Pages

Friday, September 28, 2012

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (III)

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (III)
by Mja Nashir on Friday, 24 September 2010 at 22:41 ·
HARIANBOHO - (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Ketiga)

Di handphone-ku layar telah menunjukkan pukul 14.30 WIB. Masih siang tapi juga ambang sore. Kami segera masuk mobil lagi, menuruni bukit, menuju huta (kampung) di sebuah lembah bernama Harianboho. Tujuan antropolog Sandra Nieesen dalam Proyek Pulang kampung ke Harianboho membawa karya bukunya “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009) ini adalah tujuan yang amat penting.  Menurutku ada dua hal kenapa tujuan ke huta ini menjadi sangat penting bagi Sandra. Pertama karena yang akan ditemui (diziarahi) adalah gurunya, yaitu seorang penenun bernama Ompu Sihol. Bagi Sandra dialah peletak dasar pengetahuan tenunnya, seperti yang Sandra bilang padaku, “Sebab dia adalah dasarnya. Dasar semua pengetahuan saya mengenai tenun.”

        Lantaran Sandra selalu menyebut orang ini adalah gurunya maka bayanganku tentang Ompu Sihol adalah seseorang yang sangat luar biasa.  Ketika aku melihat semua foto dokumentasi tentang Ompu Sihol, memang nenek ini mengagumkan. Karakter persona dan pesonanya begitu mengesankan.  Garis-garis wajahnya kuat, sorot mata tajam dan dalam. Bahasa tubuhnya menggambarkan keuletan hidup, kelincahan dan totalitas yang sempurna pada apa yang ditekuninya yaitu dunia olos. Dan sorot mata yang tajam itu menyiratkan hati dan jiwanya yang halus dan damai, seperti ulos-ulos yang ditenunnya. “Ompu Sihol ini orangnya kelihatannya keras, tapi sesungguhnya hatinya baik,” ujar Sandra padaku.

        Ompu Sihol mengerjakan semua proses menenun dari awal sampai akhir. Dari tahap awal mewarnai benang dengan warna-warna alam dari tanaman yang tumbuh di pekarangan rumahnya, menata benang-benang itu sedemikian rupa untuk persiapan tenun, lalu benang-benang itu ditenun berhari-hari menjadi kain ulos, sampai dengan pekerjaan finishing ulos. Semua proses itu ia kerjakan dengan baik, dengan totalitas yang prima. Aku suka melihat foto-foto Ompu Sihol dengan tangannya yang belepotan sedang memerah tetumbuhan selaon menjadi pewarna. Tak ada secuil pun keluh di wajahnya. Ia seperti melakukan semua itu dengan kepasrahan jiwa yang mendalam atas nama pengabdian hidup yang luar biasa. Dan kurasakan ketika aku melihat foto Sandra yang remaja begitu damai sedang menenun di sampingnya. Foto itu mencerminkan suasana guru dan murid sedang menjalani proses transformasi pengetahuan yang segar di tengah alam Harianboho yang tenang yang mengandung kekuatan sakral.

        Sejak awal perjalanan kami Sandra sudah sadar bahwa orang yang telah menjadi guru pembimbingnya itu sudah lama meninggal dunia. Ketika dia belajar padanya, Ompu Sihol sudah tua dengan umur sekitar 70 tahun, suaminya saat itu sudah meninggal. Sebelum Sandra kemari, jauh hari ia sudah mendapat kabar bahwa Opung Sihol sudah tiada.  Jadi kini yang ingin ditemui adalah keturunan Ompu Sihol untuk menerima buku Sandra. Bertandang ke Harianboho bagi Sandra merupakan sebuah napak tilas tersendiri. Sebuah ziarah dari jiwanya yang harus ia tunaikan secara baik.

Dan hal kedua yang menjadikan Harianboho penting adalah karena yang membantu Sandra dalam pemberian buku adalah seseseorang yang mendesain buku itu, yaitu Marie Cécile Pulles. Cécile inilah yang mendesain segala materi hasil riset Sandra menjadi sebuah buku dengan cita rasa design serta tata lay out yang sempurna dan elegan. Jadi kesimpulanku buku ini bisa sampai ke Harian Boho adalah dari orang yang penting untuk orang yang penting bagi seorang Sandra Niessen.

        Memasuki lembah, mobil kami memelan jalannya. Jendela kaca samping kubiarkan terbuka. Alam di sini kurasakan mempunyai kekuatan luar biasa dengan danau toba terbentang luas, tenang dan terasa mistis, menyimpan kekuatan-kekuatan purba yang tercurah kepada lembah landai bernama Harianboho ini. Dari tepian pantai Harianboho bukit-bukit tampak tinggi menjulang, namun terasa seperti luruh di pangkuan danau toba, layaknya anak-anak yang merasa damai dalam pelukan ibunda.

Hamparan sawah terlihat di mana-mana. Pepohonan tumbuh rindang nyiur menghijau. Gerak angin terasa damai. Setiap jengkal dari alam di sini seperti saling bertautan, membentuk sinergi alam yang kosmis. Dalam serapanku pada kekuatan alam yang luar biasa dan sakral ini akhirnya aku bisa mengerti kenapa huta ini bisa melahirkan seorang anak bernama Raja Usu yang kemudian menjadi seorang penyair besar; Sitor Situmorang. Dan kekuatan alam yang kosmis inilah telah memberi kekuatan dan daya hidup luar biasa pada Ompu Babiat (ayah Sitor Situmorang) sebagai kepala suku di daerah ini yang sekaligus menjadi salah satu pemimpin pasukan Si Singamangaraja XII. Maka akhirnya bisa pula aku fahami kenapa lembah Harianboho ini melahirkan seorang penenun hebat bernama Ompu Sihol.

        Usai melintasi persawahan dan mengikuti jalan yang landai di tepian danau Toba mobil kami menyeberang ke arah kanan dan berhenti di sebuah halaman kosong. Di sekitar tempat parikir mobil tampak seperti sebuah pasar tradisional yang kecil dan sederhana. Tak jauh dari situ ada sebuah kios atau semacam toko yang penuh dengan barang-barang kelontong berupa kebutuhan-kebutuhan pokok yang lumayan lengkap. Kami berjalan ke arah kios. Orang-orang yang hilir mudik dan beberapa sedang nongkrong di sana-sini matanya lekat memandangi Sandra yang sedang berjalan. Mata orang-orang ini seperti memutar kembali ingatan mereka tentang Sandra yang pernah tinggal lama di kampung ini. Meskipun mungkin semula apa yang ditangkap oleh mata mereka seperti asing, namun lambat laun mereka mengenalnya kembali. Lalu mereka satu persatu menyapa Sandra dengan hangat. Pertemuan kembali ini rasanya begitu menakjubkan.  Kulihat sejak mobil kami berhenti dan kaki Sandra menginjakkan tanah Harian Boho, langkah Sandra menjadi begitu ringan. Tubuhnya menjadi luwes seperti tak ada secuilpun kekikukan. Senyum serta perasaan hatinya yang sumringah seperti sebuah teriakan di sebuah grafity pada tembok bertuliskan “I was here”. Dan aku percaya sekali bahwa kamu memang pernah ada di sini, kataku dalam hati pada Sandra yang sedang menyapa orang-orang dengan air muka berseri-seri.

        Orang-orang membimbing Sandra menuju ke arah kios kelontong. Di depan kios ada tempat untuk berkumpul para warga. Terdapat meja-meja dan bangku-bangku panjang.  Tempat itu dinaungi atap tenda-tenda plastik darurat yang memanfaatkan bekas baleho-baleho para caleg yang terjun ke dunia politik.  Atap bekas baleho caleg yang penuh jargon janji-janji itu rasanya tak ada hubungannya dengan apa yang kulihat di bawahnya; orang-orang berkumpul penuh rasa kekeluargaan. Rasanya seperti dua hal yang berbeda, masing-masing punya dunianya sendiri-sendiri. Warga yang berkumpul di sini dari segala usia; ada para orang tua, beberapa anak muda, juga anak-anak kecil. Di antara mereka tampak beberapa orang dewasa di satu meja sedang khusyuk bermain kartu. Barangkali inilah tempat yang sengaja dibuat oleh kios itu untuk berkumpul warga melepaskan kepenatan dari kesibukan masing-masing sambil menikmati secangkir kopi atau teh. Kulihat di muka kios itu terdapat pesawat televisi lengkap dengan sebuah player entah DVD atau CD. Di antara orang-orang itu ada sanak keluarga Ompu Sitor Situmorang. Sandra sering bercerita padaku bahwa selama penelitian dulu ia banyak dibantu oleh Sang Penyair itu.

        Di tengah keramaian Sandra merasa yakin bahwa ia mengenal seorang bapak tua yang sedang duduk bersama para warga sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Bapak tua itu mengenakan kemeja putih dan celana panjang warna orens. Tangan kirinya menggenggam tongkat dari bilah bambu. Salah seorang yang mengantar Sandra memberitahukan kedatangan Sandra pada bapak tua. Sandra memberi salam pada bapak tua dan menjabat tangannya. Sandra pun duduk di samping bapak tua. Suara orang-orang semula berisik kini mulai memelan.

        Bapak tua dengan suara keras berujar, “Kedua mata saya sudah buta. Sudah lama. Barangkali karena saya semakin tua.”

        “Oh..sayang sekali,” kata Sandra padanya. Kesedihan mulai menyergap diri Sandra menyaksikan kenyataan ini. Sandra berusaha menyimpan kesedihan itu ke dalam palung hatinya. Dengan nada agak lirih Sandra akhirnya berujar - entah untukku, atau untuk semua orang disitu, “Bapak ini ada miripnya dengan Ompu Sihol.”

        “Ompung siapa?” Rupanya pendengaran bapak tua itu tajam.

        “Ompu Ni Sisihol”, jawab Sandra.

        “Ya itu kan mamakku. Sudah lama mamakku mati. Istriku juga sudah mati. Mandiri saya,” kata bapak tua, anak dari Ompung Sihol yang kedua matanya kini buta.

        “Sekarang kehidupan di sini rasanya begitu keras. Dan ada yang pahit sekali di sini. Orang  yang memberikan buku ini adalah orang yang mendesain buku saya. Namanya Ciciele. Dan sayang sekali anak dari Ompung Sihol ini ini tidak bisa melihat lagi. Jadi sedih ini. Semula saya berharap, anak Ompung Sihol ini bisa menceritakan pada orang-orang di sini tentang isi buku ini. Tapi ia sudah tak bisa melihatnya,” kata Sandra di depan kamera video yang selalu siap di tanganku dan sudah kunyalakan sejak tadi.

        Menurut bapak tua rumah mamaknya, Ompu Sihol - yang dulunya selalu digunakan untuk menenun itu - kini sepi tak ada siapa-siapa. Bapak tua seorang diri mendiami rumah Ompu Sihol. Hanya ada satu anak laki-laki dari bapak tua yang masih sering menjaganya yaitu Juninto Malau yang dipanggil dengan nama Juni. Juni bertempat tinggal bersama istri dan seorang anaknya tidak jauh dari rumah Ompu Sihol.  Di huta itu Juni bekerja sebagai pekerja keras di proyek pembuatan jalan dekat kilang padi. Sedangkan anak-anak lainnya dari bapak tua telah berkeluarga dan mencari nafkah di Dairi dan Sidikalang, jauh sekali dari Harian Boho.  Sandra memberitahukan kedatangannya pada bapak tua untuk menyerahkan buku. Bapak tua merasa jika buku itu diserahkan kepadanya akan sia-sia karena dirinya sudah buta, tak bisa melihat apa-apa. Bapak tua menyarankan agar menunggu Juni di sini pulang dari kerja.

        Ompu Sihol sudah wafat. Anaknya tak bisa melihat. Maka hanya Juni, cucucunya yang layak menerima buku Sandra. Apalagi ada masa lalu Juni berupa foto-foto di dalam buku itu.  Masa lalu ketika ia masih kanak-kanak dan sering menemani dan membantu ompungnya, Ompu Sihol  yang sedang membuat warna alam dan menenun.  Menunggu kedatangan Juni Sandra bercengkrama dengan bapak tua serta orang-orang yang mengerumuninya. Kulihat beberapa anak kecil juga menikmati suasana dengan memandangi ke arah Sandra dengan rasa keingintahuan yang besar. Dibelakang rombongan orang yang asyik bermain kartu, di bangku paling pojok kulihat seorang anak muda memetik gitar, menyanyikan sebuah lagu pop Batak yang suaranya kadang kudengar mendayu-dayu, kadang meratap diterbangkan angin Tao Toba.

        Juni - lelaki tegap, bertubuh kuat dengan wajah dibiarkannya berkumis dan bercambang yang mengingatkanku pada film-film silat korea itu - akhirnya muncul bersama anak perempuannya yang masih kecil. Semua mata tertuju padanya. Senyum ramah terbit di wajahnya. Ia pun menyalami Sandra.

        “Horas, apakabar?,” sapanya pada Sandra.

        “Baik…”, jawab Sandra sambil menjabat tangan Sandra, “Bagaimana kabarmu? Dari bekerja keras rupanya.”

        Sandra mempersilakan Juni dan anaknya duduk di antara Sandra dan ayahnya. Sandra mengeluarkan buku dari box plastik sambil berkata pada Juni. “Anda pasti sudah tahu, bahwa kira-kira 30 tahun lalu saya di sini tiap hari pergi ke atas “, ujar Sandra sambil menunjuk ke arah rumah Ompu Sihol, “dan belajar menenun pada ompungmu.”

        “Ya. Saya masih ingat”, kata Juni dengan senyum lebar.

        “Betul..? Masih ingat?”, tanya Sandra dengan ekspresi wajah gembira.

        “Iya. Ingatlah,” jawab Juni mantap.

        Sandra merasa senang. Rasanya tak sia-sia dia telah bercapek-capek sampai ke huta ini dan akhirnya bisa bertemu dengan Juni. Sandra membuka bukunya pada sebuah halaman di mana terlihat Juni kecil dengan kakak perempuannya yang juga masih kecil sedang berada di depan Ompu Sihol yang menenun. Di halaman lain tampak Ompu Sihol sedang membuat warna alam, itom (biru gelap) dengan selaon.  Bersama dengan Juni, Sandra membuka halaman berikutnya di mana tampak hudon tano (genthong-gentong dari tanah liat) saling berjejer. Itulah wadah dimana warna-warna alam ditempatkan dan diolah oleh Ompu Sihol, nenek Juni. Pada halaman berikutnya tampak Ompu Sihol sedang bekerja dengan hudon tano-hudon tano-nya itu. “Jadi ada hasil sekarang,” kata Sandra akhirnya tersenyum puas.

Juni pun tampak senang sekali. Ia masih terus melihati foto-fotonya yang saat itu masih berumur 6 tahun. Orang-orang pun turut memperhatikan foto-foto itu dengan mengerumi dan mengelilingi mereka. Anak-anak kecil juga tak mau ketinggalan. Ada beberapa orang yang memanjat dan berdiri di atas bangku agar lebih leluasa menyaksikan apa yang sedang terjadi. Beberapa wanita penjual kios pun melongok dari jendela kiosnya di antara telor-telor ayam tersusun rapi yang posisinya tepat di atas Juni dan Sandra. Semuanya merasakan senang atas kedatangan Sandra di Harianboho.

        Tak lama kemudian Sandra menuliskan pesan dari Ceciele - desainer buku itu - di halaman depan dan membacakannya kepada Juni. Lalu Sandra menyerahkan buku.  Juni menerimanya dengan perasaan gembira. Begitu juga ayahnya. Perasaan gembira itu tampak dari tarikan-tarikan guratan yang terlukis di wajahnya. Sandra membelai rambut anak perempuan Juni seolah berkata, “Siapa tahu kelak anak inilah yang meneruskan tradisi tenun Ompu Sihol”. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika seandainya pada saat ini masih ada Ompu Sihol di sini. Dipertemuan ini. Tapi rasanya beliau ada di sini bersama kami semua.

         Usai penyerahan buku kami meninggalkan tempat itu. Kami jalan kaki bersama. Sandra disamping kanan bapak tua yang berjalan meraba dengan tongkatnya. Juni dan anaknya di sebelah kiri. Kami menuju ke rumah almarhum Ompu Sihol.  Beberapa pemuda serta anak-anak kecil turut mengantar kami sampai separo perjalanan. Jalan yang semula lebar akhirnya mengecil. Di depan kami terhampar ladang sawah luas subur menguning. Secara berendeng satu persatu kami melewati pematang. Bapak tua seperti sudah hafal dan terbiasa oleh tiap kelok pematang itu. Ia berjalan dengan mudah meskipun kondisi jalan sebenarnya lumayan berat. Apalagi untuk seorang buta seperti dia.

        “Di sela-sela waktu selama belajar menenun pada Ompu Sihol, saya suka berenang di Harianboho. Menangkap ikan-ikan. Jalan-jalan di pematang. Melihat scarecrow (memedi sawah/orang-orangan) di sawah. Mendengar suara-suara nyanyian dari gereja,” kata Sandra sambil mengenang masa lalunya di Harianboho.

        Jalan pematang sawah akhirnya terlewati. Kini masuk ke sebuah pekarangan rumah-rumah. Pepohonan di sana-sini tumbuh rindang. Kami berjalan ke arah pekarangan yang paling pojok. Tampak sebuah rumah panggung dari kayu. Bangunan tua itu lumayan besar. Suasana tampak sepi.  Itulah rumah Ompu Sihol.  Di sisi kiri terbentang hamparan sawah. Antara sawah dengan rumah itu ada parit kecil di mana air mengalir dengan jernih. Di seberang rumah, di sekitar parit tumbuh tanaman bernama selaon. Tanaman yang dipakai oleh Ompu Sihol sebagai bahan pewarna. Di tepi parit itu Ompu Sihol dulu bekerja mengolah warna alam untuk benang-benang yang akan ditenunnya menjadi ulos. Di samping kanan rumah Ompu Sihol, agak ke depan sedikit, terdapat sebuah bangunan kecil dari kayu yang dulunya sering dipakai untuk menenun kini menjadi gudang.

         Bapak tua yang buta naik tangga dan masuk ke rumahnya. Si cucu duduk-duduk di tangga dan hanyut dengan mainan-mainannya. Sandra, aku dan Juni masih berkeliling-keliling sebentar. Kulihat Sandra seperti sedang mengenang kembali jejak-jejak masa lalu di setiap jengkal pekarangan rumah. Pekarangan yang dulunya ramai, selalu dipenuhi hari-hari Ompu Sihol bersama keluarga dan tetangga yang membantu. Rasanya meskipun alam di sini sepi dan tenang, namun pepohonan, belukar selaon, dan parit kecil itu masih merekam dan mendokumentasikan segala apa yang dilakukan Ompu Sihol di masa-masa hidupnya. Aku percaya bahwa alam mempunyai daya rekam dan dokumentasi semacam itu dengan caranya sendiri. Dan rekaman itu tetap abadi.

        Selain belajar menenun, dari Ompu Sihol lah Sandra belajar mengucapkan kata ‘mauliate’ yang artinya terimakasih. Dan waktu itu Sandra selalu mengucapkan kata dalam bahasa Batak itu kepada Ompu Sihol sampai Ompu Sihol sering bilang, “Kenapa Sandra bilang mauliate .. mauliate… selalu… selalu”. Semua orang merasa geli melihat reaksi Ompu Sihol ketika merespon Sandra itu. Dan hari ini kurasakan kedatangan Sandra kemari karena Sandra sudah faham betul arti kata mauliate. Dan kata itu ingin ia persembahkan untuk gurunya lewat kehadiran Sandra kemari. Bukan lagi sekadar kata.

        “Ada satu kenangan lagi yang tak bisa kulupakan. Waktu itu Ompu Sihol tidak faham yang saya maksudkan. Saya selalu meminta pada Ompu Sihol untuk melakukan semuanya seperti para penenun Batak di zaman dulu-dulu. Dan dia langsung membuat semuanya seperti yang biasanya dia lakukan. Dan saya bilang, ‘tidak, tidak, tidak, bukan begitu.. seperti dulu’. Dia kesal dan melihat saya seperti makhluk dari planet lain. Dia bilang,’ kami selalu membuat ya begini’. Saya tetap ngotot dan terus menjelaskan yang saya maksud, ‘bukan begitu, tapi seperti dulu-dulu sebelum ada kesempatan membeli benang dari pasar’.  Dengan kesal Ompu Sihol akhirnya bilang, ‘kami selalu beli benang dari pasar. Begitu.. begitu kami’. Dia menatap saya tajam. Saya merasa ngeri melihatnya. Mungkin dia marah pada saya. Akhirnya dia membuat semuanya seperti biasanya dia membuat. Dan saya terpaksa ikut juga. Barangkali itulah kekurangajaran saya pada Ompu Sihol karena saya masih remaja.  Lantaran yang selalu ada di kepala saya adalah mitology Si Boru Deak Parujar yang sudah menjadi bibel tersendiri bagi saya, di mana awal mula adalah sehelai benang. Ketika sudah kembali di Belanda saya menangis karena ulah saya pada Ompu Sihol itu. Di Belanda saya membaca lagi di arsip-arsip kuno, dan benar yang dibilang Ompu Sihol. Sejak abad 19 orang Batak selalu membeli benang di pasar, dan benang berwarna juga. Di arsip-arsip Belanda itu menyebutkan bahwa di Batak sudah lama kapas tidak bisa ditanam. Sebelum benang dijual oleh orang Inggris, benang dijual oleh orang Simalungun atau Karo.” Demikian Sandra menceritakan pengalaman itu.

        Selama melakukan perjalanan di Tano Batak bahkan sejak belum bertemu dengan Sandra aku belum pernah menjumpai ada orang yang memintal kapas menjadi benang. Mungkin karena aku membandingkannya dengan perjalanan-perjalananku di Indonesia Timur seperti di Tana Toraja atau Flores. Meskipun kenyataannya jumlah pemintal benang dari kapas di sana sekarang juga sudah jarang. Barangkali karena arus perdagangan yang lebih duluan maju di Tano Batak ketimbang di daerah-daerah di Indonesia bagian timur itu.

        Namun bagaimanapun aku salut dengan sosok Ompu Sihol ini. Apalagi pasti Sandra. Kepadaku Sandra akhirnya menyampaikan kesannya yang mendalam tentang Ompu Shol,  “Ompu Sihol telah menyelematkan saya dari diri saya sendiri untuk tegas menjadi diri sendiri.  Mungkin dulu saya seorang antropolog yang meruntuhkan lapangan studi saya sendiri dengan memaksa Ompu Sihol untuk sesuai dengan prasangka saya daripada saya semestinya melihat dan memahaminya.  Sampai saya waktu itu harus banyak berkelahi dengan Ompu Sihol.  Sampai saya menangis. Malu saya rasanya.”

       ”Ompu Sihol pernah bilang ke saya, ‘Sandra akan tamat di universitas sebab saya mengajar dia. Sandra tamat dengan tulisan, tetapi saya tetap ahli menenun. Waktu perpisahan saat saya mau pulang ke Belanda Ompu Sihol membelikan saya manuk mira altong di pasar. Ayam itu dipotong dan kami makan bersama di rumah ini bersama anaknya. Saya diajak makan sayapnya. Dia bilang ke saya sambil mengepak-ngepakkan lengan tangannya; supaya saya bisa menenun di negeri saya. Ompu Sihol kurang bisa memahami arti  ‘belajar’ saya. Pekerjaan saya bukan praktis - dan dia tidak bisa mengerti itu. Saya belajar untuk pengetahuan saja dan bukan untuk menenun sendiri. Melalui misunderstandings itu, saya belajar cara berpikir dia,” kenang Sandra.

          Dari pekarangan rumah akhirnya kami menuju ke parit di sebelah sawah. Ketika melihat selaon, secara spontan tangan Sandra memetiknya satu. Dan ia ciumi helai selaon itu, seperti ia menyerap masa lalunya di sini, di parit kecil ini. Juni berada di depan, dan membimbing kami ke sebuah tanah. Di balik tetumbuhan selaon itu terdapat sebuah makam. Juni menerangkan pada kami, tempat inilah peristirahatan terakhir Ompu Sihol dan suaminya.

        Sandra melangkah ke tanah pemakaman. Kulihat ia khusyuk berdoa. Doa seorang murid untuk guru tercinta. Usai berdoa ia letakkan selaon yang sejak semula di tangannya ke atas pusara Ompu Sihol. Di atas pusara Ompu Sihol jiwaku merasa bergetar menyaksikan ini semua.  Aku sadar aku adalah orang yang dilahirkan di tanah jawa, dan aku yakin almarhum Ompu Sihol ini benar-benar sosok empu, seseorang yang ahli di bidangnya. Dan dialah salah satu empu di bidang tenun, salah satu sang maestro yang pernah ada di Tano Batak. Dan dalam hatiku aku berdoa semoga perjuangan Ompu Sihol yang sunyi di masa lalu dalam dunia tenun ulos batak itu bisa diteruskan oleh generasi selanjutnya. Dan semoga Ompu Sihol kini damai bersamaNya, bersama Sang Pencipta Yang Maha Menenun Alam Semesta ini. (***mjansr2010***)

‘Ku yakin menemukan jalan selalu
kembali padamu,
jalan pulang ke lembahlandai
di tepi danau
sepanjang pantai

‘Ku yakin selalu padamu kembali
di akhir nanti,
saat kembara berakhir,
tiba sadar pada musafir.

Di ladang dan gerbang
negeri-negeri ramah, tapi asing.

namun penumpang jua.
Karena ketentuan masalalu,
tak dapat diulang
lahir sekali di pangkuanmu.

Ingatan jadi keyakinan terang
Di seberang aku berada
kau di telapak terbawa,

menanti di tiap langkah
batu-batu lembah semula.

(dari sebuah puisi karya Sitor Situmorang, Harianboho)

                                                          *** (bersambung) ***


 MJA Nashir, TujuhlangiT, September 2010

(Bagian Pertama) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra/434462987855
(Bagian Kedua) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra-ii/436327202855




http://www.facebook.com/note.php?note_id=438797277855

No comments:

Post a Comment