Pages

Friday, September 28, 2012

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (IX)

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (IX)
by Mja Nashir on Tuesday, 24 May 2011 at 02:43 ·
LEMBAH SILINDUNG TARUTUNG - (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Kesembilan)

Angin lembah Silindung berhembus menggoyang batang-batang padi menguning yang tersisa di bulan Juni 1986.  Pada petak-petak sawah yang lain mulai ditanam bibit padi yang baru. Di pelataran-pelataran rumah padi hasil panen dijemur. Tampak dua tangan seorang wanita desa yang masih muda - Linda Hutagalung -  sedang menebar padi di atas tikar  di halaman rumahnya.  Kepalanya bertutup kain yang khas cara orang Batak agar tidak kepanasan oleh terik mentari.  Tak lama kemudian datang langkah-langkah kaki dari seorang wanita muda berkulit putih, bertubuh tinggi berambut pendek. Linda tersenyum ramah ketika menyadari langkah-langkah itu menuju padanya. Ia berdiri menyambut kedatangan orang asing dengan senyum ramah. Baru kali ini Linda melihat si ‘bontar mata’, datang ke kampungnya. Tak hanya Linda yang senang atas kedatangannya, tapi juga kedua orang tua dan kakak Linda yang bernama Jonny Hutagalung. Mereka kaget, juga senang karena gadis asing pandai berbahasa Batak. Apalagi mamaknya, Ompu Ester setelah mengetahui bahwa gadis asing ini ternyata boru Hutabarat, seperti marga dirinya. Di tahun 1979 orang asing ini pernah diangkat dan diberi marga Hutabarat oleh sebuah keluarga Batak di Medan. Kepada keluarga Linda ia menanya sebuah rumah yang dicarinya di huta mereka. Linda sekeluarga gembira karena gadis mancanegra ini akan tinggal lama di Hutagalung.

        Gadis mancanegara ini bernama Sandra Niessen. Berasal dari Belanda. Ini kali ke dua dia datang kembali ke Batak sejak kedatangan di tahun 1979.  Sudah beberapa hari ia berada di Tarutung, tinggal sementara di lingkungan diakones Pea Raja. Dari kenalannya dengan orang Batak di Jakarta - seorang dokter bernama Poltak Hutagalung - ia mendapat tempat tinggal di Hutagalung. Kebetulan Poltak Hutagalung ini juga masih merupakan famili dari keluarga Linda. Sekarang Sandra ingin meninjau rumah Poltak yang telah lama kosong itu untuk kemudian ditinggalinya selama penelitian di Silindung.

        Kakak Linda, Jonny yang kebetulan sedang berada di rumah, membantu Sandra menunjukkan rumah itu setelah mencari kuncinya. Ketika pintu sudah dibuka oleh Jonny, mereka masuk ke dalam ruangan. Terasa pengap di dalam. Rumah kayu ini sebenarnya bagus dan Sandra suka. Namun karena sudah lama tidak dihuni sejak ayah Poltak meninggal dunia sementara si anak pergi merantau ke Jakarta bekerja sebagai dokter rumah jadi kosong dan tak terawat. Sepi rumah ini. Hanya burung-burung yang tinggal di atapnya telah membuat kotor ruangan dengan bau tak sedap. Mereka berkelebatan dan gaduh di atap rumah.  Namun bagaimanapun Sandra merasa harus tinggal di sini untuk segera memulai penelitian tentang tenun Batak dari kampung ini mengingat di kampung inilah terdapat banyak penenun ulos.

        Beberapa hari kemudian setelah Jonny dan keluarganya membantu membersihkan dan menyiapkan rumah agar nyaman untuk ditinggali, maka sejak itulah Sandra mulai tinggal di rumah milik Poltak Hutagalung. Ia masukkan koper besar warna biru ke sebuah kamar yang dipilihnya. Kamar yang jendelanya menghadap ke hamparan sawah luas di mana terdengar suara air jernih dari sungai kecil mengalir yang melintas di seberang rumah. Pemandangan alam pada bingkai jendela ini begitu menentramkan jiwanya. Terasa damai. Ada perasaan bahagia dia bisa kembali lagi ke tanah Batak. Meskipun jika malam tiba dia masih sering terganggu dengan lubang atap yang tampak dari kamarnya menghubungkan sarang burung-burung itu. Dari kamar lubang tadi acapkali gemerisik mengusik tidurnya.

Setiap pagi Linda selalu membawakan makanan untuknya. Linda dan keluarganya sangat membantu keperluan Sandra selama tinggal di Hutagalung. Tidak hanya dengan Linda ataupun John di keluarga Hutagalung ini Sandra akrab, tapi dengan semua anggota keluarga lainnya. Ia sudah menjadi bagian dari mereka.  Ayah Linda adalah seorang petani, mamaknya seorang penenun. Kedua orang tua ini memiliki 13 orang anak, diantaranya itu adalah Jonny dan Linda serta adik-adiknya yang tinggal di rumah mereka. Sementara kakak-kakaknya yang lain pada merantau ke luar kota dan keluar pulau.

        Ompu Ester mengerjakan tenunannya dibantu oleh Linda. Sandra sering memperhatikan mamak dan anak ini menenun. Sandra kagum kepada ketrampilan dan ketekunan Linda yang masih muda ini.  Dan untuk hidup keluarga Linda tidak hanya menenun, tapi juga membantu pekerjaan-pekerjaan lain termasuk mengurus padi karena kondisi kesehatan ayahnya yang kian melemah.  Jonny masih kuliah di Universitas

Suatu hari kelak setelah kedatangan Sandra dia tergerak mendirikan usaha kios tenun, “Linda Ulos” yang ia dirikan setelah lulus kuliah. Dia kembali ke Tarutung untuk menolong para penenun di daerahnya mencari pasaran bagi tenunan mereka. Bagi Sandra mereka semua adalah keluarga desa yang sederhana namun ulet dalam hidup.

Sejak tinggal di Hutagalung Linda dan Jonny menjadi sahabatnya, menjadi seperti keluarganya sendiri. Kedua kakak beradik itu sering membantu Sandra. Jika di saat-saat Linda tidak sedang membantu orang tua, Linda menjadi assisten penelitian Sandra. Kemana-mana mereka sering bersama. Keliling wilayah Tarutung menjumpai para penenun. Bahkan berdua mereka sering keluar Tarutung seperti Balige, Porsea, Payakumbuh, Padang Sidempuan bahkan sampai ke Minangkabau. Dan bagi Linda pengalaman bersama Sandra semakin memperkaya pengalaman hidupnya, makin menguatkan keyakinan dan keberanian dirinya. Mewarnai hidup Linda.

                                                      ***


        “Saya bisa menangis kalau saya ingat mereka. Begitu lembut, baik dan setia mereka. Mereka telah membikin hatiku yang keras menjadi lebih lembut lagi. Mereka selalu menolong saya. Tidak minta apa-apa. Memberikan pertolongan kepada saya segala macam. Sebab itulah saya masih menangis kalau mengingat itu semua,” demikian Sandra mengisahkan kembali padaku.

        Linda adalah salah satu sosok penting dalam hidup Sandra, terutama dalam dunia kepenelitian ulos di Tarutung dan sekitarnya. Perjumpaan dengan Linda di tahun 1986 itu adalah babak kedua dari penelitiannya tentang ulos Batak. Sebelumnya Sandra melakukan penelitian di daerah Samosir bersama Ompu Sihol (almarhum), penenun maestro dari Harianboho. Penelitian bersama Ompu Sihol berlangsung di tahun 1979 sampai 1980, sebelum PhDnya. Dan mulai tahun 1986 dia tinggal di Silindung karena pertenunan di Silindung saat itu adalah yang paling aktif. Selain itu karena tenun Silindung atau Tarutung punya pengaruh besar oleh karena kolonialisme Belanda dan perkembangan gereja. Ini bisa dimengerti sebab Tarutung pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda dan awal mula bagi sejarah Kristen di Batak. Sehingga pengaruh modern (hamajuon) pun akhirnya mempengaruhi corak warna dan ragam kain yang berbeda jika di banding kain-kain dari kawasan Toba ataupun Samosir. Dengan melakukan penelitian di kawasan Tarutung menjadikan studi ulos Bataknya menjadi lebih lengkap lagi.  Sejak itulah sebenarnya waktu dia memulai secara serius untuk membuat sebuah karya yang akhirnya menjadi buku “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009).

        Pagi 23 Juni 2010 ini Sandra kembali menikmati kehangatan bersama Linda di sebuah restauran miliknya di pinggir jalan raya Sipoholon sebelum masuk kota Tarutung. Kami kemari pagi-pagi setelah perjalanan panjang dari Muara dan semalam atas kebaikan hati Torang Sitorus kami menginap di Rumah Gorga miliknya di Sipoholon, meskipun dirinya sedang berada di luar kota. Kini bersama kami sedang menikmati suasana segar di Restauran Anugerah milik Linda. Restauran yang berdiri di atas lahan luas dengan kolam ikan air tawar ini tampak rapi dan bersih, menyajikan makanan dengan aneka menu, baik yang khas lokal maupun nasional.  Sudah dua kali di bulan Juni tahun ini Sandra berjumpa Linda juga kakaknya, Jonny Hutagalung. Johny sudah lama menutup usaha kios tenunnya, Linda Ulos, sejak peristiwa tragis menimpa dirinya; kios itu dibobol orang dan dicuri isinya. Jonny kini hidup dengan usaha restauran yang dikelolanya, satu ada di Parapat – tempat yang pernah kujumpai bersama Sandra di awal perjalanan kami – satunya lagi di tengah kota Tarutung. Sandra merasa bahagia sekali bisa bertemu kembali dengan mereka dalam kondisi yang lebih baik saat ini. Linda sekarang telah menjadi seorang mamak dari enam orang anak. Kulihat dua di antaranya sedang ada di sini, Siska anak nomer dua dan si bungsu Reinhard.  Bila dibanding tahun 1986 hidup Linda kini sudah lebih makmur dan berhasil. Semua itu karena sejak muda Linda sudah terbiasa dengan keuletan dan ketekunan di dalam hidupnya. Kehangatan Linda masih sama. Masih bisa dirasakan oleh Sandra yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Kuamati keduanya begitu akrab. Begitu pula dengan kakak perempuan Linda, Mariam Hutagalung, yang sekarang juga sedang ada di sini. Pertemuan ini bagiku serasa sebuah reuni keluarga dan tentu bagi Sandra mengingatkan kembali pada kedua orang tua Linda yang telah lama tiada.

        Bagi Linda pribadi, Sandra adalah seseorang yang penting bagi hidupnya yang tak bisa ia lupakan untuk selama-lamanya. “Saya merasa senang dan sangat bersyukur bertemu dengan Sandra. Dia orang yang telah berjasa banyak untuk hidup saya, juga bagi keluarga besar kami. Dia banyak menolong kami semua. Sejak bertemu dengan Sandra, ia sering memberi motivasi kepada saya. Dulu di saat keluarga kami masih aktif dengan tenun, Sandra juga yang menghubungkan saya dengan lingkungan kampus, mengenalkan dengan banyak orang termasuk orang-orang luar negri. Sampai waktu itu saya sering dapat pesanan tenun untuk kampus di Medan. Untuk acara-acara wisuda.” Demikian Linda menceritakan kembali kenangannya tentang Sandra kepadaku.

        Sebagai ungkapan terimakasih atas jasa dari Linda, Sandra telah memberikan secara langsung Legacy in Cloth kepada Linda di rumahnya di Parapat beberapa hari yang lalu sebelum perjalanan denganku ini.  Sebagai bukti bahwa segala yang telah Linda bantukan kepada Sandra di masa lampau tidaklah sia-sia dan bermanfaat bagi sejarah tenun Batak, terutama di Tarutung. Linda sangat senang atas kenangan yang sangat berharga ini. Buku yang yang kini sudah ada di tangan Linda itu diberikan oleh Sandra atas nama dirinya sendiri sebagaimana yang Sandra tuturkan padaku, “Saya yang kasih itu kepada Linda sebab Linda paling dekat hatiku. Dan saya tak mau izinkan orang lain memberikannya kepada Linda. Itu tanda sayangku.”

        Selain kepada Linda, Sandra juga telah mengirimkan satu eksemplar bukunya kepada Jonny Hutagalung kakak Linda. Dikirimkan dari Belanda sebelum kedatangan Sandra dalam project Pulang kampung. Mereka semua telah memberikan peran yang cukup besar bagi terwujudnya karya ini.

                                                               ***

        Bersama Linda Sandra ingin menjumpai para penenun dan orang-orang yang dulu pernah dijumpai di tahun 80-an selama Linda membantu Sandra menjadi asisten penelitiannya. Usai sarapan pagi, seperti biasanya baik aku dan Pak Jerry sudah bersiap-siap. Kami bertiga masuk di dalam mobil. Kulihat Linda sedang mengurus si bungsu Reinhard sebentar untuk ditinggalkan di restauran bersama kakaknya dan Siska. Segera sesudahnya Linda masuk mobil.  Kami pun melaju ke arah kota Tarutung.

Pagi ini yang ingin dituju oleh Sandra adalah Pasar Horas. Dia ingin memberikan satu eksemplar buku kepada salah seorang pengelola kios di pasar itu. Di tahun 1986 dia pernah memotret kios bernama U.D Juliarta, kios yang menjual aneka macam ulos Tarutung. Foto tersebut telah menjadi gambar di halaman 80 dari bukunya Legacy in Cloth.  Linda masih sangat mengenal orang itu, Rosella boru Hutagalung namanya.

Pasar Horas, Tarutung

        Sandra, Linda dan aku berjalan menyusuri jalanan muka pasar yang becek karena hujan semalam. Jalan di muka pasar ini ramai dengan penjual aneka macam dagangan serta pembeli yang hilir mudik. Kami lewati pintu pasar yang seketika menghubungkan pada yang kami tuju.  Linda sudah hafal sekali dengan pasar ini sehingga kami tidak ada kesulitan menemukan kios Bu Rosella boru Hutagalung. Kebetulan yang dicari juga ada di tempat, sedang duduk di kiosnya yang dipenuhi aneka macam ulos dengan aneka warna. Beliau sedang bercakap dengan beberapa orang di kios. Bu Rosella atau yang dikenal dengan nama Ompu Lambok ini seorang ibu yang tenang dan kalem. Dia masih ingat Sandra meskipun sudah lama tidak berjumpa. Senang sekali atas kedatangan Sandra. Apalagi ketika Sandra menyerahkan padanya Legacy In Cloth atas nama sahabat yang membantunya, Marion van der Heuvel di Belanda. Bagi Ompu Lambok buku karya Sandra ini
sangat berharga. Dia tidak menyangka ini semua terjadi, ketekunan Sandra membuahkan hasil bermanfaat besar. Sejarah tertuliskan di situ, dan Ompu Lambok menjadi bagian di dalamnya.  Atas kegembiraan hati oleh karena perjuangan Sandra yang besar, Ompu Lambok ingin memberikan salah satu ulos yang baik yang dimilikinya. Lantaran ulos itu masih ada di rumah, Ompu Lambok meminta Sandra agar nanti siang atau sore kembali lagi. Sandra sangat kenal adat istiadat orang Batak. Dia tidak bisa menolak pemberian hadiah untuknya yang diniatkan dengan hati tulus itu. Maka Sandra pun berjanji padanya bahwa nanti akan kembali lagi kemari. Meskipun hari ini tujuan menjumpai orang-orang masa lalu masih banyak. Aku yakin persoalan waktu telah dihitung oleh Sandra secara cermat. Apalagi untuk menjelajah wilayah Tarutung ini amatlah mudah. Tak perlu mencari-cari atau bertanya-tanya lagi pada orang-orang di jalan seperti biasanya karena kini ada asisten dari masa silam yang selalu setia padanya, Si Linda Hutagalung. Linda masih hafal semua, juga pada jalan-jalan kecil yang pernah dilalui bersama Sandra.

        Dari arah pasar, mobil kami bergerak kembali menyisir pinggiran kota Tarutung. Di kota Tarutung ini aku merasakan jejak-jejak Dr Ludwig Ingwer Nommensen yang masih sangat kuat. Nommensen tokoh besar pensyiar agama Kristiani yang sangat dihormati oleh orang Batak pada umumnya dan terutama di daerah ini. Mobil kami melintasi jembatan di mana sungai besar mengalir dengan lancar. Kami meluncur di atas jalan yang asri dan tenang yang menuju pada sebuah bukit tinggi menjulang nun di hadapan kami.  Bukit yang memuliakan nama Nommensen. Sebuah papan petunjuk mengarah bukit itu, mengabarkan padaku bahwa di atas puncak itulah patung besar Salib Kasih dan patung Nommensen berwarna putih berdiri. Dari puncak bukit itu di masa yang silam 23 Juni 1862 Nommensen muncul dan turun ke Tarutung menyebarkan injil kepada orang-orang Batak. Dan pada tanggal 23 Juni 2010 ini kami bergerak ke arah Sait Ni Huta yang di pintu gerbangnya tampak patung Nommensen berwarna kuning keemasan.

       Tujuan kami ke Sait Ni Huta ini untuk menjumpai para pengrajin ulos yang terkenal dengan keahliannya membuat sirat (manirat). Mobil kami bergerak dari jalanan yang semula sepi dan tenang kini melewati rumah-rumah warga dan bangunan-bangunan tua yang diantaranya adalah gereja dari masa silam.  Di ujung perumahan terhampar sawah dengan padi menguning.  Di persawahan ini mobil kami menyisiri jalanan sempit di tepi kali kecil. Kudengar suara Linda yang sedang bercerita bahwa bersama Sandra mereka dulu kemari jalan kaki. Ada senyum yang terlintas pada wajah Sandra yang meneguhkan sebuah pernyataan bahwa tanpa Linda pasti kami kesulitan mencapai tempat ini. Dari jalanan ini kami membelok ke kiri sampai menjumpai sebuah perkampungan lagi di mana tampak para wanita baik orang tua maupun remaja sedang bekerja membuat sirat sebagai proses finishing dari ulos-ulos Tarutung.

       Perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa rumah ini berada di atas sebidang tanah yang dikelilingi oleh persawahan. Tak ada jalan lagi ke kampung lain, hanya inilah ujungnya. Dan ujung dari ulos-ulos Tarutung itu dikerjakan disini.  Secara turun temurun orang-orang di sini memiliki ketrampilan yang tinggi dalam membuat sirat dengan berbagai motif. Bagiku menyaksikan ini adalah sesuatu yang menarik, memperlihatkan padaku bahwa manirat menjadi sebuah profesi tersendiri yang khusus. Tentang kenyataan bahwa panirat merupakan profesi tersendiri ini mengingatkanku kembali pada pengalaman perjalanan sebelumnya ketika kami berada di Nainggolan-Samosir untuk mencari seorang panirat. Dari pengalaman di Nainggolan itu akhirnya aku menjadi tahu bahwa di jaman dulu profesi manirat juga dikerjakan oleh laki-laki selain perempuan (http://www.facebook.com/note.php?note_id=449931842855). Namun hal itu kini sudah tidak ada lagi. Seperti juga di Sait Ni Huta ini semua panirat adalah wanita. Kendati demikian tradisi manirat masih ada. Panirat di sini banyak sekali, bahkan beberapa di antaranya masih muda. Mereka yang muda itu membantu orang tua mereka, bekerja sama. Mereka bekerja di teras-teras rumah mereka. Tangan-tangan mereka begitu cepat memutar benang-benang, menganyamnya menjadi motif-motif sambil mempelintiri ujung-ujung benang sedemikian rupa.  Beberapa tangan mereka tampak belepotan oleh karena kanji yang bereaksi dengan warna benang yang dipilin-pilinnya. Kulihat beberapa yang lain sedang menyisiri ujung-ujung benang yang serupa rambut-rambut dengan sisir rambut. Aku abadikan semua itu ke dalam memori kameraku.

        Kulirik ke arah Sandra. Ia masih ngobrol dengan salah seorang ibu yang sedang bersama anaknya mengerjakan sirat di muka pintu rumah. Semakin lama berjalan dengan Sandra, aku sudah terbiasa dengannya dan bisa mengartikan apa yang sedang terjadi. Aku tahu bahwa apa yang dicarinya di sini sesungguhnya tidak ketemu. Dia pernah kemari, tapi kuartikan bahwa orang-orang panirat di jaman dulu sewaktu dia kemari sudah tak ada lagi. Pasti mereka inilah para keturunan mereka. Meskipun tidak dijumpai orang-orang yang dulu, Sandra tetap ingin memberikan satu eksemplar bukunya untuk kampung ini. Dan kepada ibu yang sedang bersama anaknya ini, Sandra memberikan buku. Suasana menjadi semakin ramai mengelilingi Sandra dan ibu ini. Dalam kerumunan terjadi diskusi yang hangat antara Sandra, si penerima buku serta segenap warga. Diskusi berlangsung secara dialogis. Mereka bersama melihat halaman demi halaman tentang sirat-sirat yang di antaranya sangat mereka kenali. Sirat-sirat dari kampung mereka.

        Sesungguhnya ketrampilan membuat sirat yang mereka miliki masih tinggi. Namun mereka kini bekerja hanya dengan cepat-cepat saja, seperti mesin. Sehingga banyak yang kurang rapi jika dibandingkan dengan sirat-sirat yang dibikin oleh para panirat di jaman dulu seperti yang ada di buku Sandra. Kucoba memahami, barangkali mereka bekerja cepat-cepat lantaran harus bersaing dengan dunia yang semakin industrialis untuk secepat mungkin bisa mendapat output yang besar dari satuan upah mereka yang kecil di tengah-tengah kebutuhan ekonomi keluarga yang kian sulit. Ada perasaan prihatin mengalir dalam bathinku melihat kenyataan macam ini. Semestinya pekerjaan tangan harus dihargai dengan mahal, tidak bisa disamakan dengan pekerjaan mesin.

        Kepada mereka Sandra akhirnya menunjukkan lewat bukunya sebuah karya seni tinggi, berupa tas (hajut) yang pernah dibuat oleh orang Batak di jaman dulu yang dikerjakan dengan teknik sirat dan motifnya pun adalah motif sirat dalam ulos Ragi Hotang. Tak satupun dari mereka yang pernah melihat hajut macam ini. Mereka menyangsikan bahwa itu dibuat dengan teknik sirat. Namun mereka juga tidak tahu bagaimana itu dibuat jika seandainya menurut mereka tidak dengan teknik sirat. Tak ada satupun yang mampu memecahkan ‘teka-teki’ itu sampai akhirnya Sandra dan kami semua berpamitan meninggalkan perkampungan mereka.

Dengan Sandra memberikan satu buku, meninggalkannya untuk huta itu bisa menjadi bahan buat mereka menggali kembali apa yang mereka pernah miliki. Siapa tahu suatu hari ‘teka-teki’ yang telah ditinggalkan oleh Sandra terjawab oleh mereka. “Di masa yang lampau mereka sendiri yang telah menciptakan hajut itu, dan mereka sangat pandai dan terlatih. Maka pasti mereka dapat menciptakannya kembali atau merancang sesuatu yang sama sekali baru.” Begitulah komentar Sandra.

                                                     ***

         Dari Sait Ni Huta sebelum kami menuju ke perkampungan di mana Sandra pernah tinggal,  yaitu Hutagalung kami mampir sebentar di Parbubu. Rumah Ompu Si Tohap yang sudah lama meninggal dunia. Hanya ada seorang laki-laki beserta istri di rumah ini. Laki-laki inilah anak dari almarhum Ompu Si Tohap. Ia masih mengingat betul Anak Ompu Si TohapSandra. Oleh karena ada foto dari mamaknya yang sedang memperlihatkan karya ulos Sirara-nya dalam Legacy in Cloth, Sandra menyerahkan buku itu padanya. Sebagai tanda kenang-kenangan dan terimakasih dari Sandra.  Mereka senang menerima. Sebelum kami meninggalkan rumah, kulihat anak Ompu Sitohap larut dalam buku Sandra.

        Mobil kami segera meluncur kembali di jalanan sempit dan sepi. Linda memberitahu Pak Jerry untuk belok memutar arah. Namun tampaknya tak ada tempat untuk memutar. Sehingga pak Jerry mengambil inisiatif untuk terus ke depan dengan harapan siapa tahu di depan ada tempat memutar. Ketika sudah jauh ke depan namun dirasakan tak ada tempat memutar, ia putuskan untuk memutar di jalan kecil ini dengan hati-hati. Dan hasilnya bisa kami rasakan serta kami dengarkan dari dalam mobil ini. Seketika tubuh kami tergoncang. Roda belakang terperosok ke tanah parit yang dalam. Aku segera turun, juga Sandra dan Linda. Bersama-sama kami mencoba mendorong mobil. Pak Jerry mengegas dari tempat kemudinya. Roda belakang ini tetap tak mau bergerak. Kami tak berhasil karena begitu dalam terperosoknya. Tapi kami tidak putus asa. Kami coba sekali lagi dengan kekuatan yang lebih penuh lagi. Kulihat roda itu sedikit terangkat dan berputar namun masuk lagi ke lobang semula. Setelah aku hitung-hitung sebenarnya kurang sedikit saja dari kekuatan kami bertiga ditambah pak Jerry yang mengegas itu untuk bisa mengeluarkan mobil yang terperosok ini. Ibaratnya hanya perlu tambah kekuatan anak kecil satu saja pasti sudah bisa lolos dari lubang ini.  Aku segera keluar dari parit melihat ke kanan dan ke kiri di atas jalan jalan sepi yang jauh dari permukiman ini. Pada saat itu pula di seberang mataku, nun disana anak-anak SD pulang sekolah. Aku panggil mereka untuk membantu kami. Mereka berlarian ke arahku dengan riang untuk membantu kami. Dengan para malaikat kecil ini kami bersama-sama mencoba lagi. Mobil pun akhirnya selamat.  Kami semua senang atas hasil kerjasama ini.  Wajah-wajah malaikat kecil kami pun bersukaria. Atas pertolongan mereka Sandra mengeluarkan kue-kue dan roti dari dalam mobil untuk mereka. Mereka bukan main senangnya. Kami sangat berterima berterima kasih pada mereka. Di jalan sepi yang akhirnya ramai itu kami berpisah. Dari jendela mobil kusaksikan tangan-tangan kecil mereka masih melambai-lambai pada kami.

                                                        ***

            (bersambung bagian 10, "Yang Ada, Yang Tiada, Yang Tersisa").

=======
MJA Nashir, menuliskannya kembali di TujuhlangiT Jawa Tengah, 23 Mei 2011
======================================
Tanpa mengurangi rasa hormat bagi siapa pun yang mendapatkan dan membaca tulisan ini mohon agar meninggalkan jejaknya di ruang yang telah tersedia sebagai bentuk keterbukaan & kejujuran Anda pada diri Anda sendiri serta kepedulian Anda atas tulisan ini. Mohon maaf jika ada salah kata, ucap atau apapun. Salam damai. Terima kasih.
======================================
(Bagian Pertama)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=434462987855
(Bagian Kedua)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=436327202855
(Bagian Ketiga)---> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra-iii/438797277855
(Bagian Keempat)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=444268947855
(Bagian Kelima)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=447382062855
(Bagian Keenam)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=449931842855
(Bagian Ketujuh)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=452314632855
(Bagian Kedelapan)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150144323917856



http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150194714537856

No comments:

Post a Comment