Pages

Thursday, April 10, 2014

BATAK 27 GAYO DI ACEH

BATAK 27 GAYO DI ACEH
Oleh: Edward Simanungkalit


Tanah Gayo adalah suatu daerah di Provinsi Nangro Aceh Darussalam. Tanah Gayo ini berada di tengah-tengah pulau Sumatera dan tidak berada di pesisir. Letaknya di tengah-tengah pegunungan daerah Aceh dari utara ke bagian tenggara sepanjang Bukit Barisan. Suku bangsa Gayo mendiami kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dan Tekengon merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tengah.

Pada masa lampau penduduk Gayo terbagi dua, yaitu penduduk daerah Kebayakan dan Bebesan. Daerah Kebayakan berada di sebelah barat laut danau Laut Tawar, sedangkan daerah Bebesan berada di sebelah barat Kebayakan dan kedua daerah ini hanya berjarak sekitar 1 km. Penduduk yang mendiami daerah Kebayakan dan Bebesan merupakan kampung “inti” di Gayo Laut, tapi mereka beranggapan bahwa asal-usul mereka berbeda. Penduduk daerah Kebayakan mengatakan bahwa mereka adalah penduduk asli di Gayo, sedangkan penduduk daerah Bebesan menyadari bahwa mereka itu Batak, yang lebih dikenal dengan Batak 27.
http://sopopanisioan.blogspot.com
1.    Munculnya Batak 27
Pada masa pemerintahan Raja Sengeda,  Gayo sudah berhubungan dengan pihak luar ditandai dengan datangnya orang-orang Batak. Kedatangannya biasanya sebagai pengembara dan bertamasya. Diceritakan bahwa di masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar pada abad ke-16 M pernah 7 orang pemuda Batak melewati tanah Gayo menuju Aceh (H. AR. Latief, 1995 : 81). Sementara menurut Dr.  C. Snouck Hougronje, kedatangan Batak 27 adalah pada masa kejuruan (raja) Bukit telah memeluk Islam. Kejuruan Bukit adalah bagian dari raja-raja yang terdapat di tanah Gayo yang memiliki hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan (kejuruan) lain.
Kemudian setelah pemuda Batak yang 7 orang itu sampai di Aceh, maka menyusul sebanyak 20 orang Batak, yang salah satunya bernama Lebe Kader, melewati Alas dan Tanah Gayo, dalam perjalanan menuju Aceh dengan tujuan untuk masuk Islam dan belajar mengaji. Selain untuk ongkos dan belanja sendiri, mereka juga membawa titipan ongkos untuk pulang bagi 7 orang teman mereka yang sudah berangkat lebih dulu. Melihat pundi-pundi mereka penuh dengan uang, timbul niat untuk memilikinya dalam hati salah seorang raja Gayo, yaitu Reje Bukit, yang memerintah di bagian barat Danau Laut Tawar, sehingga mengajaknya bermain judi.
http://sopopanisioan.blogspot.com
Dalam permainan judi itu ternyata Reje Bukit kalah, sehingga sebagian kekayaannya berpindah ke dalam pundi-pundi orang Batak tadi. Reje Bukit marah besar dan nekad memancung salah seorang di antara mereka dan kemudian menggantungkan kepalanya di atas sebatang pohon bambu di dekat Bebesan. Peristiwa itu menjadikan nama tempat itu disebut Pegantungan hingga sekarang. Kesembilan belas orang Batak lainnya pun melarikan diri menuju Aceh untuk menemui kawan-kawannya sekaligus mengadukan kezaliman reje Gayo tersebut kepada Sultan Aceh. Mendengar itu Sultan pun merestui mereka untuk memerangi reje Gayo, tetapi mereka tidak diperbolehkan membunuh Reje Bukit.

Dalam usaha menuntut balas atas kematian temannya disertai hartanya yang dirampas, maka ke-26 orang Batak di bawah pimpinan Lebe Kader  ini memerangi dan berhasil mengalahkan pasukan Reje Bukit. Reje Bukit sendiri melarikan diri dan tersesat di dalam rawa-paya dekat daerah Kebayakan, sehingga tempat itu disebut Paya Reje sampai sekarang. Setelah itu diadakanlah perdamaian dan dibuatlah perjanjian berisi tuntutan untuk perdamaian.
Pihak Batak 27 mendapat sebagian wilayah kekuasaan Reje Bukit sebagai diyat untuk mengganti kerugian akibat matinya orang Batak yang terbunuh dalam peperangan. Ganti rugi tersebut dilakukan dengan membelah danau Laut Tawar menjadi dua bagian sampai Kala Bintang di sebelah utara termasuk daratan, mulai dari kampung Kebayakan, Rebe Gedung, Simpang Tiga, Delung Tue win Ilang hingga Ramung Kengkang perbatasan Aceh Timur  yang sekarang menjadi Kabupaten Bener Meriah dan ke arah selatan sampai perbatasan Lingga.

Setelah batas wilayah ditentukan oleh kedua belah pihak yang berdamai, Reje Bukit Panglima Perang Dagang mengajukan sebuah tuntutan daerah bukit berikut bangunannya yang telah diduduki oleh pihak Batak 27. Lebe Kader berkata dengan tegas: “Bebaskan!”, dalam bahasa Karo artinya dibebaskan dari tuntutan, lambat laun kata bebaskan ini berubah menjadi kata Bebesan sampai sekarang (AR. Latief, 1995). Kemudian Reje Bukit Panglima Perang Dagang bersumpah tidak berkeberatan daerah bukit, yang belakangan disebut daerah Bebesan, berikut bangunannya dijadikan hak milik pihak Batak 27.

Kemudian penduduk daerah bukit itu sendiri membangun pemukiman baru yang terletak di pinggir Danau Laut Tawar yang sekarang disebut dengan daerah Kebayakan. Pada awalnya kampung itu disebut  Kebanyakan karena penduduknya yang terbanyak, tapi setelah penjajah Belanda datang dan tidak dapat menyebutkan nama kampung tersebut dengan tepat, maka berubahlah namanya menjadi Kebayakan.
http://sopopanisioan.blogspot.com
2.  Setelah Perjanjian Perdamaian
Di kampung Bebesan itulah orang Batak tadi berkembang dan keturunannya disebut sebagai Batak Bebesen atau Batak 27 dan sejak awal mereka semua masuk Islam. Lebe Kader, yang kemudian menjadi raja di sana merupakan pemimpin mereka, adalah seorang yang taat dalam mengajarkan agama Islam yang terbukti dari gelar Lebe yang diberikan kepadanya (M.J. Melala Toa, 1981:38). Lebe Kader sendiri menikahi seorang putri reje Bukit yang bernama Sri Bulan Si Merah Mata. Lebe Keder  merupakan cucu dari Adi Genali, anak dari Johansyah atau Sibayak Lingga (AR. Latief 1995 : 68). Kedatangan Batak 27 pimpinan Lebe Kader ini diperkirakan sekitar abad ke-16 atau 600 tahun setelah Kerajaan Linge berdiri  pada abad ke-10 (dari berbagai sumber).

Di kalangan Batak 27 ini tetap dipertahankan tradisi marga-marga hingga saat ini. Marga-marga tersebut adalah Munte, Cebero, Melala, Linge, Tebe, dll., yang di kalangan Batak, yaitu: Munte, Cibro, Meliala, Lingga, dan Toba. Kata “marga” dalam bahasa Batak disebut “belah” dalam bahasa Gayo.

Batak 27 ini terdiri dari orang Karo, Pakpak, dan Toba dengan jumlahnya lebih banyak dari Karo, tetapi ketiganya sekaligus disebut Batak. Selain itu sebutan Batak ada dua kali disebut dalam “Hikajat Atjeh” sebagaimana dikemukakan Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda” (Lombard, 2008:97-98).  Sebutan Batak di sini jelas menunjukkan bukan berasal dari misionaris Jerman dan Belanda.  ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 15 Desember 2012
http://sopopanisioan.blogspot.com

No comments:

Post a Comment