Monday, October 6, 2014

Musisi dan Komponis "Na Bonggali" Bernama Nahum Situmorang

Musisi dan Komponis "Na Bonggali" Bernama Nahum Situmorang

Minggu, 23 Maret 2014 | 23:09:17


Sangat tepat jika ayahandanya, Guru Kilian  membuat sosok komponis besar itu  bernama Nahum. Sebab dalam bahasa batak “na hum”  artinya orang yang berani. Kelak dengan keberanian dan kemampuannya, dia mampu menembus ruang hingga melampaui sekat-sekat genre musik dunia. Simak saja sederetan  komposisi musiknya yang beraliran etnik, jazz, rumba bahkan musik keroncong,  yang semuanya disajikan dengan harmoni melodi yang amat menakjubkan. Wajar dan sangat wajar jika kemudian dia menjadi Tarbonggal  (termasyhur, buah pembicaraan). Lirik lagu yang  sarat dengan kedinamisan dan diksi yang memuat makna filosofi yang adi luhung,  mampu  meretas dan memicu kesadaran akan keterbelakangan manusia Batak masa ketika itu. 

Selain darah seni yang mengalir dalam pribadinya, Nahum juga menyadari betapa pentingnya pendidikan untuk  mobilitasnya kelak. Sehingga pada tahun 1928  momen bangkitnya kesadaran berbangsa dan pentingnya persatuan saat itu, dia telah lulus dari sekolah guru Kwekschool di Lembang-Bandung. Setamat dari Lembang, Nahum sempat mengabdi menjadi guru di sekolah Batak Studentfonds di Sibolga, dan  satu tahun kemudian  bersama abangnya Sopar Situmorang, berhasil mendirikan sekolah HIS di Tarutung.

Lelaki perlente yang  gemar mengenakan celana putih itu, gemar nongkrong dan memainkan gitarnya di lapo tuak. Rasanya memang paradoks,  sebab ia bukanlah penikmat bahkan peminum tuak seperti kebanyakan  orang  yang mangkal di kedai tuak. Ia mengidap penyakit alergi  semacam penyakit kulit yang  secara kesehatan tidak baik untuk mengkonsumsi alkohol. Dia hanya memesan lemon minuman kesukaannya. Di kota Medan kesehariannya,  pagi menjelang siang kerap nongkrong di bawah pohon seri yang ada di Jalan Sutomo dekat Jalan Sindoro.  Kemudian menjelang senja,  beranjak ke salah satu kedai tuak sekitar  Jalan Bambu, dan pengagumnya telah menantinya  di tempat itu. Penggemarnya dari berbagai kalangan,  mulai dari aparat pemerintahan, kalangan  militer bahkan rakyat biasa.

Nahum adalah sosok yang kukuh  terkait idialisme dan nasionalisme, namun  adaptif  terhadap lingkungan sosial. Dengan idealisme itu pula Nahum lebih memilih  ranah partekelir  ketimbang mengabdi  untuk bekerja di pihak penjajah. Selain itu, ia sadar betul bahwa lewat kesenian survive ekonomi  belum tentu ia dapatkan, sehingga sembari  nongkrong di kedai tuak dan dan bermain gitar yang menjadi hobbynya,  dia juga mengurusi bisnisnya. Pasang surut bisnis yang dia geluti membuat dia terkadang harus banting stir untuk bisnis yang lain,  misalnya sebagai pedagang permata dari satu kota ke kota lain termasuk pada tahun 1942-1945 membuka restoran Jepang sekaligus sebagai pemusik.

Nahum juga sesekali mengisi acara di RRI Medan. Ketika mengisi acara di RRI  ia memunculkan  grupnya  dengan nama acara “Solu Bolon” bersama rekannya Walter Sirait, Ungkap Situmeang dan Domi Marpaung.  Namun  ketika group Nahum diundang untuk mengisi acara di tempat lain seperti undangan di instansi pemerintah  dia menggunakan nama  “Nahum Band”. Dicatat, ketika itu ada dua grup yang eksis di Kota Medan yakni Grup Nahum dan Dolok Tolong Melodi pimpinan Ismail Hutajulu.  Kedua kelompok musik ini bisa dikatakan kompetitif, sebab kedua grup ini berlomba-lomba untuk menghasilkan karya yang akan disuguhkan ke masyarakat. Puncak masa- masa berkarya  Nahum adalah ketika  lagu ciptannya direkam dalam bentuk piringan hitam di perusahaan negara, Lokananta.

Lagu lagu bertema Kebatakan:
Nahum adalah legenda hidup dalam  penciptaan lagu-lagu Batak di jamannya. Bakatnya yang luar biasa di bidang mencipta lagu ibarat sumur tanpa dasar.  Lirik lagunya sarat makna. Nahum sebagai anak zaman mampu merajut lirik lagu dengan kosa kata yang cukup arkaik namun sarat makna; didaktis, persuasif, filosifis, romantis-melankolis namun tidak cengeng. Untaian diksi lirik lagunya dibingkai dengan balutan estetika dan etika yang sangat  kompleks  sebagai rekaman terhadap realitas geliat kehidupan yang up date dan tidak lapuk dimakan zaman.  Dia begitu terampil memainkan imajinasi yang berempati terhadap realitas kehidupan secara umum.  Sesekali Nahum menyadur notasi lagu dari mancanegara, namun Nahum bukanlah   plagiator sebab jika demikian dia akan mengakui  itu dalam riwayat penciptaanya.

Sebut saja  syair Anakhon Hi do Hamoraan di Au,  dia secara jelimet menggambarkan apa yang menjadi cita-cita kebanyakan keluarga Batak  walaupun syair lagu itu bukan sebagai refresentasi  dirinya sebab dia tidak punya anak bahkan tidak menikah.  Lagu ini amat visioner dan provokatif dalam arti positif, sebab  mampu memicu kesadaran  akan  pentingnya aspek pendidikan untuk menghadapi zaman yang semakin maju. Dan secara filosofi lirik itu menyiratkan jika seorang anak  berpendidikan tinggi tentu akan lebih mudah menggapai  cita-cita; hagabeon, hamoraon dan hasangapon. (kepemilikan; keturunan, kekayaan dan kemuliaan)

Di sisi lain, Nahum juga sebagai pelestari tradisi andung sebagai bagian dari sastra lisan batak.  Pilihan kata yang khas dalam hata ni andung yang sarat dengan ungkapan metafora  disajikan dalam mengungkapkan kegundahan hati dan meratapi parsorion (nasib hidup yang kurang beruntung). Simak saja lagu yang berjudul  'Na hinali Banghudu'.  Lagu ini adalah merupakan sepenggal otobiografi dirinya yang berisi  ratapan yang memilukan sebagai seorang lajang yang meninggal, dalam istilah antropologi Batak dikenal dengan mate di paralang alangan. Dalam  lirik lagu ini dia sangat piawai dalam hal diksi dan metafora dirinya dengan cukup terukur ; songon boniaga so laos (dagangan yang tidak laku),  mate diparalang alangan (tingkatan kematian yang tak diinginkan, mati lajang) di paraung aungan (tempat kematian yang tidak layak, seperti di hutan), songon buruk-buruk ni rere (tikar yang tidak layak digunakan karena sudah sangat buruk)

Ketika kita menyimak lagu, modom ma damang Uccok, secara imajinatif dan empatif dia bisa menggambarkan seorang ibu yang telah ditinggalkan suami dan secara didaktis menggambarkan sang ibu yang harus tetap menumpahkan kasih sayang buat si buah hati, anak laki-lakinya. Pada lagu Boasa saonari ho hutanda, mengisahkan  kegundahan hati karena jatuh hati kepada seorang perempuan, yang mana perempuan tersebut sudah terikat perkawinan dengan laki-laki lain, lagi-lagi seolah olah dia pernah mengalaminya.

Lagu Mar Ombus-ombus (sebagai  panganan  dan oleh-oleh khas dari Siborong-borong),  salah satu bukti bahwa dia juga peka terhadap aspek ekonomi  yang menjadi mata pencaharian masyarakat lokal. Entah motivasi apa ia mencipta lagu itu, apakah karena  penggemar ombus-ombus atau dia punya riwayat percintaan dengan boru Hombing? Entah. Namun yang pasti dari sekitar dua ratusan lagu yang diciptakan Nahum, hampir semua  mampu merekam aspek sosiologi-antropolgis tradisi Batak mulai dari yang bertemakan kecintaan pada alam, kerinduan kampung halaman nasehat, filosofi, sejarah marga dan sisi-sisi kehidupan batak yang unik dan khas. 

Takdir yang diterimanya, hingga ajal menjemput sang maestro guru Nahum tetap melajang.

Nahum telah tiada, namun hingga kini karya-karyanya tetap  melekat di hati sanubari masyarakat Batak. Lewat karya Nahum, banyak pihak yang sudah diuntungkan secara ekonomi dan  sosial budaya. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menghargai jasa yang luar biasa itu ? ....Anggo Bangke ku di si Tanomonmu di si udeanku sarihon ma! (namun jasadku di situ kamu kebumikan, pikirkan itu !) Salah satu pesan beliau; tentu buat saya, kamu dan kepada kita semua. Mari kita jawab bersama!! 

(Penulis: adalah Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Univ. HKBP Nommensen/ r)

Sumber:
http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=8760

No comments:

Post a Comment