Pages

Friday, September 28, 2012

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (VIII)

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (VIII)
by Mja Nashir on Thursday, 31 March 2011 at 06:25 ·
MUTIARA-MUTIARA YANG BERMUARA DI MUARA - (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Kedelapan)

     22 Juni 2010 siang, usai rangkaian peristiwa-peristiwa menakjubkan yang saling terangkai sendiri oleh alam, kami keluar dari halaman sekolah SMK Negeri 1 Muara. Supir kami, Pak Jerry segera menyalakan mesin mobilnya. Kulihat pemuda Maruahal Siregar berpamit pada bapak ibunya (Ompu Joshua, boru dan doli) yang hendak kembali ke ladang dan segera Maruahal masuk ke dalam mobil kami. Salah satu penenun dari masa lalu di dalam foto di tangan Sandra Niessen yang juga menjadi foto utama halaman pembuka dari bukunya “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009) sudah ditemukan; yaitu Ompu Joshua. Kini kami hendak menuju ke penenun yang lainnya lagi, Ibu Mutiara Boru Pandiangan.

        Pemuda Maruahal duduk di depan di samping Pak Jerry, menjadi penunjuk ke mana roda-roda mobil kami berputar dan menuju. Jalan-jalan semula kami lewati. Jalan-jalan yang menuju ke Huta Na Godang, tempat kami pertama kali bertemu pagi tadi. Aku masih ingat dengan baik ketika kulihat sebuah patung seorang lelaki Batak dari masa silam dengan ikat kepala lilitan warna merah-putih-hitam menunggang kuda putih. Meski membisu patung yang di kenal dengan sebutan hoda-hoda ini kurasakan masih punya nilai sejarah bagi masyarakat Huta Na Godang. Dan bagaimanapun patung ini telah menjadi sejarah dan penanda atas pertemuan kami dengan Maruahal. Menjadi saksi perjumpaan tadi pagi.  Jiwaku merasakan pemuda Maruahal ini menjadi kunci pembuka dari sebuah terowongan antar waktu atas diri Sandra di Muara.  Penghubung masa lalu - masa kini.

        Dari patung hoda-hoda kami terus bergerak ke depan, menyusuri rumah-rumah warga. Dari permukiman, jalan setengah aspal berubah menjadi jalan tanah memanjang ke depan dengan hamparan sawah di kanan kiri. Maruahal turun dari mobil, begitu pula kami. Dia berteriak keras memanggil seorang ibu, seorang petani yang sedang menggarap sawah. Tubuh dan pakaiannya penuh lumpur berdiri di atas sawah menghijau. Kusaksikan seketika bekerja di sawah dari lensa teleku ke dua matanya menerawang ke depan. Menatap Sandra yang berdiri di pinggir sawah. Meski jarak lumayan jauh sorot ke empat mata itu saling bertemu. Menembus ke masa yang lalu. Inilah yang dicari oleh Sandra, Ibu Mutiara Boru Pandiangan. Seketika dia bergerak dari tempatnya berdiri. Ke arah Sandra Ibu Mutiara berlari di atas lumpur. Di tepi sawah keduanya berangkulan. Mereka sudah lama saling mengenal.

Anak-anak dengan pakaian seragam pulang sekolah yang lewat di dekat kami berhenti menyaksikan pelepasan rindu dua manusia ini. Begitu pula suaminnya dan para petani lain di sekitar.

        Sambil menyerahkan buku Legacy-nya kepada Bu Mutiara, Sandra berkata. “Saya datang dengan buku ini untuk menyampaikan terimakasih, sebab saya boleh taruh foto-foto ibu ke dalam buku ini.” Buku Legacy ini diserahkan kepada Bu Mutiara atas nama dan bantuan dari Pamela Cross, seorang sahabat Sandra di Eropa yang peduli dengan kain-kain tradisional di dunia.

        “Kami juga terima kasih pada Ibu karena kami kini sudah bisa melihat lagi 24 tahun yang lalu,” ujar Ibu Pandiangan dengan haru sambil melihat lembar buku Legacy yang menampilkan fotonya bersama para penenun Muara di masa silam. Dengan nada bijak Bu Pandiangan berkata, “Ayolah, biar kita minum dulu di rumah!”

        Sandra berfikir sejenak lalu bertanya ke aku yang sedang mengoperasikan kamera video, mendokumentasikan suasana. “Bagaimana, Mas?”

        “Ya, boleh,” jawabku kepada Sandra. Kamera masih menyala di tangan.

        “Ada waktunya?”, tanya Sandra pada Ibu Pandiangan mengingat tak ingin kedatangannya mengganggu kerja Ibu Mutiara.

        “Ada,” ujar Bu Mutiara sembari bergegas mengemasi barang-barangnya.

        Ibu Mutiara yang kedua tangan dan kakinya penuh lumpur ini adalah penenun khusus Harungguan. Harungguan dikenal sebagai ulosnya para raja. Semua motif ulos Batak tersatukan di dalamnya. Rasanya, Harungguan seperti mengayomi semua ulos dalam satu ulos. Oleh karena sarat motif dan warna dalam satu kain maka Harungguan sangat memerlukan kecakapan prima seorang penenun. Ibu Mutiara inilah salah satu ahlinya.

        Dalam satu mobil kami bersama menuju rumahnya. Rumah yang ternyata arahnya ditunjukkan oleh arah kuda patung hoda-hoda. Rumahnya termasuk bangunan baru. Meski sederhana tapi tampak sangat rapi dan bersih. Di dekat pekarangan ini masih berdiri bangunan lama terbuat dari kayu. Ada jejak-jejak masa lalu Sandra yang masih kuat melekat pada kayu-kayu itu. Sehingga sejak awal di pekarangan Bu Mutiara Sandra tidak langsung masuk ke dalam rumah. Ia menyambangi dulu masa lalunya pada bangunan kayu. Di situ dulu banyak penenun mengerjakan pekerjaannya sembari Sandra duduk mewawancara. Kurasakan bayangan Sandra lantas pudar menghadapi kenyataan yang kini kosong dan sepi. Rumah kayu itu membisu. Sandra akhirnya melangkah ke dalam rumah Bu Mutiara.

        Kopi dituang untuk kami. Bu Mutiara, suaminya, juga Maruahal ada bersama kami, tenggelam dalam percakapan-percakapan tentang tenunan di Muara saat ini. Suasana semakin hangat dengan bergabungnya anak Bu Mutiara dan anggota keluarga yang lain di ruangan ini. Sesekali kulihat Bu Mutiara memandangi foto-foto yang telah diserahkan oleh Sandra padanya.

        Zaman telah berubah. Memang tidak sepenuhnya tenunan ulos mati. Masih ada yang terus menenun, misalnya Bu Mutiara ini. Kulihat alat tenunnya juga masih ada di dalam rumah, di bagian belakang dekat dapurnya yang menampakkan Harungguan dalam proses setengah jadi. Alat tenun yang diam yang sedang diistirahatkan itu menyiratkan sebagai sebuah pekerjaan atau kegiatan yang tidak utama lagi.  Menjadi sampingan saja di tengah arus kebutuhan hidup yang

kian berat untuk dipenuhi. Bisa kufahami kenapa Bu Mutiara juga bekerja di sawah setiap hari dan baru menenun lagi saat senggang. Mungkin juga demikian para penenun lain di kampung ini. Itulah kenapa selama menyusuri huta ini tak kulihat para penenun bekerja di luar rumahnya dengan alat tenunnya seperti zaman dulu, seperti dalam foto-foto pada buku Sandra.  Berlintasan pertanyaan-pertanyaan di kepala dan berputar-putar sendiri di dalam otakku. Apakah sekarang para wanita merasa malu dengan profesi sebagai penenun? Lantas kalau mau menenun mesti secara sembunyi-sembunyi di dalam rumah? Rasanya, menenun bukan suatu prestise atau sesuatu yang bisa membanggakan diri. Ah, bagaimana mungkin tanpa prestise mampu menjadi prestasi? Bagaimana Muara yang kabarnya sedang membangun diri menjadi kawasan wisata dengan mengibarkan semboyan Muara Nauli namun para penenunnya ternyata tak kelihatan oleh mata. Kenapa sebuah potensi yang luar biasa harus dipendam? Bagaimana orang-orang dari luar kota, luar pulau, luar negri yang datang kemari akan bisa tertarik untuk berlama-lama di Muara? Sebab nyatanya tak mungkin wisata hanya mengandalkan keelokan alam saja. Muara Nauli memang cantik. Menawan bagai perawan. Namun kecantikan saja tak cukup. Orang mudah bosan karena tak ada yang menarik lainnya. Akan cepat ditinggalkan jika tak ada kedalaman. Semestinya potensi-potensi luar biasa yang dimiliki daerah ini, seperti tradisi tenun, dikeluarkan kembali agar terlihat, terkabar dan menyebar.

     Selain tenun, menurut Sandra, Muara dulu merupakan salah satu tempat dengan tradisi kuat akan warna biru alam (indigo) dari tumbuhan salaon. Bu Mutiara tahu betul bagaimana membuat pewarnaan indigo ini karena dulu sering mengerjakannya. Dulu orang-orang Muara mengolah salaon menjadi pewarna benang dengan hudon tano (genthong dari tanah

 liat). Kami lihat salaon masih tetap tumbuh di tanah, melambai-lambai di pinggiran danau. Namun tidak kami jumpai hudon tano -hudon tano di rumah-rumah warga. Tradisi pewarnaan alam ini telah pudar dimakan oleh ngengat peradaban.

        “Sudah tak ada lagi orang yang membuat warna biru dari salaon,” ujar suami Bu Mutiara.
        “Kami membeli benang warna dari pasar. Di pasar semuanya sudah tersedia produk-produk dari pabrik. Sudah tak ada waktu lagi membuat warna sendiri. Jika mewarnai benang sendiri maka harga ulosnya jelas tidak akan mampu bersaing.  Apalagi sekarang banyak sekali ulos di pasar yang harganya murah. Kami bersaing dengan ulos-ulos itu,” Bu Mutiara menambahkan.

        Kata-kata Bu Mutiara dan suaminya ini mengungkapkan kondisi yang ada di Muara sekarang. Menjadi cermin kenyataan atas tenun ulos tradisonal di seantero Tano Batak saat ini. Mesin industri telah mengikis tradisi. Kebanyakan tenunan yang ada di pasar yang harganya murah itu dikerjakan dengan alat yang penamaannya saja sejak awal menurutku agak keliru dan sudah terlanjur lama dikenal dengan sebutan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Semestinya bernama ATSM (Alat Tenun Semi Mesin). Agar tidak rancu ketika disandingkan dengan alat tenun tradisional (gedhogan) seperti alat tenun Bu Mutiara ini. Mengingat gedhogan adalah jelas-jelas sebagai alat tenun bukan mesin. Memang, dalam ATBM tak sepenuhnya mesin, masih ada kontrol dan hubungan manusianya dengan kerjaan tenunan. Tapi logika kerja utamanya mesin; otomatisasi, matematis, logika rasionalitas demi efisiensi, bagaimana untuk bisa menghasilkan out put banyak dalam waktu sekejap dan lain sebagainya. Itu logika mesin. Bukan jiwa manusia. Apalagi bathin.

        Maka tak ayal jika tak ada lagi sosok penenun seperti almarhum Ompu Sihol, guru Sandra, dari Harianboho yang mengerjakan tenun dari tahap mewarnai benang sendiri sampai ke dua tangannya belepotan oleh biru gelap salaon. Tangan-tangannya yang penuh lipatan garis-garis kehidupan menyusun hudon tano -hudon tano begitu rupa dalam ukuran beraneka ragam di tepi kali kecil di pinggiran sawah dengan menancapkan ranting-ranting bambu atas pengharapan pewarnaan alamnya berjalan dengan baik tanpa hambatan. Bagiku, membayangkan Ompu Sihol yang melakukan prosesi pewarnaan alam

itu seperti menyaksikan koreografi semesta yang luar biasa.  Ada penghayatan hidup yang bergerak atas alam raya ini. Penempaan warna untuk benang-benangnya sekaligus penempaan ‘warna’ untuk dirinya.

        Kubuka-buka buku Sandra lagi, halaman demi halaman. Kupandangi foto-foto kehidupan tenun di Muara. Banyak sebenarnya dulu di Muara penenun-penenun seperti Ompu Sihol. Hudon-hudon tano menjadi benda yang lazim kala itu di pekarangan rumah. Orang-orang membuat warna dengan salaon, mengolahnya dalam hudon tano.  Merenungi atas kenyataaan tidak adanya lagi hudon tano di Muara seketika aku teringat sahabat-sahabatku di Yogyakarta. Barangkali mereka bisa membantu pengadaan hudon tano kemari karena di sana hudon tano adalah hal yang mudah dan banyak pengrajinnya. Hudon tano ini penting karena pewarnaan alam adalah salah satu kekuatan Muara sejak masa silam.

     Meskipun demikian, pertemuan kami dengan Bu Mutiara sangat melegakan hati kami. Menjadi tanda bukti bahwa tenun Muara tidak mati. Bu Mutiara masih tetap menenun dalam kondisi apapun. Apalagi dia juga membuat tenun untuk anak-anak dan keluarganya. Memberi nama mereka masing-masing serta doa dan pengharapan baik bagi mereka satu persatu, dituliskan dalam ulos ciptaannya. Dan itu merupakan kekayaan hati serta kecintaan pada keluarga. Menjadi kenang-kenangan berharga yang tak bisa ditukar dan ditawar oleh apapun bila dia telah tiada.

        Kupandangi Bu Mutiara yang sedang khusyuk melanjutkan kembali menenun harungguan. Rajanya ulos. Ulosnya raja. Kurasakan jiwa lembut dan sabar mengalir lewat jari-jemari. Menyusun kerumitan benang-benang aneka warna. Kedua tangan menggerakkan baliga. Suara baliga menghentak udara.

Suara yang kusuka. Begitu juga Sandra. Suara itu suara yang khas dari pekerjaan menenun. Memandangi penenun yang sedang menenun aku merasa seperti memandangi seorang wanita yang sedang berdialog dengan ibu alamnya lewat ketenangan diri. Ada suasana kosmis mengalir lewat udara. Diserap tubuh dan jiwa penenun menjadi dialog bathin dan penghayatan lalu mengalir ke dalam gerak tiap helai benang, dihentakkan lewat baliga menjadi rapat dan padat. Selebihnya berpendar ke dalam membran udara dan seketika itu pula menarik kembali energi kosmik yang baru. Demikian seterusnya, berputar dan terus berputar. Kain yang ditenun pun berputar. Melingkar.

                                                 ***

        Siang itu kami istirahat sejenak mengisi perut kami di rumah makan sederhana di sekitar pasar. Secara kebetulan kami bertemu kembali dengan Pak Silalahi, Kepala Sekolah SMK 1 Muara yang sedang menikmati makan. Beliau menawari kami dalam satu meja dengannya. Kami makan dalam satu lingkaran keakraban. Usai makan, ketika Sandra hendak membayar, Pak Silalahi mencegahnya. Makanan siang kami adalah perjamuannya.

     Sandra teringat bahwa semestinya dia memberikan satu lagi bukunya kepada salah seorang penenun di Huta Na Godang karena orang itu masih hidup. Sandra tak ingin ada perasaan membeda-bedakan antara satu dengan lainnya, antar orang-orang yang pernah ditemui di masa lalu. Jika Ompu Joshua dan Bu Mutiara mendapat buku darinya, maka orang ini pun harus mendapatkannya. Demikian dia bilang padaku. Maka kami kembali lagi menuju Huta Na Godang mencari rumah penenun itu. Kembali kami melihat pemuda Maruahal di dekat patung hoda-hoda. Dia mengantar kami lagi. Orang yang Sandra cari tak ada di rumah, masih bekerja di luar. Sandra menitipkan pemberian buku Legacy pada keluarganya. Sejak itu kami berpisah dengan pemuda Maruahal dan meninggalkan Huta Na Godang.

       Menjelang sore dari arah Huta Na Godang kami berhenti di tempat yang sama dengan waktu pagi. Di depan rumah putih besar yang kosong ini lagi. Pak Jerry duduk-duduk nyantai di pagar teras. Sementara kulihat Sandra sibuk menelepon. Mungkin Sandra sedang mencari info kepada seseorang entah di mana. Demikian fikirku. Tiba-tiba datang wanita yang pernah kami temui. Dia keluar dari rumah di sebelah kami. Wanita yang telah memberi info yang salah pada kami pagi tadi. Namun sore ini ternyata lain, infonya tepat buat kami.

        Ia bersedia mengantar ke huta lain yang masih di kawasan Muara. Kali ini memang Sandra hendak memberikan lagi satu bukunya untuk seorang penenun aktif yang masih menenun. Tujuan kali ini lain dibanding sebelum-sebelumnya karena yang akan diberi buku bukanlah orang dari masa lalu. Barangkali kalau dalam dunia penelitian tujuan yang kali ini adalah random saja, alias acak. Jadi bagiku perjalanan dengan misi random ini bisa kusikapi secara lebih santai lagi karena tidak mengandung beban masa lalu. Makanya selama perjalanan acak ini dari dalam mobil yang bergerak kumanjakan mataku menikmati panorama Muara. Hamparan sawah meluas di kiri kami.  Danau Toba membiru terbentang di kanan. Di atasnya burung-burung putih beterbangan. Pasti di antara mereka jika dipilih secara random sekalipun maka adalah burung-burung yang kujumpai tadi pagi.

        Mobil kami membelok ke kiri, melintas persawahan yang mengantar ke pemukiman padat. Dari pemukiman ini kami melewati lorong sempit yang sebelumnya kurasa tak cukup untuk mobil kami. Tapi lagi-lagi pak Jerry terlalu mahir mengendalikan mobilnya sehingga lorong itu pun bisa terlewati secara sempurna. Lepas dari lorong terpampang di depan kami pemandangan luar biasa, sebuah bukit besar yang jaraknya dekat sekali dengan kami tampak menjulang di depan. Hamparan yang kami lewati di kaki bukit ini serupa lembah hijau. Terasa kehidupan di sini damai sekali. Begitu pula yang mati. Beberapa kuburan Batak yang khas serasa tenang dan hening. Langit di atas kami bercahaya biru terang.

Inilah huta Simatalo. Mobil kami berhenti di sebuah pekarangan. Rumah-rumah tua dari kayu berdiri di sekitar. Kulihat di salah satu rumah kecil yang terasnya berlantai semen tampak seorang wanita muda sedang menenun suri-suri. Ulos suri-suri yang panjang. Sandra keluar dari mobil, mengambil satu kotak bukunya.

Aku masih terus menikmati suasana. Di depan salah satu rumah kayu kulihat seorang wanita tua sedang duduk bersantai. Dari sorot matanya kurasakan sebenarnya beliau orang yang baik. Dia memandangiku. Juga memandang ke arah Sandra yang sedang berjalan menuju penenun suri-suri. Ibu tua itu berkata ke arahku, “Apakah dia datang untuk bagi-bagi uang?”

        Semakin lama berjalan dengan Sandra menyusuri huta-huta di Tano Batak, pertanyaan seperti itu akhirnya telah menjadi hal yang sudah biasa bagiku. Jadi kutanggapi dengan menggelengkan kepala. Toh nantinya dia juga akan tahu apa yang dilakukan Sandra di huta ini. Dan betul, dia akhirnya melangkah ke arah Sandra. Ke rumah penenun itu. Beberapa detik aku masih asyik memotret rumah-rumah kayu sampai tiba-tiba kulihat suasana menjadi ramai sekali di tempat penenun suri-suri. Dari anak-anak kecil sampai orang dewasa semuanya berkumpul di situ. Aku tak tahu dari mana mereka datang.  Ramai seketika di tengah suasana alam yang semula tenang dan sepi.



        Sandra memeriksa pekerjaan tenun itu. Tangannya menyusuri suri-suri. Merasakan tenunan yang baik. Mata anak-anak kecil dan semua orang yang mengerumuni memperhatikan gerak-gerik Sandra. Kemudian Sandra duduk di atas tikar pandan di tengah mereka sambil membuka buku dan membuka suara.

        “30 tahun lalu saya datang kemari, ke Tano Batak. Tepatnya di Harianboho. Di situ saya belajar tenun dari salah seorang Ompung, bernama Ompu Sihol. Segala macam ulos darinya saya belajar. Jadi banyak gambar di buku ini, gambar kerja Ompu Sihol itu,” ujar Sandra sambil menunjukkan lembar demi lembar bukunya.

        Orang-orang menyimak dengan seksama. Beberapa anak gadis mengabadikan kehadiran Sandra lewat kamera di HPnya. Selanjutnya Sandra menceritakan pengalamannya di museum-museum Eropa. Dari museum-museum itu dia melihat banyak macam ulos Batak dari zaman-zaman dulu. Dengan museum-museum itu Sandra sempat membantu banyak membuat dokumentasi supaya museum-museum mengerti dengan baik apa yang disimpannya. “Lalu saya pikir setelah saya datang kembali ke Batak saya lihat ulos-ulos lama sudah mau habis. Banyak tempat di Batak sudah tak ada pertenunan lagi. Ndang adong halak na martonun dison. Tapi saya senang di sini masih ada. Ini luar biasa,” ujarnya. Sekilas tampak ada kebanggaan yang tergambar pada wajah orang-orang ini karena di huta mereka masih ada penenun, meskipun di sisi lain ada perasaan sedih karena secara umum untuk ukuran setanah Batak, tradisi ulos ini nyaris hilang.

        “Jadi  saya pikir sebaiknya hasil pekerjaan saya jangan hanya untuk museum-museum saja. Tapi lebih baik untuk orang-orang di sini, di tanah Batak ini. Orang Batak sudah pandai menenun sejak empat ribu tahun lalu. Pengetahuan ini jangan sampai hilang. Saya bilang pada teman-teman saya, saya mau membeli banyak buku saya agar bisa dibagi-bagikan ke Indononesia, ke orang-orang Batak. Lalu teman-teman saya tergerak membantu. Oleh karena bantuan mereka akhirnya saya bisa kemari. Salah satunya untuk menyerahkan buku saya kepada huta ini.” Demikian Sandra menjelaskan kedatangannya. Mereka semakin hangat dan akrab kepada Sandra. Kepada penenun suri-suri Sandra menyerahkan buku. Diterima dengan perasaan suka cita.

                                                ****

        Mobil kami meninggalkan Muara untuk menuju ke arah kota Balige. Sandra mendapat tawaran dari familinya, keluarga Hutabarat, untuk bermalam di rumah mereka. Panggilan itu datang dari Sebastian Hutabarat. Mobil kami bergerak melewati jalanan aspal yang menanjak ke atas dan melingkar-lingkar. Dari jalanan ini kami bisa melihat betapa luasnya danau Toba.

        Matahari perlahan bergerak merambat di langit. Sesekali kulihat mega-mega misterius berarak menutupinya. Namun nyala surya masih mampu menerebosi celah-celah mega sehingga menjadi garis-garis sinar yang tegas dan terang di antara awan-awan kelam. Membentuk sebuah kontras di langit. Kami berhenti beberapa kali di beberapa titik di sepanjang jalan ini. Mengabadikan pemandangan-pemandangan yang menarik. Sampai tak terasa mobil kami salah jalan pada pertigaan lagi. Persis di tempat yang sama dengan malam sebelum kami sampai ke Muara. Dan kali ini salah jalannya sudah terlanjur panjang untuk kembali ke pertigaan semula. Jadi kami biarkan terus saja. Apalagi pemandangan-pemandangan di depan kami makin mempesona. Untuk kali ini salah jalan Pak Jerry dimaafkan. Kami bertiga di dalam mobil tertawa riang karena salah jalan ini begitu

indahnya. Sebuah papan tertera sebagai nama tempat ini; Huta Ginjang. Dari namanya menyiratkan sebagai tempat yang teratas. Barangkali sejak peristiwa ‘salah jalan’ kemarin malam yang kini terulang kembali, secara alam telah menunjukkan bahwa kami memang harus sampai berada di tempat teratas ini.

        Muara tampak di bawah kami. Dari ratusan permukiman di tepi danau yang tampak seperti bintik-bintik kecil di bawah kami ini aku mencoba mengira-ngira sendiri di mana Muara, terutama letak persis Huta Na Godang, gudang segala peristiwa menakjubkan yang telah kami alami sepanjang hari ini.

        Ada perasaan berat bagi kami meninggalkan Muara. Muara telah menjadi sebuah muara bagi pengalaman-pengalaman menakjubkan yang kami alami. Peristiwa-peristiwa yang penuh dan padat yang terangkai dengan sendirinya oleh alam. Meskipun cuma sehari namun rasanya kami telah berhari-hari di sana. Namun rasanya masih tersimpan misteri lagi di sana yang belum sempat terkuak oleh kami.  Dan kenapa foto yang pernah dibuat Sandra 24 tahun lalu yang menjadi foto besar dua halaman sebagai halaman pembuka pada bukunya adalah wajah-wajah penenun Muara? Ini juga misteri tersendiri bagiku. Aku yakin dulu Sandra memilih itu barangkali karena alasan artistik saja, atau foto-foto itu dirasanya bisa mewakili semua penenun di tano Batak dalam keadaan yang wajar alamiah, wajah-wajah yang natural. Pemilihan foto itu bagiku ada kekuatan alam yang ‘bermain’ yang tak disadari oleh Sandra kenapa dia meletakkan foto itu sebagai pembuka dari bukunya. Ada sebuah pesan dalam foto itu, pesan Muara silam untuk Muara kini. Tiga orang di antara para penenun di dalam foto itu masih hidup dan bisa kami temukan, meskipun tiga di antara mereka itu hanya Bu Mutiara Boru Siregar-lah yang masih kelihatan terus menenun. Atau sebenarnya ketiga-tiganya yang masih hidup itu sebenarnya juga masih terus menenun, meskipun tidak kelihatan karena tertelan oleh kekerasan hidup sehari-hari. Jika pun dua penenun lain yang masih hidup selain Bu Mutiara tidak tampak lagi menenun, itu artinya masih ada kesempatan untuk menghidupkan kembali tradisi. Aku yakin foto mereka itu adalah potret Muara yang sesungguhnya. Sebuah potret yang menggambarkan kekuatan hidup para penenun yang guyub, yang dekat satu sama lain. Dan aku yakin kekuatan ini masih ada dan terjaga baik oleh alam. Apalagi alam seperti Huta Na Godang Muara.

       Memang ada pesan yang bisa tersimpan lewat alam. Jika kurenungkan kembali pertemuan kami dengan pemuda Maruahal juga seperti ‘kebetulan’. Bagiku dia menjadi kunci pembuka dari sebuah terowongan antar waktu atas diri Sandra di Muara.  Penghubung masa lalu - masa kini. Lewat dia, Sandra bisa menjumpai kembali orang-orang masa lalu. Sejak selesai mengantar kami pada orang ketiga, penenun yang masih hidup, itulah kali terakhir kami berjumpa dengan Maruahal. Dia pernah bilang ke saya, dia akan pergi meninggalkan kampungnya untuk bekerja dan mencari pengalaman hidup di Jakarta. Aku terharu mendengar kalimat dan keinginannya yang kuat. Dan dia berhak untuk punya pengalaman baru di luar lingkungannya guna mewarnai hidupnya, mewarnai dirinya untuk bisa menjadi lebih kuat lagi. Alam punya ‘mekanisme’ sendiri yang seringkali tak bisa kita duga, kadang hanya bisa kita baca tanda-tandanya.

        Sejak kepergian pemuda Maruahal dari kampung halaman, ternyata alam Huta Na godang telah menunjuk seseorang yang melanjutkan perannya, seseorang yang punya keterkaitan secara alam dengan kedatangan kami hari ini di masa mendatang. Dia adalah seorang anak muda yang telah lama berpengalaman di kota-kota besar dan memutuskan kembali untuk membangun desanya bersama para sahabat dan segenap warga Huta Na Godang Muara. Ketika kami baru saja meninggalkan Huta Na Godang, anak muda ini masuk ke rumah Bu Mutiara, melihat buku Sandra.  Membuka halaman demi halaman dan memeriksa potret-potret Muara masa lalu, menjumpai masa kanak-kanaknya di zaman ketika tradisi ulos begitu kuat di kampung halamannya di saat Sandra datang 24 tahun silam. Sejak bertemu buku Sandra dia gelisah, tak bisa tidur. Tangan-tangan alam seperti melambai-lambai padanya, memanggil-manggilnya. Jiwanya tergugah. Sampai dia bilang pada dirinya sendiri dengan buku Sandra di tangannya, “Aku harus memulai lagi dari sini.”

     Anak muda ini ternyata mampu membaca pesan alam untuknya. Meskipun dipisahkan oleh jarak dia terus berusaha melacak kami lewat internet, membaca tulisan-tulisan perjalan kami. Maka tak ayal jika di masa mendatang itu yaitu pada tanggal 23 November 2010 dia mengundang kami untuk kembali ke Muara dengan menyuguhkan acara luar biasa. Di pintu gerbang yang tak jauh dari patung hoda-hoda dia tulis kalimat dengan tegas: “Selamat Datang Workshop Tenun Ulos Bersama Sandra Niessen”. Seratus helai lebih ulos kuno yang langka dari Muara bisa dia kumpulkan dari warga yang tulus meminjaminya untuk dipajang secara apik. Di antara ulos-ulos antik itu ada satu ulos terhebat yang oleh pengakuan Sandra belum pernah dijumpai Sandra di sepanjang hidupnya selama menapakkan kaki di tanah Batak. Tidak saja ulos-ulos langka, anak muda ini berhasil mengumpulkan semua penenun yang ada di segenap penjuru kampung halamannya untuk hadir dan mendemonstrasikan keahlian mereka. Ternyata jumlah mereka banyak sekali. Kusaksikan di tengah acara itu, di antara para penenun, tampak Sandra bersuka cita. Puas dan bangga.

Dia merasakan seperti kembali ke masa silam di tengah kehangatan para penenun Muara. Bahkan aku yakin apa yang dirasakannya itu lebih dari yang dirasakannya 24 tahun silam. Apalagi pertemuan kembali dengan Bu Mutiara memberikan berita gembira untuk Sandra karena cucunya telah lahir dan dia beri nama Niessen seperti nama Sandra. Rangkaian acara yang dimotori anak muda ini berlangsung dengan mengesankan. Dan yang menakjubkan lagi anak muda ini berhasil mengajak segenap warga masyarakat mengeluarkan kembali hudon-hudon tano yang selama ini tertimbun di dalam tanah di bawah rumah-rumah dan di atas para-para. Sehingga terkumpul banyak hudon tano yang bagiku menjadi bukti nyata bahwa huta ini sangat kuat dengan tradisi warna alam biru salaon.  Dia kumpulkan juga para pargonsi muda untuk memainkan gondang, menyambut kami secara luar biasa. Gondang dimainkan terus selama berlangsung acara. Para penenun mendemonstrasikan keahlian mereka membuat ulos, dari semua tahap pekerjaan sampai proses finishing membuat sirat. Beberapa orang nenek mencelup benang putih ke dalam hudon-hudon tano. Tangan-tangan mereka membiru salaon. Semua yang hadir bergerak dalam gondang, dalam lingkaran manortor. Berdiri pula di antara kami semua, sebuah pusaka Huta Na Godang, Tungkot Tunggal Panaluan yang menggetarkan jiwa. Aku terharu dan terkesima oleh semua yang digerakkan anak muda ini. Terasa bahwa dia memiliki semangat dan visi kuat untuk membangun kembali tradisi di kampung halamannya. Wahai anak muda! Kupanggil namamu, Restuala Namora!


                                      ***bersambung***


=======
MJA Nashir, menuliskannya kembali di TujuhlangiT Jawa Tengah, 30 Maret 2011
======================================
Tanpa mengurangi rasa hormat bagi siapa pun yang mendapatkan dan membaca tulisan ini mohon agar meninggalkan jejaknya di ruang yang telah tersedia sebagai bentuk keterbukaan & kejujuran Anda pada diri Anda sendiri serta kepedulian Anda atas tulisan ini. Mohon maaf jika ada salah kata, ucap atau apapun. Salam damai. Terima kasih.
======================================

(Bagian Pertama) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra/434462987855



http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150144323917856

No comments:

Post a Comment