Pages

Thursday, April 10, 2014

GUA UMANG DI TANAH KARO

GUA UMANG DI TANAH KARO
Oleh: Edward Simanungkalit



Umang” dalam bahasa Karo berarti ‘jin’ atau ‘roh’. Umang, menurut penuturan orang-orang Karo, adalah makhluk kate yang setengah manusia setengah roh. Menurut cerita bahwa umang itu bentuk fisiknya adalah seperti manusia, tapi ukurannya lebih kecil. Diceritakan bahwa masyarakat masih ada yang bertemu dengan umang ini di masa silam. Dulu gua Kemang yang dipercaya sebagai rumah umang ini dikenal juga dengan nama gua umang  banyak orang  bertapa dan membawa sesajen ke sana. Bahkan setiap orang yang lewat di daerah Sembahe dulu selalu singgah dan menyembah batu tersebut, sehingga disebut Sembahe yang memiliki asal kata dari ‘semba e’, sembah ini. Mereka melakukan sembahe dulu di kampung tersebut (Posmetro Medan, 13/02- 2011).
 http://sopopanisioan.blogspot.com 

1. Gua Umang Peninggalan Purbakala
Para peneliti, seperti J. H. Neumann dan Vain Stein Callenfels, mengatakan kalau gua umang (batu kemang) tersebut merupakan warisan megalitikum yang menurut perkiraan  dibangun pada zaman Hindu-Budha di awal tahun Masehi. Dan, bahkan mungkin juga  pembuatannya jauh lebih awal dari perkiraan itu. Missionaris J.H. Neumann pernah sangat tertarik pada segala hal yang berkaitan dengan umang. Dalam salah satu tulisannya, dia menduga umang sebagai makhluk Proto Malay (Melayu Tua) yang menjadi penduduk asli Taneh Karo. Dalam tulisannya itu, dia membahas mengenai salah satu gua umang yang disebut Batu Kemang di dekat Sembahe. 
          
Batu Kemang adalah sebongkah batu berongga. Rongganya jelas sekali hasil pahatan manusia, bukan dibuat oleh alam. Di dalam rongganya ada ukiran-ukiran dan pada sisi luar Batu Kemang terdapat ukiran-ukiran manusia yang sedang menari (Sitepu, 2011:1). Gua-gua Umang banyak terdapat di daerah pegunungan Karo seperti Gua Umang Durin Tani di Sembahe, Gua Umang Rimomungkur, Gua Umang Gunung Meriah, Gua Umang di Sarinembah, Gua Umang di Nggalam, Gua Umang Gunung Sibayak, Gua Umang Gunung Sinabung, dll.
Petrus Voerhove adalah orang kedua yang tertarik dengan gua umang. Dalam salah satu tulisannya, dia melaporkan kunjungannya ke beberapa gua umang di Karo Jahe, khususnya Langkat dan Deli Serdang. Hal paling menarik dari laporannya adalah adanya gua umang yang rongganya sangat panjang di kawasan perkebunan Limau Mungkur, dekat Tanjung Morawa, Deli Serdang. Voerhove malahan menampilkan foto dari gua itu. Voerhove mengatakan bahwa gua umang Limau Mungkur mungkin menjadi kunci penting dari hubungan antara Urung Si Pitu Kuta Ajinembah dengan Urung Sinembah. Karena, katanya, rongga berukir segi empat itu disekat menjadi tujuh bagian, dan dalam cerita Rumah Si Pitu Ruang terlihat hubungan yang erat antara Sibayak Ajinembah dengan Sibayak Barusjahe (Ginting, 2005:1).
J.H. Neuman menulis: “Jika kita sekarang memandang batu dari Durin Tani, maka kita melihat pada pembuatannya, dan perhiasan pada pintu masuk, bahwa yang membuatnya mempunyai rasa seni”. Dada Meraxa menguraikan: “Dari galian-galian yang didapat di Sumatera Timur, dijumpai juga hasil kebudayaan Hoa Bin dari Indo China. Rupanya penduduk Sumatera Timur itu sebelum lahirnya kerajaan-kerajaan mula-mula telah tinggal dalam gua-gua batu, dan rumah-rumah Umang seperti yang terdapat di Durin Tani Sembahe dan Serdang. (Putra, 2010:7). Jadi, ada kemungkinan bahwa gua-gua umang itu adalah tempat kediaman manusia ras Proto Malay yang terdesak oleh ras Deutro Malay dengan mengusung kebudayaan Dongson dari Indo-Cina.
http://sopopanisioan.blogspot.com
Selanjutnya Tengku Lukman Sinar S.H., dalam Brahma Putra (2010:8), menguraikan : “Dari hasil galian oleh para sarjana di daerah ini, seperti apa yang ditulis pula oleh DR. G. W. WORMSER (2) bahwa dari alat-alat perkakas manusia purba di Bacson dan Hoabinh seperti yang ditemukan oleh Dr. Coloni dan Mansyuri di Indo Cina itu terdapatlah alat-alat perkakas manusia purba yang digunakan untuk mencari makan. Penemuan penting mengenai itu terdapat di Perak (Malay) dan Pangkalan Brandan, Sumatera Timur di tahun 1942 yaitu dibukit Kerang yang sudah terpendam. Sering dengan penemuan tadi juga didapati perkakas yang disebut “Sumatera-Lith”, semacam kampak untuk alat-alat menggosok. Bukit Kerang tadi adalah bekas makanan manusia purba yang dilempar begitu lamanya, sehingga menjadi suatu timbunan. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa di daerah ini di zaman prasejarah telah didiami oleh sejenis Bangsa Austroloid. Kemudian sehabis zaman Batu Muda (1500-300 tahun SM) masuk lagi urusan perpindahan yang terakhir dari Indo-Cina yang disebut “Deotro Malay (Melayu Muda) yang membawa kebudayaan Dongson (perunggu) dan mendesak golongan Proto Malay (Melayu Tua) ke pedalaman, golongan mana datang di sekitar 1500 tahun SM (Jaman Batu Muda) dan ras Mongoloid juga”.
       
Pemaparan di atas menjelaskan bahwa ras Proto Malay terdesak oleh ras Deutro Malay yang membawa kebudayaan Dongson hingga menyingkir ke pedalaman. Moh. Said menambahkan: “Bagi meneguhkan keyakinan terhadap perkembangan jenis bangsa ini di Sumatera, dapatlah pula dicatat bahwa di Lho Seumawe (Aceh), yaitu di Kandang telah didapati juga perkakas kapak bergosok sebelah (sebangsa Sumatera-lith). Lebih jelas lagi, tentang perkembangan ras Proto Malay yang menjadi suku bangsa Karo sekarang ini, Budhi K. Sinulingga menguraikan: “Dalam buku Benih Yang Tumbuh Jilid 4 tentang Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) 1976 yang diterbitkan oleh Lembaga Studie dan Penelitian GBKP, menguraikan sejarah Karo secara ringkas. Dalam buku itu dikatakan, suku Karo termasuk gelombang imigrasi pertama Proto Malay, yang datang dari Tiongkok Barat Daya, jauh sebelum abad Masehi, semula mereka mendiami daerah di sekitar pantai Sumatera Timur, tetapi setelah datang imigran gelombang kedua, yakni Deutro Malay beberapa abad sebelum Masehi, maka sebagian dari Suku-suku Proto Malay ini lari ke arah pegunungan yang kini disebut Dataran Tinggi Karo (Tanah Karo)” (Putra, 2010:9).

Penulis juga sudah pernah mengemukakan hal ini di Batak Pos (28/07-2012), bahwa pada masa Mesolitik (10.000-6.000 tahun lalu) telah datang para pendukung budaya Hoabinh-Bacson dari pantai timur Sumatera bagian Utara sebagaimana hasil penelitian arkeologi di bukit kerang Lhok Seumawe, Aceh Tamiang, Langkat, dan dekat Medan. Kemudian disusul lagi kedatangan para pendukung budaya Dongson pada masa Neolitik (6.000-2.000 tahun lalu). Pendukung budaya Hoabinh dan pendukung budaya Dongson ini berasal dari Vietnam. Mungkin dari mereka inilah dapat dirunut mengenai keberadaan dari gua-gua umang tersebut.
http://sopopanisioan.blogspot.com
2. Gua Umang Dalam Pandangan Ahli Sekarang
Pada masa kini Gua Umang disebut-sebut sebagai gua peninggalan purbakala yang dianggap sebagai indikasi tradisi megalitik di Tanah Karo. Gua buatan yang dibuat dengan cara memahat tebing ataupun batu ini diduga berfungsi sebagai wadah penguburan sekunder seperti sarkofagus untuk penyimpanan tulang-belulang. Batu Kemang dipahat khusus menyerupai rumah sebagai rumah untuk orang yang telah meninggal terbuat dari batu  besar dan diberi lubang yang dibuat dengan pahat. Di bagian-bagian depannya terdapat  pintu berukuran 60 cm x 60 cm sebagai jalan untuk memasukkan kerangka mayat dan di bagian atas pintunya diberi ornamentasi menyerupai rumah. Luas pahatan batu pada Batu Kemang di Sembahe berukuran 2 x 2 meter dengan tinggi 80 cm (sisi kanan dan kiri) dan 1 meter di tengahnya. Ada beberapa Gua Umang di Tanah Karo, tapi belum teridentifikasi seluruhnya (Tarigan & Lukitaningsih, 2011:5; bnd. Wiradnyana, 2007:1-9).
       
Demikianlah pendapat para ahli belakangan ini mengenai gua umang yang banyak ditemukan di Tanah Karo. Meskipun demikian dan tak kalah pentingnya, bahwa pemerintah bersama masyarakat perlu menjaga dan melestarikan situs-situs purbakala seperti gua umang ini sebagai kekayaan budaya. ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 26 Januari 2013
http://sopopanisioan.blogspot.com

No comments:

Post a Comment