbuatan yang mengganggu kenyamanan. Kenapa pula tak disingkirkan agar tetamu tak merasa terganggu? Apakah tak bisa dipisah supaya prosesi adat berlangsung syahdu, tak direcoki suara keras yang seolah saling beradu?
Mencari arti atau padanan kata jambar dalam Bahasa Indonesia, tak mudah. Secara harafiah bisa diartikan: bagian, hak, dalam tata peradatan. Tapi, kata jambar sering pula dipakai di luar konteks adat, menyangkut nasib, suratan tangan—meski kurang tepat. Yang lebih tepat adalah bagian, turpuk, atau sibaran bila menyangkut nasib atau suratan tangan, dan jamaknya berkonotasi buruk atau menyangkut ketidakberuntungan.
Jambar adalah elemen penting dalam pelaksanaan adat yang berkaitan dengan keharmonisan hubungan sosial masyarakat adat. Ia menyangkut hak yang tak bisa ditawar dan barangsiapa mengabaikan akan dianggap tak beradat, bukan orang terhormat, yang mengundang cibir. Inti jambar menyangkut penghargaan atau penghormatan pada pihak lain—dan itulah sesungguhnya esensi adat Batak yang sering disebut bertele-tele dan memberatkan itu.
Jambar yang merupakan implementasi sikap menghargai atau menghormati, diambil dari bagian penting seekor ternak yang dijadikan parjuhutni ulaon (daging yang disajikan dalam pesta kegembiraan semisal perkawinan, kelahiran anak, memasuki rumah) atau boan (bila upacara dukacita berupa sarimatua, saurmatua dan mauli bulung). Pembagian jambar, karenanya bukan hal sembarangan, ada aturan yang harus ditaati, kendati ada beberapa wilayah yang berbeda menentukan bagian mana yang harus diserahkan pada pihak yang menjadi unsur pokok dalam suatu perhelatan adat.
Selain jambar yang diambil dan dibagikan dari bagian inti (tudu-tuduni sipanganon) seekor ternak yang dipotong sebagai juhut pesta kegembiraan atau boan maupun liat-liatan di suatu upacara saurmatua-mauli bulung, masyarakat adat Batak juga mengenal jambar hata. Ia berupa hak untuk menyampaikan tanggapan atau harapan atas suatu hajatan. Jambar ini, sebagaimana jambar juhut, diberikan kepada unsur-unsur lembaga adat, termasuk dongan sahuta (kawan selingkungan atau tetangga). Jambar juhut dan jambar hata sama berartinya, tak bisa disepelekan, apalagi ditiadakan.
Perlu pula diketahui bahwa masyarakat adat Batak tidak menganggap ternak yang dipotong dan disuguhkan dalam perhelatan sekadar menu. Bahkan ternak yang dijadikan sajian utama memiliki tingkatan: sigagat duhut, sitio soara, namarmiak. Masing-masing memiliki derajat dan harus dipahami penggunaannya. Bila seorang bapak meninggal dunia dengan boan seekor sitio soara, umpamanya, maka saat istrinya meninggal dunia, boan-nya tak boleh melebihi suaminya, misalnya, dibuat sigagat duhut. Demikian halnya bila anak perempuan dikawinkan, parjuhut-nya tak boleh lebih tinggi dari juhut yang ditampilkan saat hula-hula-nya menjalani pernikahan adat.
Di atas telah disebut bahwa jambar adalah bagian atau hak yang amat penting, yang mengacu pada penghargaan dan penghormatan pada semua pihak—tergantung kedudukan masing-masing dalam pelaksanaan acara adat. Sejatinya, di luar suhut (yang melakukan acara adat) pihak-pihak yang terlibat harus bersikap pasif, tak patut proaktif meminta apalagi menuntut jambar, namun harus menerima ketika diserahkan.
Sikap tersebut lagi-lagi menunjukkan betapa tata dan sistem nilai anutan masyarakat adat Batak menjungjung tinggi kehormatan dan harga diri. Jangan meminta, meskipun itu termasuk atau bagian dari hak. Jangan bersungut-sungut bila suhut abai melakukan kewajiban, sebab asumsinya sudah paham apa yang sepatutnya dilakukan. Jangan berutang, namun kalau bisa berpiutang. Itu sebab orang Batak yang paham norma-norma adat akan berusaha menghindari dipautang (berutang). Kegiatan-kegiatan adat pun, salah satu tujuan, untuk membebaskan atau menghidari status masih punya utang (terutama pada hula-hula). Dari situlah muncul konsep dan perbuatan manggarar adat.
Lantaran suhut tak ingin mendapat cemooh karena dianggap telah melalaikan kewajiban adat, maka hadirin (loloan natorop) dan semua pihak yang berhak mendapat jambar, harus tahu lewat pemberitahuan. Bila yang berwenang menerima jambar tak ada atau tak datang, bisa diwakilkan, namun bilapun tak ada, bukan lagi kesalahan yang punya hajat (suhut). Proses pemberitahuan itu merupakan pemenuhan azas publisitas, karena tata aturanperadatan orang Batak amat menekankan keterbukaan dan pertanggungjawaban. Proses pengumuman itulah yang menimbulkan kesan seperti rebutan bicara dalam acara pesta unjuk karena utusan (protokol) kedua belah pihak (paranak dan parboru) harus menyerahkan jambar kepada mereka yang berhak lewat pemberitahuan.
Pembagian jambar, sesungguhnya bukan cuma pelengkap perhelatan adat hingga bisa disingkirkan demi menghindari kebisingan atau efisiensi waktu. Ia mengajarkan kepatutan, aturan, dan etika yang bermuara pada kehormatan dan harga diri. Andai saja mekanisme pengumuman dan penyerahan jambar dilakukan secara tertib, bergantian, dengan suara yang berwibawa, maka maksudnya akan mengalir elok pada telinga, pikiran, dan hati yang mendengar dan menerima. Keelokan itu tak mustahil mengejawantah dalam sikap-tindak keseharian.
Walau berasal dari etika purba, aturan dan tata parjambaron tetap relevan diberlakukan dalam kehidupan sekarang. Entah dari mana dulu ide jambar ini menghinggapi pikiran para leluhur, sijolo-jolo tubu, sering saya bertanya seraya membandingkan dengan pencapaian-pencapaian yang dihasilkan orang Batak sekarang. Jangankan memahami maksud dan tujuan, gara-gara sepotong daging dan tulang ternak yang jadi jambar pun orang sekarang bisa bersoal dan pemberian jambar dilakukan serampangan. Apa gerangan yang membuat menjalarnya perilaku demikian?***
Dimuat di koran Batakpos, Sabtu, 23 Juli 2011
No comments:
Post a Comment