Pages

Thursday, April 10, 2014

CANDI PORTIBI DI PADANG LAWAS TANDA KEBESARAN MASA LALU

CANDI PORTIBI DI PADANG LAWAS TANDA KEBESARAN MASA LALU
Oleh: Edward Simanungkalit



Candi Portibi merupakan sekumpulan candi yang terdapat di Padang Lawas dan Padang Lawas Utara. Candi-candi tersebut tersebar di sepanjang aliran Sungai Batang Pane, Sirumambe, dan Sungai Barumun, terdiri dari setidaknya enambelas kompleks percandian atau dalam bahasa setempat lebih dikenal sebagai biaro atau biara yang merupakan adopsi dari kata dalam bahasa Sansekerta, vihara yang berarti tempat belajar mengajar dan ibadah khususnya bagi penganut agama Buddha.

Sebagian pihak menyebutkan Candi Portibi ini merupakan peninggalan kerajaan Pannai dan sebagian lagi menyebutnya sebagai peninggalan kerajaan Portibi. Kerajaan Portibi berarti kerajaan dunia atau bumi dalam bahasa Batak. Julkifli Marbun (2006:1-4) mengatakan bahwa Kerajaan Portibi ini merupakan aliansi dari Kerajaan Pane. Beberapa ahli yang sudah melakukan riset penting di Candi Bahal antara lain Franz Junghun (1846), Von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom (1923), dan F.M. Schinitger yang dikenal berjasa mengungkap sejarah kepurbakalaan di Sumatera.

  
Catatan tertua mengenai kapan ditemukan kompleks biaro di Padanglawas diperoleh dari Franz Junghun, seorang ahli geologi dan Komisaris  Hindia Timur pada tahun 1846. Setelah Junghun, kemudian berturut-turut dikunjungi oleh von Rosenberg pada tahun 1854 dan Kerkhoff pada tahun 1887. von Rosenberg dari Padanglawas membawa beberapa fragmen arca untuk ditempatkan di Museum Batavia. Arca yang dibawa antara lain sebuah arca Buddha. Kerkhoff, seorang Kontrolir di Tapanuli, dalam tulisannya menyebutkan "biara", Si Pamutung, dan "kuburan di Gunung Tua". Selain itu ia juga mempublikasikan secara rinci mengenai temuan-temuan hasil pengumpulan Franz Junghun di Padanglawas (Utomo, 2006:1-4)                                                                                                   http://sopopanisioan.blogspot.com
Dari sekian banyak laporan dan tulisan mengenai percandian di Padanglawas, tulisan Schnitgerlah  yang terlengkap, karena ia adalah seorang kurator di Museum Palembang dan pelopor ekspedisi arkeologi di Sumatra pada tahun 1935 dan 1936. Menurut Schnitger, biaro-biaro di Padanglawas dibangun bersamaan dengan stupa-stupa di Muara Takus, yaitu pada sekitar abad ke-12. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa biaro-biaro di Padanglawas dibangun pada abad ke-11-14 Masehi (Suleiman 1985: 25). Pendapatnya ini didasarkan atas pembacaan dari tulisan-tulisan singkat yang ditemukan di situs tersebut (Harahap, 2011:5).       
Seorang peneliti Belanda bernama Krom menulis tentang Padanglawas pada tahun 1923. Dia menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di Padanglawas disebut "on Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat bangunan-bangunan di Padanglawas tidak mirip dengan gaya seni pada bangunan-bangunan di Jawa".  Dalam telaahnya ia melihat banyak persamaan dengan pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan dan Krom menghubungkan peninggalan di Padanglawas dengan Śrīwijaya. Sedang pada tahun 1930, Bosch mengajukan suatu teori bahwa masyarakat pendukung biaro di Padanglawas adalah pemeluk agama Buddha aliran Wajrayāna. Anggapannya ini didasarkan pada indikator artefak yang ditemukannya berupa arca dan relief yang menggambarkan wajah-wajah yang menyeramkan dan prasasti singkat yang bertuliskan mantra-mantra aliran Tantris (Utomo, 2006:7).

Candi-candi di desa Bahal, yaitu Candi Bahal I, Candi Bahal II dan Candi Bahal III, adalah tiga di antara 26 reruntuhan candi yang tersebar di atas tanah seluas 1.500 km2 di kawasan Padang Lawas. Ada dugaan bahwa Candi Bahal ini tidak dibangun umat Buddha, karena tiada situs patung Buddha ditemukan di sana. Satu-satunya ornamen yang tertinggal sebagai simbol pemujaan adalah patung singa dan pahatan-pahatan aneh di dinding candi. Dari temuan sejumlah artefak, analisa konstruksi bangunan beserta materialnya yang dominan bata merah dengan ukuran beragam, batuan tuff (batuan sungai) untuk arca dan batuan kapur, memunculkan dugaan kuat bahwa candi ini berkaitan dengan agama Buddha beraliran Wajrayana (Khairulid, 2007:3).
   

Adapun nama-nama Candi di kawasan Padang Lawas ini (Nasution, 2012:2), antara lain yaitu:


1. Candi Bahal I
2. Candi Bahal II
3. Candi Bahal III
4. Candi Sitopayan
5. Candi Bara
6. Candi Pulo
7. Candi Sipamutung
8. Candi Tandihat I
9. Candi Tandihat II
10. Candi Sisangkilon
11. Candi Manggis

Di desa Bahal, terdapat tiga situs candi yang saat ini sudah dipugar. Selanjutnya ketiga candi itu diberi nama candi Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Tempat-tempat ibadah tersebut berdiri di tepian sungai Batang Pane. Dari berbagai teori yang berkembang, kemungkinan sungai Batang Pane pernah menjadi lalu lintas perdagangan. Candi Bahal I  merupakan candi terbesar yang telah dipugar dan diberi kawat berduri pemagar komplek candi seluas 2.744 meter persegi. Dengan begitu, Bahal I merupakan candi terluas yang telah selesai dipugar bersama empat perwara-nya, yakni candi kecil di samping kiri dan depannya berbentuk bujur sangkar, menyerupai altar. Candi Bahal II dipugar pada tahun 1995 dan Candi Bahal III dipugar pada tahun 1996. Beberapa kilometer dari Candi Bahal terdapat kompleks Candi Pulo atau Barumun dan juga Candi Bara serta Candi Sitopayan.
   
Candi Sipamutung berada di Desa Siparau, Kecamatan Barumun Tengah. Lokasi candi ini berjarak sekitar 40 km dari ibukota Kabupaten Padanglawas, Sibuhuan. Komplek candi berjarak 250 meter dari pinggir aliran Sungai Barumun. Candi ini terdiri dari sebuah biaro induk dan 6 Candi perwara yang saat ini sudah dipugar. Di daerah Joreng Belangah terdapat dua situs yakni candi Tandihat-I dan Tandihat-II. Di Desa Sangkilon, Kecamatan Barumun terdapat candi yang dikenal sebagai Biaro Si Sangkilon. Jarak lokasi dengan ibukota kabupaten (Sibuhuan) sekitar 9 km. Runtuhan biaro Si Sangkilon berupa beberapa gundukan tanah yang terletak di tengah areal persawahan. Sekitar 20-30 meter menuju arah utara terbentang Sungai Sangkilon (anak Sungai Barumun di daerah hulu). 
Di kompleks percandian Padang Lawas ditemukan juga beberapa prasasti dengan berbagai jenis, sehingga bukan hanya di Jawa ditemukan prasasti. Prasasti-prasasti tersebut memiliki berbagai variasi mulai dari prasasti berbahan batu, emas, beraksara palawa maupun beraksara pasca-palawa dan apabila dilihat dari isinya terdapat berbagai hal yang berbeda dalam interpretasinya. Prasasti yang ditemukan di kompleks percandian Padang Lawas di antaranya: Prasasti Aek Sangkilon, Prasasti Tandihat 1, Prasasti Tandihat 2,  Prasasti Batu Gana 1, Prasasti Batu Gana 2, Prasasti Sitopayan 1, Prasasti Sitopayan 2, Prasasti Lobu Dolok 1, Prasasti Lobu Dolok 2, Prasasti Lobu Dolok 3, Prasasti Raja Soritaon, Prasasti Candi manggis, Prasasti Gunung Tua, dll. Prasasti-prasasti ini disimpan di Museum Nasinal Jakarta maupun Museum Negeri Sumatera Utara.
http://sopopanisioan.blogspot.com
Selain candi dan prasasti, ditemukan juga bendungan kuno raksasa yang terdapat di desa Aloban (rura Sitobu). Bendungan ini berukuran panjang hempangan sekitar 150 meter dan ada juga bendungan ukuran sedang di Sihaborgoan. Kedua bendungan tersebut tidak lagi diketahui oleh masyarakat sejarahnya, karena diperkirakan seumur dengan candi-candi tersebut. Diduga bendungan yang dibangun masyarakat tambang Batak tersebut dihancurkan oleh Rajendra Cola saat akan menjajah wilayah tersebut. Perusakan tersebut ditujukan untuk memonopoli sistem pertambangan (Marbun, 2006:2).
    
Namun sangat disayangkan bahwa kebesaran peninggalan sejarah yang masih dapat terlihat sampai sekarang semakin hari semakin mengalami kerusakan baik oleh alam dan juga dirusak para pencari harta karun. Banyak bekas peninggalan purbakala tersebut hanya menjadi puing-puing berserakan yang terabaikan dan terlupakan (Berbagai sumber). ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 16 Februari 2013 

http://sopopanisioan.blogspot.com


No comments:

Post a Comment