Pages

Tuesday, April 24, 2012

CANDI PORTIBI DI TAPANULI SELATAN


CANDI PORTIBI DI TAPANULI SELATAN

Oleh
Tim Buddhakkhetta
Sumber

Kerajaan Portibi di tanah Batak merupakan kerajaan kuno yang sangat unik. Portibi dalam bahasa Batak artinya dunia atau bumi. Jadi bila kita artikan Kerajaan Portibi secara leterleks maka berarti kerajaan dunia.

Portibi adalah nama sebuah daerah yang menjadi nama sebuah kecamatan di Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan. Berada di jantung wilayah Padang Lawas. Dulunya merupakan bagian dari wilayah Padang Bolak.

Sebegitu hebatkah kerajaan ini dahulu sehingga disebut sebagai kerajaan dunia. Atau apakah kerajaan ini dulunya merupakan pusat dunia, misalnya dalam bidang tertentu seperti Tibet, yang menjadi pusat meditasi Buddha yang terletak di pegunungan Himalaya tersebut.

Namun, satu-satunya kontak, atau paling tidak daerah jajahan atawa vassal kerajaan yang pernah dibuat orang Hindu secara langsung adalah di sekitar kerajaan Portibi ini. Kerajaan Hindu tersebut diduga didirikan oleh Raja Rajendra Cola yang menjadi raja Tamil, yang Hindu Siwa, di India Selatan yang menjajah Sri Langka.

Areal situs ini secara administratif terletak di wilayah tiga kecamatan, yakni Kecamatan Batang Pane, Kecamatan Lubuk Barumun, dan Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara. Kepurbakalaan yang terdapat pada situs ini tersebar di sepanjang aliran Sungai Batang Pane, Sirumambe, dan Sungai Barumun, terdiri dari setidaknya enambelas kompleks percandian atau dalam bahasa setempat lebih dikenal sebagai biaro atau biara yang merupakan adopsi dari kata dalam Bahasa Sansekerta, vihara yang berarti tempat belajar mengajar dan ibadah khususnya bagi penganut agama Buddha (Ing. monastery).

Berdasarkan sejumlah temuan yang didapatkan di situs ini, secara relatif biaro-biaro di Padang Lawas (Portibi) diperkirakan sudah eksis sejak abad ke-11 M. Data yang dijadikan acuan terutama adalah tulisan-tulisan kuno pada prasasti-prasasti yang ditemukan di situs ini. Salah satu dari beberapa prasasti itu adalah prasasti Gunung Tua, merupakan prasasti tertua yang ditemukan di situs ini, ditulis dalam aksara Jawa Kuna dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, yang dipahatkan pada bagian belakang landasan sebuah patung yang diapit terbuat dari perunggu.

Saat ini sisa-sisa kejayaan kerajaan Panai itu masih dapat dilihat di situs Padang Lawas. Beberapa diantara biaro-biaro itu sudah dipugar seperti Biaro Bahal I dan Biaro Bahal II, Biaro Bahal III dan Biaro Sipamutung, sementara biaro-biaro lainnya karena kondisinya sudah teramat rusak mengakibatkan saat ini belum dapat dipugar.

Nama Candi yang terdapat di Padang Lawas:
Candi Bahal I
Candi Bahal II
Candi Bahal III
Candi Sitopayan
Candi Bara
Candi Pulo
Candi Sipamutung
Candi Tandihat I
Candi Tandihat II
Candi Sisangkilon
Candi Manggis


CANDI BAHAL
Di desa Bahal, terdapat tiga situs candi yang saat ini sudah dipugar. Selanjutnya ketiga candi itu diberi nama candi Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Tempat-tempat ibadah itu berdiri di tepian sungai Batang Pane. Dari berbagai teori yang berkembang, kemungkinan sungai Batang Pane pernah menjadi lalu lintas perdagangan.
Candi Bahal I

Candi Bahal I yang berada di Desa Bahal, Kec. Padang Bolak, sekitar 450 kilometer barat daya Medan, ibukota Sumut, merupakan candi terbesar yang telah dipugar. Selain kawat berduri pemagar komplek candi seluas 2.744 meter persegi, di dalam masih ada pagar sepanjang 59 meter berupa susunan bata, mulai dari empat hingga 22 lapis. Dengan begitu, Bahal I merupakan candi terluas yang telah selesai dipugar bersama empat perwara-nya, yakni candi kecil di samping kiri dan depannya berbentuk bujur sangkar, menyerupai altar.

Perwara pertama luasnya 4,9 x 4,9 m dengan tinggi 1,5 m, berada enam meter sebelah timur laut bangunan induk. Perwara kedua merupakan perwara terluas, berada enam meter sebelah tenggara atau berhadapan dengan candi induk. Ukurannya 9,5 x 9,5 m dengan tinggi dua meter. Perwara ketiga terletak 2,20 m sebelah barat daya perwara kedua. Ukurannya 4,65 x 4,65 m dengan tinggi dua meter. Sedangkan perwara keempat ada di barat daya perwara ketiga, tinggi 1,5 meter dengan ukuran paling kecil, yakni 4 x 4 meter.

Sementara bangunan induk candi Bahal I itu sendiri berdenah bujur sangkar. Di pintu masuk terdapat delapan anak selebar 2,25 meter. Sepasang arca singa terlihat mengapit tangga. Pada bagian tengah bangunan utama terdapat ruang kosong seluas 2,5 m x 2,5 m yang fungsi awalnya diperkirakan sebagai tempat pemujaan.

Berbeda dengan posisi menghadap barat pada candi-candi di Jawa Timur atau menghadap timur pada candi-candi di Jawa Tengah, Bahal I justru dibangun menghadap Tenggara dengan sudut 135 derajat.


KILASAN SEJARAH

Para peneliti mengungkapkan, candi-candi di desa Bahal adalah tiga di antara 26 runtuhan candi yang tersebar seluas 1.500 km2 di kawasan Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Dari tiadanya situs patung Buddha di sekitar candi, pernah ada dugaan bahwa candi Bahal atau yang biasa disebut warga lokal sebagai “biaro”, tidak dibangun oleh umat Buddha. Memang, satu-satunya ornamen yang tertinggal sebagai simbol-simbol pemujaan adalah patung singa dan pahatan-pahatan aneh di dinding candi.

Arkeolog asal Jerman F.M Schnitger yang berkunjung tahun 1935 menyimpulkan, candi itu peninggalan Kerajaan Pannai. Sumber sejarahnya berasal dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I, di India Selatan. Rajendra berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dan beberapa kerajaan lainnya temasuk Kerajaan Pannai. Keberadaan Kerajaan Pannai tercatat dalam Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka.

Dari temuan sejumlah artefak, analisa konstruksi bangunan beserta materialnya yang dominan bata merah dengan ukuran beragam, batuan tuff (batuan sungai) untuk arca dan batuan kapur, memunculkan dugaan kuat bahwa candi ini berkaitan dengan agama Budha beraliran Wajrayana.

Masih menurut Schinitger, aliran Wajrayana yang berkembang di Padang Lawas sangat berbeda dengan ajaran Buddha yang kita kenal saat ini. Ciri-cirinya beringas, bengis, dan cenderung dekat ke upacara-upacara yang sadis. Arca dari Padang Lawas seluruhnya berwajah raksasa dengan raut muka menyeramkan. Relief pada dinding candi menggambarkan raksasa yang sedang menari dengan tarian tandawa. Hal ini diperkuat pula dengan informasi dari beberapa tulisan pada lempengan emas maupun batu yang ditemukan.
Candi Bahal II

Di runtuhan Candi Bahal II ditemukan arca Heruka, satu-satunya jenis arca sejenis di Indonesia. Penggambarannya sangat sadis dengan setumpuk tengkorak dan raksasa yang sedang menari-nari di atas mayat. “Tangan kanan (raksasa itu) diangkat ke atas sambil memegang vajra, sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk tempurung kepala manusia”.

Upacara Tantrayana digambarkan sebagai tindakan yang sadis dan tidak lepas dari mayat dan minuman keras. Tapi upacara terpenting dari aliran Wajrayana ini adalah Bhairawa.

Upacara ini dilakukan di atas ksetra, lapangan tempat menimbun mayat sebelum dibakar. Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, meramalkan mantra, membakar mayat, minum darah, dan tertawa-tawa sambil mengeluarkan dengus seperti kerbau. Tujuannya agar bisa kaya, panjang umur, perkasa, kebal, menghilang, dan menyembuhkan orang sakit.

Agar lebih sakti lagi, mereka berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa. Ini dipercaya orang Wajrayana di Padang Lawas untuk membuat perasaan tenang atau mendapat mukjizat dilahirkan kembali atas kekuasaan Dewa yang dipuja (konsep reinkarnasi).

Satu hal yang agak memprihatinkan mengenai Candi Bahal I adalah pemugarannya, karena tidak begitu berhasil menunjukkan bagaimana ujud candi itu sebelumnya. Misalnya renovasi terhadap relief Yaksa dalam posisi sedang menari, di sebelah kiri pipi tangga candi. Bagian kepalanya sudah hilang.

Batu bata baru terlihat dipasang rata seperti membangun rumah! Tak ada ukiran baru mengikuti garis kepala Yaksa yang telah hilang! Untungnya 3 relief Yaksa di pipi kanan tangga masih asli. Kendati ada sedikit perbedaan pada tatahannya, namun dapatlah menjadi bahan perbandingan.

Sebenarnya relief terdapat pada setiap sisi candi. Ada enam relief singa pada dinding-dinding candi. Namun kini hanya beberapa bagian saja yang masih terlihat. Pemugaran terlihat lebih baik pada bagian dalam atas (atap) candi. Bentuknya lapik tiga lapis berupa susunan 21 batu bata. Berdenah bujur sangkar pada beberapa puluh centimeter pertama dan mengkerucut di bagian dalam. Sedangkan dari luar, atap berbentuk lingkaran. Renovasi keempat perwara tampak lebih baik, mungkin karena tak ada relief yang harus direkonstruksi.

Beberapa nama yang sudah melakukan riset penting di sini antara lain Franz Junghun (1846), Von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom (1923), dan Schnitger sendiri yang dikenal sangat berjasa mengungkap sejarah kepurbakalaan di Sumatera.

Candi Tandihat

Terletak di desa Tandihat, Kecamatan Barumun Tengah, Candi Tandihat Kabupaten Tapanuli Selatan. candi Tandihat 1 merupakan sebuah bangunan bata yang masih berdiri tegak di tengah (agak ke barat) halaman percandian. Bangunan candi yang sekarang masih berdiri berukuran 5 X 5 meter dengan tinggi lebih dari 5 meter dengan pintu masuk menghadap ke timur. Pada dinding bagian dalam terdapat lubang yang diduga untuk menempatkan arca berukuran kecil, ukuran lubang adalah 25 X 30 cm dan dalam 10 cm. Di halaman candi di sekitar candi ditemukan artefak lepas antara lain 6 buah lapik dan 2 buah alas kemuncak.

Selain candi Tandihat 1 masih terdapat candi Tandihat 2 dan 3 yang terletak tidak terlalu jauh. Berdasarkan temuan prasasti pada permukaan lempeng emas dari Tandihat 2 -yang menurut Stutterheim dihubungkan dengan upacara tantrik, candi ini diduga berasal dari abad ke 13-14 Masehi.

Deskripsi Prasasti Tandihat II

Prasasti Tandihat II ditemukan satu konteks dengan Biaro Tandihat II, tetapi patut disayangkan bahwa arca singa tersebut ditemukan tidak in situ lagi. Biaro Tandihat II yang terletak di Situs Padang Lawas ini berupa runtuhan bangunan yang tertimbun tanah. Survei pada tahun 1994 di daerah aliran sungai Barumun dan Pane serta ekskavasi di situs Tandihat II, berhasil menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan. Bangunan Biaro Tandihat II ini menghadap ke arah timur dengan tangga naik dihias dengan sepasang makara. Sebuah arca singa yang dibuat dari batu pasir ditemukan juga di antara runtuhan bangunan tersebut (Tim penelitian Arkeologi,1995:47–48).

Prasasti Tandihat II

Seperti yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan, Prasasti Tandihat II tergolong prasasti pendek yang terdiri dari tiga kata yang berbunyi buddha i swakarmma yang diterjemahkan dengan ‘buddha dengan sebab akibat sendiri untuk penderitaan dan kebahagiaan’. Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Jawa Kuna dan berbahasa Jawa Kuna (Setianingsih dkk.,2003:8–9). Ketiga kata dalam prasasti ditempatkan secara horisontal pada paha kiri depan arca singa yang berdiri vertikal. Tidak terdapat angka tahun, nama seseorang yang menerbitkan prasasti (nama raja / penguasa wilayah) ataupun yang menuliskan prasasti (citralekha). Apabila dilihat dari paleografi aksara yang digunakan, kemungkinan prasasti ini berasal dari abad XII-XIV.(Setianingsih,2003:8).

Prasasti Tandihat II dipahat dengan cukup baik, dalam arti, mempunyai kedalaman goresan yang cukup sehingga setiap aksara yang terpahat pada permukaan bidang pahat dapat diidentifikasi dengan mudah. Aksara-aksara yang terpahat dituliskan tidak terlalu besar tetapi dapat terbaca dengan mudah yaitu dengan panjang keseluruhan deretan aksaranya 9 cm dan masing-masing aksara memiliki ukuran 1 x 1,5 cm.

Arca singa, tempat pertulisan tersebut dipahatkan saat ini dalam kondisi rusak. Kepala arca telah hilang, hanya menyisakan lapik arca, badan beserta keempat kakinya. Arca singa ini secara keseluruhan berukuran 46 x 40 cm. Bagian lapiknya berdenah bujur sangkar dengan sisi-sisi 28 x 28 cm dan tinggi 10 cm. Di bagian atas lapik terdapat lapik bermotif sulur dengan diameter 28 cm dan tinggi 6 cm. Sedangkan bagian arca singa itu sendiri memiliki tinggi 30 cm dengan panjang 40 cm dan lebar 23 cm. Singa dalam hal ini digambarkan dalam posisi duduk, kedua kaki belakangnya dilipat, sementara kaki depan tegak. Bagian belakang tubuh singa telah aus dan tidak terdapat adanya indikasi penggambaran ekor. Singa tersebut digambarkan bertubuh gempal dengan perut buncit.

Arca singa duduk di atas lapik berbentuk persegi yang telah aus bagian tepiannya. Surai digambarkan lebat, panjangnya sampai ke pangkal paha kaki depan. Keempat pergelangan kaki singa memakai nupura (gelang kaki) yang berbentuk lingkaran tebal, polos dan berjumlah satu lapis. Di bawah arca singa tersebut, tepatnya di antara kedua kaki depan, terdapat pahatan berbentuk singa dalam ukuran yang lebih kecil dengan tinggi 12 cm dan lebar 9 cm. Arca singa yang berukuran kecil tersebut digambarkan dalam posisi duduk dengan kaki belakang terlipat. Kaki kiri depan menopang berat badan, dijulurkan lurus ke bawah, sedangkan kaki kanannya diangkat ke atas dengan telapak kaki setinggi mata. Arca ini cenderung lebih utuh apabila dibandingkan dengan arca singa yang pertama. Kepala arca digambarkan detil, lengkap dengan mata, hidung, mulut, telinga, dan surai/ rambut. Mata singa digambarkan bulat melotot dengan kening ditonjolkan. Telinga berbentuk segitiga sama kaki, tegak meruncing ke atas. Mulut singa menganga lebar lengkap dengan deretan gigi dan taring yang menonjol. Surai singa digambarkan lebat, dengan tubuh gempal. Telapak kaki dan sebagian lengan depan arca singa tersebut telah aus sehingga sulit diidentifikasi adanya hiasan atau semacamnya. Secara keseluruhan, arca singa yang berukuran lebih kecil duduk di atas lapik yang sama dengan arca singa yang berukuran lebih besar.

Candi Sipamutung

Candi Sipamutung adalah Sungai Barumun dan Pane, di desa Siparau, Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan. Terdiri dari sebuah biaro induk dan 6 Candi perwara yang saat ini sudah dipugar.

candi induk menghadap ke timur dengan denah bujur sangkar berukuran 11 X 11 meter, tinggi 13 meter, yang terdiri dari bagian batur, kaki, badan, dan atap. Bagian bawahnya tersusun 16 buah stupa yang lebih kecil. Lima buah Candi perwara dibuat dari batu andesit terletak di sebelah 11,6 meter, tinggi 2,1 m.

Pada daerah ini termasuk situs percandian yang sangat banyak memiliki sejarah khususnya percandian, untuk itu hendaklah kita lestarikan dengan baik, mengingat kondisi sebagian candi juga sudah sangat memprihatinkan dan beberapa candi sudah hampir hancur dan tidak ada upaya pemugaran ataupun penanggulangan. Dapat dipastikan jika kita tidak peduli dengan keadaan tersebut maka dalam waktu dekat ini semua cerita dan sejarah yang memiliki nilai penting terhadap daerah tersebut pada khususnya dan sejarah Indonesia pada umumnya akan hilang ditelan zaman.


PRASASTI-PRASASTI DI WILAYAH PADANG LAWAS, TAPANULI SELATAN

Kompleks percandian Padang Lawas, Tapannuli Selatan selain banyak ditemukan biaro-biaro yang sebagian besar beraliran agama Buddha, juga ditemukan beberapa prasasti dengan berbagai jenis. Selama ini perhatian terhadap prasasti masih banyak difokuskan terhadap prasasti-prasasti yang terdapat di Jawa. Padahal seperti kita ketahui di Sumatera, khususnya di daerah Padang Lawas juga banyak ditemukan prasasti dengan berbagai variasi mulai dari prasasti berbahan batu, emas, beraksara palawa maupun beraksara pasca-palawa. Selain itu apabila dilihat dari isinya terdapat berbagai hal yang berbeda dalam interpretasinya. Diantara prasasti-prasasti yang ditemukan di kompleks percandian Padang Lawas diantaranya:

1. PRASASTI AEK SANGKILON
Prasasti ini ditemukan di daerah Aek Sangkilon, Padang Lawas, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Aek Sangkilon disimpan di Museum Nasional Jakarta.

2. PRASASTI TANDIHAT 1
Prasasti ini ditemukan di daerah Padang Lawas, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Tandihat 1 disimpan di Museum Nasional Jakarta.

3. PRASASTI TANDIHAT 2
Prasasti ini ditemukan di Biaro Tandihat 2, Desa Tandihat 2 Kec. Barumun Tengah, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Tandihat 1 disimpan di Museum Provinsi Sumatera Utara.

4. PRASASTI BATU GANA 1
Prasasti ini ditemukan di Biaro Bahal 1, Desa Bahal, Padang Bolak, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Batu Gana 1 disimpan di Museum Negeri Sumatera Utara.

5. PRASASTI BATU GANA 2
Prasasti ini ditemukan di Desa Batu Gana, Padang Bolak, Tapanuli Selatan dan saat ini Prasasti Batu Gana 2 masih insitu.

6. PRASASTI SITOPAYAN 1
Prasasti ini ditemukan di Biaro Sitopayan, Desa Sitopayan, Padang Bolak, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Sitopayan 1 disimpan di Museum Negeri Sumatera Utara.

7. PRASASTI SITOPAYAN 2
Prasasti ini ditemukan di Biaro Sitopayan, Desa Sitopayan, Padang Bolak, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Sitopayan 2 disimpan di Museum Negeri Sumatera Utara.

8. PRASASTI LOBU DOLOK 1
Prasasti ini ditemukan di Makam di situs Lobu Dolok, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan dan sampai sekarang prasasti ini masih insitu.

9. PRASASTI LOBU DOLOK 2
Prasasti ini ditemukan di Makam di situs Lobu Dolok, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan dan sampai sekarang prasasti ini masih insitu.

10. PRASASTI LOBU DOLOK 3
Prasasti ini ditemukan di Makam di situs Lobu Dolok, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan dan sampai sekarang prasasti ini masih insitu.

11. PRASASTI RAJA SORITAOON
Prasasti ini ditemukan di makam di Situs Padang Bujur, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan dan sampai sekarang prasasti ini masih insitu.

12. PRASASTI CANDI MANGGIS
Prasasti ini ditemukan di Candi Manggis, Kec. Sora, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Candi Manggis disimpan di Museum Negeri Sumatera Utara.

13. PRASASTI GUNUNG TUA
Prasasti ini ditemukan di daerah Gunung Tua, Padang Lawas, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Gunung Tua disimpan di Museum Nasional Jakarta.

No comments:

Post a Comment