Menuju Danau Tertinggi di Sumatera Utara
Puncak Sorik Merapi membubung seperti negeri dalam cerita “Lord of the Ring”. Puncaknya menyatu dengan gumpalan awan di angkasa. Tapi di sini tidak ada Hobbit, Elf, atau makhluk Orc yang menyeramkan. Sorik Merapi adalah salah satu gugusan Bukit Barisan yang ikut menjilat matahari. Satu kekayaan yang di bawahnya hidup berbagai bentuk hayati. Bila matahari bersinar terik, sebagian puncak Sorik Merapi dapat dilihat dari kaki gunung. Sebagiannya lagi tetap tertutup kabut. Untuk mengetahui bentuk puncak secara utuh, hanya ada satu cara: mendakilah dan berdiri di atasnya. Puncak, kabut dan gumpalan awan itu adalah panorama yang memancarkan pesona tersendiri bagi Sorik Merapi yang berada di desa Sibanggor Julu, kecamatan Tambangan, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Sebagai sebuah objek wisata, Sorik Merapi memang belum terbilang populer. Masih bisa dihitung dengan jari berapa pendaki yang datang setiap bulannya. Faktor jarak dari Medan merupakan salah satu penyebab terisolasinya “surga” ekowisata ini. Butuh waktu hingga 12 jam perjalanan dengan angkutan darat untuk menempuh jarak sepanjang 480 kilometer dari Medan ke Panyabungan, ibukota kabupaten Mandailing Natal. Dari Panyabungan, Anda harus menyambung perjalanan dengan angkutan pedesaan menuju desa Sibanggor Julu selama sekitar 45 menit. Desa Sibanggor Julu berada di lereng timur Sorik Merapi. Di desa inilah tempat terakhir bisa membeli perbekalan mulai dari air mineral hingga biskuit. Titik awal pendakian dapat ditemui setelah melewati perumahan penduduk. Rumah-rumah panggung ini kental dengan tradisi lokal, beratap ijuk, dengan material dinding dan lantai dari kayu. Beberapa bagian rumah bahkan tidak menggunakan paku, kecuali belitan tali rotan sebagai perekat. Setelah melewati barisan rumah tradisional, satu jalan setapak menjadi jalur pendakian dengan lebih dulu melewati perkebunan coklat, karet, kopi dan tanaman keras lainnya. Titik awal pendakian akan jadi kejutan bagi pendaki karena dimulai dengan tanjakan ekstrim 75 derajat. Dengan stamina prima, setidaknya perlu 15 menit untuk melewati tanjakan yang berada di ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut (mdpl) ini. Setelah itu adalah shelter, tempat peristirahatan pertama. Posisinya persis di dinding bukit paling ujung. Pandangan menjadi luas ke arah timur. Nun, rumah-rumah penduduk tampak mengecil. Tahapan perjalanan berikutnya relatif mudah. Walau jalanan terus menanjak, tetapi tidak terlalu menguras tenaga. Lantas akan terlihat perbukitan tandus. Awalnya tempat ini merupakan bukit belerang yang aktif. Beberapa penduduk mengatakan, sekitar tahun 1990-an percikan api pernah mengakibatkan terbakarnya kawasan ini. Maklum saja, belerang memang mudah terbakar. Ratusan hektar kawasan di sekitar bukit belerang berubah jadi tumpukan arang. Setelah belasan tahun, kini tumbuhan baru mulai hidup. Namun, entah mengapa, sumber belerang yang ada di bukit ini justru berhenti berproduksi. Sisa-sisa semburannya yang sudah membatu seperti naik-turun ombak. Bukit belerang ini biasanya digunakan sebagai tempat peristirahatan kedua. Jika berangkat sangat pagi, sekitar jam enam atau jam setengah tujuh, maka di sinilah tempat sarapan yang paling pas. Buka bekal Anda dan nikmati menu dalam suasana yang dingin. Teh manis panas di dalam termos akan sangat membantu. Suhu yang mencapai 20 derajat celcius adalah siksaan berat bagi pendaki yang berasal dari daerah panas. Setelah bukit belerang, pendakian mulai terasa menguras tenaga. Pemandangan pun monoton karena hanya dominasi pohon-pohon besar. Sesekali tanaman yang berada persis di tengah lintasan pendakian menyabet wajah. Karena relatif jarang dilewati, maka jalur pendakian ini sering harus ditebas ulang. Terkadang lintasan itu berbentuk terowongan dari pepohonan liar. Tetapi kemungkinan untuk tersesat sangat kecil. Ada kabel yang mengikuti alur pendakian. Kabel ini mengalirkan listrik untuk sebuah tonggak pemancar di puncak gunung. Memegang kabel ini tentu saja sangat tidak dianjurkan. Walau menurut warga belum memakan korban, namun harap diingat, selalu ada yang pertama untuk semuanya, termasuk tersengat listrik di lereng gunung. Tidak lucu kan? Lintasan di sini umumnya bertanah lembab. Hujan yang turun pada malam sebelumnya menyebabkan tanah berubah jadi lumpur saat diinjak. Kicauan burung piccala atau jejak binatang liar dapat ditemukan di sepanjang jalur. Kawasan gunung Sorik Merapi yang merupakan bagian dari Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), memang masih menyisakan “alam semula jadi”. Kambing hutan (naemorhedus sumatraensis), tapir (tapirus indicus), kucing hutan (catopumatem minckii), kancil (tragulus javanicus), binturong (arctitis binturong), beruang madu (helarctos malayanus), rusa (cervus unicolor), kijang (muntiacus muntjac) dan landak (hystix brachyura) masih berkeliaran di dalamnya. Tapi habitatnya mungkin sudah terganggu karena tekanan manusia. Kebanyakan pemburu yang berasal dari warga desa hanya berhasil menembak burung. Binatang buas lainnya sudah jarang ditemukan. Setelah melewati sekitar lima tempat peristirahatan dengan waktu tempuh sekitar tiga jam lebih terhitung dari titik awal pendakian, kawasan puncak gunung mulai menyembul. Pohon-pohon perdu dataran tinggi berjejer di kiri dan kanan. Struktur tanah pun sudah berubah. Tanah lembab berubah menjadi pasir. Puncak pertama akhirnya dicapai. Masyarakat setempat punya tradisi lama apabila sampai di puncak ini. Pendaki disarankan untuk melakukan adzan. Selain untuk memuji keagungan Maha Pencipta, adzan ini merupakan upaya spritual agar dapat selamat hingga waktu turun nanti. Suara adzan berkumandang melewati hamparan tandus seluas sekitar setengah lapangan bola. Kebanyakan pendaki berhenti sampai di sini karena di sinilah sajian utama gunung Sorik Marapi berada. Panorama yang paling menonjol adalah sebuah danau vulkanik dengan air kebiruan. Inilah danau tertinggi di Sumatera Utara. Danau yang belum dinamai ini menjadi pelepas lelah. Memandangnya dari tepian, seakan ada yang mengundang untuk terjun. Baiklah, kita sebut saja “Danau Sorik Merapi”. Airnya asam. Di sini semburan belerang masih kuat. Untuk turun ke danau, agaknya lumayan berbahaya. Selain jalurnya terjal, pijakan juga sangat labil karena terdiri dari tanah pasir yang gampang runtuh. Bila tak awas, bisa terjun ke dasar danau yang dalamnya kira-kira 100 meter dari puncak pertama. Dinding-dinding kawah danau terlihat menghitam mencirikan kekokohannya. Sementara di beberapa sudut dinding semburan asap solfatara memperdengarkan suara menderu. Seringkali suaranya tidak terdengar karena tertimbun desau angin berkecepatan sekitar 40 kilometer per jam. Kadang angin seolah ingin membawa serta semua yang ada di puncak gunung untuk melayang bersamanya. Berlama-lama di sini akan membuat tubuh menggigil. Anda membutuhkan dua lapis jaket. Namun jika ingin mengambil visual danau dengan handycam atau kamera, tantangan suhu dingin ini harus dihadapi. Kabut pun sering kali tidak bersahabat. Suatu ketika, warna putih susu bisa menutupi keseluruhan danau. Makanya hampir tidak ada yang berhasil mengabadikan danau ini dengan utuh tanpa gangguan kabut. Puncak Sebenarnya Dari lokasi danau, puncak kedua yang merupakan puncak sebenarnya bisa dicapai dengan berjalan sekitar setengah jam lagi. Jalurnya sempit. Di sebelah kiri danau, di arah kanan jurang. Berjalan beriringan akan sangat berbahaya. Harus antri. Sebuah tanjakan ekstrim berupa jalur batu padas yang hanya muat satu pijakan kaki harus dilewati. Membawa barang akan berpengaruh pada kelenturan tubuh. Sebab itu, ada baiknya menitipkan ransel atau bawaan kepada teman, agar bisa melangkah dengan tenang. Sementara, puncak itu sendiri hanyalah sebuah tonggak batu putih setinggi satu meter. Di sana tertulis angka 2.100. Kemungkinan maksud awalnya untuk menjelaskan tinggi gunung, namun angka ini salah. Ketinggian gunung Sorik Marapi sebenarnya 2.145 meter dari permukaan laut (mdpl). Berdiri di atas tonggak batu putih itu, pandangan hanya lepas ke arah utara dan selatan. Pohon-pohon perdu menghalangi pandangan ke arah lain. Tapi tidak apa-apa. Dari kedua arah tadi, gugusan Bukit Barisan akan menjadi kenangan untuk dibawa pulang. Tapi jangan terlalu lama di puncak. Selain dingin menusuk tulang, kabut juga akan menjadi masalah jika pulang lebih dari jam lima sore. Perlu waktu sekitar tiga jam untuk mendaki, serta satu jam lebih untuk turun. Lewat dari jam lima, senter akan sangat dibutuhkan agar tidak terjerembab waktu turun. Sejarah Sorik Merapi Di luar segala keindahannya, gunung Sorik Merapi yang berada pada koordinat 00o 41' 11.72" lintang utara dan 99o 32' 13.09" bujur timut, sesungguhnya adalah gunung yang berbahaya. Salah satu dari 129 gunung api aktif di Indonesia ini bahkan termasuk dalam kategori gunung berapi tipe A. Artinya, pernah meletus dalam 400 tahun terakhir. Data dari Direktorat Vulkanologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan gunung ini pernah meletus sebanyak tujuh kali. Masing-masing pada tahun 1830, 1879, 1892, 1893, 1917, 1970 dan terakhir pada tahun 1986. Pada letusan terakhir, Sorik Merapi memuntahkan lahar panas dan debu. Di udara, aliran debu itu bahkan sampai ke kabupaten Pasaman di Sumatera Barat. Letusan merapi memang umumnya berupa letusan freatik, letusan debu yang bersumber dari kawah pusat, yakni danau vulkanik yang berada di puncak. Namun pada letusan tahun 1892 dan 1893, yang terjadi adalah letusan di kawah samping pada lereng sebelah timur. Dilaporkan, sebanyak 180 orang tewas terkena lahar panas. Setelah sekian lama, lahar itu kemudian menjadi sumber kesuburan bagi pertanian warga. Mereka mengolah kebun jeruk, cabai dan tanaman sayuran dataran tinggi lainnya. Karena kondisinya masih aktif, para pendaki selalu diminta melapor ke Pos Pengamatan Gunung Sorik Merapi di desa Sibanggor Tonga. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana status Sorik Merapi terakhir, mengingat kondisinya bisa saja berubah tak terduga. Misalnya, pada pada 14 September 2004 lalu, gunung ini sedikit menggeliat. Terjadi peningkatan gempa. Dalam keadaan normal, getaran gempa yang dicatat komponen seismometer vertikal yang ditanam di kawasan puncak gunung dan direkam seismograf di pos pengamatan secara telemetri, paling banyak hanya satu kali dalam seminggu. Itupun berupa gempa vulkanik dalam yang hanya tercatat di seismograf dan tidak terasa di permukaan. Namun pada hari itu, tercatat ada 142 kali gempa, bahkan sebelas di antaranya berskala II hingga III Modified Mercalli Intensity (MMI), sebutan ukuran untuk besarnya efek yang dirasakan di permukaan. Karena peningkatan aktifitas ini, status Sorik Merapi yang semula berada di level satu (aktif normal), ditingkatkan menjadi level dua (status waspada). Pemerintah Kabupaten Madina pun mengeluarkan imbauan agar pengunjung tidak mendekati puncak gunung. Pada Juli 2005, status waspada juga diberikan kepada gunung ini sekitar satu pekan karena peningkatan aktifitas gempa. Antara tanggal 8 hingga 14 Juli, tercatat 112 gempa, dan 10 di antaranya terasa di permukaan. Jika aspek keamanan gunung sudah terpenuhi di Pos Pengamatan Gunung Sorik Merapi, maka pendaki juga disarankan untuk melapor kepada kepala desa setempat untuk alasan keselamatan pendakian. Biasanya pendaki disarankan membawa guide yang berasal dari warga lokal. Mengenai biaya, tergantung tawar-menawar. Untuk tahun 2006 ini, angkanya sekitar Rp 30 ribu per orang. Nah, pendamping atau guide juga tidak boleh satu. Minimal dua orang. Alasannya, kalau nanti pendaki jatuh atau ada masalah, guide yang satu bisa turun untuk membawa bantuan, sementara yang satu tetap mendampingi sang pendaki. Biasanya, guide yang mendampingi akan membawa serta senapan buruan. Jadi, sementara dia bercerita tentang pantangan yang harus dipatuhi pengunjung selama mendaki, matanya juga berkeliaran di pucuk pepohonan mencari burung buruan. Selama mendaki, kita dilarang memaki, mengucapkan kata yang tidak sopan, membuang sampah sembarangan, tidak boleh ini, tidak boleh itu, dan...dhuarrr!!! Aneh, tidak ada larangan untuk membunuh seekor piccala malang yang meliuk jatuh ke tanah. Tulang pahanya remuk tertembus peluru. teks dan foto oleh rasya alfansyuri
Sumber:
http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=365&go=Menuju%20Danau%20Tertinggi%20di%20Sumatera%20Utara
No comments:
Post a Comment