Pages

Monday, October 8, 2012

ULOS BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN

ULOS BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
Oleh: Edward Simanungkalit

                                        
                                           Gambaran Umum
Bertenun sudah sejak lama dilakukan oleh orang Batak. Hasil tenunan itu berupa ulos Batak. Ciri Dongson tampak di dalam corak dan pembuatan ulos Batak tersebut dan pendukung budaya Dongson ini dapat menenun kain. Sebagaimana diketahui bahwa para pendukung budaya Dongson berasal dari masa prasejarah, yaitu Neolitik. Mereka ini sudah menggunakan alat-alat perunggu, sehingga disebut juga zaman perunggu (Hutabarat, 2011:1). Kebudayaan Dongson berkembang di Vietnam, Indochina sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam  dan Tonkin, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi.

Pada zaman dulu  ulos adalah pakaian sehari-hari bagi orang Batak (Toba). Untuk laki-laki, bagian atas disebut “hande-hande” dan bagian bawah disebut “singkot”, sedang penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”. Untuk perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen” dan untuk penutup punggung disebut “hoba-hoba”. Bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe”, sedang yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”. Bila perempuan menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop”, sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa” (Pardede, 2005:1).
 
Jenis-jenis ulos terdiri dari: Ulos Jugia, Ragi Hidup, Ragi Hotang, Sadum, Runjat, Sibolang, Suri-suri Ganjang, Mangiring, Bintang Maratur, Sitoluntuho-Bolean, Jungkit, Lobu-lobu. Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos seperti: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan seterusnya hingga mencapai 57 jenis. (Pardede, 2005:1).




Menurut adat Batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya, yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu seseorang baru lahir disebut ulos “parompa” atau dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu kawin yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat sekarang ini disebut ulos “hela”). Sedang  yang ketiga adalah ulos yang diterima sewaktu dia meninggal dunia disebut ulos “saput” (Pardede, 2005:1).

Ulos Batak dan Kristen
Ulos Batak merupakan produk budaya Batak. Ketika Allah menempatkan manusia di bumi ini, maka manusia secara evolusi mengembangkan perlindungan dirinya terhadap alam, baik itu dengan rumah, pakaian dan lain-lain. Nenek-moyang Batak Toba ada juga berasal dari Dongson yang memiliki kemampuan bertenun, membuat rumah dan lain-lain (bnd. Simanungkalit, dalam BATAK POS, 28/07-2012). Ulos adalah karya-cipta manusia Batak sebagai mahluk budaya, karena kebudayaan itu merupakan respon manusia terhadap Wahyu Umum Allah (Simanungkalit, dalam BATAK POS, 30/09-2012). Di masa lalu sebelum ada kain tekstil modern, ulos dipakai sebagai pakaian oleh orang Batak seperti kain yang dipakai manusia di zaman modern ini. Sehingga, secara prinsip, bahwa ulos itu tidak berbeda dengan kain yang dihasilkan pabrik tekstil zaman sekarang yang dibuat menjadi pakaian.

Ketika disebut bahwa ulos Batak itu sebagai ‘ulos tondi’ ada sebagian orang Kristen memandang ulos menjadi berhubungan dengan soal-soal okultisme. Padahal, itu hanyalah cara pandang secara tradisional, sedang orang Kristen bisa saja mangulosi dengan mengubah cara pandang dan sikap hatinya. Untuk itu harus memandang ulos sebagai sebuah hasil karya-cipta manusia dan mangulosi dilakukan dengan cara pandang di mana ulos sebagai pemberian atau kado. Sedang pemberian kado itu disampaikan dengan sikap hati yang berdoa memohon kepada Tuhan agar memberkati orang yang diulosi. Ini sama saja seperti seorang Kristen yang menghormat bendera dengan sikap hati yang menyembah Allah di dalam Kristus Yesus.

Keadaan di atas diperparah dengan pandangan sebagian orang bahwa di dalam ulos itu melekat kuasa-kuasa gelap, sehingga untuk menyelesaikannya dilakukanlah pembakaran ulos Batak. Akibatnya, sempat ada suatu masa di mana ulos Batak banyak dibakar orang-orang Kristen, bahkan sepertinya dibuat gerakan membakar ulos Batak. Menurut mereka, bahwa keberadaan ulos itu menjadi kutuk bagi orang Batak kalau masih ada disimpan. Sungguh, hal ini merupakan penghancuran budaya apalagi ditambah dengan sikap memusuhi kebudayaan dan adat Batak.

Orang Kristen tidak perlu melenyapkan ulos Batak, karena ulos itu sama dengan kain lainnya yang dibuat menjadi pakaian. Kalau ingin konsisten memakai cara bakar-membakar, maka kain dan pakaian buatan Jepang mestinya dibakar jugalah semuanya, karena produk-produk Jepang mirip seperti itu. Produk-produk Jepang setelah selesai diproduksi dari pabrik dan mau dikirim untuk dijual tidaklah mustahil  mereka doakan. Sesuai dengan agamanya, maka tentulah mereka berdoa memohon kepada Dewa Matahari untuk memberkatinya. Apakah juga semua produk-produk Jepang ini dibakar oleh mereka? Bagaimana dengan rumah yang dibangun dengan menggunakan batu dan kayu? Barangkali batu dan kayu itu dulunya merupakan tempat penyembahan berhala. Apakah rumah itu turut juga dibakar? Pertanyaan ini perlu dikemukakan kalau mau konsisten sesuai dengan sikap terhadap ulos Batak tadi, sehingga jangan hanya ulos Batak yang dibakar.
Di dalam Kristus, bahwa orang percaya adalah orang merdeka dan tidak berada di bawah penindasan roh-roh dunia. Nama Yesus, darah Yesus, firman Allah, dan Roh Kudus memampukan orang percaya untuk menghadapinya dan menyelesaikannya. Di atas dasar firman Allah, orang percaya memohon pengudusan ulos Batak dengan darah Yesus di dalam nama Yesus, maka Allah melalui Roh Kudus melakukan pengudusan itu. Dosa, maut, dan kuasa-kuasa gelap ini telah dikalahkan Yesus di kayu salib pada dua ribu tahun lalu. Darah Yesus berkuasa menyucikan segala dosa (1 Yoh. 1:7, 9) dan menguduskan segalanya dari kuasa-kuasa gelap, sehingga tidak perlu lagi harus membakar ulos Batak beserta  semua yang disebutkan tadi. Oleh kuasa darah Yesus, maka semua benda itu dapat dikuduskan dan dapat dipakai oleh orang percaya tanpa perlu takut akan ada sesuatu yang mengganggunya.

Akhirnya, kerangka dasar theologi harus dapat menjadi dasar yang kuat dan luas dalam memandang dunia ini serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, sehingga dapat melihat kebudayaan dalam cara pandang Allah. Penulis telah membicarakan hal ini melalui tulisan berjudul: “KEBUDAYAAN DAN ADAT BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN” (BATAK POS, 30/09-2012). Budaya Batak dan Adat Batak bukanlah untuk dihancurkan, karena menghancurkannya dapat menimbulkan keguncangan di dalam masyarakat Batak. Pembakaran kitab-kitab sihir di dalam Kisah Para Rasul 19:19 bukanlah perintah atau ajaran/doktrin, tetapi bersifat insidentil agar isinya tidak dapat dipelajari lagi untuk melakukan sihir. Oleh karena bukan perintah atau ajaran/doktrin, maka tidak dapat dijadikan untuk melegitimasi pembakaran ulos Batak. Ulos bukan untuk dibakar habis atau dimusnahkan, tetapi patut dipertahankan bahkan dikembangkan sebagai kekayaan budaya Batak dan dipergunakan bagi kemuliaan Allah. ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 06 Oktober 2012


No comments:

Post a Comment