Dibutuhkan Kerjasama antar Daerah dalam Mendorong Kemajuan Wisata Danau Toba
Jumat, 30 Desember 2011 02:55 | Oleh : Harjoni Desky |
KOPI, Indonesia memiliki sumber pontensi yang cukup besar di bidang pariwisata dan Kota Medan merupakan salah satu pintu gerbang masuk wisatawan ke Provinsi Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Utara memiliki banyak objek wisata dan daya tarik wisata yang terkenal, Salah satu diantaranya adalah Parapat dengan pemandangan alam Danau toba, atraksi budaya dan peninggalan-peninggalan bersejarahnya. Sangat tepat sekali perkataan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Sapta Nirwandar dan Bupati Samosir Mangindar Simbolon dalam Forum Lake Toba Regional Management (LKRM), yang menyinggung tentang Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) Toba-Medan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), karena itu diharapkan adanya pembenahan sistem pemasaran yang lebih baik dan luas.
Pariwisata sebagai penghasil devisa ke-4, banyaknya kelebihan yang dimiliki Danau Toba, mulai dari potensi alamnya, budaya, kesenian, kultur, kuliner, souvenir dan posisi kawasan wisata Danau Toba sebagai destinasi pariwisata Sumut dan Nasional. Semua kondisi ini menjadi “jalan tol” bagi Provinsi Sumatera Utara dan 11 Kabupaten/Kota yang ada di Kawasan Danau Toba untuk menjalin Kerjasama Antar Daerah (KAD) demi memajukan dan mengembangkan kawasan wisata Danau Toba sebagai Icon Wisata Sumatera Utara.
Peluang KAD ini semakin terbuka dengan adanya Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (Ripanas) 2010-2025 serta upaya dari MP3EI dalam memetakan akses-akses utama pengembangan wisata Danau Toba. Diharapkan semua ini, dapat direspon baik oleh pemerintah daerah pada dalam program 2012, karena itu, sangat diperlukan lobi dan tekanan untuk meningatkan kesiapan daerah berkaitan dengan pariwisata seperti hotel, jalan-jalan daerah dan fasilitas yang ada. Begitu juga SDM yang profesional dan keikutsertaan masyarakat didalamnya karena pada akhir capaiannya adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
Harapan itu tidak lebih disebabkan pariwisata sendiri menciptakan dampak ekonomi multiganda mulai dari dampak langsung, tak langsung, ikutan, yang memberi peluang bagi tumbuhnya usaha dan peran masyarakat lokal dalam sektor kepariwisataan. Disisi lain, keberadaan kawasan wisata Danau Toba bukan saja semata-mata untuk meraih peningkatan di bidang ekonomi tetapi lebih dari itu yaitu sebagai berekat hubungan erat pemerintah daerah yang ada di kawasan Danau Toba ini (11 Kabupaten/Kota).
Secara aturan/kerangka kebijakan, kerjasama antar daerah mendapat pengaturan cukup lengkap dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 22/1999, misalnya, telah diatur mengenai aspek kerjasama antar daerah ini. Namun nampaknya, belum banyak daerah yang mengambil inisiatif untuk mengembangkan pola kerjasama antar unit pemerintahan daerah ini. Pengaturan tentang aspek kerjasama dan penyelesaian perselisihan yang muncul akibat kerjasama tersebut, selengkapnya diatur dalam pasal 87-89 UU No. 22/1999.
Sementara dalam UU No. 32/2004 yang menggantikan UU No. 22/1999, pengaturan tentang kerjasama antar daerah tertuang dalam pasal 195-198. Dari pengaturan yang terdapat dalam kedua UU diatas, dapat dilakukan interpretasi mengenai beberapa dimensi strategis kerjasama sebagai berikut:
1. Dalam aspek kelembagaan, baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004 menegaskan bahwa kerjasama antar daerah dapat diwujudkan dalam bentuk Badan Kerjasama yang diatur dengan keputusan bersama. Adanya lembaga khusus untuk menjalankan materi kerjasama ini memang penting, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana pemerintah daerah dapat bekerjasama tanpa harus tergantung pada pembentukan lembaga tadi. Dengan kata lain, pembentukan lembaga khusus yang mengelola kerjasama ini akan lebih efektif untuk kepentingan jangka panjang, sedangkan untuk jangka pendek belum merupakan kebutuhan mendesak. Sebab, pembentukan lembaga baru selain memerlukan proses yang cukup panjang, juga membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, harus diusahakan agar pembentukan Badan Kerjasama tadi justru tidak menghambat pelaksanaan kerjasama itu sendiri.
2. Dalam aspek penyelesaian perselisihan, terdapat sedikit perbedaan antara ketentuan UU No. 22/199 dengan ketentuan UU No. 32/2004. Berdasarkan ketentuan pasal 198, nampak bahwa UU Nomor 32/2004 lebih mengedepankan banding administratif vertikal sebagai satu-satunya prosedur beracara. Hal ini dapat disimak dari bunyi ayat (3) bahwa keputusan pejabat yang diberi wewenang memutuskan sengketa itu bersifat final (tidak dapat dilakukan upaya hukum lain). Tentu saja, ketentuan seperti ini berpotensi menimbulkan adanya “permasalahan tanpa penyelesaian”. Sebab bagaimanapun juga, UU No. 5/1986 jo. UU No. 9/2004 tentang PTUN merupakan landasan utama dalam penyelesaian sengketa administrasi / tata usaha negara. Dengan kata lain, UU No. 5/1986 jo.
UU No. 9/2004 merupakan lex specialis dari UU No. 32/2004 dalam hal penyelesaian sengketa administrasi / tata usaha negara. Dan sesuai kaidah hukum, maka hukum yang lebih khusus dapat meniadakan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). Terlebih lagi, pasal 198 tadi tidak menyediakan upaya hukum lain dalam hal terjadi ketidakpuasan dari salah satu pihak yang berselisih atas putusan Gubernur atau Mendagri yang bersifat final. Dalam pandangan ilmu hukum, cara penyelesaian sengketa yang hanya ditempuh dengan satu upaya hukum saja (apalagi lembaga tersebut bukan lembaga hukum), adalah hal yang kurang masuk akal. Dalam konteks seperti ini, maka pengaturan pada UU No. 22/1999 jauh lebih baik karena masih menyediakan upaya hukum lain, yakni dalam bentuk pengajuan penyelesaian sengketa kepada Mahkamah Agung.
Dari paparan diatas jelaslah bahwa baik secara teoretis maupun kebijakan, adanya kerjasama pembangunan regional antar wilayah sangatlah terbuka untuk dikembangkan. Bahkan tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kerjasama regional sudah menjadi kebutuhan bagi setiap daerah, termasuk kabupaten/kota di wilayah Danau Toba. Dengan demikian diharapkan keberadaan Forum Lake Toba Regional Management (LTRM) langkah awal memperkokoh Kerjasama Antar Daerah (KAD) di kawasan tersebut. Untuk itu, mulai dari sekarang harus disiapkan langkah-langkah yang lebih matang lagi baik dari sisi pendanaan KAD, program dan kegiatan KAD dalam membangun kembali pariwisata Danau Toba.
Penulis adalah Anggota PPWI-Aceh Tinggal di Kota Lhokseumawe
http://www.pewarta-indonesia.com/berita/pariwisata/ 7343-dibutuhkan-kerjasama-antar-daerah-dalam-mendorong-kemajuan-wisata-danau-toba.html
Jumat, 30 Desember 2011 02:55 | Oleh : Harjoni Desky |
KOPI, Indonesia memiliki sumber pontensi yang cukup besar di bidang pariwisata dan Kota Medan merupakan salah satu pintu gerbang masuk wisatawan ke Provinsi Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Utara memiliki banyak objek wisata dan daya tarik wisata yang terkenal, Salah satu diantaranya adalah Parapat dengan pemandangan alam Danau toba, atraksi budaya dan peninggalan-peninggalan bersejarahnya. Sangat tepat sekali perkataan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Sapta Nirwandar dan Bupati Samosir Mangindar Simbolon dalam Forum Lake Toba Regional Management (LKRM), yang menyinggung tentang Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) Toba-Medan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), karena itu diharapkan adanya pembenahan sistem pemasaran yang lebih baik dan luas.
Pariwisata sebagai penghasil devisa ke-4, banyaknya kelebihan yang dimiliki Danau Toba, mulai dari potensi alamnya, budaya, kesenian, kultur, kuliner, souvenir dan posisi kawasan wisata Danau Toba sebagai destinasi pariwisata Sumut dan Nasional. Semua kondisi ini menjadi “jalan tol” bagi Provinsi Sumatera Utara dan 11 Kabupaten/Kota yang ada di Kawasan Danau Toba untuk menjalin Kerjasama Antar Daerah (KAD) demi memajukan dan mengembangkan kawasan wisata Danau Toba sebagai Icon Wisata Sumatera Utara.
Peluang KAD ini semakin terbuka dengan adanya Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (Ripanas) 2010-2025 serta upaya dari MP3EI dalam memetakan akses-akses utama pengembangan wisata Danau Toba. Diharapkan semua ini, dapat direspon baik oleh pemerintah daerah pada dalam program 2012, karena itu, sangat diperlukan lobi dan tekanan untuk meningatkan kesiapan daerah berkaitan dengan pariwisata seperti hotel, jalan-jalan daerah dan fasilitas yang ada. Begitu juga SDM yang profesional dan keikutsertaan masyarakat didalamnya karena pada akhir capaiannya adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
Harapan itu tidak lebih disebabkan pariwisata sendiri menciptakan dampak ekonomi multiganda mulai dari dampak langsung, tak langsung, ikutan, yang memberi peluang bagi tumbuhnya usaha dan peran masyarakat lokal dalam sektor kepariwisataan. Disisi lain, keberadaan kawasan wisata Danau Toba bukan saja semata-mata untuk meraih peningkatan di bidang ekonomi tetapi lebih dari itu yaitu sebagai berekat hubungan erat pemerintah daerah yang ada di kawasan Danau Toba ini (11 Kabupaten/Kota).
Secara aturan/kerangka kebijakan, kerjasama antar daerah mendapat pengaturan cukup lengkap dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 22/1999, misalnya, telah diatur mengenai aspek kerjasama antar daerah ini. Namun nampaknya, belum banyak daerah yang mengambil inisiatif untuk mengembangkan pola kerjasama antar unit pemerintahan daerah ini. Pengaturan tentang aspek kerjasama dan penyelesaian perselisihan yang muncul akibat kerjasama tersebut, selengkapnya diatur dalam pasal 87-89 UU No. 22/1999.
Sementara dalam UU No. 32/2004 yang menggantikan UU No. 22/1999, pengaturan tentang kerjasama antar daerah tertuang dalam pasal 195-198. Dari pengaturan yang terdapat dalam kedua UU diatas, dapat dilakukan interpretasi mengenai beberapa dimensi strategis kerjasama sebagai berikut:
1. Dalam aspek kelembagaan, baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004 menegaskan bahwa kerjasama antar daerah dapat diwujudkan dalam bentuk Badan Kerjasama yang diatur dengan keputusan bersama. Adanya lembaga khusus untuk menjalankan materi kerjasama ini memang penting, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana pemerintah daerah dapat bekerjasama tanpa harus tergantung pada pembentukan lembaga tadi. Dengan kata lain, pembentukan lembaga khusus yang mengelola kerjasama ini akan lebih efektif untuk kepentingan jangka panjang, sedangkan untuk jangka pendek belum merupakan kebutuhan mendesak. Sebab, pembentukan lembaga baru selain memerlukan proses yang cukup panjang, juga membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, harus diusahakan agar pembentukan Badan Kerjasama tadi justru tidak menghambat pelaksanaan kerjasama itu sendiri.
2. Dalam aspek penyelesaian perselisihan, terdapat sedikit perbedaan antara ketentuan UU No. 22/199 dengan ketentuan UU No. 32/2004. Berdasarkan ketentuan pasal 198, nampak bahwa UU Nomor 32/2004 lebih mengedepankan banding administratif vertikal sebagai satu-satunya prosedur beracara. Hal ini dapat disimak dari bunyi ayat (3) bahwa keputusan pejabat yang diberi wewenang memutuskan sengketa itu bersifat final (tidak dapat dilakukan upaya hukum lain). Tentu saja, ketentuan seperti ini berpotensi menimbulkan adanya “permasalahan tanpa penyelesaian”. Sebab bagaimanapun juga, UU No. 5/1986 jo. UU No. 9/2004 tentang PTUN merupakan landasan utama dalam penyelesaian sengketa administrasi / tata usaha negara. Dengan kata lain, UU No. 5/1986 jo.
UU No. 9/2004 merupakan lex specialis dari UU No. 32/2004 dalam hal penyelesaian sengketa administrasi / tata usaha negara. Dan sesuai kaidah hukum, maka hukum yang lebih khusus dapat meniadakan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). Terlebih lagi, pasal 198 tadi tidak menyediakan upaya hukum lain dalam hal terjadi ketidakpuasan dari salah satu pihak yang berselisih atas putusan Gubernur atau Mendagri yang bersifat final. Dalam pandangan ilmu hukum, cara penyelesaian sengketa yang hanya ditempuh dengan satu upaya hukum saja (apalagi lembaga tersebut bukan lembaga hukum), adalah hal yang kurang masuk akal. Dalam konteks seperti ini, maka pengaturan pada UU No. 22/1999 jauh lebih baik karena masih menyediakan upaya hukum lain, yakni dalam bentuk pengajuan penyelesaian sengketa kepada Mahkamah Agung.
Dari paparan diatas jelaslah bahwa baik secara teoretis maupun kebijakan, adanya kerjasama pembangunan regional antar wilayah sangatlah terbuka untuk dikembangkan. Bahkan tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kerjasama regional sudah menjadi kebutuhan bagi setiap daerah, termasuk kabupaten/kota di wilayah Danau Toba. Dengan demikian diharapkan keberadaan Forum Lake Toba Regional Management (LTRM) langkah awal memperkokoh Kerjasama Antar Daerah (KAD) di kawasan tersebut. Untuk itu, mulai dari sekarang harus disiapkan langkah-langkah yang lebih matang lagi baik dari sisi pendanaan KAD, program dan kegiatan KAD dalam membangun kembali pariwisata Danau Toba.
Penulis adalah Anggota PPWI-Aceh Tinggal di Kota Lhokseumawe
http://www.pewarta-indonesia.com/berita/pariwisata/
No comments:
Post a Comment