Pages

Tuesday, June 17, 2014

Tentang Asal Usul Suku Bangsa Nias

Tentang Asal Usul Suku Bangsa Nias – 

Sebuah Wawancara dengan Prof. dr. Herawati Sudoyo, PhD

Prof. Herawati SudoyoPengantar Redaksi: Beberapa waktu lalu, Museum Pusaka Nias dan Yayasan Gema Budaya Nias menyelenggarakan Seminar Internasional dengan tema Asal Usul Suku Bangsa Nias – ditinjau dari DNA dan Benda-Benda Purbakala Nias di Teluk Dalam (11-12 April 2013) dan di Gunungsitoli (13 April 2013). Salah seorang pembicara dalam Seminar tersebut adalah Mannis van Oven, mahasiswa doktoral pada Departemen Biologi Molekular Forensik, Erasmus MC University Medical Center Rotterdam, The Netherlands.

Hasil penelitian   van Oven dkk ini berawal dari penelitian yang dimulai lebih dari sepuluh tahun lalu. Ketika itu, S. Laia (Pendiri dan Pemimpin Redaksi Nias Portal –  kini situs tersebut sudah tidak ada namun dulu beralamat di www.niasportal.org) mewawancarai Prof.Dr.med. Ingo Kennerknecht dari Universitas Münster, yang datang ke Nias dalam rangka penelitian tersebut (baca artikel: Merunut Asal-Usul Orang Nias Berdasarkan DNA/Gen).

Setelah menyajikan materi Seminar di Teluk Dalam dan Gunungsitoli, Mannis van Oven melanjutkan sajiannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, pada tanggal 15 April 2013.

Berikut adalah hasil wawancara Nias Online dengan Prof. dr. Herawati Sudoyo, Ph.D, Deputi Direktur Lembaga Molekul Biologi Eijkman Indonesia yang merupakan pendapat beliau  tentang hasil penelitian tersebut. Bahan wawancara tertulis ini disusun oleh Etis Nehe, S. Laia dan E. Halawa, dan disunting oleh Lovely C. Zega – Redaksi

A – Berhubungan dengan Riset Mannis van Oven dkk
Nias Oniline (NO): Sehari setelah Mannis van Oven mempresentasikan hasil penelitian kelompoknya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013), Kompas online memuat berita berjudul: Asal-usul Orang Nias Ditemukan.   Apakah judul berita di Kompas ini mencerminkan hasil riset yang dipresentasikan oleh van Oven tersebut, yang sebelumnya juga dimuat dalam sebuah karya tulis ilmiah dengan judul: “Unexpected Island Effects at an Extreme: Reduced Y Chromosome and Mitochondrial DNA Diversity in Nias“.

Prof. Herawati Sudoyo (HS): Sebenarnya apa yang ditemukan oleh  van Oven dkk dan dilaporkan dalam jurnal ilmiah tersebut menyimpulkan adanya temuan yang tak terduga yang memperlihatkan adanya tingkat keragaman yang sangat rendah pada populasi Nias, baik yang diteliti menggunakan kromosom Y (memperlihatkan penurunan garis paternal) dan juga pada DNA mitokondria (menggambarkan penurunan garis maternal), bila dibandingkan dengan populasi Asia maupun Oceania.  Hal ini tentu saja sangat mengejutkan, mengingat bahwa pulau Nias sebenarnya dari sudut jarak tidaklah terlalu jauh secara geografis dari Asia Tenggara.

Judul Kompas on line “Asal Usul Orang Nias Ditemukan” masih bisa diterima, mengingat bahwa penelitian tersebut melibatkan cukup banyak sampel, yang diharapkan dapat menggambarkan populasi Nias modern dari Nias utara maupun selatan. Hasilnya juga dapat mengungkapkan adanya hubungan dengan nenek moyang berbahasa Austronesia yang berasal dari Formosa 4000-5000 tahun yang lalu.

NO: Orang awam agak susah mengerti bagaimana menelusuri asal usul suatu bangsa melalui DNA. Bisakah Ibu menjelaskan secara ringkas cara menetapkan “jalur darah” seseorang atau satu suku berdasarkan analisis DNA?
HS: Saya berharap dapat mencari jawaban yang tepat untuk dapat memberikan penjelasan tentang DNA dan asal usul seseorang.  DNA adalah informasi genetik yang terdapat di dalam sel tubuh kita yang sifatnya diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.  DNA dapat digunakan untuk menentukan spesies makhluk hidup mulai dari manusia sampai mikroorganisme, identifikasi individu. Perlu juga untuk mempelajari migrasi dan struktur populasi.  Struktur populasi atau lebih tepatnya hubungan genetik antara individu dan/atau subpopulasi, tergantung pada aliran genetik atau seleksi yang terjadi.
Ada tiga macam bentuk atau marka DNA yang umum digunakan untuk mempelajari struktur populasi dan sejarah migrasi nenek moyang maupun identifikasi individu yaitu menggunakan kromosom Y dan DNA mitokondria, yang diturunkan hanya dari salah satu orang tua, ayah atau ibu,  yang berevolusi melalui akumulasi mutasi.  Mutasi adalah perubahan basa yang terjadi pada untai DNA.  Perbedaan mekanisme penurunan tersebut akan memberikan pengaruh terhadap informasi yang  diperoleh dari data genetik.  Kromosom Y dapat digunakan untuk menelusuri garis paternal, sedangkan DNA mitokondria untuk garis maternal, dan keduanya dapat digunakan untuk membangun pohon evolusi serta melihat perbedaan perilaku migrasi antara laki-laki dan perempuan, seperti yang telah dilakukan oleh  van Oven dkk.

NO: Dalam seminar hasil riset van Oven dkk itu, Ibu menyiratkan perlunya menganalisis juga DNA dari Kalimantan dan Sulawesi, sebelum memastikan migrasi bangsa Austronesia ke Nias. Apakah yang membuat Ibu masih ragu akan hasil analisis DNA yang dilakukan van Oven  dkk?
HS: Sebenarnya tidak ada yang diragukan dari hasil penelitiannya, karena semua didasarkan atas fakta dan analisis data secara bioinformatika melalui uji statistik kompleks yang biasa kami gunakan untuk studi populasi genetik.
Seperti yang mungkin diketahui, sejarah awal kepulauan Asia Tenggara dimulai dengan  adanya dua penyebaran populasi; yang pertama adalah kolonisasi awal paleolitik  paparan Sahul kurang lebih 45000 tahun yang lalu dan diikuti ekspansi neolitik populasi berbahasa Austronesia kurang lebih 4500 tahun yang lalu.  Penyebaran bahasa Austronesia itu dipercaya berasal dari pulau Formosa dan turun ke selatan melalui Filipina, ujung Sulawesi, atau Borneo kemudian diteruskan ke Jawa dan Sumatra.  Ada aliran lain bahasa Austronesia ke arah timur menuju Polinesia.  Kami sendiri telah melakukan kajian di Sulawesi, tetapi barulah Sulawesi tengah (Kaili), dan selatan (Makassar, Bugis, Mandar, Toraja dan Kajang). Diharapkan dengan tersedianya seluruh data dari Sulawesi utara (yang akan kami lakukan tahun ini) dan Borneo, akan dapat memberikan gambaran yang lebih luas dari perjalanan nenek moyang kita.

NO: Sampel-sampel tersebut dikumpulkan sekitar 10 tahun lalu (baca artikel: Merunut Asal-Usul Orang Nias Berdasarkan DNA/Gen) dan publik mulai mengakses hasil riset ini pada 8 November 2010 (terlihat dari label Advanced Access publication November 8, 2010 di bagian bawah halaman pertama artikel ilmiah itu). Adakah kira-kira alasan teknis yang menyebabkan hasil-hasil riset itu baru dipublikasi beberapa tahun setelah sampel dikumpulkan?
HS: Saya tidak dapat menjawab pertanyaan spesifik ini karena tidak terlibat dalam studi dan sampling yang dilakukan tahun 2002 (lihat dalam Materials and Methods, Samples).  Agaknya penelitian ini baru dapat dilakukan pada waktu saudara van Oven melakukan studi doktoralnya di laboratorium Manfred Kayser di Erasmus MC, Rotterdam.  Kayser  adalah ahli genetika populasi terpandang dan telah meneliti populasi Oceania dan Papua Nugini.  Kayser juga merupakan kolaborator kami dalam studi Papua Barat.

NO: Artikel “Unexpected island effects …” mengungkapkan bahwa dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Gua Tögi Ndrawa. Selanjutnya, kutipan dari sebuah artikel di Museum Pusaka Nias berjudul Jalan Setapak Menuju Gua Tögi Ndrawa menyebutkan: “… Gua Tögi Ndrawa secara kontinu dihuni sejak 12.000 tahun sampai 700 tahun yang lalu. Para penghuni itu berbudaya epi-paleolitik (Hoabinh) dan tergolong ke akhir zaman paleolitik atau awal zaman mesolitik.”. Di pihak lain, van Oven  dkk memperkirakan migrasi penduduk dari Taiwan melalui  Filipina terjadi 4.000 – 5.000 tahun lalu. Dapat disimpulkan, kedua penghuni purba Nias itu pernah hidup pada selang waktu yang sama. Akan tetapi penghuni pertama (yang jejaknya terlacak di Tögi Ndrawa) punah begitu saja. Adakah penjelasan yang logis untuk merujukkan kedua ‘temuan’ yang berbeda ini ?
Dalam artikel tersebut, pendekatan molekul menggunakan marka kromosom Y dan DNA mitokondria, yang hanya dapat memperlihatkan pola genetik yang diturunkan dari sisi ayah dan ibu secara terpisah.  Kita dapat mengetahui kemungkinan adanya campuran pola genetik penghuni pertama dan manusia modern Nias sekarang dengan meneliti DNA autosom, seperti yang telah kami lakukan dalam studi nenek moyang Asia dalam program Pan Asian SNP Intiative.

NO: Kembali ke pertanyaan sebelumnya, temuan arkeologis manusia purba Nias di gua Tögi Ndrawa  ditopang oleh Carbon Dating sementara temuan van Oven dkk didukung analisis genetik/DNA. Bagaimana menempatkan kedua pendekatan ini dalam menelusuri asal-usul suatu suku atau masyarakat dan pemetaan migrasi bangsa-bangsa?
HS: Genetika populasi melibatkan banyak pakar dalam bidangnya yang mendukung temuan DNA sehingga dapat diartikan.  Data DNA saja tanpa ada latar belakang humaniora seperti sejarah, budaya, aspek sosial dan lainnya tidak akan dapat memberikan arti yang bermakna.  Saya menyitir kata-kata tersebut untuk memberikan tekanan bahwa setiap bidang dapat memberikan kontribusi pada studi seperti Nias ini.  Standard emas dari temuan arkeologi adalah carbon dating ataupun pendekatan lain yang digunakan untuk memberikan estimasi usia temuan tersebut.  Data DNA akan memberikan sumbangan dengan memoles dan memberikan data yang lebih rinci, dengan analisa matematik dan statistik terkini.

NO: Apakah lembaga riset dan para ahli Indonesia dilibatkan dalam riset van Oven  dkk ini, terutama dari Lembaga Eijkmann? Bila tidak, apakah praktek seperti ini (tidak melibatkan lembaga riset dan ahli lokal) suatu kelaziman ?
HS: Lembaga Eijkman tidak terlibat sama sekali dalam studi ini, walaupun kami mendengar ada peneliti Jerman yang melakukan studi genetika di Nias.  Kalau saya tidak salah, saya dulu juga pernah berkomunikasi dengan Museum Pusaka Nias menanyakan tentang kegiatan tersebut, tetapi tidak kami tindak lanjuti.

NO: Temuan Mannis dkk ini, masih ‘menggantung’, artinya belum secara tuntas memastikan asal-usul masyarakat Nias. Menurut Ibu, apa kira-kira langkah-langkah selanjutnya dilakukan dan sebaiknya ditindaklanjuti oleh siapa (institusi mana?)
HS: Saya sangat tergelitik dengan istilah “menggantung”.  Dalam studi genetika populasi, setiap kesimpulan pastilah akan memberikan suatu pertanyaan tambahan, apalagi sebagai disiplin ilmu biologi molekul merupakan suatu ilmu yang sangat berkembang dengan cepat, tidak hanya dalam teknologi tetapi juga kemampuan untuk melakukan studi dalam waktu yang cepat dengan sampel jumlah besar.
Sebenarnya ada satu marka lagi yang akan dapat memberikan makna tambahan yaitu marka autosom, yang kita ketahui diturunkan dari sisi ayah maupun ibu.  Marka ini telah kami gunakan pada penelitian untuk mengetahui nenek moyang Asia, dan sangat jelas memperlihatkan adanya campuran genetik dari aliran migrasi pertama dan kedua pada populasi Indonesia tengah dan timur, sebelah timur garis Wallacea.

NO: Riset lain menyebutkan bahwa ada juga kesamaan DNA antara penduduk Madagaskar, khususnya dari sisi wanita, dengan penduduk Nias. Bagaimana mengkaitkannya dengan hasil riset dari van Oven dkk ?
HS: Apakah memang ada pernyataan bahwa moyang Madagaskar berasal dari Nias, sepertinya tidak secara gamblang dinyatakan demikian.  Berdasarkan perbendaharaan bahasa, bahasa Malagassy adalah kelompok bahasa Austronesia, yang hampir 90% menyerupai bahasa Dayak Maanyan dari Barito, ditambah dengan berbagai bahasa pinjaman seperti Sansekerta, Jawa kuno, Bugis dan lain-lain.  Dengan membandingkan data DNA mitokondria populasi kepulauan Nusantara dan Madagaskar dan dengan perhitungan statistic yang cukup rumit, dibuktikan bahwa sejumlah kecil perempuan Indonesia adalah nenek moyang orang Madagaskar.  Penelitian van Oven  ini tidak mengkaitkan dengan seluruh Nusantara tetapi hanya melihat beberapa populasi yang datanya diperoleh dari data yang telah dipublikasikan sebelumnya, kecuali Karo.
B – Tentang penelitian DNA di Indonesia:

NO: Sejauh mana perkembangan riset DNA di Indonesia dewasa ini?
HS: Seperti yang telah saya sampaikan, riset DNA tidak hanya mengenai manusia saja, tetapi semua organisme.  Di Lembaga Eijkman, riset DNA digunakan untuk menjawab berbagai macam mekanisme terjadinya penyakit, seperti malaria, hepatitis, dengue, pneumonia, dan juga berbagai penyakit infeksi yang baru timbul seperti avian flu, Japanese encephalitis dan lain-lainnya.  DNA juga digunakan untuk melakukan epidemiologi molekul berbagai penyakit sel darah merah, seperti thalassemia, yang sangat dikaitkan dengan malaria endemik.  Kami juga memiliki laboratorium DNA forensik yang memilki kegiatan untuk identifikasi individu untuk penanganan kasus kriminal,  orang hilang, perdagangan manusia,  bahkan juga untuk satwa liar yang dilindungi.
Di lembaga penelitian lain, pendekatan molekul dengan menggunakan marka DNA sudah tidak asing lagi, walaupun mungkin hanya dilakukan secara rutin di lembaga pendidikan terkemuka, sedangkan di tempat lain hanya terbatas.

NO: Sejauh mana animo mahasiswa di perguruan tinggi terkemuka untuk memilih jurusan ilmu genetik?
HS: Sebenarnya tidak ada jurusan genetik di perguruan tinggi, tetapi ini lebih merupakan suatu pendekatan, yang kemudian diterapkan berdasarkan topik atau fokus penelitian masing-masing.  Genetika jaman sekarang pun sudah meluas, dari dulunya genetika klasik, menjadi  genetika molekul.  Kini hampir semua bidang menggunakan pendekatan biologi molekul untuk menjawab pertanyaan riset, baik dari bidang kedokteran/medik, tanaman, maupun hewan.
Siapa yang harus melakukan? Ini pertanyaan yang sangat bagus.  Pendekatan untuk melihat perbedaan ini masih mahal sekarang ini dan memerlukan biaya yang tidak sedikit.  Paling tidak, seyogyanya ada institusi penelitan Indonesia yang juga terlibat, mungkin tidak dalam metodenya tetapi dalam analisis dan kesimpulan.  Sayangnya, karena sampel ini tidak ada di Indonesia, tentu saja sulit dilakukan demikian.
Peneliti asing yang melakukan kegiatan lapangan di Indonesia wajib meminta ijin ke pemerintah. Saat ini perijinan tersebut diurus oleh Kementerian Riset dan Teknologi, sebelumnya diurus melalui LIPI.  Ijin tersebut diberikan dengan persyaratan memiliki mitra “setara” dan juga ada komponen transfer teknologi dan pembangunan kemampuan lokal.
Ijin tersebut tidak diperlukan apabila peneliti tersebut hanya berkunjung dan merupakan tamu dari suatu intitusi di Indonesia, apakah dari pihak swasta, pemerintah maupun universitas.

NO: Di Amerika (baca: Women at forefront of booming forensic science field) dan katanya di Inggris juga, minat kaum perempuan untuk menggeluti bidang ilmu forensik semakin tinggi. Mengapa demikian? Bagaimana pengalaman Ibu di Indonesia?
HS: Forensik itu seksi! Hal ini saya kira disebabkan oleh banyaknya film seri di televisi yang menayangkan penanganan kasus kriminal menggunakan teknik dan peralatan canggih yang memang secara nyata digunakan di laboratorium forensik.  Tidak hanya itu, dengan berbagai peraturan keselamatan hayati, maka ruang autopsi tidak lagi menakutkan seperti pada jaman kegelapan, laboratoriumnya modern dengan sinar lampu yang terang.  Karena perubahan tersebut, banyak generasi muda yang sekarang tertarik untuk mendalami  forensik, termasuk dokter atau peneliti perempuan.

NO: Ilmu genetik sering masuk berita beberapa tahun terakhir dan nampaknya ilmu ini merupakan kunci untuk teknologi masa depan. Menurut Ibu, apa peranan ilmu baru ini dalam peta perkembangan ilmu di Indonesia?

HS: Saya merasa bukan genetik tetapi biologi molekul yang akan menjadi kunci teknologi di masa depan.  Ilmu ini merupakan dasar pengembangan bioteknologi kedokteran untuk pembuatan vaksin baru, diagnostik yang tepat, dan pengembangan obat.  Di bidang pertanian sebagai contohnya, ilmu ini digunakan untuk meningkatkan  ketahanan pangan, pengembangan varietas tanaman yang tahan terhadap serangan hama, atau yang memiliki sifat yang dapat menguntungkan.
Saya kira kita harus menyadari bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang menguasai teknologi dan mampu bersaing. Dan seperti yang telah saya sampaikan, penguasaa ilmu dasar patut dimiliki.


NO: Profesor Herawati, terima kasih atas waktu yang diberikan untuk wawancara ini.
HS: Terima kasih. (brk/*)


Sumber:
http://niasonline.net/2013/09/03/tentang-asal-usul-suku-bangsa-nias-sebuah-wawancara-dengan-prof-dr-herawati-sudoyo-phd/

Asal-Usul Orang Nias Berasal dari Taiwan

Asal-Usul Orang Nias Berasal dari Taiwan

Senin, 15 April 2013 23:39 wib | Yanuarman Gulo - Sindo TV
 
Asal-Usul Orang Nias Berasal dari Taiwan (istimewa) GUNUNGSITOLI - Penelitian terbaru mengungkap bahwa penduduk asli orang Nias berasal dari Taiwan. Ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan seorang ahli genetika, Manis van Houven.

Houven mengambil sampel DNA dari sekira 900 warga Nias. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kedekatan ke titik akurat bahwa orang Nias sangat dominan mirip dengan genetika orang Taiwan.

Sebelum penelitian ini dilakukan, muncul spekulasi bahwa asal muasal orang Nias berasal dari Eropa atau kepulauan terdekat dengan pesisir pantai barat Sumatera, seperti Kepulauan Nicobar atau Madagaskar.

Hasil penelitian Houven ini setidaknya menjawab berbagai spekulasi tentang asal usul orang Nias.

Penelitian Houven disosialisasikan melalui seminar internasional di Gunungsitoli yang dihadiri kalangan pejabat, seperti wali kota dan bupati. Ada pula para akademisi terkemuka berasal dari Kepulauan Nias. Penelitian ini dimotori Yayasan Pusaka Nias.

Ciri khas orang Nias, terutama dari kawasan Nias Utara, Nias Tengah, dan Kota Gunungsitoli, secara dominan dapat diidentifikasi dengan mudah, yakni berambut hitam, berbentuk oval, berkulit putih, dan berpostur tubuh sedang.

Hal ini berbeda sedikit dengan ciri khas orang Nias yang berasal dari Nias Selatan, terutama asal Teluk Dalam yang memiliki wajah lojong dengan rahang keras dan berpostur tubuh tinggi. Meski demikian, mereka juga berkulit putih seperti orang China namun matanya tidak sipit.

Yohanes Hammerle, pendiri Yayasan Pusaka Nias, mengatakan, orang-orang Nias awalnya berasal dari Gomo, yakni salah satu kecamatan di Kabupaten Nias Selatan, tepatnya di Sifalago-Gomo.

Hal in sejalan dengan hasil penelitian Houven, seorang peneliti spesialis DNA, yang menyebut bahwa salah satu suku bangsa besar, yakni Austronesian telah melakukan ekspansi sejak 5.000 tahun lalu. Sebagian besar suku bangsa tersebut merupakan orang Taiwan atau dahulu bernama Yunan.

Houven menjelaskan, mereka bermatapencarian sebagai petani. Selanjutnya, populasi mereka menyebar luas di seluruh Asia Tenggara, termasuk Sumatera.

Hasil penelitian DNA diketahui bahwa secara dominan orang Nias memiliki jenis golongan darah ‘O’ dan diketahui memiliki karakter yang berbeda antara orang Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, dan kabupaten atau daerah lainnya di Kepulauan Nias. Selanjutnya, dia mengategorikannya sebagai O-M110 dan O-M119.

Hal ini, lanjut Houven, memiliki korelasi terhadap jenis bahasa yang dipakai. Bahasa yang digunakan di Teluk Dalam sangat berbeda dengan bahasa yang dipakai warga di daerah Nias lainnya.

Dijelaskan pula, pengelompokan jenis karakter genetika tersebut, yakni Y-chromosome haplogroups, ditemukan bahwa genetika dengan tanda berwarna kuning di dalam lingkaran merupakan jenis karakter yang dominan di Pulau Nias. Ini berbeda dengan daerah di Teluk Dalam yang ditandai dengan warna merah.

Jenis karakter warna kuning tersebut juga menyebar di berbagai daerah di Asia Tenggara, terutama Taiwan dan Filipina. Namun, diketahui bahwa Taiwan lebih dominan setelah dilihat dari berbagai pendekatan lainnya.

Daerah Sifalago-Gomo di Nias Tengah, yang diketahui tempat awal orang Nias mulai ada, dalam penelitian ini juga diketahui bahwa sangat didominasi tanda genetika berwarna kuning. Dari sini diketahui bahwa orang Nias umumnya memiliki kemiripan dengan genetika orang Taiwan.

Houven menjelaskan, penelitian ini sudah dimulai beberapa tahun lalu sejak dia bertemu dengan Yohanes.

Dengan demikian diketahui bahwa orang-orang Nias berasal dari dua sumber yang ditandai dengan jenis O-M110 (orang Teluk Dalam, Nias Selatan) dan O-M119 (orang Nias pada umumnya).

Tokoh Nias, Budiaman Gea, mengakui bahwa selama ini persoalan asal usul orang Nias merupakan isu hangat dan kontroversial. Saat ini, seluruh peserta ataupun orang Nias yang hadir di seminar tersebut baru menyadari asal usul mereka.

Sementara itu, penelitian arkeologis, berupa benda-benda purbakala yang ditemukan di Gua Togi Ndrawa, Gunungsitoli, mengungkap gua tersebut telah dihuni oleh manusia sejak 12 ribu tahun lalu. Ini terlihat dari benda-benda purbakala yang ditemukan dan sudah dipublikasikan oleh peneliti-peneliti arkeologi.

Lantas di manakah orang-orang penghuni Gua Togi Ndrawa? Mengapa mereka menghilang? Apakah mereka punah akibat gempa atau lainnya? Ini masih menjadi misteri. Usut punya usut, seperti hasil penelitian Houven bahwa sehingga 7.000 tahun setelah adanya fakta orang gua, muncul orang Austronesian. Mereka sampai saat ini dikenal sebagai penduduk asli Nias.

(Yanuarman Gulo/Sindo TV/ton)

Sumber:
http://news.okezone.com/read/2013/04/15/340/791758/asal-usul-orang-nias-berasal-dari-taiwan/large 

Asal-usul Orang Nias Ditemukan

Asal-usul Orang Nias Ditemukan

Selasa, 16 April 2013 | 09:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu.

Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013). Oven meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias.

”Dari semua populasi yang kami teliti, kromosom-Y dan mitokondria-DNA orang Nias sangat mirip dengan masyarakat Taiwan dan Filipina,” katanya.

Kromosom-Y adalah pembawa sifat laki-laki. Manusia laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan XX. Mitokondria-DNA (mtDNA) diwariskan dari kromosom ibu.

Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang menempati goa tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu.

”Keragaman genetika masyarakat Nias sangat rendah dibandingkan dengan populasi masyarakat lain, khususnya dari kromosom-Y. Hal ini mengindikasikan pernah terjadinya bottleneck (kemacetan) populasi dalam sejarah masa lalu Nias,” katanya.

Studi ini juga menemukan, masyarakat Nias tidak memiliki kaitan genetik dengan masyarakat di Kepulauan Andaman-Nikobar di Samudra Hindia yang secara geografis bertetangga.

Jejak terputus

Menanggapi temuan itu, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sony Wibisono mengatakan, teori tentang asal-usul masyarakat Nusantara dari Taiwan sebenarnya sudah lama disampaikan, misalnya oleh Peter Bellwood (2000). Teori Bellwood didasarkan pada kesamaan bentuk gerabah.

”Masalahnya, apakah migrasi itu bersifat searah dari Taiwan ke Nusantara, termasuk ke Nias, atau sebaliknya juga terjadi?” katanya. Sony mempertanyakan bagaimana migrasi Austronesia dari Taiwan ke Nias itu terjadi.

Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Lembaga Eijkman yang juga menjadi pembicara, mengatakan, migrasi Austronesia ke Nusantara masih menjadi teka-teki. ”Logikanya, dari Filipina mereka ke Kalimantan dan Sulawesi. Tetapi, sampai saat ini data genetika dari Kalimantan dan Sulawesi masih minim. Masih ada missing link,” katanya.

Di Kalimantan, menurut Hera, yang diteliti genetikanya baru etnis Banjar. Hasilnya menunjukkan, mereka masyarakat Melayu. Di Sulawesi yang diteliti baru Sulawesi Selatan. ”Masih banyak studi yang harus dilakukan,” katanya. (AIK)


Editor: yunan
Sumber : http://sains.kompas.com/read/2013/04/16/09081323/policy.html


 
 
Dari Seminar Internasional Asal-usul Suku Bangsa Nias
Melacak Jejak Orang Nias
Rabu, 27 Maret 2013 | 07:13 WIB

BARRY KUSUMA Dalam bahasa Nias, Bawomataluo berarti bukit matahari. Dinamakan demikian karena desa ini terletak di ketinggian 400 meter di atas bukit. 
 
JAKARTA, KOMPAS.com--Penelitian ilmiah tentang DNA orang Nias akan menjawab misteri tentang asal-usul suku bungsa ini hingga hijrah ke sebuah pulau mungil di pantai barat Sumatera. Penelitian ini dilaksanakan selama 10 tahun di Eropa tepatnya di Universitas Munster-
Jerman.

Data genetik pada penelitian ini terdiri dari 407 orang sebagai sampel. Darahnya diambil dan dibawa ke Eropa. Analisis genetika dilakukan di bawah persetujuan Erasmus MC etika komite. Salah satu pengamatan ilmiah tentang kromosom Y Nias yaitu haplogroup O-M119 dan O-M110. Frekuensi haplogroup O-M119 pada orang Nias adalah tertinggi dari seluruh wilayah Asia/Oseania yang diketahui sejauh ini.

Hasil penelitian genetika seluruhnya dipastikan bahwa orang Nias tidak ada hubungan genetikanya dengan suku-suku bangsa yang ada di Sumatera atau Jawa. Haplogroup O-M119 Nias ini berasal dari Neolitik Asia Timur, kemungkinan besar asal Austronesian. Haplogroup NRY Nias lainnya, O-M110 berasal dari Taiwan. Tentu saja pada seminar ini akan memperjelas kepada publik hasil penelitian DNA suku bangsa Nias tersebut.

Dari sudut pandang arkeologi, penelitian para ahli arkeologi telah mendapatkan kapak purbakala Nias. Setelah diuji dengan Carbon Dating, umur kapak tersebut mencapai 12.170 tahun yang lalu.
Hasil ujian carbon dating bersifat mutlak kebenarannya.

Sejauh ini, satu-satunya budaya Paleolitikum di kawasan Sumatera Utara adalah budaya Nias. Penyelenggara seminar mengundang segenap masyarakat Nias dan publik, para dokter, antropolog, sejarahwan, budayawan, para medis, dosen para guru, anggota DPR/DPRD, dan segenap masyarakat umum untuk mengikuti Seminar Internasional Asal-Usul Suku Bangsa Nias ini. Seminar ini dilaksanakan pada dua tempat yaitu:
1. Kabupaten Nias Selatan dilaksanakan pada Kamis s/d Jumat, tanggal 11 dan 12 April 2013 di Hall Defnas Nias Selatan.
2. Kota Gunungsitoli dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 13 April 2013 di Hall St. Yakobus Laverna Gunungsitoli.

Para pemakalah langsung penelitinya sendiri. DNA dibawakan oleh Mannis Van Oven dari Negeri Belanda. Pembandingnya adalah Dr. Sutopo dari Universitas Diponegoro-Semarang (ahli DNA tamatan Jepang). Sedangkan bidang Arkeologi dibawakan oleh Drs. Drs. K. Wiradnyana, MM. dan pembandingnya adalah Pater Yohannes Hammerle, pendiri Museum Pusaka Nias. Sekretariat Seminar di Gunung Sitoli terletak di Museum Pusaka Nias dan dapat dihubungi Intan Dwi Jayanti Zebua, Cell. 0853 7212 6380 atau Nata’alui Duha (082168275655).

Sedangkan di Kabupaten Nias Selatan yakni Jhon Firman, Cell 0852 7011 0964. Selain itu dapat menghubungi sekretariat di: Yayasan Gema Budaya Nias, di Jalan Diponegoro No. 36 (simpang Pasir Putih)- Teluk Dalam; Kampus USBM Teluk Dalam Gedung SMA Negeri 1 Telukdalam, Jln. Pendidikan No.13 Teluk Dalam – Nias Selatan atau melalui Dinas Pendidikan Kab. Nias Selatan dengan menghubungi Natalia Bago, S.H., cell. 082367247387.

Editor :
Jodhi Yudono
 
Sumber:
http://oase.kompas.com/read/2013/03/27/07135842/Melacak.Jejak.Orang.Nias

 

Negeri Atas Angin dan Negeri Bawah Angin

Negeri Atas Angin dan Negeri Bawah Angin

Selasa, 2 April 2013 | 14:38 WIB 
 
JEJAK perdagangan ”Negeri Atas Angin” dengan ”Negeri Bawah Angin” memang sudah sangat tua. ”Jalur perdagangan laut kuno ini telah diukir dalam relief kapal di Candi Borobudur dan hikayat Seribu Satu Malam,” tulis JC van Leur dalam Indonesia Trade and Society (1983).

Pencarian rempah-rempah, terutama lada, cengkeh, dan pala, menjadi pemicu awal perdagangan itu. Seperti disebutkan Ian Burnet dalam buku Spice Island (2011), pada periode 50 SM hingga 96 M, Pelabuhan Alexandria di Mesir menjadi pusat perdagangan rempah yang dibawa pedagang India.

Dari Alexandria, rempah menyebar ke Jazirah Arab dan Eropa, terutama ke Romawi. Bagi bangsa Roma kala itu, lada, cengkeh, dan pala merupakan barang berharga, setara emas dan sutra. Rempah itu tak hanya digunakan untuk penyedap makanan, tetapi obat segala penyakit, termasuk untuk menambah gairah seksual.

Tatkala Kaisar Augustus memegang kunci gudang harta Romawi, dia tak tahu lagi bagaimana menghamburkan emas yang dirampas dari seluruh daerah di Barat. Permintaannya terhadap rempah dan barang-barang eksotik dari dunia Timur kian menggila. ”Romawi yang mewah dan bercita rasa tinggi menginginkan produk-produk eksotik yang sudah langka di India sendiri,” tulis Bernard Philippe Groslier dalam buku Indocina Persilangan Kebudayaan (2002).

Karena itu, pelaut-pelaut India, terutama etnis Tamil, berlayar jauh ke Negeri Bawah Angin untuk mencari produk-produk itu, terutama emas, batu-batu permata, gaharu, kayu manis, merica, cengkeh, tanduk badak, hingga gading gajah. Laju pelayaran ke Timur itu sangat tergantung angin monsun. Angin berembus secara periodik, minimal tiga bulan. Pola antara periode yang satu dan yang lain akan berlawanan yang berganti arah secara berlawanan setiap setengah tahun.

Angin barat daya akan melajukan kapal-kapal dari India ke Nusantara. Namun, begitu tiba di Nusantara, para pedagang ini harus istirahat sampai berbulan-bulan jika ingin pulang dengan menumpang embusan angin timur laut.

Awalnya, mereka mendarat di pantai-pantai tak dikenal yang kosong di Nusantara, terutama di Sumatera yang berada di gerbang Negeri Bawah Angin. Setelah bersusah payah menembus rawa-rawa, lebat hutan, dan jalan mendaki, barulah mereka bisa berjumpa dengan penduduk yang kebanyakan tinggal di dataran tinggi. Mereka harus merayu para penduduk untuk mengerti apa yang mereka cari dan membayar dengan benda yang mereka sukai. Dan itu memerlukan waktu bertahun-tahun.

Karena itu, para pendatang itu dipaksa keadaan untuk mendirikan tempat perdagangan di mana tawar-menawar dapat dilaksanakan. ”Sebagai orang India, mereka melakukannya dengan gaya India. Pertama-tama mereka harus bertahan hingga musim berikutnya. Namun, bahan makanan tidak mungkin mereka angkut di dalam palka yang pengap dalam pelayaran yang berlangsung berminggu-minggu. Karena itu, mereka membuka persawahan di delta-delta sungai dan lama-lama terbentuklah semacam komunitas dagang,” kata Groslier.

Jejak perkampungan India kuno di Nusantara itu terdapat di Barus. Saat ini, Barus hanyalah kota kecamatan yang sepi di pantai barat Sumatera Utara bersebelahan dengan Singkil di Aceh. Namun, Barus yang pernah dikuasai Kesultanan Aceh adalah kota pelabuhan tertua di Nusantara. Dalam karyanya, Geografi, yang ditulis pada abad ke-2, Ptolomaeus mencatat ”lima pulau Baroussai” yang menghasilkan kamper (kapur barus) di antara tanah-tanah dari Timur jauh. Claude Guillot dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008) menyebutkan, nama Baroussai ini dianggap berkaitan dengan Barus.

Dalam buku Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perdagangan Dunia (2011), OW Wolters menulis, karpura atau kapur barus telah disebut dalam cerita Jataka, Ramayana, juga cerita Milinda-panha. Kapur barus juga disebut dalam sejumlah kitab tentang penyembuhan karya Caraka, tabib Raja Kaniska dari Kushan yang berkuasa antara abad ke-1 dan ke-2 Masehi. Hal ini menunjukkan jejak India di Barus.

Pedagang-pedagang Tamil dari India selatan memang memainkan peran utama dalam perdagangan kapur barus ke dunia luar. Bukti keberadaan mereka terungkap dari prasasti batu yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, pada 1873. Prasasti berbahasa Tamil itu kemudian diurai oleh sejarawan India, KA Nilakanta Sastri, pada 1932. Mengacu pada prasasti bertarikh 1010 Saka atau 1088 Masehi itu, Sastri menyimpulkan bahwa sekumpulan orang Tamil telah tinggal di Barus, termasuk di antaranya tukang-tukang yang mahir mengukir prasasti.

Penggalian oleh tim gabungan dari Lembaga Kajian Perancis tentang Asia (Ecole Française d’Extrême-Orient/EFEO) dan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada 1995-2000 menguatkan jejak pedagang Tamil ini. Claude Guillot (2008) menyebutkan, berat pecahan tembikar dan keramik yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, mencapai 600 kilogram. Dia memperkirakan tembikar itu sebagian besar dibuat di India dekat Teluk Persia sebelum abad pertengahan.

Selain artefak India, juga ditemukan artefak dari China berkualitas tinggi, yang menurut arkeolog Perancis, Marie-France Dupoizat, menandakan kemakmuran Lobu Tua. Luasnya jaringan perdagangan Barus juga ditandai dengan ditemukannya sekitar 1.000 pecahan tembikar asal Mesopotamia di Timur Tengah dari abad ke-9 hingga abad ke-10, selain juga temuan lain berupa manik-manik, logam, batu bata, dan mata uang emas.

Namun, sejarah Lobu Tua tiba-tiba terhenti pada abad ke-12. Tak ada lagi temuan baru di Lobu Tua yang berumur lebih muda. Itu menandakan peradaban di Barus runtuh secara tiba-tiba. Claude Guillot menyebut, kehancuran Barus karena serangan gergasi. Berdasarkan dongeng warga lokal, gergasi adalah sosok raksasa yang datang dari lautan.

Sosok gergasi kerap ditafsirkan para peneliti sebagai bajak laut. Namun, setelah tsunami menggulung pantai barat Aceh pada 26 Desember 2004, muncul kesadaran baru bahwa bencana alam memiliki kuasa besar untuk mengubah jalannya sejarah pantai barat Sumatera. Belakangan, Widjo Kongko, ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Katrin Monecke dari Kent State University, serta lima peneliti lain menemukan jejak tsunami raksasa yang melanda pantai barat Sumatera pada 1290-1400. Temuan ini dipublikasikan di jurnal Nature edisi Oktober 2008.

Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Sony Wibisono, yang turut dalam penggalian di Lobu Tua bersama tim dari Perancis pada 1995-1998 mengatakan, hampir semua peninggalan purbakala yang ditemukan terkubur lapisan pasir laut sedalam satu meter, yang menguatkan kemungkinan terjadinya tsunami besar di masa lalu. ”Tetapi, saat itu kami belum berpikir soal tsunami,” ujarnya.

Kehancuran Lobu Tua tetap misteri walaupun bukti-bukti terbaru menunjukkan kemungkinan besar karena tsunami. Namun, sebelum keruntuhan Barus, beberapa pedagang, khususnya Tamil, agaknya berhasil mencapai dataran tinggi Sumatera.

Orang-orang Tamil di Lobu Tua kemungkinan mencapai pedalaman melalui Sungai Simpang Kiri dan Simpang Kanan. ”Yang melalui Sungai Singkil, ada yang terus ke Alas dan Gayo, dan sebagian ke Karo melalui Sungai Renun, sedangkan yang melalui Sungai Cinendang masuk ke daerah Pakpak,” tulis Brahma Putro dalam buku Karo dari Jaman ke Jaman (1981).

Orang-orang Tamil di Karo, lanjut Brahman Putro, akhirnya masuk dalam marga Karo, Sembiring dan menurunkan kekerabatan Sembiring Singombak. Sembiring SIngombak terdiri dari marga-marga Sembiring Berahmana, Sembiring Oandia, Sembiring Colya, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Keling, Sembiring Depari, Sembiring Pelawy, Sembiring Bunun Aji, Sembiring Busuk, Sembiring Muham, Sembiring Meliala, Sembiring Pande Bayang, Sembiring Maha, Sembiring Teykang, dan Sembiring Kapur.

Penelitian genetika yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman juga menemukan jejak genetika orang-orang India selatan di Gayo dan Karo. ”Ada jejak India di genetika orang Gayo dan Karo, selain juga genetika orang-orang dari daratan Asia (Kamboja dan Vietnam),” kata Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Eijkman.

Herawati menyebutkan, di masa sebelum es mencair, sekitar 12.000 tahun lalu, migrasi manusia dari Afrika melalui India belakang telah mencapai Sumatera yang saat itu masih bergabung dengan dataran Asia. Mereka kemudian menetap dan mencari gunung-gunung tinggi, termasuk ke Gayo dan Karo. ”Saat itu, budaya mereka masih berburu dan meramu,” katanya.

Begitu es mencair, migrasi manusia dilakukan melalui jalur neolitik dari utara (Asia Daratan) menuju selatan. Selain jalur dari Filipina turun ke Sulawesi lalu ke kepulauan lain, juga ada jalur melalui Semenanjung Malaya lalu ke Sumatera. Nenek moyang ini telah mengenal kemampuan bercocok tanam. ”Masyarakat Gayo di pedalaman Aceh merupakan percampuran manusia dari dua jalur ini,” katanya.

Dari segi linguistik, jejak Austronesia dalam bahasa Gayo, misalnya, terdapat dalam penggunaan istilah mangan yang sama persis seperti bahasa di Jawa untuk menyebutkan makan. Kata mangan juga dipakai orang Kapampangan di Filipina dengan arti yang sama.

Adapun jejak India bisa dilihat dari penggunaan bahasa Sanskerta (India lama) dalam kuliner dan perangkat memasak. Misalnya, kata Sanskerta kundika, yang berarti wadah air dari tanah liat, dalam bahasa Gayo disebut keni, dalam bahasa Jawa dinamakan kendi, dan dalam bahasa Bali menjadi kundi, sementara dalam bahasa Aceh terdapat variasi berbeda, yaitu geutuyoeng.

Para ahli telah bersepakat, penduduk di Pulau Sumatera lebih dulu berkembang di pegunungan, baru kemudian bermigrasi ke pesisir. ”... pertanian paling awal di Sumatera tidak lahir di delta sungai atau dataran rendah di pesisir seperti yang kita perkirakan, tetapi di lembah-lembah tinggi di pegunungan Bukit Barisan...,” tulis sejarawan Anthony Reid dalam buku Menuju Sejarah Sumatra ( 2011).

Analisis serbuk sari bebatuan di dasar Danau Toba (Sumatera Utara) yang dilakukan Bernard Maloney (Possible Early Dry-Land and Wet-Land Rice Cultivation in Highland North Sumatra, 1996) juga menunjukkan bukti-bukti bahwa pertanian sawah sudah ada di sekitar Danau Toba sekitar 5.000 tahun lalu. Padahal, menurut Reid, pertanian di pesisir Sumatera baru ditemukan sekitar abad ke-16 di pesisir sempit utara Aceh.

Walaupun orang Tamil dipercaya lebih dulu berinteraksi dengan penduduk dataran tinggi Gayo dan Karo, pengaruh kuliner India ternyata lebih banyak ditemukan di pesisir Aceh dan Medan. Berbeda dengan masakan Aceh yang kaya rempah dan hampir semuanya bersantan, masakan Gayo dan Karo minim rempah.

Kedua masakan etnis yang tinggal di dataran tinggi ini didominasi rasa asam dan pedas dari andaliman—sejenis lada yang hanya ditemukan di sekitar dataran tinggi Gayo, Karo, dan Batak. Baik orang Gayo maupun Karo sama sekali tidak mengenal bumbu kari dan tidak menggunakan santan. ”Kayu manis, cengkeh, dan daun kari tidak dipakai dalam masakan kami,” kata Siti Fatimah Beru Sembiring (80), pemilik kedai masakan Karo di Medan.

Khazanah masakan Gayo dan Karo, menurut budayawan Gayo, M Yusrin Saleh (65), lebih dipengaruhi gaya hidup sebagai peladang. Mereka biasa tinggal di gubuk-gubuk di ladang hingga
berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Karena sibuk bekerja di ladang, orang-orang Gayo tidak punya banyak kesempatan untuk mencari dan mengolah bahan makanan. Akhirnya, mereka memanfaatkan bahan makanan dan bumbu yang ada di ladang, yakni cabai, andaliman, dan asam jering (sejenis jeruk sayur), serta ikan danau untuk memasak masam jing. ”Prinsipnya, makanan Gayo itu gampang diolah, bumbunya sederhana, dan bisa tahan lama,” kata Yusrin.

Sejarawan dari Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, menduga migrasi Tamil ke Gayo dan Karo di masa lalu berlangsung bertahap. Itu mengapa orang-orang Tamil yang berpindah ke dataran tinggi Sumatera akhirnya melebur dalam dominasi kultur lokal. ”Kalau migrasi orang Tamil terjadi berbondong-bondong dan seketika, pastilah mereka membentuk koloni tersendiri dan pasti menyisakan jejak kuliner Tamil dalam khazanah kuliner masyarakat Gayo dan Karo,” kata Ichwan.

Kemungkinan lain, khazanah kuliner Tamil atau India, yang dibawa masuk di masa awal, belumlah sekaya periode belakangan. Sebaliknya, khazanah kuliner mereka juga bisa jadi terpengaruh dari temuan bahan-bahan baru dari Nusantara. Misalnya, penggunaan pala dan cengkeh yang jelas-jelas tanaman khas Nusantara—cengkeh dari Ternate dan pala dari Kepulauan Banda. Jadi, interaksi terbentuknya ”kari modern” bisa jadi dua arah.

Pengaruh India yang begitu terasa dalam kuliner masyarakat di pesisir Aceh diduga terjadi pada periode migrasi lebih belakangan yang dipicu oleh intensifnya perdagangan antara Kesultanan Aceh dan para pedagang India. Pada periode ini, para pedagang dan budak yang didatangkan dari India ke Aceh kemungkinan ada juga para juru masak, terutama perempuan. (Ahmad Arif, Budi Suwarna, Aryo Wisanggeni Gentong)

Editor : I Made Asdhiana
Sumber:http://travel.kompas.com/read/2013/04/02/14383553/Negeri.Atas.Angin.dan.Negeri.Bawah.Angin

Nenek Moyang Suku Nias (2): Ono Niha Menggeser Penghuni Terdahulu

Nenek Moyang Suku Nias (2): Ono Niha Menggeser Penghuni Terdahulu

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_familie_op_Nias_TMnr_10005771
Orang Nias yang ada sekarang bukanlah manusia pertama di Pulau Nias. Menurut arkeolog Badan Arkeologi Medan, Ketut Wiradyana, sejarah Nias bermula sejak 12 ribu tahun lalu. Ketika itu Nias didatangi manusia ras Austromelanesoid dari kebudayaan Hoabinh, yang biasanya bermukim di gua-gua Vietnam utara.

Manusia awal yang menempati Nias ini bertubuh besar, berkulit gelap, dan mempunyai tengkorak lonjong. Mereka menyusuri jalur barat melewati Thailand, Semenanjung Malaysia, dan menyeberang ke pantai timur Pulau Sumatera.  Manusia Austromelanesoid ini datang bergelombang dan hidup nomaden menyusur pantai timur ke arah utara, lalu berbelok ke selatan melewati pantai barat sampai akhirnya menyeberang ke Pulau Nias.

Selama perjalanan, mereka memanen hasil laut dan menumpuknya di Banda Aceh, Aceh Utara, Aceh Timur, Langkat, sampai Bintan.

”Jejaknya berupa bukit kerang sisa makanan dan alat batu bernama sumatralith,” ujar Ketut, pada 22 Mei lalu.  Artefak yang sama ditemukan di Gua Togi Ndrawa di Desa Lelewonu Niko’otano, Gunungsitoli, dan Nias.

 Penduduk awal Nias kemudian terdesak oleh kedatangan manusia Austronesia yang datang dari Taiwan.

Majunya peradaban manusia Austronesia menggeser eksistensi Austromelanesoid di Nias. ”Budayanya lebih maju, sudah mengenal padi dan logam,” kata Ketut.

 Jalur kedatangan ditempuh melalui Filipina, Sulawesi, dan Kalimantan, lalu menyusuri pantai Sumatera.

Peninggalan artefak manusia Austronesia tertua di Indonesia ditemukan di Minangas Sippako di Sulawesi Barat, yang umurnya diperkirakan 3.500 tahun silam. Menurut Ketut, kedatangan orang Taiwan di Nias terjadi 600 tahun lalu–3,5 milenium lebih lambat ketimbang teori Van Oven.

Bukti kedatangan ini ditemukan pada jejak peradaban megalitikum di Nias sekitar abad ke-15 dan menjadi nenek moyang bagi Ono Niha.

”Orang Nias sekarang menyebut leluhur mereka turun dari langit di Boronadu Gomo,” ucap Ketut. Boronadu Gomo adalah daerah di Nias tengah.

Manusia dari generasi yang lebih modern ini menempati kawasan di pantai Nias bagian selatan.

 Pemuka masyarakat Nias, Waspada Wau, membenarkan anggapan bahwa kepercayaan leluhur mereka berasal dari langit. Leluhur Ono Niha turun pertama kali di daerah Gomo, yang terletak di tengah pulau. Di daerah ketinggian ini mereka menetap dan mendirikan peradaban yang masih bisa dilihat sisanya hingga sekarang. ”Di Gomo banyak ditemukan menhir bikinan mereka,” ujar dia.

Menurut Wau, leluhur dari Gomo inilah yang kemudian turun ke berbagai daerah di Nias, termasuk kampung kelahirannya, Baweumataluo, di Nias bagian selatan, yang terkenal dengan tradisi lompat batu. Orang Gomo sendiri tidak memiliki tradisi lompat batu.

Penelitian Van Oven secara tidak langsung memberikan konfirmasi bukti arkeologis di Togi Ndrawa, meski ia tidak menganalisis artefak di gua kuno itu. ”Kami tidak menemukan bukti adanya hubungan genetik antara penduduk Nias kuno dan masyarakat yang ada sekarang,” kata dia.

Sumber: Mahardika Satria Hadi | Anton William (Koran Tempo)

https://efriritonga.wordpress.com/category/being-indonesian/page/2/

Nenek Moyang Suku Nias (1): Dari Taiwan Ke Ono Niha

Nenek Moyang Suku Nias (1): Dari Taiwan Ke Ono Niha

Tradisi hombo batu (lompat batu) Suku Nias.
Tradisi hombo batu (lompat batu) Suku Nias.

Mannis van Oven terpana tatkala mengetahui hasil penelusuran genetik terhadap penduduk Nias. Peneliti biologi molekuler dari  Erasmus MC University Medical Center Rotterdam di Belanda ini menemukan bahwa genetik orang Nias berbeda dibanding etnis lain di Indonesia. Orang Nias justru bertalian darah dengan penduduk Taiwan, yang terpaut jarak 3.500 kilometer ke arah timur laut.
“Secara genetika, orang Nias mirip dengan rumpun Austronesia yang menghuni Taiwan pada 4.000-5.000 tahun lalu,” ujar Van Oven dalam paparan ilmiahnya di Auditorium Lembaga Biologi Eijkman, pertengahan April lalu.

Van Oven menemukan keunikan orang Nias ini setelah meneliti selama sepuluh tahun. Ia mengumpulkan 407 sampel darah dari 11 klan atau marga yang tersebar di Nias bagian selatan hingga utara. Darah orang Nias dikirimkan ke Jerman untuk ekstraksi asam deoksiribonukleat (DNA), lalu dibawa ke Rotterdam untuk dianalisis.

Pria 30 tahun ini berfokus pada analisis DNA di dalam kromosom Y yang melacak garis keturunan ayah dan DNA mitokondria untuk melacak garis keturunan ibu. Pelacakan bermuara pada haplogroup, pengelompokan manusia ke dalam klan atau marga purba berdasarkan marka genetik dengan pola unik yang disebut single-nucleotide polymorphism (SNP).

SNP merupakan perubahan kecil dalam DNA yang terjadi secara alami dari waktu ke waktu. Munculnya SNP pada satu generasi akan menjadi penanda garis keturunan unik yang diwariskan ke generasi selanjutnya. Inilah yang ditangkap oleh Van Oven untuk memetakan asal-usul suku Nias. “Manusia dari klan purba yang sama akan berbagi pola SNP yang sama,” katanya.

DNA Ono Niha–sebutan setempat untuk orang Nias–miskin variasi. Hanya dua marka genetik kromosom Y yang ditemukan, yaitu O-M119 dan O-M110. Kedua penanda ini hanya ditemukan pada suku bangsa asli Taiwan yang memulai penyebaran ras Austronesia yang kini mengisi wilayah dari Madagaskar, Asia Tenggara, Papua, hingga Easter Island.

Untuk membandingkannya, Van Oven mengintip darah Karo dan Batak serta menemukan marka DNA yang lebih variatif. Anehnya lagi, kedua etnis yang bertetangga wilayahnya dengan Pulau Nias ini tak memiliki dua marka genetik Nias.

Perbandingan menggunakan 1.500 sampel dari 38 populasi dari Asia Timur, Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Australia mengkonfirmasi keseragaman DNA Ono Niha. “Genetik orang Nias tampak paling mirip dengan populasi dari Taiwan dan Filipina,” ujar dia.

Kesimpulan ini didukung pakar genetika Profesor Herawati Sudoyo. Lewat proyek penelitian Pan-Asian SNP Initiative, Deputi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ini memetakan DNA suku bangsa di Indonesia dan menemukan Indonesia tak hanya terdiri atas dua rumpun besar–Melayu di barat dan Papua di timur–tapi juga terdapat rumpun ketiga.

“Nias membentuk satu cluster dengan orang Mentawai dan Taiwan,” kata Herawati. Orang Simeulue dan Enggano, penghuni deretan pulau paling barat di Kepulauan Mentawai kemungkinan juga tergolong cluster ini.

Menurut Herawati, isolasi geografis menyebabkan keseragaman materi genetik orang Nias. Kultur perkawinan yang “eksklusif” turut memperparah kondisi ini. “Mereka kawin dengan sesama orang Nias sehingga materi genetik tidak menyebar,” ujarnya. Suku bangsa di daerah lain di Indonesia menunjukkan tren materi genetik yang lebih beragam. Kondisi ini menandakan terjadinya efek penyempitan genetik (bottleneck event) dalam sejarah orang Nias.

Penyempitan genetik ternyata juga memicu perbedaan yang sangat kuat di antara 11 klan orang Nias. “Orang di Nias utara dan selatan sangat berbeda,” kata Van Oven.

Klan Gözö, Hia, Ho, Laoya, Daeli, Zebua, Hulu, dan Zalukhu di tengah dan utara hanya memiliki marka genetik O-119. Sedangkan di selatan, tiga klan bangsawan, Sarumaha, Fau, dan Si’ulu, sama-sama mewarisi marka genetik O-110 yang dominan pada kromosom Y mereka.

Van Oven mengatakan, sistem perkawinan orang Nias, yang mengambil istri dari luar klan, turut mempengaruhi isolasi genetik ini. Sistem yang dikenal dengan patrilineal clan and exogamus marriage ini mengharuskan seorang pria dari satu klan menikahi perempuan dari klan yang berbeda. Perempuan yang dinikahi itu kemudian harus pindah ke daerah tempat tinggal pria.

Keunikan DNA orang Nias ini tak dapat dilepaskan dari aliran gen ke Nusantara. Van Oven menduga orang Nias mewarisi gen mereka dari orang Taiwan yang bermigrasi ke Indonesia lewat Filipina menuju Kalimantan dan Sulawesi–teori penyebaran Formosa, yang diambil dari nama pulau Formosa di Selat Taiwan.

Gelombang migrasi manusia modern ini sebenarnya dimulai dari Afrika. Gelombang ini sampai di Taiwan 6.000 tahun lalu. Proses aliran gen hingga mencapai Nias 1.000-2.000 tahun kemudian. Rute ini didukung bukti kemiripan DNA suku Nias dengan penduduk Filipina.

Sumber: Mahardika Satria Hadi | Anton William (Koran Tempo)

 https://efriritonga.wordpress.com/category/being-indonesian/page/2/

Pesta Budaya Njuah-Njuah

Pesta Budaya Njuah-Njuah 

Sumatera Utara, provinsi yang terletak di bagian barat Indonesia ini merupakan provinsi yang kaya akan keberagaman etnis dan tersebar di seluruh wilayahnya. Keberagaman etnis inilah yang menjadikan provinsi Sumatera Utara memiliki berbagai tradisi dan budaya yang berbeda-beda, sehingga apabila dijumlahkan maka keseluruhannya akan terdapat puluhan budaya.

Seperti halnya etnis Batak, etnis ini merupakan etnis asli Sumatera Utara. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa etnis ini mempunyai berbagai macam tradisi dan budaya yang diwariskan dari para leluhur terdahulu.

Terlebih lagi, etnis Batak tidak hanya terdiri dari satu suku saja, sebab etnis ini memiliki pembagian sebanyak 6 sub-etnis. Masing-masing sub-etnis etnis tersebut mendiami satu wilayah di Sumatera Utara, dan hidup dengan tradisi serta budayanya masing-masing.

Sehingga keberagaman tradisi dan budaya di beberapa wilayah sub-etnis Batak tersebut telah menambahkan daftar destinasi pariwisata budaya yang wajib untuk dikunjungi apabila berada di Sumatera Utara.

Seperti halnya yang terdapat di Kabupaten Dairi, sebagai masyarakat Sumatera Utara tentunya kita telah mengetahui bahwa daerah ini merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki titik ketinggian yang paling tinggi dari semua daerah dataran tinggi maupun daerah pegunungan di Sumatera Utara.
Ya, dengan ketinggiannya yang mencapai titik tertinggi di Sumatera Utara pasti bisa dibayangkan bagaimana suhu udara di kabupaten ini ? Tentu saja, suhu udara di kabupaten ini sangat dingin, meskipun pada siang hari.

Berbicara tentang Kabupaten Dairi, daerah dataran tinggi yang satu ini dihuni oleh sub-etnis Batak yang bernama Batak Pakpak.

Batak Pakpak merupakan salah satu sub-etnis Batak yang juga mempunyai garis keturunan langsung dari beberapa generasi Siraja Batak, sehingga apabila ditelusuri dan di teliti lebih lanjut sebenarnya tradisi dan kebudayaan masyarakat Batak Pakpak di Kabupaten Dairi ini sama halnya seperti kebudayaan masyarakat sub-etnis Batak lainnya karena berasal dari satu Tarombo dengan nenek moyang, Siraja Batak dari Pulau Samosir.

Meskipun ada sedikit perbedaan dari beberapa tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Pakpak di Kabupaten Dairi ini, sehingga hal tersebut menjadi keunikan tersendiri bagi masyarakat Batak Pakpak.

Jika di Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Toba Samosir, kita mengenal Pesta Danau Toba, maka di Kabupaten Dairi ini juga terdapat sebuah pergelaran kebudayaan yang sama seperti Pesta Danau Toba. Nama pergelaran tersebut adalah Pesta Budaya Njuah-Njuah.

Pesta Budaya Njuah-Njuah ini merupakan pergelaran budaya yang dilaksanakan setiap tahunnya di Kota Sidikalang, ibukota Kabupaten Dairi. Sehingga pergelaran yang satu ini pun juga sudah termasuk ke dalam agenda pergelaran tahunan yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara.

Pesta Budaya Njuah-Njuah ini sama halnya seperti Pesta Danau Toba yang juga merupakan pergelaran akbar. Hanya saja perbedaan yang tampak pada Pesta Budaya Njuah-Njuah, pesta ini lebih menekankan kepada budaya masyarakat Batak Pakpak, lain halnya seperti Pesta Danau Toba yang mencakup seluruh budaya masyarakat di Sumatera Utara.

Sehingga apabila kita ingin melihat tradisi dan kebudayaan masyarakat Batak Pakpak, kita dapat melihatnya di pergelaran ini. Acara ini bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar masyarakat, sehingga tidak adanya kesenjangan sosial.

Selain menampilkan tradisi dan kebudayaan masyarakat Batak Pakpak, pergelaran ini juga di definisikan sebagai acara syukuran atas limpahan rezeki yang telah diberikan Tuhan kepada seluruh masyarakat di daerah ini dalam setahun.

Sehingga pada saat pergelaran ini dimulai, tampak suasana yang begitu khidmat di dalam lokasi pergelaran, yang dihadiri oleh ribuan masyarakat Batak Pakpak dari seluruh wilayah di Kabupaten Dairi. Masyarakat yang hadir terbagi ke dalam beberapa bagian yang masing-masing mengatasnamakan kecamatan.

Dalam satu kecamatan, perwakilan diwajibkan membawa berbagai bahan makanan yang dihasilkan dari usaha pertanian masyarakat dalam satu kecamatan tersebut, misalnya sayur-sayuran, bahan-bahan rempah hingga beraneka jenis buah-buahan yang jumlahnya telah ditentukan terlebih dahulu.

Selain dari hasil usaha pertanian, perwakilan juga diwajibkan membawa beberapa hewan ternak, seperti ayam hingga berbagai jenis ikan yang juga merupakan usaha dalam satu kecamatan tersebut.
Pergelaran ini dimulai dengan pembukaan secara resmi oleh Bupati Kabupaten Dairi. Pembukaan tersebut ditandai dengan pemukulan gong, setelah sebelumnya Bupati memberikan kata sambutan pertanda pergelaran ini akan dimulai.

Setelah acara pembukaan, kemudian agenda acara selanjutnya adalah acara berdo’a bersama, memohon agar daerah ini senantiasa sejahtera dan terhindar dari segala mara bahaya. Acara do’a bersama tersebut di pimpin oleh seorang pemuka adat.

Setelah acara do’a bersama dilaksanakan, maka masuklah acara hiburan. Untuk acara hiburan ini menampilkan berbagai atraksi dan kesenian masyarakat Batak Pakpak seperti tari-tarian dan lagu daerah.

Kesenian-kesenian tersebut ditampilkan oleh beberapa kecamatan, bahkan uniknya beberapa dari kesenian tersebut merupakan warisan budaya yang sudah sangat jarang ditampilkan. Sehingga penampilan kesenian tersebut pada pergelaran ini terkesan begitu ekslusif.

Tak hanya itu, pihak panitia ini juga mengadakan acara perlombaan kesenian antar perwakilan kecamatan. Acara perlombaan tersebut berlangsung sangat meriah.

Kesenian yang diperlombakan biasanya kesenian khas Batak Pakpak, dengan tujuan agar masyarakat dapat melestarikan kesenian tersebut dan memperkenalkannya kepada seluruh generasi muda.


Sumber:
http://jalan2.com/city/medan/pesta-budaya-njuah-njuah-2/

 

Rumah adat Pakpak


Rumah adat Pakpak

Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara – Rumah adat Pakpak memiliki bentuk yang khas yang dibuat dari bahan kayu dengan atap dari bahan ijuk. Bentuk desain Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara selain sebagai wujud seni budaya Pakpak, setiap bentuk desain dari bagian-bagian Rumah Adat Pakpak tersebut memiliki arti tersendiri. Jika diteliti dengan cermat dan diketahui maknanya, maka cukup dengan melihat rumah adat Pakpak akan bisa mendeskripsikan bagaimana Suku Pakpak berbudaya.

Bentuk dan Arti Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara
Bubungan atap : Bentuk melengkung, dalam bahasa Daerah Pakpak-Dairi disebut: “Petarik-tarik Mparas ingenken ndengel”, artinya: “Berani memikul resiko yang berat dalam mempertahankan adat istiadat”.

Tampuk bubungan yang bersimbolkan “Caban”, artinya : “Simbol kepercayaan Puak Pakpak“
Tanduk kerbau yang melekat dibubungan atap, artinya: “Semangat kepahlawanan Puak Pakpak”.
Bentuk segitiga pada Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara, artinya menggambarkan susunan adat istiadat Puak Pakpak dalam kekeluargaan yang terbagi atas tiga bahagian atau unsur besar sebagai berikut:(a). SENINA, adalah saudara kandung laki laki, (b). BERRU, adalah saudara kandung perempuan, (c). PUANG”, adalah kemanakan.

Dua buah tiang besar disebelah muka rumah “Binangun”, artinya “Kerukunan rumah tangga antara suami istri”.

Satu buah balok besar yang dinamai “Melmellon” Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara yang melekat disamping muka rumah, menggambarkan “Kesatuan dan Persatuan dalam segala bidang pekerjaan melalui musyawarah, atau lebih tepat disebut “Gotong royong”.

Ukiran-ukiran yang terdapat pada segitiga muka Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara yang bentuknya bermacam macam corak, dalam bahasa daerah Pakpak  disebut: (a). Perbunga Kupkup, (b). Perbunga kembang,(c). Perbunga Pancur, dan sebagainya yang menggambarkan bahwa puak Pakpak pun berdarah dan berjiwa seni.

Tangga Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara yang biasanya terdiri dari bilangan ganjil, 3 (tiga), 5 (lima) dan 7 (tujuh), menggambarkan bahwa penghuni rumah itu adalah keturunan raja (marga tanah), sebaliknya yang memakai tangga rumah genap, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut bukan keturunan marga tanah (genengen).

Pintu masuk dari bawah kolong rumah menunjukkan kerendahan hati dan kesiapsiagaan.

Fungsi Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara :
1. Penggunaaan rumah adat : Rumah adat adalah tempat permusyawaratan mengenai masalah yang menyangkut kepentingan umum dan tempat mengadakan upacara upacara adat istiadat.
2. Isi Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara adalah :
  • Genderang,
  • Garantung,
  • Serunai,
  • Sordan, labat, taratoa, seruling, semuanya alat alat kesenian daerah.
  • Patung panglima atau pahlawan pahlawan, dan
  • Mejan, ditempatkan dihalaman rumah.
3. Pilo-pilo yang digantung dalam segitiga dipermukaan Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara menggambarkan adanya hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pemimpinnya dan sebagai lambang kebijaksanaan pimpinan dalam mengayomi masyarakatnya.

4. Gambar lidah payung menggambarkan kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya yang senantiasa memberikan bantuan dalammemelihara kesentosaan dan kesejahteraan masyarakat.
Demikian informasi tentang Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan anda, sekian dan terimakasih atas kunjunganya.


Sumber:
http://bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id/rumah-adat-pakpak/


DI MANDAILING, “OMBAR DO ADAT DOHOT UGAMO”

Agama & Adat Mandailing


DI MANDAILING, “OMBAR DO ADAT DOHOT UGAMO
Oleh: Samsyir Alamsyah Batubara
Perkataan “ombar do adat dohot ugamo”, yang secara harafiah artinya “adat dan agama seiring-sejalan”, adalah sebuah ungkapan yang cukup sering diucapkan oleh orang Mandailing, baik itu warga masyarakat biasa, tokoh masyarakat, tokoh adat, maupun tokoh agama. Ungkapan “ombar do adat dohot ugamo” atau ada juga yang mengatakannya dengan ungkapan “ombar do adat dohot ibadat” ini belum ada semasa orang Mandailing dahulu memeluk sistem kepercayaan lama (animisme) yang disebut Si Pelebegu, melainkan muncul setelah orang Mandailing mayoritas memeluk agama Islam di sekitar awal abad ke-20.
Dalam sistem kepercayaan Si Pelebegu di masa lalu itu orang Mandailing menyembah roh-roh dari para leluhur (nenek moyang) mereka yang disebut Begu. Menurut sistem kepercayaan animisme Si Palebegu ini, jumlah begu tidak hanya satu tetapi banyak dan menghuni berbagai tempat. Ada yang menghuni hutan, pohon-pohon kayu besar, sungai, batu besar, dan sebagainya. Misalnya begu yang bernama Begu Tagasan dipercayai sebagai begu pelindung. Begu Tagasan ini pun banyak macamnya, seperti begu pelindung bagi orang-orang yang satu marga, yang satu keturunan, yang satu kakek, atau pelindung orang-orang atau tokoh-tokoh tertentu. Dalam buku Turi-turian Ni Raja Gorga Di Langit Dohot Raja Suasa Di Portibi (Mangaraja Sorik Marapi, 1957) disebutkan ada begu yang bernama Boru ni Namora Nam Puna Tano (puteri yang mulia, pemilik tanah); Boru Ni Ambolungan Bulu Begu Na Pahae Paulu di Batang Aek (Puteri Ambolungun Bambu Begu yang ke hilir ke hulu mandi di sungai); dan Tuan Jonjang Balentung Na Mian Di Pangulu Balang (Tuan Jonjang yang menempati patung penjaga). Dalam pada itu, dahulu ada juga orang Mandailing yang percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang dapat memelihara begu dan dapat disuruhnya untuk melakukan apa yang dikehendakinya, seperti membuat orang sakit atau sebaliknya menyembuhkan penyakit. Menurut keyakinan orang Mandailing pada masa pra-Islam ini, dari semua begu yang dipuja tersebut terdapat tokoh tunggal atau satu tokoh yang maha kuasa yang oleh warga masyarakat pada masa itu dinamakan Na Gumorga Langit Na Tumompa Tano (yang mengukir menciptakan langit, yang menempati tanah atau bumi). Adapun yang disebut sebagai Na Gumorga Langit Na Tumompa Tano ini dianggap berada di atas segala-galanya karena dialah yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya.
Perlu diketahui bersama bahwa keterangan atau infomasi mengenai sistem kepercayaan Si Pelebegu ini sekarang sudah sangat sulit diperoleh karena sebagian besar warga masyarakat Mandailing sendiri pun tidak banyak lagi yang mengetahui seluk-beluknya. Namun demikian, beberapa orang tua di Mandailing pernah mengemukakan bahwa dalam sistem kepercayaan lama Si Pelebegu ini ada dua tokoh utama yang memiliki peran yang cukup penting, yaitu Si Baso dan Bayo Datu.
Dalam banyak hal, Si Baso sangat dibutuhkan oleh komunitas Huta atau Banua (“kerajaan kecil”) untuk melakukan hubungan (komunikasi) dengan alam gaib atau roh-roh leluhur karena Si Baso diyakini dapat berperan sebagai medium (perantara) untuk itu, di mana melalui suatu upacara ritual tertentu Si Baso dapat dirasuki oleh roh leluhur untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala (malapetaka) yang sedang menimpa warga Huta, misalnya seperti terjadinya kemarau panjang yang mengganggu aktivitas pertanian masyarakat dan timbulnya penyakit menular yang mewabah. Upacara ritual yang dilaksanakan untuk meminta pertolongan roh leluhur itu, yang dinamakan Pasusur Begu atau Paturun Si Baso, dilakukan melalui perantaraan Si Baso dengan bimbingan dan arahan dari Bayo Datu. Pada upacara ritual Pasusur Begu atau Pasusur Si Baso ini dimainkan pula ensembel musik adat Gordang Sambilan dengan memainkan gondang (irama musik) khusus yang dinamakan Mamele Begu.
Hingga sekarang Bayo Datu masih memiliki peran dalam kehidupan masyarakat Mandailing. Bayo Datu dikenal dan dibutuhkan sebagai traditional healer (penyembuh tradisional) atau sebagai medicine man (dukun untuk mengobati). Di setiap Huta atau Banua biasanya terdapat beberapa orang Bayo Datu, ada Bayo Datu yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, namun ada pula Bayo Datu yang menjurus kepada spesialisasi penyembuhan penyakit-penyakit tertentu seperti misalnya Datu Rasa khusus untuk menyembuhkan orang yang terkena rasa (racun), Datu Ipon adalah dukun yang khusus menyembuhkan orang yang mengalami sakit gigi, dan Datu Natarsilpuk adalah dukun khusus untuk mengobati orang yang terkilir dan patah tulang.
Namun kedudukan dan peran Bayo Datu jauh lebih luas lagi di masa-masa sebelumnya. Bayo Datu dapat menentukan  waktu-waktu yang tepat dan baik untuk mengerjakan sawah dan ladang, pelaksanaan upacara adat dan ritual, maupun untuk memasuki rumah baru dan memberi nama anak yang baru lahir. Di samping itu, kemampuannya yang mumpuni dalam meramal diperlukan untuk melihat kapan datangnya suatu bencana atau sebaliknya keberuntungan, dan ilmu gaibnya yang luar biasa itu dibutuhkan pula untuk menangkal atau menyembukan penyakit akibat guna-guna. Seorang Bayo Datu selalu diserahi tanggungjawab untuk memimpin berbagai upacara adat dan ritual karena dia dipandang sebagau “gudang ilmu”. Dalam konteks sistem pemerintahan di masa lalu, Bayo Datu sebagai pendamping Raja yang mengepalai kepemimpinan tradisional Huta atau Banua yaitu Namora Natoras, memiliki kemampuan yang luar biasa pula dalam memberikan berbagai macam kearifan tradisional (traditional wisdom) yang sangat dibutuhkan guna kesempurnaan hidup keseluruhan warga Huta.
Namun dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan masuknya agama Islam ke Mandailing dan mayoritas telah menjadi pemeluknya yang taat, para ulama Islam terus berusaha untuk mengikis habis kepercayaan animisme Si Pelebegu. Begitupun, sampai sekarang di antara orang Mandailing masih ada yang melaksanakan berbagai upacara adat yang erat kaitannya dengan sistem religi kuno Si Pelebegu, seperti misalnya ritus mangupa-upa (upacara memanggil “tondi” guna membangkitkan kembali semangat hidup seseorang), dan marpangir (tradisi berlangir di sungai), sehingga pelaksanaan ritus-ritus tersebut selalu menjadi sumber perdebatan yang tak kunjung habis antara tokoh-tokoh adat dan para ulama Islam di Mandailing.
Sehubungan dengan itulah, entah bagaimana prosesnya, lalu kemudian muncul ungkapan “ombar do adat dohot ugamo”, yang boleh dikatakan merupakan suatu “sejarah pemikiran” yang mengungkapkan proses dinamika agama Islam yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat Mandailing, sehingga terjadi titik temu dan perpaduan antara ajaran adat-istiadat (lama) dengan agama Islam sebagai sebuah sistem nilai dan norma yang baru. Hal ini merupakan puncak dari proses, pertemuan, persentuhan, perbenturan, penyesuaian dan perpaduan antara adat-istiadat orang Mandailing yang telah ada sebelumnya di wilayah Mandailing sebelumnya dengan ajaran agama Islam yang datang kemudian.
Kurang lebih sama keadaannya dengan sistem kepercayaan animisme Si Pelebegu, bahwa sampai sekarang pun belum pernah ditemukan tulisan yang mengemukakan dengan pasti kapan waktunya agama Islam masuk ke Mandailing untuk pertama kalinya. Namun demikian cukup banyak orang yang berpendapat bahwa yang pertama kali mengembangkan agama Islam di Mandailing adalah kaum Paderi yang datang menyerbu ke Mandailing dari Minangkabau. Pendapat ini dibantah oleh Lance Castles (2001:14) yang mengatakan bahwa sebelum kaum Paderi masuk ke Mandailing dan menyerang pada tahun 1820, beberapa pemimpin orang Mandailing telah beragama Islam. Hal ini dapat berarti bahwa agama Islam sudah mulai dianut tokoh-tokoh pemimpin orang Mandailing menjelang dekade kedua abad ke-19. Hal ini diperkuat pula oleh hasil penelitian Basyral Hamidy Harahap (2004: 283), yang mengatakan bahwa “menurut cacatan Wilter, ada dua raja Mandailing yang sudah memeluk agama Islam sebelum Paderi, ialah Raja Gunung berdiam di Gunung Baringin dan Mangaraja Gunung Kuria Huta Siantar. Mereka memerintah kira-kira setengah abad sebelum perang berkecamuk di Mandailing”. Meskipun ada keterangan yang demikian itu, menurut Z Pangaduan Lubis (2010: 52), tidak dapat berarti bahwa kedua tokoh raja tersebutlah yang merupakan dua orang pertama pemeluk agama Islam di Mandailing dan juga tidak menunjukkan bukti laporan yang sebenarnya mengenai agama Islam pertama kali masuk ke Mandailing dan siapa yang membawanya pertama kali masuk ke Mandailing, serta dari mana datangnya ke Mandailing.
Masih menurut Basyral Hamidy Harahap (2004: 282) bahwa “Perang Paderi bukanlah satu-satunya gerakan Islamisasi di Madina. Buktinya kira-kira 128 tahun sebelum perang yang dahsyat itu (Perang Paderi), raja-raja Natal telah membuka perjanjian dengan pengusaha VOC yang di dalam teks (perjanjian) disebutkan bahwa perjanjian itu dibuat di bawah sumpah berdasarkan Al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu, abad 18, Islam sudah masuk ke Natal. Ada kemungkinan masuknya agama Islam ke Natal ialah dari Pelabuhan Barus yang tidak jauh dari Natal”. Dalam hal ini, Z Pangaduan Lubis (2010: 53) juga sependapat bahwa “agama Islam pertama kali ke Barus, yang letaknya relatif tidak jauh dari Natal, sehingga ada kemungkinan dari Barus lah kemudian agama Islam masuk ke Natal dan selanjutnya dari Natal masuk ke Mandailing sekitar abad 18”.
Kendati orang Mandailing sekarang umumnya telah memeluk agama Islam, namun sistem kekerabatan orang Mandailing tetap menganut patrilineal, di mana hubungan kekerabatan mereka dapat ditinjau berdasarkan pertalian darah dan perkawinan yang terpola. Dalam hal ini, orang Mandailing mengelompokkan diri ke dalam tiga kelompok kekerabatan yang menjadi tumpuan dasar dari berbagai aktivitas sosial-budaya mereka. Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok kekerabatan itu masing-masing berkedudukan sebagai mora (kelompok pemberi anak gadis), anak boru (kelompok penerima anak gadis), dan kahanggi (kelompok kekerabatan yang se-marga), di mana ketiga kelompok kekerabatan tersebut terikat erat satu sama lain berdasarkan hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan Dalian Natolu, yang artinya “tumpuan yang tiga” atau “tiga tumpuan”. Dengan menggunakan sistem sosial Dalian Natolu itulah orang Mandailing mengatur dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budayanya, serta membentuk satu “persekutuan hukum” (adattrechts gemeenschap) yang nama aslinya adalah Janjian.
Selain ketiga kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru tersebut di atas, orang Mandailing juga mengenal kelompok kekerabatan lain sebagai “kelompok kekerabatan tambahan” yang sebenarnya berasal dari ketiga kelompok kekerabatan inti (mora, kahanggi dan anak boru), yaitu mora ni mora (kelompok kekerabatan mora daripada mora) dan pisang raut atau kijang jorat (kelompok kekerabatan anak boru daripada anak boru). Di samping itu ada pula kelompok kekerabatan yang disebut kahanggi pareban, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa “keluarga batih” yang berlainan marga namun mereka sama-sama atau merupakan anak boru dari satu keluarga yang ber-marga tertentu.
Berdasarkan pertalian darah terdapat kelompok kekerabatan yang dinamakan saompu parsadaan (satu nenek moyang yang sama), saompu (satu kakek), sabagas (se-rumah), saudon (se-periuk) dan saama-saina (se-ayah dan se-ibu). Kelompok kekerabatan yang disebut saompu adalah kelompok orang-orang se-marga yang merupakan cucu dari beberapa orang ompung (kakek) yang bersaudara kandung; sabagas adalah sejumlah anak se-marga yang bersaudara kandung; saudon adalah kumpulan orang-orang se-marga yang merupakan cucu dari seorang ompung (kakek); dan saama-saina adalah kumpulan sejumlah anak dari pasangan ayah dan ibu kandung namun di dalamnya tidak termasuk “anak tiri” dan “anak angkat”. Sedangkan berdasarkan hubungan perkawinan dikenal pula istilah koum, yaitu kelompok orang yang tidak se-marga dengan seseorang, yang merupakan kelompok kekerabatan mora (mora ni mora) maupun anak boru (kijang jorat). Dalam hubungan ini, ada pula istilah “koum-sisolkot” yang terbentuk dari kata “koum” dan “sisolkot”, yang masing-masing mengandung makna klasifikasi dalam konteks sistem kekerabatan. Sedangkan sisolkot berarti orang-orang yang se-marga, yang adakalanya disebut markahanggi atau marsisolkot. Oleh sebab itulah, sistem sosial orang Mandailing yang dinamakan adat Dalian Natolu itu juga disebut adat Markoum-Sisolkot.
Dalam prakteknya, meskipun orang Mandailing sekarang umumnya telah memeluk agama Islam sebagai tuntunan hidup, namun mereka masih tetap mengamalkan dan melaksanakan adat-istiadat lama Dalian Natolu sebagai warisan para leluhur. Pada setiap upacara adat perkawinan (disebut markaroan boru atau marbagas) misalnya, baik pada tahap-tahapan upacara adat perkawinan dan pelaksanaannya, orang Mandailing masih tetap memfungsikan sistem sosial Dalian Natolu. Hal ini tampak sangat jelas ketika mereka (kelompok kekerabatan mora, kahanggi, dan anak boru) melakukan kegiatan adat markobar (berpidato adat) dan marpokat (musyawarah adat) untuk mencapai “kata sepakat” dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan tersebut. Demikian pula halnya dengan peran dan fungsi masing-masing kelompok kekerabatan dalam setiap tahapan dari pelaksanaan upacara adat perkawinan tersebut, mulai dari kegiatan adat mangaririt boru, manyapai boru, patibal sere, pokat menek,  pokat godang, paboru-boruon atau marburangir, mata ni orja, patuaek boru, hingga kegiatan adat marulak ari atau mebat. Dalam setiap kegiatan adat markobar dan marpokat misalnya selalu dibuka dengan ucapan “Bismillahirrohmanirrohim” dan “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh”, serta diakhiri atau ditutup dengan kegiatan berdo’a kehadirat Allah SWT, yang dipimpin tokoh agama untuk memohon taufiq dan hidayah-Nya dengan harapan semoga upacara adat perkawinan yang akan mereka laksanakan bersama-sama tersebut dapat terselenggara semua tahapannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan adat-istiadat mereka yang sudah tidak lagi bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Pada upacara adat perkawinan di Mandailing di masa sekarang, memang kaum bangsawan orang Mandailing (disebut: namora-mora) masih sering menampilkan berbagai berbagai macam kesenian tradisional sebagai warisan para leluhur, seperti misalnya penggunaan ensambel musik adat Gordang Sambilan, tarian adat Tortor  dan nyanyian adat Jeir yang diiringi dengan ensambel musik adat Gondang Dua (Gondang Topap). Namun kesemuanya itu sekarang sudah dipandang orang Mandailing sebagai kesenian (seni pertunjukan) yang berfungsi sebagai “hiburan”, meskipun pada dasarnya masih melekat fungsi lainnya yaitu untuk mempererat rasa persaudaraan antar sesama orang Mandailing. Sementara kalau pelaksanaan upacara adat perkawinan di kalangan orang kebanyakan (disebut: alak na jaji atau si tuan na jaji), tidak jarang pula menampilkan kesenian Pan-Islam seperti Barzanji dan Dikir yang berfungsi sebagai hiburan, dan juga sekaligus dapat mempererat rasa persaudaraan mereka sesama muslim. Menurut Edi Nasution (1990), Dikir adalah salah satu bentuk kesenian Islam yang sudah sejak lama hidup dan berkembang di  luat Mandailing. Seni pertunjukan Dikir terdiri atas tiga atau empat pemain “gondang dikir” sebagai pengiring nyanyian Dikir, namun adakalanya salah seorang pemain “gondang dikir” itu sekaligus bertindak sebagai penyanyi utamanya dan yang  lainnya bertindak sebagai “penyanyi latar”. Seni pertunjukan Dikir ini dapat dikategorikan sebagai “musik polifoni” yang diselenggarakan pada hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Hari Raya Islam Idil Fitri. Selain itu, Dikir sering pula dipertunjukkan dalam upacara adat perkawinan di Mandailing.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Mandailing dengan kebudayaannya telah ada jauh sebelum datangnya Islam, bahkan juga telah ada sebelum agama Hindu memasuki wilayah Mandailing. Munculnya ungkapan ”ombar do adat dohot ugamomerupakan puncak dari persentuhan, perbenturan, penyesuaian dan perpaduan antara adat-istiadat lama (tradisional) Mandailing dengan agama Islam yang datang kemudian. Lahirnya ungkapan tersebut tidaklah muncul begitu saja, akan tetapi melalui suatu proses dalam masa yang cukup panjang, dan di dalam masa yang panjang itulah terjadi benturan antara adat-istiadat dan agama Islam. Benturan tersebut terjadi karena adat-istiadat orang Mandailing sudah memiliki tatanan kehidupan, baik itu secara individu maupun secara bermasyarakat. Sementara agama Islam yang datang kemudian juga membawa tatanan di berbagai aspek kehidupan, yang menuntut ketaatan pula dari para pemeluknya. Dengan kedatangan Islam itu maka bertemulah dua tatanan kehidupan di dalam masyarakat Mandailing yang masing-masing menuntut kepatuhan dari penganut/pendukungnya, yang membuat adanya persentuhan intens yang saling tarik-menarik antara kepentingan adat-istiadat dan agama, sehingga pada akhirnya lahirlah ungkapan ”ombar do adat dohot ugamo” di dalam masyarakat Mandailing.

Medan, 10 Juni 2012
Penulis










REFERENSI
Basyral Hamidy Harahap, Madina yang Madani, Panyabungan: Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal, 2004.
Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, Penang-Malaysia: Arecabooks, 2007.
__________”Gondang Aek Magodang dan Riwayatnya”, Harian Waspada Medan, hal. V, 1990.
__________”Dikir di Mandailing”, Harian Waspada Medan, hal. V, 1990.
__________”Dalian Na Tolu”, http://gondang.blogspot.com.
__________”Tari Tradisional Mandailing”, http://gondang.blogspot.com.
IAIN Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka, Medan, 1983.
Lance Castles, Tapanuli: Kehidupan Politik Suatu Kresidenan Di Sumatera Utara, Jakarta: KPG, 2001.
Mangaraja Lelo Lubis, “Beberapa Catatan Tentang Adat Perkawinan Mandailing”, dalam bulletin Parata Na Malos No. V dan VI, Medan: HIKMA, 1988.
Usman Pelly, Prospek Budaya Mandailing Dalam PJPT II, Medan: HPPMM Tingkat I Sumatera Utara, 1994.
Z. Pangaduan Lubis, “Na Mora Na Toras: Kepemimpinan Tradisional Mandailing”, Skripsi FISIP USU, 1986.
__________Kisah Asal-Usul Marga Di Mandailing, Medan: Yapebuma, 1986.
__________Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, Medan: Pustaka Widiasarana & Kelompok Humaniora Pokmas Mandiri, 2010.
Zulkifli B. Lubis, “Manipol: Studi Tentang Orientasi Nilai Budaya Mandailing”, Skripsi FISIP USU, 1988.
 
 
 
Sumber:
http://gondang.blogspot.com/2012/11/agama-adat-mandailing.html