Pages

Friday, October 24, 2014

Pulau Sumatera Merdeka

                                                 Pulau Sumatera Merdeka
Jones Gultom. Wacana otonomi sastra yang digelontorkan Yulhasni lewat tulisannya, “Otonomi Sastra di Sumut” dan secara tersirat diperkuat Mihar Harahap, “Kritik Bukan Jubir, Jakarta Tinggal” di Rebana, 16 Juni 2013 lalu, patut dikembangkan.
Gagasan ini sejalan dengan prinsip otonomi daerah dalam hal pengembangan kebudayaan. Menurut saya, bukan tidak mungkin, ide itu termasuk alternatif dalam penyediaan ruang yang “lebih” bagi pengembangan kesusasteraan, terutama di daerah-daerah. Dalam fungsi yang lebih luas, otonomi sastra akan berdampak pada bangkitnya karya sastra berwarna lokal. Baik dari sisi pengungkapan, style, isu maupun ideologi. Saya maksud daerah di sini adalah di luar Jakarta. Apa boleh buat, sebagai ibukota negara, Jakarta memang seperti ditakdirkan untuk menjadi superior, nyaris dalam segala hal.
Seperti disinggung di atas, prinsip otonomi daerah yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade, mestinya tidak sekedar berkaitan dengan tata pemerintahan, ekonomi dan politik pusat-daerah. Meskinya juga diikuti oleh aspek-aspek lain, salah satunya kebudayaan. Kebudayaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika otonomi daerah itu sendiri. Apalagi kebudayaan berhubungan langsung dengan manusia dan interaksinya.
Dalam hal sastra, sejatinya otonomi itu diperlukan. Saat ini kita bisa bertanya sendiri, berapa banyak kekhasan lokal yang hilang di sejumlah daerah, ketika dia tak mendapat tempat dalam karya sastra. Lebih dari itu, berapa banyak nilai kelokalan yang terkubur dengan sendirinya karena tidak terapresiasi. Sejarah juga menunjukkan, betapa sulit mengumpulkan bukti-bukti tertulis akibat langkanya literasi.
Selain itu, penyeragaman maupun sentralisme yang terjadi selama ini, terbukti telah mengerdilkan sastra itu sendiri. Dengan kata lain, menutup pintu bagi upaya-upaya pengembangan keragaman sastra. Tentu saja tidak hanya sastrawan yang dirugikan, namun juga negara.

Terjebak Nisbi
Beberapa waktu lalu, saya ditodong sekelompok Mahasiswa Sastra Unimed untuk berdiskusi tentang sastra Batak. Pertanyaan mereka sangat sederhana. Mengapa karya sastra daerah, seperti Batak tidak muncul? Saya menjawab, karena memang tidak diberi ruang. Selama ini genre sastra sejenis ini dianggap usang dan hanya menjadi milik sejarawan. Ironisnya penguburan itu justru dilakukan oleh para sastrawan itu sendiri. Padahal, hakekatnya sastra sendiri tidak mengenal istilah sastra lama-baru. Yang ada hanyalah pembabakan berdasarkan kepentingan tertentu. Yang terjadi adalah munculnya pola-pola standart yang dipaksakan. Standarisasi itu bukannya berdampak baik, malah membunuh ruang kreativitas sastrawan.
Saya pinjam pengalaman berdasarkan salah satu program World Health Organization (WHO) ketika memberikan susu kepada anak-anak Euthopia, di tahun 90-an. Waktu itu WHO menganggap bahwa anak-anak Euthopia itu membutuhkan susu bagi pertumbuhan mereka. Apa yang terjadi, ketika mereka mengonsumsi susu itu, malapetaka pun terjadi. Tubuh mereka bereaksi. Mereka muntah-muntah. Bahkan tidak sedikit yang lambungnya terinfeksi. Setelah diadakan penyelidikan, diketahui bahwa enzim tubuh mereka tidak mengenal zat yang terkandung dalam susu itu, sehingga bersifat patogen.
Begitu juga halnya dalam dunia sastra. Praktik-praktik politik sentralistik yang diberlakukan di Jawa selama ini, tak lain adalah ciri dari politik kebudayaan. Banyak sastrawan mereka yang justru besar karena unsur kejawaan dalam karya mereka. Tokoh-tokoh seperti Rendra, Pram, Goenawan Mohammad, Danarto, Kuntowijoyo, Mangunwijaya sampai golongan yang lebih muda, Seno Gumira, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Joni Ariadinata, Hudan Hidayat, Joko Pinurbo, bahkan penyair Afrizal Malna, termasuk yang hidup di dalamnya.
Tentu saja, karya-karya mereka mendapat tempat di Jawa, yang mana redaktur budaya, kritikus, dan spirit medianya senafas dengan itu. Posisi mereka beruntung karena tidak perlu legitimasi dari sastrawan di luar Jakarta. Bagaimana jika keadaan dibalik? Saya yakin, belum tentu karya itu dapat diterima di daerah lain.
Bagaimana jika puisi “Asmaradana” Goenawan Mohammad itu, diapresiasikan kepada anak-anak sekolah di Samosir? Hakekat otonomi yang saya maksud, sebagaimana juga diamini Yulhasni dan Mihar Harahap, tidak semata-mata soal “isme-isme” itu. Lebih penting, agar metode apresiasi sastra kita tidak terjebak pada nisbi kebudayaan. Karena itulah otonomi sastra menjadi perlu.

Eksistensi dan Kontrol Sosial
Ada banyak manfaat jika otonomi sastra itu terjadi. Pertama, terpeliharanya nilai-nilai lokal suatu daerah. Dari sisi sosial kebudayaan, nilai-nilai itu dianggap menjadi tatanan dalam kehidupan masyarakat. Jika kita masih percaya, bahwa kata akan berpengaruh pada perilaku manusia, maka sastra yang berorientasi kearifan lokal, mutlak kita perlukan pada bangsa yang masih terbilang komunal ini.
Kedua, otonomi sastra itu dengan sendirinya akan membuka peluang bagi pengembangan sastra nusantara. Keragaman sastra itu tentunya akan berdampak pada aspek pariwisata dan ekonomi masyarakat. Seyogianya otonomi daerah, otonomi sastra juga akan membuka porsi yang lebih luas bagi eksplorasi budaya. Gejala itu sebenarnya sudah terlihat di beberapa daerah. Di antaranya Pekanbaru dan Bali. Para sastrawan dari kedua daerah ini, fokus mengusung warna lokal mereka. Alhasil kehadiran mereka tidak lagi menjadi subordinat, tetapi sejajar dengan sastra Jakartaisme.
Ketiga, otonomi sastra akan memutuskan kultusme Jakarta. Relasi yang terjalin tidak lagi hirearkis, namun bersifat partnership. Tidak ada lagi dikotomi atau alienasi terhadap karya sastra di daerah. Yang muncul keragaman yang membentuk mozaik sastra Indonesia. Demikian juga ruang-ruang baru dalam sastra akan terus bermunculan.
Keempat, otonomi sastra akan memperkuat fungsi sosial sastra itu sendiri. Karya sastra akan sangat kontekstual dan dekat dengan pembacanya. Bagian ini yang seringkali menjadi perdebatan. Munculnya paham sastrawan adalah milik dunia, telah membuat karya sastra kita tidak berpijak. Tidak memiliki fondasi yang kuat dalam masyarakat. Akhirnya peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi di Sumatera Utara, jarang direkam oleh sastrawan. Sementara karya sastra yang kiblatnya Jawa, terus bermunculan dan celakanya sering dianggap patron oleh sastrawan di luar Jawa.
Bahkan sampai saat ini, dikotomi sastra itu masih terjadi. Simaklah karya-karya sastra yang menjadi pembicaraan hangat belakangan ini. Karya sastra tergolong baru dibandingkan dengan karya lama yang spirit budayanya sama; Jawa. Antara lain, novel berseri; Gajah Mada (Langit Kresna Hariadi) atau Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit (Hermawan Aksan). Keduanya diuji kualitas dengan novel Rara Mandut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri, karya Mangunwijaya. Juga dengan novel Pangeran Diponegoro (Remy Silado), Pelangi di Atas Glagahwangi (S. Tidjab).
Begitu juga perspektif karya-karya Pram, seperti Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah yang dibandingkan dengan novel November Merah, Gadis Tangsi dan Surabaya Tumpah Darahku, karya Suparto Brata. Karya-karya ini dibicarakan di tingkat nasional dengan kontruksi polemik, seolah-olah menjadi satu-satunya karya sastra yang mewakili keindonesiaan.
Saya takut, keadaan itu memang dipolitisasi demi kenyamanan dan dogmatisasi sastra Jawa. Jika dasarnya adalah kepentingan nusantara, mengapa tidak dipetakan dulu karya-karya yang bercikal nusantara dari berbagai daerah. Toh selama ini penerbitan juga masih tersentral di Jawa (Jakarta).
Begitupun saya sepakat dengan Yulhasni, bahwa otonomi sastra di Sumut bisa dimulai dengan menerbitkan buku-buku sastra yang berbasiskan daerah ini. Kemudian mengintegrasikannya ke dalam kurikulum yang ada. Saya sering membayangkan, seandainya otonomi itu berlangsung, maka sastra Sumut akan menjadi tuan di rumahnya sendiri. Label kesasterawanannya diperoleh dari masyarakatnya sendiri. Dengan begitu akan semakin mudah diapresiasi dan dipertanggungjawabkan.


No comments:

Post a Comment